
Di malam yang merangkul senja, di antara bayang-bayang kenangan yang menghiasi langit, Bantala merenungi kehilangan yang begitu mendalam. Setiap hembusan angin membawa kilasan masa lalu yang dipenuhi tawa, cerita, dan persahabatan yang tak terlupakan. Lana, sahabat sejati yang kini pergi, meninggalkan Bantala dalam kehampaan yang tak terbendung. Meski malam telah tiba, namun kesedihan dan rindu terhadap sosok yang pergi terus mengusik relung hati, merajut benang-benang kenangan yang kini tersimpan...
Malam Merangkul Senja
Bantala merogoh saku jaketnya, mengambil sebatang rokok, dan menyalakannya dengan korek api. Ia mengisap dalam-dalam, lalu menghela napas panjang, membiarkan asapnya membumbung perlahan ke udara. Ia membuka handphone, mengecek tanggal, 30 mei, dan sebuah notifikasi berdering. "Berita Kematian Alvansyah Maulana." Air matanya tak terbendung. Ia berteriak kencang, mengambil helmnya, dan menaiki motor Fiz-R-nya menuju rumah Lana. Sesampainya di sana, ia memeluk tubuh Lana yang sudah terbujur kaku di atas kasur. Arwah Lana memeluk Bantala dari belakang.
"Lo kenapa, Na? Lo bilang lo mau kuliah bareng gua! Anjing lo, Lana! Kenapa lo bohong sama gua?" Bantala sedikit berteriak. Ibu tiri Lana yang menangis, mengelus kepala Bantala, "Tala, sudah nak, tante tahu kamu sedih, kamu harus ikhlas, Tala" ucap ibu tiri Lana.
"Lo tau apa sih tentang dia? Air mata lo itu palsu, bangsat! Gua tau semua yang lo lakuin ke Lana! Gua tau keburukan lo, ya bangsat!" ucap Bantala geram.
Ayah kandung Lana menampar Bantala dengan keras, "Beraninya kamu begitu kepada istri saya!" ucap ayah kandung Lana.
Bantala berlari keluar, mengusap air matanya, mengambil rokok dan menyalakannya. Ia berjalan menuju sungai di belakang rumah Lana. Ia menangis sekencang-kencangnya di sana. "Na, lo tega ya sama gua? Tega banget ninggalin gua? Gua harus dengerin cerita siapa lagi, Na? Siapa yang harus gua kangenin? Siapa yang bakal ngejek gua kalo gua ditolak cewek? Terus, lo gak jadi kuliah, Na? Gua kesepian lagi, Na."
Dalam tangisannya, Bantala teringat masa-masa SMP bersama Lana. Mereka sering bolos sekolah bersama, mencari petualangan kecil di luar pagar sekolah. Hari itu, mereka memanjat tembok belakang dan kabur ke warung mie ayam favorit mereka. Bantala masih bisa merasakan tawa Lana saat mereka menghindari tatapan curiga dari pemilik warung.
Kenangan lain melintas ketika mereka duduk berdua di kantin sekolah, berbagi sepotong kue bolu yang sering dijual oleh ibu kantin. Lana selalu bisa membuat hal sederhana menjadi istimewa dengan candaannya yang lucu. Bantala ingat betul senyum lebar Lana saat dia berhasil menang dalam permainan adu panco dengan anak-anak lain di kantin. "Gua gak pernah kalah, Tal! Lu juga jangan nyerah!"
Mereka juga sering menghabiskan waktu di rumah Bantala, main game hingga larut malam. Lana adalah satu-satunya orang yang bisa mengalahkan Bantala dalam game balap favorit mereka. "Gila, Na, lo emang jago banget! Gua gak ngerti gimana lo bisa cepet banget," kata Bantala dengan kekalahan yang diterima dengan lapang dada, sementara Lana tertawa puas.
Bantala teringat semua itu dan merasa kesepian. "Na, semua kenangan ini harus gua simpan sendiri sekarang. Gua gak sanggup, Na. Lo tau gak, setiap hari gua berharap bisa balik lagi ke masa-masa itu, masa di mana kita bisa ketawa bareng tanpa beban."
Sambil terus menangis, Bantala bertekad untuk mengenang Lana dengan semua hal baik yang pernah mereka lakukan bersama. Meski berat, ia tahu bahwa Lana ingin ia tetap kuat dan menjalani hidup dengan penuh semangat, seperti yang selalu mereka impikan bersama.
2 jam telah berlalu, Bantala masih merasa sesak, ingin rasanya ia kembali ke masa masa dimana Mereka berdua tertawa bersama tanpa memikirkan apa yang akan terjadi didepan sana.
sebuah lagu yang dibawakan JKT48 mengalun dari speaker tetangga Lana,
"Andai ku bisa sekarang juga
Aku berlari tuk memelukmu
Di dekapanmu ingin curahkan tangisanku ini
Karna di hari ini yang kau putuskan akan pergi, ku ada disini
Jika ku bisa kan ku sampaikan keluh kesah di depanmu
Langkah pertama ku berjalan, aku merasa takut
Sempat kukira kau kan menahan kepergianku
Namun ku tak apa, sahabat"
Setelah lagu itu selesai, Bantala Beranjak dari tangisnya dan menghela napas panjang, ia kembali kedalam rumah Lana, Ayah lana memeluk Bantala, "Maafkan om ya Tal, Om tidak bermaksud buat sakitin kamu, tapi om sakit hati kalau ada yang membentak istri om." Ucap ayah Lana.
"Gapapa om, Tala juga minta maaf udah bentak istri om." ujar Bantala.
"Iya Tala, Gapapa nak, ayo masuk, sudah mau dishalatkan."
"Baik, om."
Setelah Selesai Mensalatkan, Bantala mengantar jasad Lana ke pemakaman, saat jasad Lana akan dikubur, Bantala teringat bercandaan Lana dulu.
"Kalo ntar gua mati duluan, lo jangan pake baju bagus bagus ya Tal, Bawa gua sampai bawah." ujar Lana
"Yaelahh.. emangnya elu duluan yang mati? siapa tau gua duluan HAHAHAHAH" jawab Bantala dengan nada bercanda.
"Gua serius! Adzanin gua juga ya, HAHAHAHA". Jawab Lana dengan nada bercanda pula.
Bantala melipat celananya selutut, menggotong badan Lana yang sudah mengenakan kain kafan, lalu Bantala masuk kedalam lubang yang kurang lebih dalamnya 2 setengah meter itu. Setelah meletakkan badan Lana di dalam liang lahat, Bantala meminta izin untuk mengadzani Lana kepada ayah Lana,
"Om, Tala mau adzanin Lana, boleh ya om?" Pinta Bantala.
"Iya Tal, kamu aja yang adzanin Lana, makasih ya Tal."
"Iya om." Bantala memanggil adzan yang sangat merdu untuk Lana, mengantarnya ke peristirahatan terakhirnya.
Dalam hati, Bantala berbicara "Na, makasih ya buat selama ini, Lo udah mau jadi temen gua."
Acara pemakaman Almarhum Lana telah usai, semua orang pergi meninggalkan rumah terakhir Lana, hanya ada Bantala yang tersisa. Ia mengusap batu nisan Almarhum Lana, dan membacakan surat Yasin, saat dipertengahan surat yang dibacanya, pikirannya mengulang lagi rekaman masa lalu milik Mereka.
"Woi Tala! Rokok gua mana kocak?."
"Hah? Rokok lu?"
"Iya rokok gua!"
"Bukannya rokok lu udah abis dari tadi ya goblok?." Jawab Bantala.
"Lah emang iya?."
"Iya kocak, aneh banget sih Lo, nih rokok gua ambil aja." Lana mengambil sebatang rokok dari bungkus rokok milik Bantala.
"Tal, emangnya Lo gamau apa? Kerja di tempat si tukang bakso ujung jalan itu."
"Ogah gua sama dia, kaya orang gay gitu gelagatnya anjir, emang Lo mau ntar di pegang pegang gitu, F*CK gua sih jijik ya."
"WAHAHAHAH, iya banget anjir letoy letoy gitu posturnya" Lana tertawa terbahak bahak, Bantala menahan tawa lalu berkata.
"Lo ga boleh gitu na, semua orang tuh di cipta in dengan baik sama tuhan, tapi gua gatau ya kalo dia"
"Anjir sama aja, malah lebih parah an Lo!"
Bantala terisak, masih tak terima, masih sakit hati, dia kehilangan sahabatnya satu satunya, yang selalu bersedia bercerita semua kepada Bantala, dan begitu pula dengan Lana, yang selalu menanyakan kabar Bantala saat sedang diluar kota, meminta Bantala untuk menceritakan hari harinya, bahkan memberi sedikit saran.
Bantala melanjutkan membaca surat Yasin sampai akhir dengan sedikit isak tangis,
Lalu bantala pergi meninggalkan Lana sendirian di sana.
Sesampainya dirumah, Bantala tidur untuk menenangkan diri, dalam keheningan, bantala terbangun di padang rumput yang luas, tak ada awan, hanya ada langit yang membentang, Bantala mendengar suara tertawa milik Lana dari jauh, lalu memanggilnya. "Na?! Lana!". Bantala kebingungan, dan bantala teringat akan keinginan Lana saat mereka berbicara di depan rumah Bantala.
"Gua mau, nanti kalo gua udah pergi, Lo harus cari pengganti gua, mau itu sabat baru, temen, atau pacar yang bisa sampe nikah? HAHAHAHA". Suara tertawa itu yang membuat Bantala teringat akan keinginan Lana.
Kabut hitam memenuhi langit, Bantala pun terbangun, Ia tidak lagi menangis, namun berbicara dengan dirinya sendiri.
“Iya na, gua bakal penuhin keinginan Lo, doain gua ya na."
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰