Setelah 15 Tahun Pernikahan ( Bab 1&2 )

4
0
Deskripsi

Salahkah aku meminta wanita yang telah merebut suamiku pergi dari kehidupan kami? Wanita itu telah merenggut kebahagiaanku dan anak -anak.

SETELAH 15 TAHUN PERNIKAHAN

(Dari kisah nyata)


[ Mas Haris ini MaasyaAllah, loh ya. Dititipin Allah harta lebih. Sayang kalau enggak digunakan buat nolongin Akhwat-akhwat yang gak kebagian suami] Akun bernama Wawan menulisnya.

[ Shohih, pasti akan banyak keluarga terayomi. Tidak akan rugi kalau diniatkan karena Allah. Malah Risqinya akan makin banyak setelah menikah lagi. Yaqin. ] Akun lain menimpali.

[ Monggo Mas Haris, kalau sudah fix, nanti saya sodorin akhwatnya. Mau yang gadis atau janda. Saya ada kenalan banyakkk. Mereka semua perlu uluran tangan pria –pria sholeh seperti antum.] Yang lain tak kalah semangat menanggapi.

[ Betul, Mas Haris pasti bisa! ]

[ Setelah nikah langsung muda lagi, ya. Ha ha. Tuh Ustaz Wawan contohnya. Tambah ganteng sekarang. Kita kita jadi ngiri. ]

Suami merespon ucapan itu dengan emot senyum.
[ He he, belum sampe ilmunya, Guru. ]

[ Ah, kalau ilmu mah bisa dicari sambil jalan, yang penting umur dan hartanya belum limit. ] sanggah Wawan lagi.

Geram sekali aku membacanya. Apa memang obrolan mereka selalu seperti ini? Bahkan sejauh menyecroll chat semakin ke atas, perbincangannya pun tak jauh –jauh dari poligami. Walau kadang Ustaz yang jadi admin sesekali mengirim kalimat –kalimat motivasi Islami. Ini grup ngaji apa grup suporter poligami?

“Ckck. Aneh mereka ini! Santri baru sudah diprovokasi poligami! Padahal Ustaz di Majlis pun hampir gak pernah bahas poligami, kenapa grup isinya gitu –gitu doang? Lalu nilai dakwahnya di mana??”

“Ada apa toh, Mi? Kok ngomel –ngomel sendiri. Nanti jelek, lho.” tanya suami yang mengelap tangannya usai makan.

Dia mendekat dengan seulas senyum di wajah. Tak mempermasalahkanku yang membuka –buka hapenya, sebab dari awal tak pernah ada privasi di antara kami. Barang kali itu salah satu alasan kenapa aku selalu merasa tenang dan tak dibohongi selama 15 tahun pernikahan kami.

“Ini lho, kok Pak Wawan itu ngeselin ternyata. Mentang –mentang punya istri dua, ngomporin Abi terus buat poligami.”

“Hehm. Umi cemburu. Baguslah.”

“Hiss. Kok jawabannya gitu. Apa Abi juga kepikiran mau nikah lagi seperti orang itu?”

“Ya nggaklah, Mi. Kepikiran aja nggak. Abi ini siapa sih? Ilmu aja nggak punya. Udah tua pulak. Mana ada yang mau.”

“Masaaa?”

“Umi mau? Di-adek-in?”

Aku menggeleng cepat. “Pak Wawan itu yang gak tau diri banget. Itu lihat Ustaznya aja sampe diem di grup, beliau juga yang paling alim nggak poligami kok.”

“Ya sudah nggak usah dibahas kalau gitu. Umi juga nggak boleh berlebihan gitu. Poligami itu bagian dari syariah, jadi Umi nggak boleh membencinya begitu. Yang penting kan Abi setia dan tanggung jawab.”

“Iya, Bi.” Aku menghela napas. Menyerah. Tidak ingin terkesan membenci syariat yang Allah halalkan itu.

Bagaimana aku tidak emosi. Bukan karena membenci poligami yang jelas –jelas adalah bagian dari syariat Islam, tapi obrolan mereka yang gak lihat situasi siapa yang jadi target obrolan. Mas Haris bahkan baru beberapa bulan gabung ngaji. Dan bahkan Ustaz yang biasa mengisi kajian pun juga bukan pelaku poligami, kenapa yang notabene ilmunya jauh di bawah sang Ustaz malah menggebu –gebu membahasnya?

Untunglah Mas Haris tidak terpengaruh dan meresponnya biasa saja. Dia juga tak pernah sekali pun membahas ingin menikah lagi, sebab tahu akan menyakiti hati istri.
Pria itu tetap baik, perhatian dan setia. Tak lupa selalu mengingatkan bahwa seorang istri, harus taat pada suaminya. Apa pun itu, selagi tidak maksiat.

Saat suamiku tersenyum, aku seperti memiliki kekuatan baru untuk mengurus rumah, anak –anak dan sekaligus keperluannya.
Semuanya baik –baik saja. Bahkan rumah tangga kami semakin bahagia setelah kami sama –sama hijrah. Sekarang aku bahkan mengandung anak ke enam kami.

Setelah mengaji, suami memiliki keahlian baru. Dia yang awalnya memiliki keterampilan medis, mendalami terapi Bekam dan menjadi seorang terapis. Mas Haris banyak membantu orang sekitar dengan gratis. Namun, ada sebagian yang memaksanya menerima amplop, katanya sebagai sarat agar sakitnya sembuh berkat perantara hadiah yang dia berikan.

Suami pun bercerita padaku, karena mendapati pasien yang berbeda.
Ada satu pria yang menjadi langganan suami, yang sering mengisi amplopnya dengan nominal tak wajar dibanding pasien –pasien lain. Bekam yang orang biasa memberinya sekitar 150r ribu, orang itu tanpa ragu memberinya 500 ribu.

Padahal dia juga bukan orang kaya, bahkan jauh dari kata kaya, sebut saja namanya Pak Karim. Entah, bagaimana awalnya Mas Haris dan orang itu bertemu. Hanya saja aku bisa memaklumi, sebab setelah seseorang mengenal lingkungnan baru, maka dia akan banyak mendapatkan kenalan baru. Lingkup pergaulan juga meluas. Barang kali itu kenapa Rasulullah mengatakan bahwa silaturahmi memanjangkan umur dan melapangkan rizqi. Bukan hanya suami dapat pelanggan baru dari pekerjaan yang semula, dia juga mendapat pekerjaan baru.

Namun tetap saja bagiku apa yang Pak Karim berikan itu tak benar, aku pun coba menasehati dan mengingatkan. Dia saja secara finansial jauh di bawah kami, kenapa mau memberi Mas Haris sebanyak itu?

“Itu nggak wajar lho, Bi. Bukannya Ustaz Abi juga bilang, kalau sebaiknya bekam itu tidak mentarif.”

“Ya, ini nggak mentarif, Mi. Beliau memang ngasih gitu aja. Mungkin karena ada hajat kali, Mi. Anggap saja ini rizqi untuk anak –anak.” 
Pria itu menjawab lugas.

Pak Karim jadi sering memanggil Mas Haris, dan berlangganan bekam. Kadang sampai seminggu sekali, saking seringnya. Aku sampai bertanya –tanya, apa sakitnya separah itu, sampai harus bertemu.

“Mi, nanti kalau Abi nggak pulang, jangan ditelpon –telpon. Dicari –cari. Di cek –cek. Abi mau fokus i’tikaf di Masjid.”

Mas Haris bicara dengan nada menekan. Walau rasanya seperti diancam, aku pun mengiyakan. Semoga saja kegiatannya itikaf itu tidak berkumpul dan kopdar dengan teman-teman di grup WA-nya. Kalau tidak, mereka akan terus memprovokasi suamiku untuk poligami. Sama halnya batu, yang keras saja kalau ditetesi air terus terusan akan berlubang, apalagi hati suamiku?

Next .....

❤️

Bab 2 : Nasehat Bapak

Mas Haris bicara dengan nada menekan. Walau rasanya seperti diancam, aku pun mengiyakan. Toh, suamiku sudah membuktikan bahwa dia sudah banyak berubah.

Sejak rajin ke kajian, suami pun sikapnya semakin baik. Dia tegas pada segala hal yang berkaitan dengan kewajiban kami sebagai seorang muslim. Dulu yang sholat bolong –bolong, sekarang malah rutin jamaah di Masjid. Permintaannya agar aku merelakan dia untuk tidak pulang, dan tak mencarinya, adalah bentuk kematangannya dalam ber-Islam.

Wajar di usianya yang sudah memasuki angka 40 untuk lebih banyak mengingat akhirat. Bukankah usia tersebut adalah angka penentuan, apakah seseorang itu tetap hidup bergelimang maksiat dan abai pada akhirat, atau justru sebaliknya.

“Iya, Bi. Umi mengerti.” Aku mengangguk patuh.

Mulai hari itu, dia memang mengkhususkan satu hari satu malam tidak pulang untuk beri’tikaf di Masjid.

“Bagus.” Mas Haris mengusap kepalaku lembut. Diikuti senyum manis yang menghiasi bibirnya. Sebuah senyuman yang mampu melenyapkan semua kegelisahan yang kurasakan kala dia tidak berada di sampingku.

Rumah tangga kami tetap harmonis, dan bahkan aku mengandung anak ke enam di tahun pernikahan ke 16.

Kabar mengenai Pak Karim tidak lagi aku dengar, sampai aku harus bertanya padanya. “Tumben sudah berapa bulan ini, Pak Karim tidak minta bekam, Bi?” tanyaku penasaran. “Apa beliau baik –baik saja? Belum meninggal maksudnya? He he.” Aku bicara dengan nada sedikit bercanda.

“Huss, jaga bicaramu, Mi. Umi ini seorang perempuan dan juga seorang Ibu,” hardik Mas Haris. Dia terlihat begitu emosi ketika membicarakan Pak Karim. “Umi tahu, beliau itu banyak sekali jasanya pada kita.”

Hiss, banyak apanya? Apa karena Pak Karim sudah menjadi pelanggan tetapnya dan memberinya banyak uang? Aku cuma bisa ngedumel dalam hati. Tidak ingin ia murka hanya karena membahas Pak Karim. Entah, kenapa dia jadi sesensitif itu pada orang yang belum lama dikenalnya.

“Pak Karim sudah pindah ke luar kota. Jadi, Abi akan ke sana untuk sesekali berkunjung.” Pria itu menyambung ucapannya.

“Oh jadi begitu.” Aku manggut –manggut.

“Ya, sudah tidurlah, Mi. Umi pasti lelah seharian ini ngurus anak –anak sendiri. Maaf kalau Abi nggak sebanyak dulu waktu di rumah.” Suara pria itu melunak. Tampaknya dia menahan diri untuk tidak marah padaku.

Namun, benar kata orang, bahwa firasat seorang wanita itu sangat kuat. Apalagi dia seorang ibu dan istri. Aku tidak tahu, kenapa belakangan merasa sangat kesepian ketika suami tidak pulang, dan berpamitan menemui pasiennya usai kerja. Hatiku terasa terbakar meski bertemu dengannya dan berbincang seperti biasa.

Aku merasa ada berbeda dari Mas Haris meski dia tak mengubah sikap dan perhatiannya padaku dan anak –anak.

“Ya Rabb, ada apa ini?”

Rasa gelisah itu semakin hari semakin menjadi. Lebih saat suami memulai usaha baru di luar kota. Alasannya membuka cabang dan melebarkan sayap bisnisnya.

Suamiku terlihat semakin sibuk. Meski dia tetap pulang, tapi dia jadi sering ke luar kota. Dia juga tak seintensif dulu memberiku kabar. Perasaan tak enak pun semakin menyiksa. Ditambah pekerjaan rumah yang terasa semakin berat tanpanya. Karena bahkan meski punya lebihan uang, kami ragu memperkerjakan orang lain di rumah.

Apalagi, aku ini anak semata wayang, tidak punya saudara juga untuk diminta membantu. Ibu dan ayah masih ada, mereka tinggal lumayan jauh dari rumah kami. Dan tentu saja aku tak mau merepotkan mereka.

Suatu kali Ibu dan Bapak berkunjung ke rumah, karena kangen kepada cucu –cucu mereka. Sementara Ibu sibuk dengan anak –anak, Bapak datang mendekatiku.

“Nduk, berat, ya? Yang sabar. Banyak ngalah saja, ya. Haris itu mau bagaimana pun, dia suami yang baik dan bertanggung jawab pada keluarganya.”

“Nggeh, Pak,” sahutku.

Aku tidak tahu kenapa Bapak bisa bicara begitu? Mungkinkah beliau tahu sesuatu tentang Mas Haris tapi enggan mengatakannya padaku?

Next ....
 

 

 


 

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya Setelah 15 Tahun Pernikahan ( Bab 3,4 & 5 )
4
1
Aku sangat geram pada akun bernama Wawan, dia sering kali nge -tag suamiku agar berpoligami.
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan