Musuh Jatuh Cinta Part 1-2

0
0
Deskripsi

Bagaimana jadinya jika musuhmu malah jatuh cinta padamu?

Seperti yang terjadi pada Alena Putri Larasati. Dia diejek tonggos oleh Duta tanpa alasan yang jelas. Cowok itu terlihat sangat membencinya pada pertemuan pertamanya di bangku SMP. Setelah tiga bulan kenyang dengan ejekan Duta, Alena Putri Larasati dan keluarganya tiba-tiba pindah ke Jakarta. Gadis itu pikir hidupnya akan damai, tapi sayangnya 3 tahun kemudian Duta pindah ke sekolahnya dan yang lebih mengejutkannya lagi, cowok itu justru mengejar-ngejarnya....

Part 1 : Anak Nakal

Alena Putri Larasati menatap bangunan di depannya dengan perasaan senang dan sedikit berdebar. Ia menilik seragam yang masih dikenakannya---putih merah, sebentar lagi akan berubah menjadi putih biru. Tak sabar rasanya menjadi anak SMP. Tumbuh menjadi anak remaja bukan anak-anak lagi.

Hari ini adalah hari pertamanya masuk sekolah SMP. Dan hari ini menjadi hari yang sangat mendebarkan sekaligus penasaran. Ia banyak mendengar cerita-cerita menyenangkan saat masuk SMP dari kakak sepupunya, gerbang menuju dunia anak remaja. Cerita cinta monyet sering kali menjadi topik pembahasan kakak sepupunya yang sudah lebih dulu masuk SMP tahun kemarin.

Putri, begitulah panggilannya sejak kecil. Gadis yang tengah menuntun sepeda biru muda dengan keranjang dibagian depan memasuki gerbang sekolah, tiba-tiba saja badannya didorong oleh seseorang sampai membuat badannya terhuyung, hampir saja ia terjatuh dengan sepedanya. Untung saja kakinya berpijak dengan kuat.

Senyum yang sedari tadi terpatri dibibirnya lenyap digantikan dengan bibir mengerucut. Cowok dengan pakaian putih merah yang tampak berantakan menatapnya dengan tatapan menantang. "Apa lo liat-liat?!"

Putri melengos tak peduli. Hari baiknya telah dirusak oleh anak laki-laki begajulan yang tak tahu sopan santun. "Sabar Putri," batinnya, menenangkan diri sendiri.

"Putri! Sini!" seorang gadis berambut panjang yang dikepang dua melambaikan tangannya sambil tersenyum lebar.

Setelah memarkirkan sepedanya, Putri menghampiri gadis tersebut. "Kamu udah dateng duluan?"

"Iya, nggak sabar jadi anak SMP," sahut Siti antusias.

"Aku juga sama, nggak sabar," timpal Putri sama antusiasnya.

"Selamat pagi pak." Putri menyapa seorang guru yang melintas sambil tersenyum.

"Iya pagi."

Siti teman Putri berbisik, "Put, bukannya kita mau muter-muter dulu, siapa tau ketemu sama kakak kelas ganteng."

"Owalah, aku lupa," ujar Putri sambil menepuk dahinya. "Yaudah yuk, mumpung belum bel masuk."

Kedua gadis dengan seragam SD itu berjalan berdampingan menyusuri lorong sekolah. Sesekali cekikikan dengan obrolan mereka yang tampak seru.

"Putri! Siti! Ayo buruan masuk kelas," panggil seorang gadis bernama Sintia, teman SD Putri dan Siti yang sudah lebih dulu masuk kelas.

Begitu Putri hendak masuk, tiba-tiba seorang anak laki-laki menyerobot jalannya dengan berlari.

"Dia lagi," batin Putri kesal.

Anak laki-laki yang baru saja menabrak Putri bukannya meminta maaf, lagi-lagi hanya menatap Putri, kali ini dengan ekspresi jijik.

Kening Putri berkerut. Tidak bisa dibiarkan. Apalagi mereka satu kelas. Putri langsung mendatanginya. "Ayo minta maaf!" labraknya dengan berani.

"Siapa lo? Kenapa gue harus minta maaf?" Anak laki-laki itu tengah membersihkan lengan bajunya dengan tangan seolah-olah sedang membersihkan debu. Padahal tidak ada apapun di sana, tentu saja membuat kening Putri berkerut.

"Jijik tau, bekas nyenggol badan lo." Seperti mengerti apa yang sedang Putri pikirkan. Tiba-tiba dia menjawab.

Tapi yang membuat Putri terkejut, tidak lain karena anak laki-laki itu merasa jijik telah menyentuh badannya.

"Nggak sopan tau ngomong kayak gitu," ujar Putri dengan mata sedikit berkaca-kaca.

"Wlek! Emang gue pikirin! Pergi sana, bikin sakit mata aja," ujar anak nakal itu dengan raut muka menyebalkan.

Putri benar-benar tidak tahu kenapa anak laki-laki itu seperti membencinya. Memang apa salahnya? Bukannya tadi dia yang mendorongnya terlebih dahulu. Kenapa jadi dia yang marah?

Putri mengobrol dengan teman-temannya dengan heboh. Ke tiga gadis itu sedang membicarakan rencana mereka setelah resmi memakai seragam putih biru.

"Gimana kalo kita foto-foto? Bapakku baru beli kamera baru loh," ujar Sintia dengan bangga.

"Boleh, nanti rambutnya mau dikepang atau digerai aja?" tanya Putri antusias.

"Jangan dikepang, digerai aja, biar nggak kayak anak SD lagi," sahut Siti.

"Boleh," sahut Putri tak sabar. Seragamnya masih ada di tukang jahit, nanti sore rencananya ia mau mengambilnya.

"Jelek!" tiba-tiba saja anak laki-laki tadi bersuara. "Mau dikepang atau digerai, tetep aja jelek, bikin sakit mata," hinanya.

"Heh! Kamu kok ngomong gitu sih?!" labrak Siti.

"Bukan lo, tapi dia." Jari telunjuknya mengarah ke arah Putri.

"Aku?" Putri menunjuk dirinya sendiri.

"Lo sadar nggak sih, lo itu jelek, gigi lo tonggos, bibir lo monyong, bikin sakit mata." Ucapan anak laki-laki itu sangat menyakitkan untuk didengar. Apalagi mereka tidak saling kenal.

JEDER!

Putri langsung diulti di tempat. Gadis itu syok berat. Baru kali ini ada orang yang menghinanya tonggos selain kakaknya. Padahal di sekolahnya yang dulu, tidak ada satupun anak yang meledeknya, meski Putri akui giginya termasuk ke dalam kategori gigi maju tak gentar alias tonggos.

Siapa juga yang mau giginya tonggos? Tapi mau bagaimana lagi, ini semua sudah takdir.

"Ada yang pernah ngasih tau dia nggak sih? Kalo dia itu jelek? Kayaknya selama ini dia nggak sadar diri." Anak laki-laki itu terus saja menghina Putri tanpa alasan yang jelas.

Siti lantas menghampiri meja anak laki-laki itu lalu menggebraknya dengan kencang.

Brak!

"Kamu jahat banget sih jadi orang?! Putri ada salah apa sama kamu?!"

"Bikin mata gue sakit," sahutnya dengan ekspresi menyebalkan.

***

"Udah Put, jangan nangis lagi, dia emang jahat." Siti masih berusaha menenangkan Putri yang sedang menangis sesenggukan.

Jam istirahat telah berbunyi, sebagian besar pergi ke kantin, Putri kembali menangis mengingat kata-kata menyakitkan anak laki-laki tadi. Seorang gadis mendatangi Putri dan teman-temannya.

"Duta emang nakal, dia pindah ke sekolahku pas kelas empat. Katanya usaha orang tuanya bangkrut makanya dia pindah ke sini. Denger-denger dia masih nggak terima pindah ke Jogja. Waktu pertama masuk sekolah, dia juga ngolok-ngolok sekolahku yang nggak sebagus sekolahnya di Jakarta." Gadis itu mulai bercerita mengenai Duta.

"Tapi kenapa dia jahat banget sama aku?" tanya Putri sambil sesenggukan.

"Mungkin karena dia nyari perhatian orang-orang, mending kamu diemin, nanti pasti dia capek sendiri."

"Gitu ya?" Putri mulai menghapus air mata yang mengalir di pipinya.

"Ngomong-ngomong nama kamu siapa?" tanya gadis itu.

"Alena Putri Larasati. Biasa dipanggil Putri." Putri menjabat tangan teman barunya.

"Namaku Siska."

***
"Nama lo Siti?" tunjuk Duta ke arah Siti, anak nakal itu menghadang Putri dan Siti di parkiran sepeda. "Terus nama lo Putri?" tunjuknya ke arah Putri dengan kening berkerut.

"Apa nggak ketuker?" tanyanya.

Putri dan Siti sontak saling pandang. Tak mengerti apa maksud anak nakal itu. "Nggak usah didengerin, kita cuekin aja," ujar Siti, si gadis cantik berkepang dua.

Putri mengangguk mengiyakan, tak ada manfaatnya mendengarkan anak nakal itu, bikin sakit hati saja. Akhirnya Putri dan Siti fokus dengan sepedanya masing-masing.

"Harusnya lo yang dikasih nama Siti, bukan dia. Karena muka lo lebih pantes dipanggil Siti dibandingkan Putri, nama itu terlalu bagus buat lo."

Deg!

Putri mematung dengan hati terasa tercubit dengan kencang. Ia juga malu karena menjadi tontonan kakak kelas. Matanya mendadak panas dan berembun, sampai pada akhirnya ia kembali menangis tersedu-sedu.

"Udah jelek, jadi tambah jelek, wlek!" ledeknya.

"Heh, emang nama Siti itu jelek?!" labrak Siti tak terima namanya dibawa-bawa.

"Bukan jelek, tapi lebih pantes dia yang namanya Siti daripada elo," ujar Duta sambil menunjuk wajah Putri.

Duta melenggang dengan santai setelah puas meledek Putri habis-habisan. Alhasil Putri mengendarai sepedanya sambil menangis. Marah dan malu bercampur menjadi satu. Hari pertamanya masuk sekolah ke jenjang SMP hancur berantakan gara-gara Duta. Anak nakal yang datang tak diundang, pulang tak diantar, persis seperti jailangkung.

Ekspektasi Putri tentang masa SMPnya yang indah dihancurkan oleh anak nakal itu sehancur-hancurnya.

"Loh! Loh! Loh! Anak mama kenapa? Pulang-pulang kok nangis?" tanya Farah terkejut. Wanita yang masih terlihat muda itu memeluk anak bungsunya yang menangis begitu memasuki rumah.

"Putri nggak mau sekolah di sana, Putri mau pindah sekolah aja," ujarnya sambil sesenggukan. Wajahnya ia tenggelamkan ke dada mamanya yang hangat dan nyaman.

"Baru masuk SMP kenapa mau pindah? Ayo sini duduk dulu, coba cerita sama mama." Farah menuntun anak bungsunya ke sofa sambil masih mengelus-elus punggung anaknya yang bergetar untuk menenangkannya.

"Ada anak nakal ma, dia ledekin Putri, katanya Putri jelek, tonggos," adunya dengan pilu. Farah menghapus air mata anaknya dengan lembut.

"Hahahaha....! Ternyata ada juga yang sadar!" Sesosok yang tidak Putri inginkan kehadirannya diam-diam mendengarkan ceritanya.

"Kak Roy!" pekiknya jengkel. "Kok kak Roy ada di rumah, ma?"

"Udah pulang dari tadi," sahut ibu dua anak itu.

"Siapa yang ledekin kamu Le? Kasih tau kakak." Cowok empat tahun lebih tua dari Putri itu terus saja mendesak adiknya supaya memberitahu siapa yang berani menghina adiknya. Tentu saja Putri tidak mau.

Di rumah ia sudah habis diledekin oleh kakaknya, dan sekarang di sekolah juga. Komplit sekali penderitaannya.

"Nggak mau!" pekiknya.

"Ayo dong Le, Lele adek tercinta kakak. Kasih tau aku siapa yang ledekin kamu," ujar Roy.

Dasar kakak laknat, dari dulu ia dipanggil Putri oleh kedua orang tuanya, bahkan panggilan Putri sudah menjadi panggilannya di sekolah. Hanya satu orang yang memanggilnya berbeda. Yaitu kakaknya, alih-alih memanggilnya sama seperti yang lain, kakaknya justru memanggilnya dengan panggilan Lele, diambil dari kata A(Le)na jadi Lele. Padahal nama panjangnya Alena Putri Larasati. Memang dasar kakak laknat. Menyebalkan.

Putri tidak akan tertipu dengan sikap kakaknya yang sok baik itu. Roy dan Duta itu sebelas dua belas. Sama-sama suka menyakiti hatinya melalui kata-kata, bedanya cuma satu. Ia sudah terbiasa dihina oleh kakaknya. Makanya rasanya tidak sesakit saat Duta yang menghinanya.

"Namaku bukan Lele!" pekik Putri jengkel. "Kakak sama anak nakal itu sama aja, sama-sama nyebelin!"

Putri akhirnya pergi ke kamarnya dengan perasaan kesal.

"Udah dong Roy, adeknya jangan digangguin terus," ujar Farah.

"Roy nggak gangguin, cuma nanya doang," sangkal Roy dengan memasang wajah polosnya.

 

***

Part 2 : Balas Dendam

"Ayo bangun sayang, udah jam berapa ini, nanti kamu terlambat masuk sekolah." Farah menggoyang-goyangkan badan anak bungsunya yang terbungkus selimut.

"Putri nggak mau sekolah," ujarnya dengan suara serak.

"Anak itu pasti udah nggak ledekin kamu lagi, percaya deh sama mama." Farah membuka selimut yang membungkus badan anaknya. Lantas menarik Putri dengan lembut hingga posisinya berubah menjadi duduk bersandar pada kepala ranjang.

"Mandi ya anak mama yang cantik, anak mama yang baik, yang nggak suka bolos sekolah." Farah mengelus kepala anaknya dengan penuh kasih sayang.

"Tapi ma?"

"Nggak usah tapi-tapi, yakin sama mama, anak itu nggak akan ledekin kamu. Sekarang dia bukan anak SD lagi yang hobi ledekin temen, palingan juga dia malu sendiri." Ucapan mamanya membuat Putri kembali bersemangat.

"Beneran ma dia nggak bakal ledekin Putri?"

"Iya sayang," sahut wanita itu teduh dan lembut. Mencoba meyakinkan anaknya agar mau berangkat sekolah.

"Oke deh, Putri berangkat sekolah." Mendengarnya sontak saja Farah tersenyum lega.

"Makanya waktu dibilangin sama orang tua nurut, jangan ngenyot jempol terus, tonggos kan jadinya." Roy berdiri di ambang pintu kamar adiknya sambil melipat kedua tangannya di depan dada. Menatap adiknya yang masih belum bersiap-siap, padahal waktu sudah menunjukkan pukul enam lebih.

"Roy!" panggil Farah dengan nada tegas. Tak lupa tatapan tajam ke anak pertamanya supaya diam. Sudah susah payah ia membujuk anaknya supaya sekolah, jangan sampai anak sulungnya mengacaukan semuanya.

Panggilan mamanya hanya dibalas dengan cengengesan oleh Roy. Saat Farah berjalan ke pintu, ia tidak melihat anak sulungnya beranjak dari sana, pasti ada yang sedang anak itu rencanakan. Sebelum benar-benar keluar kamar anak bungsunya, Farah menyempatkan diri untuk menjewer telinga Roy dan menariknya agar menjauh.

"Ampun ma! Sakiiiit!!" pekik Roy sambil memegangi telinganya yang dijewer.

"Makanya jangan gangguin adeknya terus," ujar Farah masih setia menarik telinga Roy sampai ke meja makan.

***
Berpegang teguh dengan apa yang diucapkan mamanya, Putri berangkat ke sekolah dengan riang. Sepeda biru ia kayuh menelusuri jalan beraspal yang kanan kirinya terhampar pematang sawah yang mulai menguning. Memberi kesan cerah seperti hatinya sekarang. Ia mencoba melupakan ejekan anak nakal itu. Ia yakin si Duta-duta itu akan malu sendiri. Sudah SMP masih saja main ledek-ledekan, dasar kenak-kanakan.

Udara Jogja yang segar dengan pemandangan pedesaan yang asri, bagaimana mungkin si Duta-duta itu tidak menyukai semua ini. Huftt... Rugi. Dasar bocah kota sok elit.

Memarkirkan sepeda birunya, Putri menggendong tas ranselnya menuju ke kelasnya. Jalan paving block di area tempat parkir masih sangat kosong. Hanya ada beberapa sepeda yang mulai terparkir. Pohon ketapang yang ditanam berderetan menjadi peneduh sepeda di area parkir, daunnya yang lebar memudahkan petugas kebersihan untuk membersihkannya.

Sekolah di daerah, jauh berbeda dengan sekolah di kota metropolitan. Di sini masih asri, anak SMP sepertinya rata-rata berangkat ke sekolah menaiki sepeda. Tidak ada satu pun yang datang dengan sepeda motor. Selain menaiki sepeda, ada juga yang memilih naik angkutan umum.

Semuanya aman terkendali, Putri mulai asik bercengkrama dengan teman-temannya. Hingga sebuah tepukan cukup keras dipunggung ia rasakan. Bukan hanya sekedar tepukan. Tapi ada selembar kertas yang tertempel di belakangnya. Putri menarik kertas dipunggungnya dengan cepat. Lalu membacanya.

"Gue jelek, gue tonggos." Putri meremas kertas tersebut dan menatap ke arah sang pelaku dengan tatapan tajam penuh amarah.

Duta tampak tertawa terbahak-bahak, bahkan sekarang anak laki-laki itu sudah memiliki teman. Dan sialnya teman-temannya mulai ikut-ikutan menertawainya.

Putri berusaha mengacuhkannya. Tak peduli apa yang Duta lakukan, ia sudah remaja, bukan anak SD lagi yang akan menangis saat diejek.

Meremas tangannya kuat-kuat. Ternyata ejekan Duta padanya mulai menular. Anak-anak yang tadinya tidak mengejeknya kini mulai ikut-ikutan mengejeknya. Bahkan teman satu SD pun mulai berani mengejeknya. Bullyan itu seperti layaknya virus yang menular dari satu anak ke anak yang lain dengan cepat.

Bahkan bukan hanya anak laki-laki, anak perempuan pun mulai mengejeknya. Bagaimana Putri tidak menangis lagi.

Pulang sekolah lagi-lagi Putri menangis. Memeluk mamanya mencari keamanan di sana. Karena hanya didekapan mamanya ia merasa aman.

"Dia masih ledekin Putri ma," adunya dengan pilu.

"Loh, masih toh?"

"Sekarang bukan dia aja yang ledekin Putri, tapi temen-temen yang lain juga ikut ledekin Putri," ujar Putri sesenggukan.

"Pokoknya Putri mau pindah sekolah aja," rengek Putri. Mulai tak betah berada di kelas dengan orang-orang yang selalu meledek fisiknya.

Mengembuskan napas berat, "yang sabar ya sayang, anak mama kan pinter. Jangan peduliin mereka semua. Putri kan ke sekolah mau belajar, bukan mau adu kecantikan."

"Tapi Putri diledekin tonggos terus, Putri nggak suka, Putri kesel, Putri benci banget sama dia."

"Apa mau mama temuin temen kamu itu?"

"Jangan ma, nanti Putri diledek tukang ngadu lagi."

"Lha terus gimana?"

"Mau pindah sekolah aja. Ke sekolahnya kak Devi aja ma."

"Nggak bisa sayang, kamu kan baru masuk sekolah, masa mau pindah?"

"Bales aja sih, apa susahnya?" Roy datang-datang langsung memberi solusi. Ia letakkan pantatnya di sofa samping adiknya.

"Tapi balesnya gimana?" Wajah Putri tampak melongo bingung. Seumur-umur ia tidak pernah membalas kenakalan seseorang. Ia saja tidak pernah melawan saat Roy meledeknya. Palingan ia mengadu ke papa mamanya sambil menangis.

"Ledekin balik lah!" Roy dengan santai menyuruh adiknya melawan.

"Ledekin apa?"

Roy mengendikan bahunya. "Ya mana aku tau, kamu cari sendiri kelemahannya apa."

Putri kembali duduk lesu. "Mulai besok aku cari tau deh."

***
Sesuai solusi dari kakaknya, Putri mulai mengamati Duta yang tampak tak punya kekurangan. Anak laki-laki itu mudah bergaul, meski tengil dia memiliki banyak teman dari berbagai usia. Bahkan sebagian besar kakak kelas sudah mengenalnya.

Satu bulan telah berlalu, Putri telah kenyang mendengar semua ledekan dari Duta. Selama itu pula ia hanya diam dan mengamati Duta dari jauh. Hingga akhirnya ia mendapat kelemahan musuh bebuyutannya itu. Seringai jahat pun muncul di bibir Putri.

"Saatnya balas dendam," gumam Putri.

Duta duduk di atas meja, lalu ia membuat kegaduhan hingga menarik perhatian semua orang. "Gue mau tanya dong, tong setan, kalo setannya diubah jadi bahasa inggris, kira-kira bacanya apa ya bray?" tanyanya kepada teman-temannya.

Teman-teman Duta menyahut dengan kompak, "Tong ghost!"

"Hua ha ha ha...!" Duta tertawa sambil menunjuk Putri. Tawa itu menggelegar sampai membuat kuping Putri pegal. Tapi kali ini ia tidak menangis. Putri berdiri dari duduknya lalu menghampiri Duta dengan penuh keberanian.

Putri menunjuk wajah Duta. Sementara yang ditunjuk justru memperlihatkan senyum tengil yang tampak menyebalkan di mata Putri. "Badan atau WC kok banyak tainya?"

JEDER!

Ucapan Putri barusan telah menembus jantung Duta sampai ia syok berat. Saking syoknya tubuh Duta membeku sesaat.

Tak berapa lama tawa teman-temannya menggelegar, menertawakan Duta. Benar apa kata Putri, wajah Duta memang terdapat banyak tahi lalat. Bahkan di area tangan dan kaki.

Tersadar dari keterkejutannya. Wajah Duta memerah, tangannya terkepal kuat.
"Mana ada Putri tonggos, ngaca dong! Lo nggak pantes tau punya nama Putri. Putri itu biasanya cantik, nggak tonggos kayak elo!"

"Emang gue pikirin. Wlek! Dasar Duta tai lalat!" ledek Putri menirukan kebiasaan Duta saat menghinanya.

Duta turun dari atas meja tak terima, menatap nyalang gadis di depannya.

Bukannya ketakutan, Putri malah menatap mata Duta dengan berani sambil mengulas senyum miring. "Kalo mau koleksi, mending koleksi barang-barang antik, bukannya tai lalat lo koleksi," ujar Putri mulai menunjukkan taringnya. Ternyata tidak sia-sia selama sebulan ini ia bersabar menghadapi semua ledekan Duta, kini keadaan mulai berbalik.

Seperti yang ia duga, kalimat ejekan itu dengan cepat menyebar layaknya virus. Kini semua orang mengenal Duta sebagai Duta tahi lalat. Bahkan orang-orang yang tadinya tidak memperhatikan tahi lalat Duta, kini mereka sadar betapa banyaknya tahi lalat di wajah anak laki-laki itu.

Sejak saat itu Duta selalu menatap Putri dengan tatapan penuh permusuhan.

"Emang enak diledekin," bisik Putri di telinga Duta.

"Tonggos, paruh burung."

"Duta tahi lalat," balas Putri dengan ekspresi menyebalkan seperti yang biasa Duta tunjukkan padanya setiap pagi. "Nye... Nye... Nye... Nye...!" Ternyata Putri belajar dengan cepat meniru ledekan Duta.

Duta mengepalkan tinjunya. "Untung lo cewek, kalo cowok udah gue pukul mulut lancip lo itu."

"Pukul aja sini, emang gue takut?" tantang Putri dengan belagu, pasalnya ia tahu Duta tidak akan pernah berani memukulnya terlebih di tempat umum.

"Argh!" Duta berteriak kencang lalu memilih pergi dengan kesal.

"Awas! Jangan deket-deket Duta tai lalat, dia lagi sensitif!" teriak Putri memperingatkan teman-temannya yang ada di sana. Dan benar saja, sambil berjalan Duta dengan sengaja menyenggol badan temannya.

 

 

 

 

 

 

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya Musuh Jatuh Cinta 3-4
0
0
Akhirnya Alena Putri Larasati pindah ke Jakarta meninggalkan Duta tahi lalat. Tentu saja gadis itu sangat senang, lantaran tidak lagi mendengar hinaan cowok nyebelin itu lagi. Tiga tahun kemudian, kini ia sudah kelas satu SMA, hidup gadis itu juga berubah. Sekarang dia menjadi gadis cantik dan banyak disukai kakak kelas. Tapi apakah hidup Alena Putri Larasati akan selalu tenang?Cus langsung baca aja.
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan