NASI KANGKANG (Bab 1&2)

2
0
Deskripsi

 

Diriku terkapar menahan nyeri. Tubuhku lemas, bagian bawah perutku serasa diremas-remas. Sakit yang tak terkira membuatku serasa ingin mati saja.

Kini yang ada hanya sesal yang menggumpal, meratapi semua peristiwa yang telah terjadi, namun tak ada jalan untuk kembali.

Entah sampai kapan semua ini akan berakhir. Aku cuma bisa pasrah saat mahluk itu kembali datang dan mulai menjilati darah haid yang meleleh keluar dari lubang kemaluanku..

 

 

                 NASI KANGKANG

 

Bab 1. Selingkuh

Klek..

Tanganku cepat membuka pintu, terlihat Baskoro yang tengah berdiri sambil bertolak pinggang dengan wajah yang kesal.

"Lama banget sih buka pintunya? Ngapain aja kamu?" Hardik lelaki itu sembari masuk ke dalam rumah.

Mulutku ingin sekali menjawab, namun kalimatku urung terucap begitu hidungku mencium semerbak parfum yang tidak kukenali.

"Kamu darimana mas? Tengah malam begini baru pulang?" Tanyaku penuh selidik sambil berjalan mengekor di belakang suamiku.

Baskoro seketika menoleh dengan mata mendelik marah. "Heh! Suami baru pulang bukannya diambilkan air minum malah diintrogasi! Keterlaluan kamu!"

Aku meradang lalu membalas tak kalah lantang. "Kamu yang keterlaluan! Aku kan cuma tanya kamu darimana? Bukannya dijawab, malah ngomel-ngomel!"

"Lho? Tadi siang kan sudah aku kabari? Aku rapat dengan direksi! Aku ini kerja! Bukan main-main!"

"Jangan bohong mas! Masa iya rapat direksi sampai tengah malam begini? Kamu pikir aku bodoh?"

"Kalau nggak percaya, kamu bisa tanya sama Jenny! Biar dia yang jelaskan padamu! Sudah! Aku capek!"

Usai membentak, Baskoro berbalik badan lalu masuk ke dalam kamar sambil membanting pintu.

BRAK!

Aku duduk lalu menangis. Usia pernikahanku belum genap tiga tahun, tapi mahligai rumah tanggaku sudah terancam keutuhannya. Padahal kini aku tengah hamil muda setelah dua kali keguguran.

Beberapa waktu yang lalu, seorang teman mengabarkan kalau melihat Baskoro tengah asyik bermesraan dengan seorang wanita di sebuah cafe.

Awalnya aku tak percaya, Baskoro suami yang sempurna. Dia terlalu baik untuk berbuat serong. Namun sejak saat itu, Baskoro lambat laun mulai berubah.

Sikapnya jadi kasar. Tutur katanya tak enak didengar. Diriku tak ubahnya seorang musuh. Bahkan dia kerap marah-marah hanya karena hal sepele. Membuat rumah tangga kami kini seolah ada dalam bara.

Akibat semua itu, hubungan kami jadi renggang, imbasnya pun sampai ke atas ranjang. Sudah lama Baskoro tak pernah meminta. Aku pun tak mau mendahului. Siapa juga yang mau bercinta dengan lelaki kasar macam begitu?

Lagi pula bagaimana mau bercinta? Baskoro selalu pulang malam bahkan sampai pagi dengan alasan pekerjaan. Awalnya aku percaya dengan semua bualannya, tapi sekali dikasih hati, Baskoro makin menjadi-jadi.

Berkali-kali pula Baskoro menyebut-nyebut nama Jenny, wanita muda yang jadi asistennya di tempat kerja. "Tanya saja sama Jenny!" Begitu ucapnya sebagai pembelaan saat dirinya mulai terpojok.

Tapi aku tau kalau bertanya pada Jenny hanyalah sia-sia. Untuk apa? Justru perempuan sialan itu yang kucurigai jadi biang keladinya.

Kecurigaanku bukan tanpa alasan. Beberapa waktu yang lalu, diriku sempat mendengar percakapan ponsel antara Baskoro dan Jenny. Nada bicaranya sungguh lembut dan mesra, bahkan disertai bumbu panggilan sayang.

Tentu saja telingaku panas mendengarnya, aku langsung naik pitam, tapi dengan entengnya Baskoro bilang kalau itu hanyalah kelakar saja, sekedar ungkapan keakraban antara sesama teman kerja.

Aku ingin sekali percaya, tapi kenyataan justru berbicara lain. Aku yakin kalau Baskoro dan Jenny diam-diam sedang bermain api di belakangku.

***

Hingga hari itu, Baskoro tengah bersiap-siap untuk pergi ke luar rumah, padahal hari itu adalah hari libur. Tapi lagi-lagi alasan pekerjaan yang jadi senjata andalannya.

Aku muak mendengarnya, tapi aku sengaja bungkam, karena diriku sudah punya satu rencana. Diam-diam di luar sana, orang suruhanku telah siap untuk mengawasi setiap gerak-gerik Baskoro sepanjang hari ini.

Baskoro pun pergi tanpa ucapkan pamit, meninggalkan diriku yang kini hanya bisa menunggu harap-harap cemas. Apakah orang suruhanku akan berhasil mendapatkan bukti? Kita lihat saja nanti.

Tak lama kemudian, jantungku berdebar-debar saat orang itu mengirimkan foto Baskoro yang tengah duduk dengan seorang wanita di sebuah restoran cepat saji. Siapa lagi kalau bukan Jenny?

"Awasi terus mereka. Kalau bisa, rekam semuanya. Nanti uangnya saya tambah." Pintaku dengan suara bergetar menahan amarah.

Selang beberapa jam kemudian, orang suruhanku kembali mengirimkan sesuatu yang mencengangkan pada ponselku.

Sebuah rekaman video menampilkan adegan Baskoro dan Jenny yang masuk ke dalam sebuah hotel melati sambil berangkulan mesra layaknya dua sejoli.

Aku segera matikan ponsel. Diriku tak sanggup lagi melihat. Hatiku remuk. Dunia seakan ambruk. Ingin sekali kumenangis dan berteriak sekerasnya, tapi coba aku tahan.

Aku tak mau meratap. Air mataku terlalu mahal untuk menangisi lelaki brengsek dan perempuan busuk yang telah merusak kebahagiaanku.

Aku coba teguhkan hati. Aku harus kuat menerima cobaan ini. Bukan untuk diriku, tapi untuk bayi yang ada dalam kandunganku.

***

Nyaris tengah malam, Baskoro baru pulang. Aku menyambutnya dengan wajah yang dingin tanpa ekspresi.

"Kamu itu ya, suami baru pulang bukannya disambut senyuman malah cemberut begitu. Istri macam apa kamu?" Sindir Baskoro.

Aku enggan menjawabnya. Aku sudah mati rasa. Segala ucapan Baskoro selanjutnya hanya kuanggap angin lalu.

Ingin sekali kutunjukkan foto dan rekaman video itu. Tapi untuk apa? Tak ada gunanya. Toh bagiku semua telah berakhir. Jika saja diriku tidak sedang mengandung, ingin rasanya aku minta cerai saat ini juga.

Tapi diamku justru membuat Baskoro naik pitam. Dia merasa telah diacuhkan. Dia pun kembali pertontonkan sikap kasarnya dengan berteriak persis di depan wajahku.

"Kenapa diam saja? Cepat ambilkan aku minum!"

Aku pun tersenyum mengejek. "Ambil saja sendiri. Atau kalau perlu, suruh Jenny datang kemari untuk ladeni kamu." Sahutku ketus.

Baskoro berang. Matanya melotot dengan wajah merah padam. "Apa kamu bilang? Berani-beraninya kamu bicara seperti itu!" Balas Baskoro sambil mendorong tubuhku hingga jatuh tertelungkup dengan perut membentur lantai.

"AAAH!"

Mulutku berteriak keras. Baskoro kaget, dia tak menyangka kalau ulahnya berakibat fatal. Lelaki itu jadi panik melihatku mengerang kesakitan dengan darah yang mengalir dari sela pangkal pahaku.

 

***


 Bab 2. Rahasia bude Tini

 

"Mau kemana kamu? Rumah berantakan begini mau kamu tinggal pergi?" Tanya Baskoro pagi itu saat melihatku yang tengah bersiap di depan cermin.

Aku hanya diam. kupandangi wajah Baskoro dengan penuh kebencian. Sebulan telah berlalu, namun masih terbayang jelas kejadian yang membuatku jadi keguguran.

Meski Baskoro bilang kalau dia tak sengaja, tapi tetap saja peristiwa itu telah menggoreskan luka dalam hatiku. Bagaimana tidak? Lagi-lagi aku kehilangan bayi yang selama ini amat kudambakan.

"Aku mau ke rumah bude Tini. Kamu urus saja dirimu sendiri." Jawabku coba terlihat tenang. Aku ingin menghadapi semuanya dengan elegan.

"Oh? Mau minggat? Ya sudah sana! Jangan pulang sekalian!" Baskoro memaki lantang sembari menunjuk tegas keluar.

Sakit rasanya mendengar perkataan itu. Tapi kucoba mengabaikannya. Perang mulut hanya akan buang-buang waktu. Aku ingin segera pergi menemui bude Tini untuk menyampaikan niatku bercerai dengan Baskoro.

Bude Tini adalah saudara satu-satunya dari mendiang ibuku. Wanita itu menjadi tempatku berkeluh kesah menggantikan sosok kedua orang tuaku yang telah tiada.

Sesampainya di rumah bude Tini, suasana nampak sepi. Tapi aku maklum, bude Tini hanya tinggal berdua dengan suaminya. Sedangkan mas Putra, anak mereka satu-satunya, telah menikah dan kini bekerja di Kalimantan.

Tanganku mengetuk pintu sambil mengucap salam. Lalu terdengar jawaban bude Tini dari dalam sana. "Masuk saja, pintunya nggak dikunci."

Kubuka pintu, nampak bude Tini yang tengah duduk di sofa sembari dipijiti kakinya oleh pakde Rahmat sang suami. Sebuah pemandangan yang lazim kulihat sejak dulu.

"Sini duduk. Kamu sama siapa?" Tanya bude Tini.

"Sendiri." Jawabku lalu duduk di samping bude Tini, sementara pakde Rahmat masih saja memijiti kaki bude Tini seolah tak menghiraukan kehadiranku.

"Sudah, cukup. Sekarang kamu ke belakang sana." Perintah bude Tini pada pakde Rahmat. Lelaki itu pun mengangguk patuh lalu bergegas pergi.

Aku jadi tak tega. Setelah sekian lama, situasinya tak kunjung berubah. Bude Tini masih saja memperlakukan pakde Rahmat seenaknya.

Tapi anehnya, lelaki itu tak pernah sekalipun membantah apalagi mengeluh. Dia dengan patuhnya akan menuruti semua perintah bude Tini bagai kerbau dicocok hidungnya.

"Bude, kenapa sih sejak dulu bude memperlakukan pakde Rahmat seperti itu? Kasihan bude."

Bude Tini hanya tersenyum sinis. Dia sama sekali tak mau menjawab seperti yang sudah-sudah. Dia malah balik bertanya coba alihkan topik pembicaraan.

"Katanya ada yang mau kamu bicarakan? Ada apa?"

Aku menghela napas coba kumpulkan keyakinan. "Aku mau cerai bude." Jawabku kemudian. Aku yakin bude Tini akan mendukung keputusanku. Dia tau apa yang selama ini terjadi.

Tapi bude Tini malah terlihat kaget. Sepertinya dia tak suka dengan niatku itu. "Cerai? Kamu nyerah? Setelah apa yang kamu alami, kamu mau suamimu dan seluruh hartanya jatuh ke tangan wanita lain? Jangan bodoh kamu!'

Aku tercengang mendengar ucapannya, sama sekali tak menyangka kalau bude Tini punya pikiran seperti itu. Tapi benakku mengakui kalau ucapan bude Tini ada benarnya.

Selama ini diriku telah bersusah payah mendampingi Baskoro mulai dari nol hingga sukses meniti puncak karir. Rasanya tak adil kalau aku harus menyingkir dan merelakan jerih payahku dinikmati oleh wanita lain.

"Lalu apa yang harus aku lakukan bude?" Tanyaku meminta petunjuk.

Bude Tini mendekatkan wajahnya lalu berbisik. "Ikuti jejak bude. Buat suamimu bertekuk lutut. Sama seperti yang bude lakukan terhadap pakdemu."

Dahiku seketika berkerut mendengar ucapan itu. "Maksud bude apa?" Tanyaku minta penjelasan lebih.

Sebentar bude Tini celingak-celinguk lalu kembali berbisik lirih persis dekat telingaku.

"Pakai jampi-jampi, ilmu pelet."

Aku seketika terhenyak. "Pelet? Bude serius? Jangan main-main ah!"

Bude Tini cepat menaruh telunjuk di depan mulut sembari mengangguk mengiyakan pertanyaanku tadi.

"Memangnya kamu pikir bagaimana caranya bude bisa merebut pakdemu dari istrinya dulu? Sedangkan waktu itu bude cuma janda miskin beranak satu." Jelas bude Tini.

Aku kembali kaget, sama sekali tak menyangka kalau ceritanya seperti itu. Bude Tini dan mas Putra dulu memang hidup serba kekurangan sejak ditinggal mati pakde Dirman. Hingga akhirnya kehidupan mereka berubah sejak bude Tini menikah lagi dengan pakde Rahmat.

"Caranya cukup mudah, tapi hasilnya luar biasa. Kalau bude bisa, kenapa kamu enggak?" Ucap bude Tini berusaha meyakinkanku.

Aku hanya terdiam tak tau mesti berkata apa. Terus terang saja, aku sama sekali tak percaya dengan ucapan bude Tini. Pakai jampi-jampi? Ilmu pelet? Omong kosong macam apa itu?

"Ayo ikut, bude mau tunjukkan sesuatu. Kamu datang di saat yang tepat." Ajak bude Tini.

Aku pun menurut meski tak tau apa yang ingin dia tunjukkan. Diriku hanya bisa mengekor di belakangnya yang pergi ke dapur lalu mengambil sepiring nasi. Dari situ terlihat pakde Rahmat tengah sibuk mencuci di kamar mandi.

"Cuci yang bersih ya, aku mau siapkan makan siang untuk kamu." Ujar bude Tini yang hanya dibalas anggukan patuh suaminya bagai orang idiot.

Aku terus mengikuti bude Tini yang membawa sepiring nasi itu masuk ke dalam kamar lalu memintaku untuk menutup pintunya rapat-rapat.

"Diam dan perhatikan." Pinta bude Tini sambil meletakkan sepiring nasi itu di lantai.

Tanpa diduga, wanita itu menanggalkan celana dalamnya. Ini bude mau apa sih? Tapi itu belum seberapa. Dia lalu menyingkap roknya, kemudian berdiri setengah berjongkok mengangkangi piring nasi itu!

Mataku membulat terbelalak. Apa-apaan ini? Aku pun makin heran melihat bude Tini komat-kamit merapalkan sesuatu, sementara uap nasi panas mengepul mengasapi kemaluannya hingga berkeringat lalu menetes jatuh membasahi nasi dalam piring!

Ya Tuhan!

Setelah beberapa saat, bude Tini berhenti komat-kamit menandakan apa yang dilakukannya telah selesai. Lalu diambilnya piring nasi itu kemudian meludahinya tiga kali.

Phuih! Phuih! Phuih!

Diriku tak sanggup lagi menahan diri untuk tetap diam. Apa yang bude Tini pertontonkan terlalu aneh dan menjijikkan!

"Bude? Apa yang bude lakukan?!" Tanyaku sembari meringis sampai dahi berkerut.

Tapi bude Tini hanya tersenyum. Matanya memicing membuat wajahnya terlihat licik. "Menjijikkan? Mungkin saja begitu, tapi tidak bagi pakdemu. Lihat saja nanti." Ucapnya penuh keyakinan lalu merapikan pakaiannya kembali.

Kemudian bude Tini membawa sepiring nasi itu keluar kamar lalu meletakkannya di meja makan bersanding dengan ikan asin, sayur asem dan sedikit sambal. Sementara diriku yang masih syok hanya bisa diam sambil terus memperhatikan.

"Maaat! Rahmaaat! Sini makan dulu!" Teriak bude Tini lantang memanggil. Lalu datanglah pakde Rahmat dengan langkah tergesa-gesa.

"Ada apa?" Tanya lelaki itu. Matanya jadi berbinar begitu melihat makanan di atas meja. Lagaknya sudah seperti bocah kecil yang kegirangan melihat gula-gula.

"Kamu makan dulu. Tapi setelah itu kamu lanjut mencuci lagi." Sahut bude Tini dengan wajah sedikit angkuh.

Pakde Rahmat mengangguk lalu segera makan dengan lahapnya. Wajahnya nampak sumringah seolah tengah menikmati makanan terlezat di dunia.

Aku hanya diam sembari menahan diri agar tak muntah. Tapi sepertinya hal itu tak berlaku bagi pakde Rahmat. Dia terus saja makan bagai orang kelaparan.

Sebentar saja, lelaki itu telah menuntaskan makan siangnya. Wajahnya terlihat puas. Lalu dia berkata sembari mengusap-usap perutnya yang kekenyangan. "Ah, enak betul! Masakan kamu memang tiada duanya!" Puji pakde Rahmat pada bude Tini.

Aku benar-benar tak mengerti. Andai saja aku tak menyaksikannya sendiri, mungkin aku takkan percaya dengan semua kegilaan ini.

Benar kata bude Tini, nasi itu memang menjijikkan, tapi bagi pakde Rahmat justru amat memuaskan. Sinting!

Selesai makan, pakde Rahmat kembali ke belakang untuk menuntaskan pekerjaannya,  Sementara bude Tini tersenyum senang melihat suaminya begitu patuh.

Situasi yang sungguh bertolak belakang. Di luar sana, pakde Rahmat dikenal sebagai juragan kontrakan yang dihormati. Tapi di hadapan istrinya, dia tak ubahnya lelaki bodoh yang tak punya wibawa. Sungguh miris.

"Bagaimana? Kamu lihat sendiri kan?" Ucap bude Tini menyombongkan diri. Sementara diriku hanya bungkam tanpa reaksi.

"Kalau kamu mau, kamu bisa membuat suamimu seperti itu. Bude tau kamu sekarang membenci dia, tapi kamu mesti ingat, kamu masih butuh untuk dinafkahi. Jadi daripada bercerai, lebih baik kamu jadikan dia sebagai budakmu." Ujar bude Tini lagi coba membujuk.

Sejenak diriku diam berpikir. Apa yang kusaksikan tadi benar-benar membolak-balik akal sehatku. Bukan apa-apa, segala hal berbau mistis selama ini kuanggap omong kosong belaka.

Tapi apa yang dipertontonkan bude Tini jelas-jelas sebuah kenyataan. Semua itu membuatku jadi berpikir ulang. Jadi ilmu pelet itu benar-benar ada?

Melihatku diam, bude Tini seolah mampu membaca pikiranku. Dia pun kembali meracuni pikiranku dengan kata-katanya.

"Bude maklum kalau kamu belum percaya. Tapi ketahuilah, masih banyak hal di dunia ini yang belum kamu pahami. Jadi saran bude, tak ada salahnya kamu mencoba. Kalau gagal ya sudah. Tapi coba bayangkan kalau ternyata kamu berhasil."

Perkataan bude Tini membuat setan dalam hatiku mulai kuasai pikiran. Muncul ingatan akan sosok Baskoro dan Jenny yang memuakkan. Muncul pula ingatan akan perbuatan Baskoro yang menyakitiku hingga harus kehilangan bayi.

Semua itu akhirnya berujung pada satu keputusan gila. Aku berniat untuk melakukannya. Toh tak ada ruginya? Lagipula bukankah aku memang ingin balas dendam? Dan bude Tini telah memberiku jalan untuk mewujudkannya.

"Baiklah bude. Ajari aku cara melakukannya."

Bude Tini tersenyum, bujukannya berhasil. Dia memang satu-satunya orang selain ibu yang paling tau cara mengambil hatiku.

 

bersambung bab berikutnya..
 

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Kategori
Horor
Selanjutnya NASI KANGKANG (Bab 3&4)
1
2
 Lelaki tua itu mengambil tiga helai daun sirih lalu memberikannya padaku, dan memintaku untuk mengusap-usapkannya pada kemaluanku!Ya ampun! Ini nggak salah? Untuk sesaat aku terpaku. Permintaannya terlalu vulgar dan tak pantas. Tapi apa yang kuharapkan? ini ilmu hitam. 
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan