Istriku Berubah Seksi (5,6,7)

1
0
Deskripsi

Seperti dugaanku, Delia menyambutku dengan hangat di rumahnya. Ah, gadis satu ini membuatku tak sabar untuk…..

BAB 5

"Rama?" Tuan muda itu mengerutkan dahinya.  Seolah mengingat sesuatu tentangku. "Dia ...."

"Stt. Mas, sudah." Mayang meletakkan tangan di dada suaminya, seolah mencegah sesuatu. "Kita pergi saja." Wanita muda nan cantik itu mendorong tubuh suaminya yang menjadi calon atasanku di kantor.

Mereka membuatku bingung, ada apa sebenarnya? Sikap mereka menunjukkan seperti ada yang tak beres. Apa Mayang menceritakan semua tentang masalalu kami? Gawat jika lelaki itu akan membalas dendam padaku, bisa-bisa bukan hanya tidak terpilih jadi manajer tapi aku juga akan dipecat.

Kali ini keberuntungan sedang tak berpihak padaku, ah tapi kapan juga aku pernah beruntung? Satu-satunya keberuntungan yang kupunya hanyalah punya wajah tampan yang digilai banyak wanita, selain itu .... Huh. Aku terus mendesah panjang terhadap banyak hal yang kualami.

Sekarang aku melihatnya telah bahagia. Jujur saja, sakit hati melihat Mayang berjalan dengan suaminya. Sampai berandai-andai, jika saja aku yang sukses dan berdiri di samping mantanku. Memiliki anak lelaki yang juga tampan dan mirip denganku. Aku yakin, anak itu adalah anakku. Tapi kenapa Mayang dulu tak pernah bilang dia sedang mengandung?

Melihat kehadirannya membuat bayangan masa lalu kembali berputar. Di gubuk di pematang sawah, kami duduk menikmati udara setelah makan siang yang Mayang bawakan dari rumahnya.

"Wah, coba aku udah lulus ya, Mas. Kita bisa langsung nikah, kerja dan mengembalikan uang yang Mas Rama berikan untuk berobat ibu." Aku memang baru menyerahkan uang 10 juta pada bapaknya Mayang.

Sebelumnya aku meminjam pada Bank 200 juta untuk biaya operasi Bapakku sendiri yang sudah komplikasi dengan menjaminkan rumah yang kami tempati dan sawah kakek. Lalu ada sisa sekitar 15 juta, tentu aku tidak diam saja saat melihat ibu Mayang memerlukan uang untuk biaya rumah sakit.

"Kenapa kamu mikir gitu, fokus saja pada sekolahmu. Dua tahun bukan waktu yang lama."

"Tapi Mas, aku gak enak terus ngerepotin ...."

"Stt." Aku menutup mulutnya. Lalu mendaratkan ciuman di sana. Siapa yang sangka, Mayang yang selama ini selalu menjaga diri agar kami tak berbuat lebih, kini justru pasrah. Kami semakin larut. Hari itu lah pertama kali melakukan hal yang tidak boleh dilakukan kecuali suami istri.

Satu tahun sebelum kelulusan Mayang, Bapakku meninggal, kami memutuskan pindah ke kota. Karena aku harus bekerja mencicil hutang di Bank yang pernah aku pinjam. Berbulan-bulan mencari pekerjaan tak semudah yang kami pikir. Padahal aku juga harus membiayai sekolah Mia. Bekal dari desa hasil menjual rumah juga telah habis meski Mama telah bekerja.

Mayang sering menelepon, menanyakan kabar kami di kota. Ia akan bahagia mendengar kami baik-baik saja. Tapi dia tak pernah bilang jika hamil. Jika saja dia hamil aku pasti akan bertanggung jawab dan menikahinya. Aku bukan orang baik, tapi aku tak sejahat yang orang lain pikir.

Awalnya, perpisahan dengan Mayang terasa menyakitkan. Namun, jarak membuatku mulai bosan padanya. Hidupku terlalu keras untuk memikirkan kesetiaan.

"Huft." Aku meniup berat setiap kali mengingat beratnya hidup yang kupikul.

Dadaku ingin meledak rasanya. Kata orang ternyata benar, salah satu hal yang paling menyakitkan itu adalah melihat mantan bahagia jauh melampaui kita. Jika Mayang dendam, habislah aku.

Kuteguk habis minuman kaleng soda di tangan dan meremasnya. Berharap hal itu cukup untuk melampiaskan kekesalanku sekarang. Bahkan gairahku lenyap sepenuhnya pada Delia karena Mayang, melihat chat darinya saja malas. Ada banyak panggilan darinya sejak sore yang kuabaikan. Tak peduli seberapa marahnya dia nanti. Tiba-tiba saja aku takut, jika melepas Ratih, hal sama akan terulang lagi. Bagaimana jika nanti dia pun seperti Mayang? Aku pasti akan sangat menyesalinya.

Ah, mikir apa sih, aku ini? Bodoh sekali.

"Kamu pegawainya Wenda?" Suara bariton seorang laki-laki tetiba terdengar dekat di sampingku.

Aku menoleh pada asal suara. Pria itu duduk dengan tenang menuang sirup pada cangkir yang berisi es batu. Mataku menyipit, apa aku yang diajaknya bicara?

"Tuan bicara dengan saya?"

"Hem. Sepertinya kamu sangat gelisah." Pria itu  terlihat berwibawa meski dengan pakaian kasual. Aku belum pernah melihat orang itu, tapi sepertinya familiar. Kutaksir usianya lima tahun lebih tua dariku. Tubuhnya tegap, wajahnya berseri dan tampan. Yah, meski tak lebih tampan dariku.

Aku memiringkan senyum mendengar ucapannya. Konyol sekali. Dia berusaha membaca apa yang aku alami. Pria itu pikir dia dukun? Roy Kiyosi saja tak aku percaya apalagi orang asing yang tak jelas asal-usulnya itu.

"Alendra! Ke mari lah!" Suara Bu Wenda dari kejauhan menyeru nama seseorang. Lelaki di sampingku berdiri.

"Maaf, aku harus pergi," pamitnya. Rupanya pria itu yang dimaksud.

Aku mengangguk, memberi penghormatan. "Silakan."
Apa dia suami Bu Wenda? Tapi selama ini tidak pernah kelihatan di kantor.

"Lo kenapa bengong begitu??" Dika membawa sepiring cake kecil di tangannya dan duduk begitu saja di sampingku.

"Apa itu suami Ibu Wenda?" Aku menunjuk pria yang tengah bicara akrab dengan bos kami.

"Hem?" Dika memusatkan penglihatannya. "Lo gak tau? Dia Alendra, produser terkenal. Kalo diperhatikan mirip dengan Bu Wenda, masa iya suaminya?" Pria berkulit hitam manis itu menggedikkan bahu. "Entahlah, gue malas bergosip kalau gak nguntungin buat gue." Dengan rakus Dika menyuap kue ke mulutnya.

Hiss dasar si Dika. Tapi siapa Alendra itu? Aku jadi penasaran. Melihatnya membuatku sadar, ternyata lelaki sempurna bertebaran di muka bumi. Bukan cuma tampan tapi juga sukses. Kalau saja aku satu dari mereka.

BERSAMBUNG
Kan, sejelek-jeleknya Rama dia juga pernah punya sisi baik dan bertanggung jawab. 😂
Baca juga POV istri yang tak kalah seru.

_______________

BAB 6

 

Pria bernama Alendra kembali duduk di meja kami. Meneruskan ritual minumnya yang tertunda.

"Kamu kalau dilihat tampan juga." Pria itu kembali mengajakku bicara. Aku hanya tersenyum mendengarnya, dia bukan pria pertama yang memujiku.

"Hem, betul. Dia memang tampan, Pak. Boleh tuh jadi artisnya Bapak," celetuk Dika. "Gue bakal berhenti kerja dan jadi manajer lo kalau sampe lo jadi artis Ram!" Pria itu lalu bicara menatapku. 
Ah, dipuji dari dulu membuatku senang. Tuhan memang baik memberiku wajah tampan, hingga aku tak mudah diremehkan orang. (Yah, kecuali netizen KBM. 😏)

"Iya, kalau mau aku bisa mengorbitkanmu sebagai bintang besar. Kebetulan aku baru nemu cerita bagus dari seorang penulis. Em, judulnya "Aku (berubah) Seksi". Wah, kamu sangat cocok memerankan suaminya."

"Wah, pasti suaminya sangat tampan dan baik ya, Pak." Ah aku jadi malu sendiri mengucap ini seperti sedang memuji diri sendiri. Namun, sayang sedikit pun aku tak pernah tertarik pada dunia selebriti.

"Sebentar." Pak Alendra merogoh kantong. Mengeluarkan sebuah ponsel. Dan sibuk membalas pesan. 
"Nah, pas sekali."

"Istrinya, Pak. Saya pikir Bapak suaminya Bu Wenda." Dika refleks menyahut.

"Hahaha." Pak Alendra tertawa. Sial, tertawa saja itu orang tetap tampak bersahaja. "Bukan. Dia penulis yang kubilang tadi, kami sedang PDKT juga. Dan Wenda itu adikku."

"Ooo ...." Mulutku dan mulut Dika membulat.

"Aku ingin menyelamatkan wanita cantik itu dari suaminya yang tak tau diri." Alendra bicara tenang. Ia mengambil rokok, dan aku buru-buru menyalakan korek untuknya. Aku harus jaga sikap pada orang yang dekat dengan Bu Wenda. Siapa tahu suatu saat aku memerlukan bantuannya.

Alendra menyodorkan rokok padaku dan Dika.  Temanku itu segera meraihnya tapi aku menolak.

"Kenapa?" Alendra bertanya heran.

"Dia tidak merokok, Pak! Katanya takut gantengnya luntur." Dika menyahut untukku yang kemudian kembali disambut tawa renyah Alendra.

Selama ini aku memang tak merokok. Walau dulu sempat kecanduan. Karena setelah dihitung-hitung, akan banyak pengeluaran untuk disisihkan guna beli rokok.  Aku harus benar-benar berhemat.

"Siapa penulis itu?" tanyaku untuk mengalihkan perhatian.

"Namanya Ratih."

"Ratih?" Aku terkejut lalu saling pandang dengan Dika. Rekanku itu seolah tahu apa yang kupikirkan. Tapi istriku bukan penulis. Ah, pasti Ratih yang lain. Namanya memang pasaran.

"Dia akan segera bercerai dengan suaminya yang brengsek dan menyia-nyiakan wanita sebaik dirinya."

"Wah, bener-bener brengsek!" umpat Dika refleks.  Entah, kenapa aku merasa Alendra menyindirku. Tapi berusaha tenang. Semua ini pasti hanya kebetulan.

"Em, laki-laki jaman sekarang memang banyak yang kurang ajar, Pak." Aku bicara seolah mendukung Alendra, dengan tersenyum miris. Sial, kenapa perasaanku tak enak begini?

"Oya, ini kartu namaku. Jika ingin jadi artis, hubungi saja aku." Alendra akhirnya bangkit. Produser sepertinya pasti sangat sibuk.

Kuambil kartu nama pria yang telah pergi meninggalkan meja kami.

"Wah, lo beruntung Ram. Pak Alendra pasti sedang mencari aktor. Kalau gue jadi lo bakal gue sikat itu tawaran."

"Ya udah, lo ambil aja job ini." Kuserahkan kartu itu pada Dika.

"Ck. Kan produser itu maunya lo, kenapa gue?" Dika mendorong tanganku. "Gaya lo, jadi gigolo kagak mau, sekarang jadi artis juga kagak mau."

Aku tersenyum sinis pada Dika. Uang memang bisa membahagiakan kehidupan seseorang, tapi tidak semua cara harus ditempuh untuk mendapatkan uang, bahkan melakukan sesuatu yang sama sekali tak kita suka.

Apa bagusnya jadi artis, lagian aku tak pandai pura-pura. Sekarang saja aku yakin,  bahwa Ratih tahu sebenarnya suaminya sedang jalan dengan perempuan lain. Kadang, diamnya Ratih terhadap kesalahanku, memmbuatku tetap percaya diri menegakkan kepala dan tenang di luar rumah. Entah, apa aku akan mendapatkannya dari Delia nanti?

"Btw, Ratih bukan penulis 'kan, Ram?" tanya Dika tiba-tiba. Aku hanya menarik satu sudut bibirku mendengar pertanyaan konyolnya.

Istriku itu mana sempat menulis di sela aktivitasnya. Merawat tubuhnya sendiri saja tak ada waktu. Meski akhir-akhir ini berbeda, sejak jadi manajer penampilannya berubah.

Rasanya aneh saja, perbincangan dengan produser itu membuatku seolah aku menelanjangi diriku sendiri. Suami berengsek yang terus saja membuat istrinya menderita. Bagaimana jika Ratih memilih menjadi penulis itu? Mencari kebahagiaan lain dan mendapatkan pria sesukses Alendra. Oh tidak. Aku akan gila.

Waktu terus berjalan, sebelum pulang kusempatkan membalas pesan Delia, agar ia tak menagih untuk video call sebelum tidur. Aku sangat lelah dan hanya ingin merebahkan diri di kamar.

[Maaf Sayang. Mas beneran sibuk, gak bisa diganggu. Minggu depan aja Mas langsung ke rumah kamu, kirim alamatnya. Oke?! Loveyou]

Namun, Delia sangat gigih. Meski chat tak terbalas dia mengirimnya lagi dan lagi. Ponsel terus bergetar akibat notif itu. Huft. Kadang-kadang menjadi orang tampan juga menyusahkan.

Sebelum ke luar, aku yang beriringan dengan Dika bertemu Mayang yang berjalan tergesa membawa sesuatu di tangannya. Mata kami sempat beradu sebentar, dan wanita itu tersenyum padaku.

'Senyum itu sungguh menyakitkan May ....'

"Haduh, gila. Enak bener jadi orang kaya ya, Ram. Bisa punya istri secantik itu." Pria di sampingku menggeleng-geleng. "Bentar lagi, suami dia bakal jadi bos kita yang baru. Gue kalau kaya itu bos bakal lamar Britney spears, Angelina Jolie dan BCL buat jadi istri gue," oceh Dika setelah berpapasan dengan Mayang.

Aku juga geleng-geleng lihat kelakuan Dika. Kaya gak pernah lihat cewek cantik saja. Ck. Kalau saja Dika tahu Mayang adalah mantanku, bisa semaput itu orang.

"Sudahlah, kalo halu jangan berlebihan." Kupercepat langkah menuju parkiran. Diikuti pria yang takjub dengan kecantikan Mayang.

***

Sampai rumah, suasana sudah sepi Ratih dan Denisa pasti sudah tidur. Saat berjalan ke dapur, aku iseng membuka tudung saji di atas meja. Tak ada makanan. Ratih sungguh berubah, dia tak lagi memasak untukku.

Aku ingin sesuatu yang menghangatkan sebelum tidur, tapi melihat wajah Ratih yang kelelahan jadi tidak tega. Sekarang dia manajer pasti pekerjaannya lebih berat dari sebelumnya.

Ah, kenapa aku jadi peduli? Ini pasti efek pikiranku yang tak karuan setelah bertemu Mayang. Aku mulai takut, saat nanti dipecat dan Ratih meninggalkanku, apa yang bisa kulakukan? Ya, pasti karena itu bukan karena khawatir dia terluka lagi seperti Mayang atau aku jadi lemah dengan perubahan istriku yang drastis akhir-akhir ini. Pasti bukan karena itu.

Sebelum tidur aku kembali mengecek ponsel. Ada sekitar 10 chat dari tiga nomor.

Pertama, dari Mia. [Makasih Mas ganteng, kata Mama Mas ganteng suruh mampir, mau dibikinin semur jengkol kesukaan Mas.]

Beralih nomor kedua, dari Delia. Dia mengirim alamat tempatnya tinggal. Dan oh ... aku bisa beneran gila karena ini. Wanita itu sudah tergila-gila padaku. Tak kuhiraukan, dia malah mengirim banyak gambar tak senonoh. Ya ampun. Apa aku sedang berpacaran dengan pelacur?

Aku terlalu lelah, badan dan pikiran sekaligus karena insiden hari ini. Bahkan untuk membayangkan Delia pun, aku tak bernafsu.

Lalu ada pesan terakhir dari nomor baru. 
[Mas, maaf soal tadi. Lain kali, aku ingin bicara berdua saja sama Mas Rama. Ayo kita bertemu akhir pekan besok.]

Siapa? Kenapa gaya pesannya seperti sudah sangat akrab padaku? Penasaran, aku mengklik fotonya. Jantungku hampir saja meloncat saat melihat seorang wanita berpose dalam gambar. Mayang?

***

Hari minggu, pagi buta Ratih sudah berpakaian sangat rapi. Istriku itu penampilannya jauh lebih segar dari yang dulu. Ia sedang bersiap sebelum mengantar Denisa ke pengasuhnya.

"Em, kamu mau kerja? Bukannya sekarang libur?" Ah, kenapa bertanya saja aku jadi salah tingkah begini melihatnya sukses.

"Ya, Mas. Ada program baru yang harus kami urus," jawabnya tanpa melihat padaku. Tangan terampilnya kini tengah memakaikan baju Denisa. Dia sepertinya terburu-buru.

"Apa ... tidak ada makanan? Maksudku kamu pasti lama."

Ratih, menghentikan gerak tangannya dan melirik padaku lalu melihatku dengan tatapan intens.

"Oh, kalau kamu emang buru-buru biar aku masak sendiri, atau makan di warteg. Tak masalah," ucapku cepat sebelum dia menjawab. Belum pernah aku kelihatan sebego ini di depan Ratih.

"Ya sudah, biar Denisa aku yang urus. Kamu pergilah!" Kuraih tubuh mungil Denisa dan melanjutkan apa yang Ratih kerjakan, tak peduli melihat tatapan anehnya padaku.

"Kamu gak lagi kesambet 'kan, Mas?" tanya Ratih sebelum pergi meninggalkanku. "Oya, jangan buat dia menangis!" Ratih berbalik begitu sampai pintu.

"Ya, ya. Kamu tenang saja sana!"

Wanita itu akhirnya pergi.

"Papa, Papa. Da kelja cama Mama." Denisa mengoceh. Lucu juga anak ini kalau dipikir-pikir. Dia seperti boneka kecil yang cedal. Tapi ... aku gak kuat menghadapinya saat rewel.

"Nggak. Papa libur. Habis papa antar kamu ke rumah Nenek Mira, papa mau nemuin tante bohay." Aku iseng mengajaknya bicara. Denisa hanya tertawa mendengar jawabanku. Iya lah, mana dia paham omongan orang dewasa?

Setelah meletakkan Denisa, aku berniat pergi ke rumah Delia. Ingin memberinya kejutan. Tadinya aku ingin santai di rumah karena tak mau Ratih curiga. Tapi karena Ratih ternyata pergi, ini kesempatanku menemui Delia. Minggu depan terlalu lama. Kasihan juga dia dari kemarin dicuekin. Kehadiranku pasti membuatnya senang.

Hanya perlu mengetik alamatnya di google map aku bisa menemukannya dengan mudah.  Gak nyangka, teknologi sekarang luar biasa.

Sampai di sebuah apartemen motorku berhenti. Melihat nama apartemen "Rose Resident" aku yakin di sini tempatnya. Langkah kaki pun memasuki gedung mewah itu. Tidak disangka ternyata Delia selain cantik juga kaya, tak salah aku memilihnya.

Namun, saat mencapai lorong deretan pintu apartemen Delia kakiku berhenti melangkah. Lalu cepat bersembunyi di balik dinding belokan. Aku melihat Mayang ke luar dari pintu bersama Delia. Ada apa ini? Apa mereka saling kenal?

Setelah Mayang pergi aku kembali meneruskan niatku menghampiri pacarku itu. Begitu menekan bel dan Delia keluar, wanita itu tampak terkejut tapi juga senang. 
"Mas Rama? Kok sudah ada di sini?" Delia memelukku begitu aku datang.

Bersambung
Kira-kira ada apa ini? Rama makin bingung mantannya dan pacarnya keliatan akrab, tapi dengan pedenya dia tetep ngadepin kenyataan. 😆


____________

BAB 7


Pelukan Delia seperti setrum yang daya kejutnya di atas 1000 Kwh. Oh shit! Sudah lama aku tidak merasa seperti ini. Mendapatkan pelukan dari wanita dengan tubuh berisi.

"Kamu kenal sama Mayang?" tanyaku saat masuk ke dalam apartemennya.

"Mayang? Siapa, Mas?" Delia tampak berpikir.

"Em, tadi soalnya papasan sama temenku. Kali dia kenal sama kamu dan baru ketemuan di sini."

"Elah, Mas. Apartemen di gedung ini kan banyak. Udahlah gosah bahas yang lain. Aku udah kangen nih sama Mas." Wanita itu berkelit. Dan akhirnya dia memilih berbohong. Ini kebetulan yang aneh. Baru semalam ketemu Mayang, sekarang dia keluar dari kamar pacarku. Apa dia pikir Rama sebodoh itu? Heh, dia hanya belum jauh mengenalku, selain tampan intuisiku juga tajam.

"Bentar ya, Mas. Aku ganti baju dulu gerah, nih." Delia bangkit. Ia masuk ke kamarnya. Apa yang sebenarnya mereka rencanakan?

Tak lama wanita itu keluar dengan pakaian sangat tipis. Ya, Tuhan. Mataku ternodai lagi. Perempuan itu mengerdipkan matanya dengan nakal. Ia berjalan ke dapur dengan beberapa kali mengedip genit padaku.

Dasar Delia. Dia pikir aku ke sini mau jajan sama pelacur. Aku hanya tertawa melihatnya.

Setelah meletakkan gelas, perempuan seksi itu duduk menempel di sampingku. Siapa yang tahu jika minuman itu diletakkan sesuatu di dalamnya? 
"Beneran gerah, ya?" Kukibaskan kemeja bagian dada.

"Mau dibuka Mas?" Tangan Delia nakal memegang kemeja depanku. Kali ini imanku sangat diuji.

"Ehm. Tidak perlu." Kupegang tangannya.

"Ish. Mas Rama sok jaim. Padahal udah kangen banget kan sama aku. Udah berminggu-minggu lho kita nahan."

"Delia."

"Ya?" Wanita itu akhirnya mendongak menatap mataku setelah dari tadi berusaha melucuti kelaki-lakianku.

"Kamu pernah dengar berita pelacur yang dibunuh pacarnya sendiri karena berdusta?"

"Apa?!" Mata wanita itu melebar. "Maksud Mas?" Delia menarik tanganya kasar dan mundur menjauhiku.

"Mas hanya bertanya, kenapa kamu marah? Semalam Mas baca berita itu di tajuk kriminal." Aku berusaha mencairkan suasana yang kaku ini.

"Oh, kirain Mas nganggep aku pelacur." Delia kembali mendekat.

"Yah, gak lah Sayang. Mas akan mengistimewakanmu dari pada kekasih-kekasih Mas sebelumnya. Mas tidak akan menidurimu sebelum menghalalkanmu."

"Apa?!" Mata lentik Delia melebar sempurna.

"Yah baiklah, Delia Sayang. Kamu pasti bingung sama sikap Mas. Sama deh Mas juga bingung, kenapa kamu gak mau jujur sama Mas?" Aku mendesah untuk menekan ucapanku yang pelan. Perempuan itu mengerutkan dahinya.

"Maksud Mas apa, sih?"

"Oke. Gini aja ya. Kita bisa kembali komunikasi seperti sebelumnya, begitu kamu mau jujur semua tentangmu. Seperti halnya Mas, yang udah jujur ke kamu bahwa Mas masih menikah dan baru mengurus surat cerainya. Begitu juga kenapa akhir-akhir ini Mas sibuk, karena gak bisa serta merta ninggalin istri sah Mas. Lantaran bos menuntut tak ada perceraian dalam keluarga pegawainya yang dipromosikan."

Delia memanyunkan bibirnya. Ah, andai aku tak sedang kesal sudah kucipok bibir mungilnya itu. Padahal harusnya hari ini pertama kami bisa saling bersentuhan lebih intim dari sebelumnya. Tapi, kehadiran Mayang lagi-lagi mengganggu.

"Okey, terserah Mas. Kalau aku jujur apa Mas tetep mau sama aku?" tanya Delia mengiba. Melihat keraguan di wajahnya aku memilih bangkit untuk kemudian berpamitan.

Namun, baru melangkah tangan wanita itu meraih lenganku. 
"Apa gak bisa kita bicarakan lain kali, Mas? Hari ini aku ingin bersama Mas Rama?"

Apa wajahku terlihat sangat polos baginya? Hingga dengan mudah wanita itu mengungkapkan kemauannya yang jelas tak mungkin dituruti pria waras sepertiku? Masalahku dan Mayang bukan hal sepele. Dia cinta pertamaku dan aku cinta pertama baginya. Bukan hubungan yang terjalin seperti Bunda-Papanya anak SD. Luka hati perempuan itu pasti sangat dalam padaku, lebih jika benar anak laki-laki yang bersama Mayang malam itu lahir dari perbuatanku.

Kumiringkan senyum dan bicara selemah mungkin pada Delia sembari melepas tangannya. 
"Pikirkan, pria mana yang mau dipermainkan? Hem?"

Jika memang tak ada masalah dan dia tidak salah, harusnya bicara dengan jujur, siapa Mayang dan ada hubungan apa dengannya?

Akhirnya kutinggalkan Delia dengan gurat kekecewaan yang tergambar jelas di wajahnya. 
Ah, aku takjub pada diriku sendiri, tak percaya bisa bertindak sekeren itu menolak wanita cantik dan seksi sepertinya.

***

Motor kupacu dengan kecepatan sedang, baru saja akan memasuki kompleks rumahku, ponsel mendengung. Nada 'bahaya' dari kontak Dika.

"Ah, sialan. Kenapa lagi itu anak?" Kutepikan kendaraan dan merogoh ponsel dari saku celana.

"Ya, Dik. Ngape sih, lo?" tanyaku kesal. Dia pasti mau merepotkan jika menelepon di jam begini.

"Ram, tolongin gue." Suara Dika terdengar panik.

"Kenapa ketauan selingkuh lagi?"

"Sekarang bukan waktunya bertanya. Lo buruan deh, ke sini! Gue terjebak di ruang ganti. Di luar pacar, istri dan mertua gue lagi milih baju."

"Oh, gila lo! Ogah. Males gue!" Kututup telepon dan memasukkan kembali ke kantong. Kebiasaan tuh orang. Enaknya aja gak bagi-bagi. Begitu ada masalah bikin ribet.

Namun, baru akan menyalakan mesin motor ponsel berbunyi lagi. "Aishhh. Si Dika!" Terpaksa aku membuka panggilannya lagi.

"Ram, ayolah! Katanya kita temen. Tar gue traktir makan siang seminggu penuh deh." Dika memohon-mohon agar aku datang menolongnya.

Aku mendesah panjang mendengar itu. Gak tega juga rasanya lihat dia dipecat jadi mantu. "Sebulan gimana?" 
Yah, lumayan juga sebulan gratis makan siang 'kan?

"Oke-oke, buruan. Gue di Mall. Kalo sampe kelamaan terus istri gue tau, lo yang traktir sebulan!" Dika menutup ponselnya. Huh, dasar aneh itu orang. Dia yang ngerepotin, aku yang harus rugi.

Tanpa berpikir panjang lagi, aku berbalik arah. Melaju ke Mall yang Dika maksud. Sampai gedung yang ramai manusia di akhir pekan itu, aku segera berputar-putar mencari toko pakaian yang Dika maksud. Sudah lebih 10 menit dan tak juga kutemukan.

Dika terus memanggil. "Hallo, Ram. Lo di mana?"

"Gue udah di Mall, lo di mana?"

"Untunglah. Di lantai enam, toko deket bioskop!"

Aku berjalan lebih cepat, menaiki eskalator menuju lantai tiga. Namun, baru menjejakkan kaki di lantai enam langkahku memelan melihat Ratih berjalan dengan seorang wanita ke luar dari pintu bioskop.

"Hem? Apa dia persentasi dalam bioskop?" Aku menggedikkan bahu tak ingin peduli, tapi saat akan melangkah ke toko yang dimaksud Dika teriakan seorang pria berpakaian seragam toko membuatku berhenti.
"Awas! Awas! Barang berat!"

Pegawai toko itu membawa tumpukan dus barang di atas troli. Gila, kenapa dia nekad mengangkut barang di luar kapasitas?

Dus-dus yang tampak berat itu berguncang, dan hampir jatuh, anehnya pegawai itu tetap nekad mendorong. Di saat yang sama Ratih yang berjalan dari arah lain yang tidak melihat karena terhalang dinding di belokan akan kejatuhan benda-benda itu jika tidak berhenti. Kenapa dia bisa seceroboh itu? Bagaimana jika badannya yang kurus 'penyet' kejatuhan dus besar itu?

Aku berlari ke arah Ratih sebelum dus itu akan menjatuhinya. 
"Ratih! Awas!" Kupeluk tubuh Ratih dan mendorongnya ke belakang. Wanita itu kaget melebarkan mata melihatku yang datang tiba-tiba dan memeluknya. Benar saja, dus-dus itu berjatuhan di belakang kami karena pegawai kesulitan berbelok. Dan satu dus mengenai punggungku. 
'Au!'
Aku mengaduh di sela nafasku yang tersengal karena lelah berlari sedang Ratih menatapku tak percaya. 
"Mas Rama?"

"Kenapa kamu seceroboh ini? Kalau jalan pakai matamu!" omelku padanya. Bagaimana jika sesuatu terjadi padanya? Aku sangat khawatir.

"Ratih, kamu mengenalnya?" Perempuan di samping Ratih tersenyum, dia melihat dengan tatapan kagum padaku. Mungkin karena aku menolong temannya.

"Ratih, kamu gak papa?" Suara seorang pria di belakang istriku terdengar khawatir.

"Pak Alendra?" Mataku melebar melihat produser itu, dan kenapa dia juga kenal pada Ratih? Mungkin kah ....

Bersambung
Rama gimana pun kondisi, gak mati gaya.😆Apa yang terjadi selanjutnya setelah tau Ratih yang dimaksud Alendra adalah istrinya? 😁

 

 

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya Istriku Berubah Seksi (8,9,10)
1
0
Pesona tampanku sungguh tak ada wanita yang bisa menolak. Siapa sangka tak ada penolakan dari Adelia saat aku memintanya untuk ….
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan