
Yudha berusaha mencegah bangkitnya kekuatan iblis kuno, tapi siapa sangka, kalau dia harus menebusnya dengan harga yang teramat mahal..
Kehilangan Mayang Kemuning…
Horor series - Titisan Siluman ular
(Part 19)
LEGENDA SANG PENJAGA
***
Bab 1
Mataku terpejam, merasakan semilir angin laut mengantarkan aromanya yang khas, sementara telingaku mendengar suara deburan ombak menghantam karang di kejauhan
Huuuffh…
Kutarik napas dalam-dalam sampai dadaku membusung. Bisa kurasakan hawa dingin yang muncul dari pusar, lalu menjalar ke sekujur tubuh, kemudian kuhembuskan napas pelan-pelan hingga dadaku terasa longgar.
"Cukup." Terdengar suara yang memberiku perintah agar menyudahi apa yang kulakukan. Kubuka mata, lalu mendapati ki Heru Cokro yang tengah berdiri memperhatikanku.
"Sudah cukup latihanmu kali ini. Lebih baik sekarang kita pulang, ini sudah sore." Pinta ki Heru Cokro sembari menepuk-nepuk pundakku.
Aku mengangguk sambil tersenyum, di saat libur kerja seperti ini, berlatih di Karang Sewu jadi caraku melepas penat sekaligus asah kemampuan.
Diriku bangun dari duduk bersila, lalu hendak pergi bersama ki Heru Cokro meninggalkan pantai, namun langkah kami terhenti begitu melihat seorang lelaki setengah baya yang datang mendekat dari kejauhan.
Siapa dia? Kulirik ki Heru Cokro yang wajahnya menduga-duga, sudah jelas kalau beliau tak mengenali lelaki itu.
"Assalamualaikum." Lelaki itu memberi salam, kami pun serempak menjawab salamnya. “Waalaikum salam.”
Lelaki itu lantas tersenyum kemudian bertanya pada pamanku. “Maaf, apa benar ini ki Heru Cokro?”
“Betul. Saya ki Heru Cokro. Sampeyan ini siapa?”
"Saya Haryo, raden Haryo Kuncoro Jati." Lelaki itu ulurkan jabatan tangan. "Saya sengaja datang kemari untuk minta bantuan." Sambungnya kemudian.
Dahi ki Heru Cokro spontan berkerut. "Bantuan? Bantuan apa? Ayo, lebih baik kita bicara di padepokan." Pinta ki Heru Cokro yang langsung diiyakan lelaki itu. Kemudian kami berjalan beriringan menuju kompleks padepokan.
"Apa yang bisa saya bantu?" Tanya ki Heru Cokro sesaat setelah kami duduk bersila dalam satu ruangan. Tapi lelaki yang mengaku bernama raden Haryo itu tak langsung menjawab, dia malah melirik ke arahku seolah keberatan dengan kehadiranku. Tapi ki Heru Cokro buru-buru menampik keraguannya.
"Tidak apa-apa. Dia Yudha, keponakan saya." Jelas ki Heru Cokro yang membuat raden Haryo seperti tak enak hati, lalu tersenyum padaku sebelum akhirnya mulai bicara.
“Begini ki, maafkan kalau kedatangan saya sedikit mengejutkan. Saya sengaja datang kemari untuk minta bantuan ki Heru Cokro menjaga Ajeng, putri saya.”
Ki Heru Cokro seketika kernyitkan dahi. “Menjaga putri raden? Memangnya kenapa sampai harus dijaga?”
Raden Haryo menghela napas, seakan ingin melepas beban berat yang menghimpit dadanya, kemudian dia kembali bertutur kata.
“Sebelumnya, Ijinkan saya untuk bercerita, agar semuanya lebih jelas dan bisa dipahami, karena mungkin ini bakal terdengar aneh dan tak masuk akal.”
Ki Heru Cokro manggut-manggut lantas menimpali. “Silahkan saja, kami siap mendengarkan.”
Raden Haryo mengangguk beberapa kali, seolah hendak yakinkan dirinya sendiri, kemudian dia mulai bercerita dengan mimik wajah yang serius.
“Dulu, di era kerajaan Singosari, pernah hidup seorang wanita bernama dewi Chandramaya. Dia seorang putri bangsawan yang sakti dan mampu mengendalikan alam gaib serta para lelembut.”
“Dengan kemampuan yang dimilikinya, dia disembah layaknya dewa oleh para pengikutnya. Hingga pada satu ketika, sang dewi membuat prahara yang menimbulkan banyak korban. Akhirnya dia dihukum mati lalu jasadnya ditenggelamkan ke dasar laut.”
"Ya Allah.. Lalu apa hubungannya dengan putri raden?" Tanya ki Heru Cokro penasaran.
“Setelah kematian dewi Chandramaya, para pengikutnya percaya kalau sang dewi bisa dibangkitkan lagi dengan wadah tubuh anak gadis semata wayangnya yang bernama Dyah Laksmi.”
“Tapi masalahnya, sejak kematian ibunya, Dyah Laksmi juga ikut menghilang. Keberadaannya tak diketahui oleh siapa pun, termasuk oleh para pengikut ibunya sendiri. Akhirnya niat untuk membangkitkan dewi Chandramaya tak pernah terlaksana. Tapi sekarang, ada sekumpulan orang yang berniat untuk membangkitkan sang dewi dan mencari keberadaan anak keturunan dari Dyah Laksmi.”
Demi mendengar cerita itu, diriku sempat heran lalu menyela, "Maaf, darimana raden bisa tau semua ini?" Tanyaku coba menyelidik demi memastikan kalau lelaki ini tak mengada-ada.
"Tentu saja saya tau." Raden Haryo sejenak hentikan kalimatnya, dia lalu memperhatikan sekeliling seolah memastikan tak ada orang lain yang ikut mendengarkan.
"Karena saya adalah orang yang mereka cari, saya adalah keturunan dari Dyah Laksmi." Sambung lelaki itu kemudian memperlihatkan pusaka serta medali kuno lambang kebangsawanan warisan keluarganya.
Seketika diriku terkejut. Begitu pula ki Heru Cokro. "Kalau begitu, berarti raden ini anak cucu dari dewi Chandramaya?" Tanya ki Heru Cokro coba memastikan.
“Betul. Eyang Laksmi waktu itu sengaja menyingkir karena tak rela dirinya dijadikan alat kebangkitan ibunya yang dikenal jahat. Lalu dia memilih pergi dan bersembunyi serta mewanti-wanti agar para keturunannya merahasiakan jati diri. Tapi rupanya sekarang keberadaan kami sudah terendus, dan kini orang-orang itu tengah mengincar Ajeng yang diyakini bisa menjadi wadah bagi kebangkitan dewi Chandramaya.”
"Hmm.. Jadi begitu ceritanya. Lalu kenapa raden minta tolong pada saya?" Tanya ki Heru Cokro.
“Saya percaya ki Heru Cokro mampu melindungi Ajeng. Sudah lama saya mendengar kehebatan ki Heru Cokro, makanya saya tak ragu untuk datang kemari.”
Ki Heru Cokro tersenyum mendengar namanya diagungkan semacam itu. “Raden ini terlalu berlebihan. Saya ini cuma orang biasa, mungkin raden salah orang.”
Raden Haryo balas tersenyum. “Tidak ki, saya yakin tidak salah orang. Sikap ki Heru Cokro yang seperti ini justru makin kuatkan keyakinan saya.”
Ki Heru Cokro hanya manggut-manggut mendengar pengakuan itu. “Lalu sekarang apa rencana raden?”
“Saya minta ijin supaya kami diperbolehkan tinggal di sini untuk sementara waktu, karena menurut penuturan para pendahulu kami, dewi Chandramaya hanya bisa dibangkitkan pada waktu gerhana bulan. Dan kalau saya tak salah hitung, beberapa hari lagi fenomena alam itu akan terjadi.”
“Hmm.. Saya paham sekarang. Baiklah. Kami akan membantu raden untuk menjaga Ajeng. Bukan begitu Yud?”
Aku seketika mengangguk begitu namaku disebut. “Iya paman. Saya siap membantu. Apalagi setelah mendengar cerita raden Haryo barusan, sepertinya sosok dewi Chandramaya ini punya kekuatan yang amat besar.”
"Betul. Orang-orang itu percaya, dengan kebangkitan sang dewi, mereka bisa kuasai dunia. Saya pribadi sebenarnya tak terlalu percaya akan hal itu, tapi masalahnya, ini menyangkut keselamatan jiwa putri saya." Sahut raden Haryo.
"Ya sudah. Sekarang Ajengnya ada di mana?" Tanya ki Heru Cokro.
"Ada di mobil, biar saya panggil dulu." Raden Haryo lalu minta ijin untuk menjemput putrinya, tak lama kemudian, dia kembali datang bersama seorang gadis belia yang kini berdiri di sampingnya dengan wajah cemberut.
"Perkenalkan, ini Ajeng, putri saya." Ucap raden Haryo memperkenalkan putrinya. Tapi alih-alih memberi salam, sang gadis malah tunjukkan sikap yang tak elok.
"Ayah! Ngapain sih kita di sini?" Ujar gadis itu dengan nada ketus dan sikap yang menyebalkan.
"Ajeng, untuk beberapa hari ini, kita tinggal di sini dulu ya? Hitung-hitung liburan. Nanti setelah ini, baru kita ke luar negeri." Balas raden Haryo coba membujuk putrinya dengan halus.
"Liburan kok ke pesantren! Liburan itu ke Bali!" Balas Ajeng dengan sengitnya.
Aku dan pamanku hanya bisa saling pandang, sungguh tak menyangka kalau situasinya seperti ini. Dari gelagatnya, sepertinya Ajeng tak tau mengapa dirinya dibawa ke tempat ini.
Raden Haryo menatap ke arah kami seolah minta pengertian. Ki Heru Cokro tersenyum seraya mengangguk tanda memaklumi.
"Ajeng, dengerin ayah. Untuk kali ini kamu mesti nurut sama ayah. Nggak lama kok, paling cuma beberapa hari. Selama kamu di sini, kamu boleh minta apa pun yang kamu mau." Bujuk raden Haryo lagi. Sikapnya menunjukkan betapa sayangnya dia pada putrinya itu.
Mendapat perlakuan lemah lembut dari sang ayah, sikap Ajeng nampak melunak meski wajahnya masih terlihat sebal. "Bener ya? Apa pun yang Ajeng minta ayah mesti turuti ya?" Sahut Ajeng setengah mengancam.
"Iya. Sekarang kamu salim dulu sama ki Heru Cokro." Pinta raden Haryo yang dituruti Ajeng dengan sikap ogah-ogahan.
"Cah Ayu, kamu pasti senang tinggal di sini. Kamu bakal punya banyak teman baru." Ujar ki Heru Cokro coba bersikap ramah, tapi Ajeng malah bersikap sebaliknya.
"Maaf eyang, saya nggak butuh teman. Saya perlunya wifi. Di sini ada nggak?" Sahut Ajeng tanpa tedeng aling-aling.
“Walah, di sini nggak ada nduk.”
"Yah... Payah." Cibir Ajeng.
Aku hanya bisa geleng kepala melihat tingkah Ajeng. Sudah terbayangkan bagaimana sulitnya menghadapi gadis yang satu ini. Ki Heru Cokro lalu memanggil Arum, kemudian memintanya untuk mengantar Ajeng ke kamarnya.
Sepeninggalan Ajeng dan Arum, raden Haryo langsung haturkan permintaan maaf atas sikap putrinya tadi. “Maafkan sikap putri saya, dia memang seperti itu, tapi dia anak yang baik.”
"Tidak apa-apa. Saya maklum. Sekarang yang terpenting kita harus mulai waspada. Jaga-jaga kalau orang-orang yang mencari kalian tau keberadaan kalian di sini." Sahut ki Heru Cokro.
“Iya ki. Saya menyerap kabar kalau mereka dibantu oleh seseorang yang katanya punya ilmu kesaktian. Saya tak kenal orangnya, tapi saya percaya orang itu punya niat yang jahat.”
“Hmm.. Kalau begitu, saya menduga cepat atau lambat mereka pasti datang. Yudha, paman minta supaya kamu awasi terus area sekitar sini, jangan sampai lengah.”
Aku pun mengangguk patuh. Tapi entah mengapa malah timbul firasat buruk dalam benakku. Tapi semoga saja firasatku salah.
**
Selepas sholat Isya, suasana terasa sunyi. Para santri sudah masuk ke dalam kamarnya masing-masing, sementara ki Heru Cokro tengah khusyuk berzikir di dalam musola.
Aku melangkah keluar berniat memeriksa sekitaran, lalu kutemui Ajeng yang sedang duduk di teras sembari mengguncang-guncang ponselnya.
"Kamu lagi ngapain?" Tanyaku coba beramah-tamah. Sejak kedatangannya tadi sore, kami memang belum sempat bertegur sapa.
"Ini lho mas, sinyalnya jelek banget. Bikin bete aja." Keluh Ajeng dengan wajah yang ditekuk.
“Ooh.. Di sini sinyalnya memang begitu. Sering naik-turun. Maklum saja, namanya juga di kampung.”
Ajeng tak menjawab. Dia membanting punggungnya pada sandaran kursi tanda kecewa. Aku duduk di hadapannya lalu coba berbasa-basi.
“Ayah kamu ke mana?”
"Lagi pergi sebentar. Katanya ada yang perlu dibeli." Sahut Ajeng tanpa melihat ke arahku.
Aku cuma bisa manggut-manggut lalu membisu karena kehabisan bahan obrolan. Hingga akhirnya datang Arum yang langsung duduk di sampingku. “Kalian berdua sedang apa?”
"Lagi ngobrol-ngobrol aja." Sahutku, sementara Ajeng bersikap acuh tak acuh.
"Mas Yudha mau saya buatkan kopi?" Tanya Arum lagi dengan nada lemah lembut.
“Hmm... Boleh lah.”
Arum tersenyum kemudian pergi ke dapur. Demi melihat hal itu, Ajeng lantas senyum-senyum sendiri. "Kalian ini pacaran ya?" Tanya gadis itu ceplas-ceplos.
Diriku seketika gelagapan, tak menyangka kalau bakal ditanya seperti itu. "Nggak, kami ini seperti kakak adik." Balasku coba menjelaskan.
"Oooh.. Kirain pacaran. Soalnya sikap mbak Arum sama mas Yudha agak gimanaaa gitu." Terka Ajeng yang seketika membuatku jadi salah tingkah.
"Mas Yudha dan mbak Arum sudah lama tinggal di sini?" Tanya Ajeng lagi.
“Dulu saya pernah mondok di sini, sedangkan Arum sudah tinggal di sini sejak dia masih kecil. Dia itu anak yatim piatu yang diasuh ki Heru Cokro.”
"Oooh.. gitu." Ajeng manggut-manggut.
Setelahnya, pembicaraan kami pelan-pelan mulai mengalir. Dari situ, aku jadi tau kalau ternyata Ajeng sudah tak punya ibu sejak dia masih balita.
Dari obrolan itu juga, aku jadi tau kalau selama ini raden Haryo begitu posesif menjaga putrinya. Tapi aku maklum, mengingat kondisi keluarganya yang hidup dalam persembunyian, namun ironisnya, Ajeng sama sekali tak tau akan hal itu.
Hari berikutnya, Ajeng mulai bertingkah. Dia mengeluhkan makanan padepokan yang katanya tak cocok dengan lidahnya, lalu merengek minta dibelikan makanan yang ia suka. Dia juga minta dibelikan beberapa jenis barang yang sudah jelas hanya ada di kota besar.
Raden Haryo dengan sukarela mondar-mandir ke kota demi memenuhi permintaan putrinya itu. Kucoba tawarkan diri untuk membantu, tapi dia menampik dengan alasan tak mau merepotkan.
Esok harinya, Ajeng kembali bikin ulah. Dia memaksa hendak mandi di laut meski ayahnya setengah mati melarang.
"Jangan Jeng, ombaknya besar. Ayah takut kamu kenapa-napa." Cegah raden Haryo.
Tapi Ajeng bersikeras, raden Haryo seperti tak berdaya menghalangi keinginan putrinya itu. Lelaki itu lantas melirik ke arah ki Heru Cokro seolah minta persetujuan, ki Heru Cokro pun coba menengahi.
“Ya sudah, nggak apa-apa. Biar nanti Arum dan Yudha yang temani. Tapi berenangnya jangan jauh-jauh ya nduk, yang dekat-dekat saja.”
Ajeng seketika melonjak kegirangan. Dia langsung berlari menuju pantai tanpa memperdulikan kami. Aku dan Arum yang ada di situ hanya bisa geleng kepala, lalu terpaksa bergegas menyusul gadis itu.
Sesampainya di pantai, Ajeng tanpa rasa takut langsung berlari menyongsong ombak besar. Aku dan Arum hanya bisa memperhatikannya sembari duduk di tepi pantai.
"Nyebelin banget sih anak itu." Keluh Arum dengan nada ketus. Aku hanya tersenyum coba menyikapinya dengan sabar.
“Ya maklum saja Rum, dia itu kan sudah nggak punya ibu sejak dia masih kecil. Wajar saja kalau kelakuannya jadi begitu.”
“Halah! Ya nggak gitu juga kali mas. Aku juga yatim piatu kok, tapi kelakuanku nggak kaya gitu. Dasar anaknya saja yang banyak tingkah.”
Aku cuma bisa tersenyum mendengar pedasnya komentar Arum. Tapi mau bagaimana lagi? Kami harus menjaga Ajeng sesuai janji kami pada ayahnya.
"Mbak Arum! Mas Yudha! Ayo sini! Ombaknya seru! Masa kalian takut?" Teriak Ajeng di tengah derunya ombak.
"Nggak usah! Kami di sini saja!" Balasku berteriak menampik ajakannya. Ajeng seketika tertawa seolah meremehkan.
Demi melihat hal itu, Arum kembali ngoceh, menunjukkan rasa tak sukanya pada Ajeng. Aku cuma menanggapi alakadarnya. Bukan apa-apa, entah mengapa diriku merasakan ada kekuatan tak kasat mata yang ikut hadir di tempat ini.
Tak lama kemudian, angin yang tadinya semilir, mendadak berhembus kencang, disusul langit yang dengan cepatnya berubah kelam, tertutupi awan hitam yang datang entah darimana.
"Ajeng! Sudah dulu mandinya! Cuacanya lagi nggak bagus!" Teriakku coba memperingatkan Ajeng. Tapi gadis itu malah menertawakanku. Namun tawanya seketika sirna saat sebuah ombak besar datang menghantam dan menggulung dirinya!
"Astaghfirullah!" Diriku cepat berlari lalu terjun ke air demi menyelamatkan gadis itu, sementara Ajeng nampak gelagapan dengan tangan menggapai-gapai.
Ketika akhirnya aku sampai, cepat kuraih tubuh ajeng sebelum dia tenggelam, tapi ketika diriku hendak berenang membawanya ke tepi pantai, seolah ada kekuatan besar yang menghisap tubuh kami masuk ke dasar laut.
Diriku terkejut. Aku tak tau itu apa, tapi yang jelas, kekuatannya mampu membuatku kesulitan untuk bergerak. Namun setelah berusaha sekuat tenaga, akhirnya aku mampu membebaskan diri lalu berenang membawa Ajeng ke tepi pantai meski dengan bersusah payah.
"Ya Allah!" Arum memekik panik setibanya kami di tepi pantai. Diriku langsung tergeletak terengah-engah, sementara Ajeng terbaring sembari memuntahkan begitu banyak air dari dalam mulutnya.
"Kamu nggak apa-apa Yud?" Tanya ki Heru Cokro yang datang tergopoh-gopoh bersama raden Haryo.
"Uhuk! Iya paman. Saya nggak apa-apa." Jawabku sembari terbatuk-batuk.
Ajeng kemudian dibopong ayahnya kembali ke padepokan, sementara diriku dipapah dua orang santri yang sengaja datang untuk membantu.
Setelah situasi kembali tenang, ki Heru Cokro memintaku dan juga raden Haryo untuk berbicara enam mata.
"Apa yang terjadi?" Tanya ki Heru Cokro mempertanyakan kejadian tadi. Aku pun langsung menceritakan semuanya tanpa ada yang tertinggal, termasuk langit yang tiba-tiba gelap, serta kekuatan aneh yang sempat membuat kami terhisap ke dalam air.
"Ini benar-benar aneh. Saya punya dugaan kalau peristiwa ini ada kaitannya dengan kebangkitan dewi Chandramaya." Ujar ki Heru Cokro coba ambil kesimpulan. Aku pun mengangguk tanda sepaham. Begitu pula raden Haryo.
"Kalau tidak salah, dua hari lagi waktunya tiba. Jujur saja, saya jadi khawatir. Peristiwa tadi seolah menandakan kalau kebangkitan sang dewi benar-benar nyata." Imbuh raden Haryo.
Lalu kami semua terdiam, hanyut dalam pikiran kami masing-masing. Raden Haryo benar. Entah mengapa firasatku berkata kalau akan terjadi sesuatu yang buruk.
Bersambung bab 2
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
