
Yudha harus mencegah bangkitnya mustika kuno maha dahsyat yang kemunculannya diyakini bakal menimbulkan prahara.
Tapi dalam usahanya itu, Yudha malah terjebak dalam situasi yang tak terduga...
Situasi yang justru membuatnya jadi pembunuh berdarah dingin yang menghilangkan begitu banyak nyawa manusia.
Tapi dia menikmatinya...
Horor series - Titisan Siluman Ular
(Part 15)
GEGER MUSTIKA
__________________
Bab 1
Mustika hebat
GEMPAAAA!
Sebuah teriakan keras menggema seantero ruangan. Tanah bergetar, lampu kedap-kedip seiring benda-benda bergoyang lalu berjatuhan.
Semua orang spontan berhamburan, bahkan sampai ada yang terjatuh saking paniknya. Jerit suara perempuan saling adu nyaring. Untuk sesaat, situasi tak ubahnya perang Baratayudha.
Tapi aku malah terpaku, sedikit terlambat sadari situasi, sampai akhirnya Jaka datang berlari menghampiri.
"Ayo Yud! Malah bengong!" Teriak Jaka seraya menarik tanganku untuk ikut bersamanya keluar menuju tempat terbuka.
Setelah sekian detik, getaran itu berhenti. Tapi belum ada yang berani beranjak. Nampaknya mereka takut kalau terjadi gempa susulan seperti yang sudah-sudah.
Halaman pabrik kini dipenuhi wajah-wajah tegang, saling bertukar cerita betapa kagetnya mereka tadi. Sementara yang lainnya sibuk mengabadikan momen ini dengan ponsel.
Sebulan belakangan ini, terhitung sudah 3 kali gempa terjadi. Kekuatannya bervariasi, tapi yang tadi jadi yang paling keras hingga mampu ciptakan kekacauan.
15 menit kemudian, terdengar suara panggilan dari pengeras suara, meminta agar kami semua kembali bekerja. Tentu saja banyak yang menggerutu, mereka pikir pabrik akan diliburkan.
"Gendeng! Bukannya disuruh pulang malah disuruh kerja lagi! Nggak punya otak!" Maki Jaka bersungut kesal sembari masuk mengikuti yang lain.
Aku tersenyum. Jaka memang begitu. Mulutnya akan langsung utarakan isi kepalanya tanpa tedeng aling-aling.
Aku hendak mengekor Jaka masuk ke dalam, sebelum telingaku mendengar suara berbisik memanggil entah darimana.
"Mas Yudha.."
Langkahku spontan terhenti, aku kenal suara itu. Suara yang kerap muncul di saat tak terduga. Mataku jelalatan mencari sosok pemilik suara. Bisa kurasakan kehadirannya tak jauh dari sini.
Lalu kutemukan apa yang kucari. Di sana, dekat pintu gerbang, nampak seseorang berdiri sambil melambaikan tangannya padaku. Dugaanku tak salah. Itu memang dia. Mau apa dia di sini?
Bergegas aku menghampirinya. Meski dia menggunakan jaket dan topi beserta kain yang menutupi sebagian wajahnya, tapi tetap saja tak mampu sembunyikan bau prengus dari tubuhnya itu.
"Apa kabar Ji? Lama kita nggak ketemu. Buat apa kamu dandan begitu? Percuma. Baumu itu masih tembus kemana-mana." Sapaku setengah bercanda pada Panji, si anak ajaib putra Raja Genderuwo.
Tapi bukannya tertawa, Panji malah menjawab dengan nada khawatir. "Gawat mas, gawat."
Aku jadi heran melihat sikap Panji. "Gawat? Gawat apanya?" Tanyaku padanya. Jujur saja, aku jadi ikut khawatir. Kalau orang sekelas Panji sampai resah, itu tandanya ada masalah.
Sebentar Panji celingak-celinguk, lalu menurunkan kain penutup memperlihatkan sepasang taring kecil di sudut bibirnya. "Mustika Ismaya." Bisik Panji nyaris tak terdengar.
Dahiku spontan berkerut mendengar nama benda asing yang disebutnya. "Mustika Ismaya? Apa itu?"
"Jangan disini mas, kita bicara di tempat lain." Pinta Panji.
Aku tak mungkin menolak. Dari wajah Panji yang tegang, sepertinya ini hal yang teramat penting. "Ya sudah, kita bicara di kontrakan."
Panji menurut. Kuminta dia menunggu sementara aku minta ijin pada pak Yanto.
"Mau kemana Yud? Tanya Jaka yang melihatku bebenah untuk pulang setelah mendapat ijin dari pak Yanto.
"Pulang dulu, ada tamu."
"Cewek? Kenalin dong!"
"Cewek aja otakmu!" Sahutku sembari menepuk ubun-ubunnya.
Jaka cuma nyengir. Dia pun ngeloyor pergi sementara aku bergegas mengambil motor lalu meluncur bersama Panji.
Setibanya di kontrakan, belum sempat kami masuk, tercium aroma bunga melati yang amat menyengat. Aku dan Panji saling pandang, kami tau siapa yang bakal datang.
"Sttt.. mas, siap-siap, ada kak Mayang." Bisik Panji. Dia tak sadar padahal Mayang sudah berdiri persis di belakangnya.
"Apa?? Ngomongin aku?!"
Panji kaget spontan menoleh, lalu cengar-cengir sambil garuk-garuk kepala. "Eh, kak Mayang. Apa kabar kak? Tumben main kemari?"
"Ada yang mau aku bicarakan dengan Yudha. Kamu sendiri mau apa? Lama tak ada kabarnya tiba-tiba muncul di sini." Jawab Mayang.
"Sudah, lebih baik kita bicara di dalam." Ucapku memotong sembari membuka pintu lalu mempersilahkan mereka masuk.
"Ya ampuuuun! Berantakan begini? Dasar pemalas!" Pekik Mayang saat melihat kamarku yang mirip kapal pecah.
Panji geli menahan senyum. Rasa cemasnya seketika hilang. Dia memang paling suka kalau aku kena damprat, katanya wajahku jadi lucu seperti anak kecil yang sedang dimarahi ibu.
"Iya, belum sempat aku bereskan. Apalagi tadi ada gempa." Jawabku berkilah seadanya.
Mayang langsung membenahi semuanya sambil ngomel-ngomel. Dia memang paling tak suka melihat tempatku berantakan. Sementara aku hanya bisa pasrah menunggu bersama Panji yang malah cekikikan.
"Nah, kalau begini kan enak." Ucap Mayang setelah selesai melakukan aksi bersih-bersihnya. Sepertinya naluri keibuannya makin terasah saja.
"Mayang, tadi kamu bilang ada yang mau kamu bicarakan? Ada apa?" Tanyaku pada putri gaib calon istriku itu.
"Ada manusia yang mau coba ciptakan malapetaka." Jawab Mayang sembari melirik Panji.
"Maksudnya?" Tanyaku tak mengerti.
"Sepertinya apa yang mau disampaikan kak Mayang sama persis dengan apa yang akan kita bicarakan." Panji menjelaskannya padaku.
"Tentang benda tadi? Apa namanya?"
"Mustika Ismaya." Sahut Mayang mendahului. Panji pun mengangguk mengiyakan.
"Memangnya ada apa dengan mustika itu? Aku baru denger?"
Mayang memberi isyarat agar Panji yang menjelaskannya. Pemuda itu pun akhirnya mulai bicara.
"Ribuan tahun yang lalu, terjadi pertempuran dahsyat antara 7 raja Jin dari pulau Sumatra dan pulau Jawa yang saling berebut wilayah kekuasaan."
"Mereka bertempur begitu hebat hingga menimbulkan kerusakan yang luar biasa. Manusia banyak yang tewas, tumbuhan mati, hewan-hewan pun mati. Wabah penyakit menyebar dimana-mana."
"Lalu muncul Maha Guru Ismaya, orang sakti yang mampu meredam kekacauan itu. Dengan kesaktiannya, Maha Guru Ismaya meringkus ketujuh raja jin itu lalu mengurung mereka dalam sebuah batu, kemudian dia tanam di perut gunung yang ada di selat Sunda."
"Tunggu dulu. Maksudmu gunung Krakatau?" Tanyaku memastikan.
"Iya. Gunung itu adalah tempat bersemayamnya mustika Ismaya. Dan kini, ada orang yang coba untuk mengeluarkan mustika itu dari perut gunung yang imbasnya mengganggu keseimbangan alam hingga menimbulkan bencana di mana-mana."
"Ketahuilah, siapapun yang bisa memiliki mustika itu, kekuatan 7 raja jin ada dalam genggamannya. Dia akan menjadi penguasa alam gaib, bahkan punya kemampuan untuk membolak-balik waktu. Bisa dibayangkan apa jadinya kalau mustika itu jatuh ke tangan orang jahat."
"Ya Allah, menakutkan sekali. Lalu manusia macam apa yang sanggup melakukannya?" Tanyaku lagi.
"Aku tak tau. Yang pasti, dia bukan manusia sembarangan. Mustika itu hanya bisa diambil dengan rapalan mantra-mantra yang tertulis dalam kitab kuno yang diwariskan pada raja-raja Jawa. Entah darimana orang itu berhasil mendapatkannya." Jawab Panji menutup kisah panjangnya.
Mayang pun lalu menambahkan. "Iya, makanya kami sebagai penghuni alam gaib jadi resah. Itu sebabnya ibu Ratu memintaku untuk menemuimu. Ibu Ratu ingin agar kita mencegah jangan sampai hal itu terjadi."
Aku sedikit keberatan mendengar bagian akhir dari kalimat Mayang. "Kita? Kamu nggak usah ikut-ikutan. Biar aku dan Panji saja." Pintaku pada Mayang.
Mayang spontan berdiri lalu bertolak pinggang. "Heh! Kamu pikir aku lemah? Kamu pikir aku nggak bisa apa-apa? Begitu?!"
"Bu--bukan begitu maksudku. Ji! Bantu ngomong dong! Jangan diam saja!"
Panji setengah mati menahan tawa. Tapi akhirnya dia memberikan pembelaannya untukku. "Maaf kak Mayang, tapi mas Yudha benar. Mustika itu amat berbahaya. Menurut legenda, mustika itu akan memberikan pengaruh tak terduga pada mahluk gaib manapun yang ada di dekatnya."
"Pokoknya aku ikut! Titik!" Ucap Mayang lalu bersedekap tangan pasang muka cemberut. Lagaknya sama persis ketika dia minta ikut ke tempat futsal tempo hari.
"Mayang, untuk kali ini dengarkan aku. Aku tak mau kamu sampai kenapa-napa. Aku takkan bisa memaafkan diriku sendiri kalau sampai kamu celaka. Aku sayang kamu. Nurut ya cantik?"
Sikap Mayang seketika melunak. Bahkan gadis alam gaib pun akan luluh mendengar kata-kata tulus dari mulut kekasihnya.
"Baiklah. Tapi cepat panggil aku kalau ada apa-apa. Ji, tolong jaga Yudha ya? Aku mau kalian berdua pulang dengan selamat."
"Tentu saja kak, tentu kami akan saling menjaga. Kak Mayang nggak perlu khawatir." Sahut Panji.
"Yudha, jaga dirimu baik-baik. Aku selalu mendoakan yang terbaik untukmu." Ucap Mayang lalu mengecup pipiku dengan lembut.
Ada rasa hangat menyelinap dalam hati. Kecupan Mayang adalah bekal terbaik dari semua yang bekal bisa kudapatkan.
***
Bab 2
Si orang gila
Setelah Mayang pergi, aku dan Panji segera bersiap untuk berangkat.
"Ayo Ji, kita berangkat sekarang. Tempat itu letaknya sangat jauh. Kita tak boleh buang-buang waktu." Ucapku sembari meraih kunci motor di atas meja.
"Nggak usah repot-repot mas. Aku bisa membawa kita ke sana detik ini juga. Sekarang kamu duduk bersila dan pejamkan mata."
Aku takjub mendengarnya. Kemampuan Panji makin komplit saja. Aku jadi bersyukur dia ada di pihak kebenaran. Tak terbayangkan kalau dia ada di pihak yang bersebrangan.
Aku pun menuruti perintahnya. Kuambil posisi duduk bersila lalu pejamkan mata. Panji ikut duduk di sampingku lalu mulai membaca sebuah mantra.
Tiba-tiba..
ZIP!
Tubuh kami bagai terhisap masuk ke dalam sebuah lubang. Diriku seakan melayang dalam ruang maha luas yang begitu hening.
Hingga tak lama kemudian, terdengar suara deburan ombak yang begitu dekat. Hembusan angin lembut menerpa wajahku. Diriku kini seolah duduk di atas bebatuan kerikil. Lalu Panji memintaku untuk membuka mata.
"Sekarang, mas Yudha bisa buka mata."
"Subhanallah..."
Mulutku spontan mengucap takjub. Segalanya berubah total. Kami yang tadinya ada di dalam kamar kontrakan, kini tiba-tiba sudah berada di kaki gunung gersang dengan hawa yang teramat panas bagai di neraka.
Gunung Krakatau...
Luar biasa. Aku masih tak percaya kalau aku benar-benar ada di tempat ini. Gunung legendaris nan misterius yang selama ini hanya kudengar kisah kedahsyatannya dari cerita-cerita orang.
Tapi sudahi dulu rasa takjub. Sesuatu yang lebih penting telah menunggu. "Kita mulai darimana Ji?" Tanyaku pada Panji sambil memandangi sekeliling.
Tapi Panji tak menjawab. Dia malah serius memandang ke arah langit. "Itu mas." Jawabnya sembari menunjuk ke atas.
Kepalaku spontan mendongak. Di sana, nampak cahaya warna-warni bak pelangi memancar berpendar menerangi angkasa.
"Ayo mas, kita harus cepat. Semoga kita belum terlambat." Ucap Panji lalu melangkah tergesa-gesa menuju puncak gunung.
Aku pun mengikutinya. Cahaya itu jadi panduan arah langkah kami. Tapi semakin menanjak, semakin berat pula medan yang kami tempuh. Bebatuan terjal serta hawa panas berpadu bau belerang membuat usaha kami jadi serba sulit.
BUUMMM!
Bunyi dentuman keras membahana dari atas sana. Bumi berguncang, batu berguguran. Semburan asap kelabu nampak membumbung tinggi membentuk awan pekat mengantarkan hujan debu yang menghalangi pandangan. "Ya Allah, lindungilah kami." Batinku memohon.
Makin mendekati puncak, hawa panas makin merajalela. Andai kami manusia biasa, mungkin kami takkan bisa sampai sejauh ini.
Meski terseok-seok, akhirnya kami tiba di puncak gunung yang membentuk kawah. Dalam jarak pandang yang terbatas, kami temukan sumber cahaya itu.
Semburat cahaya warna-warni bak pelangi memancar dari dalam kawah tembus ke angkasa, bagai jembatan penghubung antara bumi dan langit. Warnanya indah, tapi auranya begitu menakutkan.
Namun tak jauh dari bibir kawah, kami lihat ada seorang lelaki tengah duduk bersila di hadapan sebuah kitab yang terbuka. Suaranya lantang meneriakkan mantra-mantra dalam bahasa yang aneh.
Aku dan Panji cepat menghampiri. Kami tau dialah orang yang kami cari. Dan ketika jarak kami sudah cukup dekat, kami tercengang begitu mengenali siapa lelaki itu!
Lelaki berkumis tebal dengan tahi lalat besar di pipi kirinya, berbekal sebilah keris hitam nan angker yang terselip di belakang pinggangnya!
Joyokusumo! Si orang gila!
"HENTIKAN!"
Teriakan Panji membuat Joyokusumo kaget hingga rapalan mantra-mantranya terputus. Lelaki itu menoleh dan langsung tercengang melihat kehadiran kami.
"Bangsat! Kalian lagi! Mau apa hah?!" Teriak Joyokusumo dengan lantang.
"Heh! Wong gemblung! Ternyata kamu biang keladinya! Kami tau apa yang sedang kamu lakukan! Sudahi perbuatanmu itu! Kamu akan menimbulkan malapetaka besar!" Hardik Panji tak kalah galak.
Tapi Joyokusumo malah tergelak lalu balas membentak. "Hahaha.. Heh! Anak-anak setan! Kalian pikir kalian mampu menghentikanku? Waktu itu kalian hanya beruntung saja! Tapi tidak untuk kali ini!"
Mendengar itu, aku pun segera ambil posisi siap tarung. Sementara Panji masih bersikap tenang karena dia pikir Joyokusumo akan memanggil pasukan genderuwo yang dulu pernah dia tundukkan. Tapi ternyata kami salah...
Joyokusumo komat-kamit sembari mengosok-gosokkan kedua telapak tangannya hingga mengepulkan asap hitam, lalu tangannya mengepal dan langsung meninju tanah dengan keras.
Derrrrr..
Bumi sekali lagi bergetar, lalu dari dalam perut bumi, muncul lima ekor kalajengking raksasa dengan capit-capitnya yang besar, siap mengoyak dan mencabik-cabik tubuh kami!"
Astaga!
Panji Spontan mundur. Aku pun sama. Wajah kami sama tegangnya. Rupanya Joyokusumo punya peliharaan baru yang lebih menakutkan! Ini serius!
"Habisi mereka!" Teriak Joyokusumo memberi perintah.
Kelima Kalajengking raksasa itu dengan cepat merayap menyerbu ke arah kami. Jelas aku tak tinggal diam. Aku songsong mereka dengan pukulan pemusnah siap di tangan!
BUGH! BUGH!
Dua kali pukulanku menghantam kepala dua kalajengking yang ada di depanku. Tapi hantaman itu seolah tak ada artinya. Kulit mereka ternyata sekeras baja! Sial!
Hal yang sama terjadi dengan Panji. Meski tenaga pukulannya jauh lebih kuat dariku, tapi hanya mampu membuat tiga kalajengking terpental lalu kembali maju seolah tak terjadi apa-apa!
Joyokusumo tergelak-gelak. Dia senang melihatku dan Panji jadi kewalahan. Dia pun kembali membuka kitab yang ada di hadapannya, lalu lanjut membaca mantra-mantra yang tadi sempat terhenti.
Pancaran sinar warna-warni semakin terang, lalu terdengar suara bergolak tak ubahnya air mendidih dari dasar kawah.
Kulihat wajah Panji semakin cemas. "Mas Yudha! Cegah dia! Sebentar lagi mustika itu akan muncul! Jangan sampai dia mendapatkannya! Biar aku urus kalajengking terkutuk ini!" Teriak Panji.
Panji menyerang kelima kalajengking itu secara bergantian, lalu dia melesat cepat menuruni gunung hingga kelima kalajengking raksasa itu terpancing untuk mengejarnya.
Aku tak mungkin membantu Panji. Aku tau dia sengaja berbuat itu. Joyokusumo jauh lebih penting untuk dicegah. Sekali lompat, kini aku telah berdiri tepat di hadapannya.
"Hahaha.. Ini lagi! Ular sawah! masih ingat dengan keris ini?" Hardik Joyokusumo sembari menghunus keris Welut Ireng dari balik pinggangnya.
Aku mundur dua langkah, aku ingat betul keris itu. Satu-satunya benda yang mampu membuatku tak berkutik dari sekian banyak senjata yang pernah aku hadapi.
"Mampus kamu!" Teriak Joyokusumo sambil melompat dengan sabetan keris yang menderu.
Aku berkelit, sambaran kerisnya luput. Tapi dia sambung dengan gerakan tak terduga yang membuatku terpelanting terkena tendangannya.
Bugh!
Aku terjerembab mencium bebatuan lalu mengumpat kesal. Sialan! Joyokusumo memang punya jurus silat aneh yang membuatku jadi seperti anak kemarin sore.
"Ayo maju! Jangan tanggung-tanggung! Langsung berubah jadi siluman saja! Kalau begini terlalu mudah!" Ejek Joyokusumo dengan angkuhnya.
Demi mendengar lecehan itu, darahku langsung mendidih. Dua titik hitam di bawah pusarku seketika bereaksi. Aku kabulkan permintaannya! Akan robek-robek mulut besarnya! Lihat saja!
Bersambung bab berikutnya
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
