
OM-OM PENGGODA IMAN
BAB 2
Tak ingin kehilangan moment, setelah acara makan malam bersama, kami duduk santai di taman belakang sembari bercengkrama. Tentu saja kak Mainaka sibuk bercerita dengan pacarnya. Yah, boleh di katakan pacar kak Mainaka juga cakep dan berkelas. Tapi, ya gak semua cowok cakep buat jantungku berdebar kencang. Seperti yang aku rasakan kali ini setiap kali melihat om Dimas. Dan sialnya aku juga menyadari jika om Dimas sesekali melirikku. Seketika jiwa besar kepala dan kepedeanku tumbuh. Aku merasa ge-er dan mengira om Dimas yang melirikku karena juga menyukaiku. Sial! Kalau lagi jatuh cinta gini kenapa suka berlebihan narsisnya.
"Om, kantor om di daerah mana?" Tanyaku sembari memberikan air minum pada om Dimas yang duduk sendiri bermain ponsel karena papa sedang menerima telpon sedangkan ibuku sedang sibuk dengan per-menuan. Biasalah, emak-emak...
"Daerah Jaksel. Kenapa?" Tanyanya membuatku tersenyum lebar.
"Ohh..." aku bingung mau jawab apa. Lalu mataku menatap ke arah sepatu om Dimas yang kinclong banget. "Sepatu Om nomer berapa, Om?" Tanyaku asal.
Om Dimas menoleh ke arahku dan menautkan dahi, seketika aku melonjak girang dalam hati. "Yess! Dia terpancing"
"42, Kenapa?" Tanyanya dengan sorot mata bingung. Lucu banget sumpah....
"Ehmm...kalau nomer hape, Om?" Imbuhku membuat om Dimas bersemu merah.
"Kamu mau nelpon, Om?" Tanyanya, dan gak mungkin aku langsung mengangguk setuju mengaminkan apa yang dia katakan. Tentu saja aku basa-basi dan sok jaim. Biarpun dalam hati aku pengen menyerahkan seluruh tubuhku buat di nikmati pria mateng ini, bukan berarti aku mau terlihat murahan dong.
"Ehhm...gak juga sih. Siapa tahu aku butuh bantuan, Om. Kebetulan sekolahku kan di Jaksel. Bolehkan, kalau Jenna simpen nomer hape om Dimas?" Tanyaku dengan gaya sok elegan, cuihh! Padahal murahan banget aslinya pengen aku perlihatin. Cuma untungnya, tingkat kewarasanku masih bisa menahan semua gejala kegilaan pada om-om.
"Ohh, gitu. Boleh, dong..." om Dimas memberikan selembar kertas dari dalam dompetnya. Dan itu adalah kartu nama sekaligus alamat kantornya. Dalam hati aku pengen melompat dan berteriak kenceng.
"Yess!! Sekali tepuk dua tiga pulau terlampaui. Minta nomer hape malah dapet juga alamat kantor? Apa harus aku pakai gaya tersesat di kantornya? Astagaaaa...sadar Jenna. Jangan terlalu murahan, tar om Dimas malah kabur.
Aku menarik nafasku perlahan, jangan sampai om Dimas memperhatikan aku, jika aku sedang menangkan diriku. Aku pura-pura membaca kartu nama di tanganku. "Ohh, Danzz Tower ini mah gak jauh dari seklah aku, Om." Jawabku singkat dan sok cool. Sumpah jijik banget aku benernya ama ekspresiku sendiri. Munafik banget. Tapi, yaahhh...terkadang memang kita perlu bersikap seperti ini pada orang baru, agar dia tidak salah paham.
"Ohh!" Om Dimas hanya menjawab itu, astaga...ingin rasanya aku paksa bibirnya untuk bertanya padaku. Tapi, sepertinya aku belum semenarik itu di depan matanya. Bisa jadi, karena dia jaga image di depan orang tuaku. Astagaaa...aku GE-ER lagi.
"Om, dulu kuliah dimana?" Tanyaku lagi dengan antusias, seolah aku adalah kutu buku dan rajin belajar, sehingga antusias terhadap pendidikan.
"Milan..." jawabnya mengambang. Dan lagi-lagi aku pengen paksa bibirnya yang merah menggoda itu untuk bicara padaku.
"Jurusan apa, Om?"
"Management Bisnis..." jawabannya lagi-lagi singkat padat dan bener-bener gak ngasih kesempatan lawan buat ngobrol panjang lebar. Om Dimas bener-bener sangat berhati-hati dengan orang baru. Sepertinya dia sangat menjaga imagenya. Dan tentu saja hal ini semakin membuatku penasaran tentang om Dimas.
"Berarti om tamat kuliah langsung ke Indo buat bisnis gitu?" Tanyaku sembarangan, bagiku yang terpenting bisa ngobrol dengan om Dimas. Suaranya yang benar-benar seksi menggunggah naluri wanitaku untuk bisa menariknya ke atas ranjang. Ahh! Sialan otak mesumku.
"Gak, dong. Kerja dulu di sana sambil ambil magister..." jawabnya sedikit panjang dan semakin membuat aku merasa menang. Dalam hati aku bersorak. "Yess! Akhirnya ada tambahan kalimat obrolan. Yok, bisa yok nambah lagi kosa katanya..." dalam hati aku menyemangati diriku sendiri.
"Ohh, gitu. Kerja berapa lama, di Milan, Om?"
"Total setelah sarjana empat tahun kerja sambil ambil magister..." aku mengangguk-anggukkan kepalaku seolah paham. Padahal aku hanya memperhatikan wajahnya dan menikmati suara seksinya.
"Lagi ngobrolin apa, pak Dimas? Serius sekali sepertinya?" Tanya papa tiba-tiba sudah duduk di sampingku dan membuatku mendengkus kesal.
"Papa! Apa-apaan sih? Mesti banget gangguin orang lagi mau manja-manjaan sama om Dimas." Gerutuku dalam hati dan memasang wajah manyun. Sementara om Dimas terlihat justru tersenyum melihatku manyun. Astagaa..senyum itu semakin membuatku belingsatan.
"Ini, Pak. Jenna sedang bertanya tentang perkuliahan di Milan. Mungkin dia tertarik untuk kuliah di luar negeri..." jawab om Dimas dan seketika kedua bola mataku membesar sempurna.
"Anjir! Sejak kapan aku pengen kuliah jauh-jauh. Dih! Niat kuliahh aja kaga! Udha males banget belajar. Lagian aku cewek, aku gak mau kuliah-kuliah segala. Aku pengen nikah trus ngurus suami. Itu impianku...menunggu suami pulang kerja dan manja-manjaan di kamar berdua. Ahhh..." aku menelan ludah ketika membayangkan betapa indahnya masa-masa itu, terlebih jika suami itu adalah om Dimas.
"Jenna ini emang dari kecil menonjol banget nilai akademiknya, Pak Dimas. SD-SMP selalu nilai terbaik. SMA ini sepertinya dia karena perubahan ke masa puber di tambah pengaruh teman-temannya. Dia jadi sedikit menurun nilainya. Tapi, basically dia emang anaknya cerdas. IQ nya tinggii..." puji papa membuatku memerah karena malu. Apakah begini setiap orang tua, kalau ke orang lain selalu memuji anaknya setinggi langit? Hmm...entahlah.
BERSAMBUNG...
Yuk Ramein vote dan komen beb
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
