
Step Back.
“Sudah?”
“Dah,” jawab Audine setelah ditanya apakah Ia sudah siap untuk berangkat ke kantor bersama lelakinya yang juga sudah siap dan sedang berdiri di depan pintu apartment mereka.
“Ibu, Audi berangkat ya,” pamit Audine pada wanita paruh baya yang menjadi PRTnya, Eva.
“Bu, kami berangkat ya,” sambung Wisnu yang ikut berpamitan juga pada Eva.
“Nggih, Mba, Mas.”
Ditinggalkannya Eva sendirian, wanita itu terpukau dan takjub dengan teman apartment Tuannya yang juga segera akan menjadi suami dari pemilik apartment ini.
“Woaaah… Meuni bening kitu. Artis bukan?”
Kembali ke tempat Audine dan Wisnu, keduanya sudah masuk ke dalam mobil yang terparkir di tempat parkiran yang memang tersedia di sini.
“Engga ada yang ketinggalan kan?”
“Iya, semoga.”
Lalu Wisnu yang menjalankan kendaraan roda empat ini dengan ditemani wanitanya yang duduk di samping sana yang sudah membuka laptopnya untuk memeriksa apakah ada email masuk dari klien di awal tahun ini mengenai keluhan portal mereka.
“Kenapa, Di?” “Ada kerjaan?”
“Hm? Engga, mau cek aja ada email urgent ga buat hari ini, biar sampe kantor langsung gerak nemuin klien.”
“Oh…”
Mengingat sekilas kata-kata Joshua tentang klien membuat Wisnu berinisiatif sesuatu tentang hal ini.
“Januari nanti nih, bakalan banyak keluhan client lama. Jadi, siap-siap deh, Nu. Kamu bakalan ke sana-ke mari karena websitenya crash atau platformnya broken. Banyak deh. Dulu Mas sering pergi sama Dea. Nah, mungkin kamu bisa aja ditemeni sama Audine ini buat pergi ke client.”
“Audi.”
“Hm?”
“Nanti…kalau ada keluhan klien gitu, biasanya kamu bakalan ngapain?”
“Ngapain apanya? Iya, ke tempat klien, bantuin permasalahannya apa. Biasanya sih aku bertanggungjawab sama desain klien. Jadi biasanya aku bakalan meeting gitu sama klien tentang keinginan mereka mau ngubah desain atau nambah-nambah format web mungkin. Kenapa?”
“Oh… Engga. Penasaran aja. Kata Mas Joshua awal tahun ini bakalan banyak keluhan klien sama webnya yang crash. Nah katanya biasanya bakalan diwakilin sama anak salah satu tim kamu sama saya gitu buat ke tempat kliennya.”
“Ha’ah,” “Kan, saya lagi.”
“Iya ya ya maaf maaf kelepasan.”
“Iya. Kenapa emangnya?”
“Hm… Kalau nanti ada keluhan klien dan butuh anak IT, kabarin aku aja ya?”
“Oke, boleh. Kalau kamu dengan senang hati ke tempat klien.”
“Seneng kok,” ucap Wisnu yang sudah tersenyum sangat senang karena berarti Audine akan mengajaknya ke tempat klien bila ada jadwalnya.
Singkatnya mereka sudah sampai di kantor dan keduanya turun seperti biasa dari dalam mobil sana lalu masuk ke dalam gedung perkantoran mereka.
Baru saja mau menutup pintu lift, ada tangan yang muncul tiba-tiba dari depan sana dan itu Jena Hanggini yang sama halnya datang di waktu bersamaan Wisnu dan Audine sampai.
“Oh, hai, Wisnu, Odi,” sapa Jena dan itu membuat Audine langsung memberi jarak antaranya dengan Wisnu, dan Wisnu sadar akan pergerakan wanitanya yang malah memberi tempat untuk wanita lain dekatnya.
Alhasil suasana hati Wisnu memburuk sedikit karena merasa wanitanya benar-benar tak mau orang lain tahu akan kedekatan mereka berdua.
Audine : “Hai, Anggiii.”
Jena : “Kalian dah sarapan?”
Audine : “Daaah.”
Jena : “Wisnu?”
Wisnu : “Ah, sudah tadi.”
Jena : “Oh… Eh, kalian bawa bekel juga?”
Audine : “Oh… Iya.”
Wisnu : “Iya.”
Jena : “Emang lebih hemat kan ya bawa bekel dari rumah. Iya kan, Di?”
Audine : “Iya, bener.”
Lift sampai pada lantai tempat divisi Audine, maka wanita itu yang terlebih dahulu turun dan berpamitan pada dua orang lainnya yang tadi bersama dengannya.
Audine : “Duluan ya, Anggi, Mas Wisnu.”
Keduanya yang tersisa sini hanya tersenyum simpul, meskipun sebenarnya Wisnu ingin sekali bersuara tapi menjadi enggan karena ada orang lain di sini.
“Ah, Nu.”
“Iya.”
“Gimana akhir tahunnya? Ngapain aja? Bakar-bakar di rumah Marlo dong ya?”
“Marlo? Ah, ya.”
“Ohya, Nu, nanti makan siang—” belum Jena menyelesaikan kalimatnya, lantai kerja wanita tersebut sudah disapa oleh lift sini dan dengan cepat Jena hanya menyampaikan sampai bertemu lagi nanti waktu makan siang, lalu Wisnu hanya memberikan senyuman simpulnya.
Giliran Wisnu juga sampai di lantai lima sini, Ia merasakan sedikit kesal karena tak ada perpisahan yang baik antaranya dan Audine. Padahal Ia ingin sekali setidaknya memberi kecupan kecil pada bibir atau pipi wanitanya, namun keadaan tidak memberikannya kesempatan.
“Hm…”
Sedangkan Audine yang sudah sampai di mejanya itu merasa tidak enak hati pada Wisnu yang dijauhi tiba-tiba di lift dengan juga memberikan perlakuan asingnya seolah tidak ada yang istimewa antara mereka.
“Maaf ya, Nu…” “Aku lebih takut sama Hanggini soalnya… Dia kompetitif banget orangnya…”
“Permisi, Ibu Audi.”
Menoleh ke sampingnya, Audine mendapati Marlo dengan wajah senganya dan juga Bagas yang tiba-tiba memunculkan kepalanya serta memincing matanya dengan diikuti Vella melakukan hal yang sama dan ini seperti mereka bertiga mengepung Audine.
“Apa…?”
Bagas : “Kami dari pihak yang membutuhkan kejelasan dengan ini mendakwa Audine Clair Maharani untuk dapat kita introgasi secepatnya.”
“Apalagi sih…?”
Marlo : “Apakah benar saudari Audine Clair Maharani hanya sekedar mengenal saudara Wisnu Aryawardhana Malaka?”
“Iyaaa. Ada apa sih?”
Bagas : “Pertanyaan kedua, apakah sewaktu Ibu Audi meninggalkan saung saat itu setelahnya berada di satu lokasi dengan Bapak Wisnu?”
“Saung?”
Bagas : “Makan malam maren, Ya Tuhan. Mentang-mentang dah berumur gampang banget lupaannya.”
“Ih?”
Vella : “Karena berdasarkan opini kami, selang waktu kepergian serta kedatangan kembali Mba Audi dan Mas Wisnu tipis sekali berbedanya. Jadi kita asumsikan bahwa Mba Audi dan Mas Wisnu melakukan sesuatu di belakang sana?”
“Hush! Sembarangan. Melakukan apa? Ini anak ya.”
Vella : “Disuruh Mas Bagas.”
“Kalian ini apa-apaan sih?”
Kemudian suasana menjadi biasa saja setelah Marlo dan Vella keluar dari perannya.
Marlo : “Idenya Bagas, Mba.”
Menggelengkan kepalanya, Audine tidak percaya bahwa belum apa-apa saja mereka sudah dicurigai oleh rekan kerjanya, tapi memang kesalahan Wisnu waktu itu yang malah dengan cepat menyusul Audine yang pergi tanpa menunggu jeda.
Bagas : “Tapi mana mungkin juga sih Mas Wisnu suka Mba Audi yang grasak.”
“Apa?”
Marlo : “Mulut dijaga, Gas. Gini-gini mantan penghuni lembah kaki Lembang Bandung.”
“Maksud???”
Marlo : “Pesonanya ga main-main. Bisa melet siapa aja.”
“Kurang ajar!”
Vella : “Tapikan.”
Kini semua mata sudah memandang ke tempat Vella yang sepertinya ingin menceritakan suatu gosip yang Ia ketahui.
Vella : “Waktu Mas Wisnu dah pulang duluan sama Mba Audi. Mba Hanggini nanya mana Wisnu, terus Riko bilang gatau. Vella liat-liat nih gelagatnya Mba Hanggini kayaknya naksir sama Mas Wisnu deh.”
Bagas : “Iyailah, Cil. Nanya orang bukan bermaksud gua demen elu. Kagak segamblang itu.”
“Pagiii. Pagi gini dah rumpi aja. Selamat tahun baru yaaa, Semuanya,” seru Dea yang tiba-tiba datang dan memberikan beberapa bingkisan pada anak timnya ini, “Sembunyiin ya. Jangan sampe anak divisi lainnya liat.”
Marlo : “Sogokkan nih, Mba?”
Dea : “Iya sogokkan tahun ini. Diem-diem aja ya. Pokoknya kalian harus berbakti sama Mba.”
Marlo : “Hahaha. Siaaap ini mah.”
Bagas : “Wihiy. Ini dia yang ditunggu-tunggu.”
Vella : “Makaciiih, Mba Dea.”
“Makasih banyak, Mba.”
Dea : “Sama-sama. Mba masuk duluan yaaa.”
“Iyaaa,” balas kompak semua anak tim research dan setelahnya mereka terdistrak akan tujuan mereka yang mau mengintrogasi Audine.
Namun tak ayalnya dengan satu orang ini, Marlo yang sudah duduk kembali itu menyodorkan ponselnya pada wanita yang duduk di sebelahnya, Audine, dengan menampilkan layar ponselnya akan rekaman pada kamera belakang mobil Marlo yang memperlihatkan Audine dan Wisnu di dalamnya.
Sontak Audine langsung melotot dan membalikkan layar ponsel Marlo. Lelaki yang menjadi pemilik ponsel ini sudah memberikan tatapan usilnya di sini dengan maksud agar Ia sendiri mendapatkan penjelasan secara aktual dari Audine.
“Tuhan…”
Jam makan siang telah tiba, Audine dan teman-temannya seperti biasa langsung menuju kantin gedung sini dengan mulai memakan makanan bawaan mereka masing-masing.
“Ittadakimas, Semuanya!” seru Vella sebagai pembuka acara makan siang mereka berempat, lalu semuanya sibuk masing-masing.
“Tumben banget makanannya seafood,” ujar Bagas melihat lauk pauk Vella yang didominasi oleh makanan laut.
“Sisa bahan bakar-bakar akhir tahun. Engga abis.”
“Emang ye beda. Orang kaya mah bakarnya yang laut-laut. Kite bakar sosis doang ama jagung.”
Kemudian dua dari mereka bertukar cerita tentang liburan akhir tahun masing-masing guna mengisi percakapan makan siang kali ini, dan dua lainnya hanya menatap satu sama lain dengan mata tajam mereka.
“Marlo sahabat ku!” pekik kencang Riko dan Audine yang mendengarnya merasakan panas dingin dengan harapannya bahwa Wisnu tidak ikut ke kantin sini karena seharusnya Wisnu bisa menggunakan fasilitas ruangannya sendiri untuk makan siang.
Melihat raut wajah Audine yang cemas, Marlo langsung berlaku usil menyapa balik Riko dan mengatakan untuk anak IT bergabung dengan meja mereka saja. Sontak Audine melotot, Marlo memasang wajahnya yang berpura-pura tidak tahu apa-apa.
“Eh, Mas Wisnu, sini-sini. Duduk di samping Mba Audi aja.”
Perempuan yang disebut namanya itu membelalakkan matanya pada lelaki yang duduk di depannya, dan laki-laki diberi tatapan itu hanya menaikkan satu alisnya seolah memberi kode mengajak perang antara mereka.
Benar saja, Wisnu duduk di sebelah Audine dan semua anak IT bergabung pada satu meja sini memeriahkan meja makan panjang ini.
Memejamkan matanya sejenak, Audine tidak percaya bahwa Marlo begitu berani memojokkannya.
“Oh, tempat makan Mas Wisnu mirip sama punya Mba Audi ya?” ucap Marlo sesaat Wisnu mulai mengeluarkan kotak makannya yang memang barang ini adalah milik Audine.
“Marlo tai…”
“Ah…” tentu Wisnu kikuk dan tak tahu merespon apa karena Audine tidak memberi aba-aba padanya tentang apakah Marlo sudah tahu hubungan mereka apa belum atau ini hanya salah satu keusilan Marlo pada Audine? Wisnu tidak tahu.
“Menurut lo apa semua orang yang beli tempat makan yang sama kayak gue, ada hubungannya sama gue?”
“Iya… Gatau? Mungkin ga sih?”
“Pala lo.”
Marlo sudah tertawa kekeh, dan sepertinya tanpa Audine menjelaskan pun Marlo sudah tahu jawaban atas pertanyaannya mengenai hubungan Audine dan Wisnu.
Sedangkan rekan kerja mereka lainnya hanya menatap tidak mengeri situasi macam apa ini yang sedang terjadi di depan mata mereka.
Hingga agenda makan siang mereka selesai, dan beberapa dari mereka mulai membubarkan diri, tapi tidak dengan tim research ini.
“Di,” panggil Marlo.
“Apa…?”
“Kopi kayaknya enak ga sih?”
Iya, Itu kode. Kode untuk memisahkan diri dengan maksud tertentu.
Beranjak berdiri, Audine keluar dari meja makan sini, begitupun Marlo, dan ditinggalkanlah Bagas, Vella, serta Wisnu di meja ini menjadikkan juga kesempatan kedua orang tersebut mengintrogasi terdakwa lainnya.
Bagas : “Mas Wisnu.”
“Iya?”
Bagas : “Mas Wisnu yang waktu makan malam perusahaan tuh sebelum mulai acara makan ada ke mana dulu? Ke mobil?”
“Oh? Iya.”
Bagas : “Beneran? Cuman buat ambil tisu?”
“Iya. Kenapa?”
Vella : “Engga ada, Mas Wisnu. Kita penasaran aja Mas Wisnu ke mana.”
“Ah, ya…”
Vella : “Ohya, Mas Wisnu.”
“Iya?”
Vella : “Mba Audi cantik kan ya?”
“Audi? Ah, ya, cantik.”
Vella : “Hihihi.”
Bagas mendadak menaikkan kedua alisnya seolah bertanya maksud metode Vella apa dengan menanyakan hal tersebut pada terdakwa kedua mereka.
Vella : “Kalau Mba Hanggini gimana, Mas Wisnu?”
“Iya?”
Vella : “Mba Jena Hanggini. Cantik ga?”
“Oh, cantik.”
Vella : “Hihihi.”
Bagas makin bingung melihat cekikan Vella yang tidak jelas dan tidak bisa ditangkap oleh kepalanya, sedangkan Vella mendapatkan sesuatu dari jawaban Wisnu.
Berpindah pada Audine dan Marlo yang sedang memesan minuman berkafein untuk mereka berempat dengan ditambah satu lagi untuk Wisnu, Marlo sudah langsung mendapatkan jawabannya.
“Oke… Jadi?”
Menghela nafasnya dengan kasar, Audine tahu tak akan bisa menahan-nahan informasi tentangnya dengan Wisnu untuk tidak dapat dibertahukan pada Marlo dulu.
“Gue sama Wisnu mau nikah.”
Raut wajah Marlo berubah drastis, Ia merasa tersambar petir pada siang hari ini.
Melihat ke tempat rekan kerjanya berada, Audine tak mendapatkan respon apa-apa kecuali muka Marlo yang sepertinya habis kehilangan nyawanya.
“Apa?”
“Gue sama Wisnu mau nikah dalam waktu dekat ini,” ucap ulang Audine lagi dengan nada suaranya yang makin rendah.
Beranjak memberi jarak sedikit, Marlo memberi tatapan tak percayanya dari atas sampe bawah dan kembali ke atas Audine.
Menarik temannya ini, wanita itu bersuara lagi dengan nada rendahnya namun intonasinya yang tegas.
“Engga ya, gue ga hamil ANJIR.”
“Terus?” “Maksud gua, kenapa mendadak banget? Mas Wisnu yang bilang sendiri dia emang baru aja dateng dari Jogja, baru banget di Jakarta dari waktu kuliahnya, dan tiba-tiba mau nikah sama lu? Kenapa? Apa yang gua lewatin, SAT?”
“Dia mantan yang gue ceritain di truth or dare itu.”
Kemudian ekspresi Marlo berubah menjadi biasa saja dan bahkan hanya merespon ‘Oh’ saja.
“Mar.”
“Apeee?”
“Diem-diem ya. Gue gamau orang kantor tau. Gue sama Wisnu sepakat buat ga bilang sama siapa-siapa, terkecuali orang terdekat kita.”
“Oh, kita deket?”
“Babi.”
“Hahaha,” “Kenapa?” “Takut digosipin aneh-aneh sama anak kantor?”
“Bukan,” “Ada deh alasan lain pokoknya.”
“Kasih tau, atau gua ga mau bantuin rahasain ini. Elu gua liat-liat mulai banyak rahasianya ya semenjak sama Wisnu.”
“Astaga.”
“Apa?”
“Hanggini naksir Wisnu.”
Setelah mendapatkan minuman berkafein mereka, keduanya berbalik badan untuk kembali ke meja mereka dan siapa sangka pemandangan di depan mereka adalah hal yang baru saja mereka bicarakan.
Hanggini yang mengajak Wisnu berbicara berdua dengan Bagas dan Vella yang masih duduk di bangku meja makan sana.
Keempatnya menoleh ke tempat Audine dan Marlo yang sudah berjalan ke arah mereka. Wisnu dan Hanggini yang sudah berdiri karena tengah mengobrol itu memberi sapaan senyuman pada Audine dan Marlo yang datang.
Cemburu? Tidak, Audine belum cemburu untuk saat ini karena interaksi Wisnu dan Hanggini hanya sebatas orang normal pada umumnya.
Marlo yang sudah tahu keadaan hanya berlaku biasa saja agar tidak terlalu terlihat ataupun memihak siapapun di sini.
“Hai, Odi, Marlo,” sapa Jena yang hanya mendapat senyuman dari Audine dan juga Marlo.
“Kalian dah selesai ya makan siangnya? Lain kali ajak makan bareng dong. Kan kita seangkatan,” ucap Jena lagi dengan memberi tepukan kecil pada lengan Audine yang mana malah diberi tatapan miring oleh Marlo yang ada di sampingnya.
“Ah ya, lain waktu ya, Gi.”
“Okedeh. Duluan ya, Semuanya. Duluan ya, Nu.”
Marlo menatap Wisnu setelahnya, lelaki itu hanya memberi senyuman simpul saja pada wanita lain yang berpamitan padanya.
“Mas, ini,” kata Marlo dengan memberikan kopi yang dibelikan Audine untuk Wisnu, “Dari lubuk hati gua yang paling dalam untuk Mas Wisnu seorang.”
“Orang gila,” cibir Audine yang juga sudah memberikan kopi pada Vella dan mengajak rekan kerjanya ini meninggalkan area kantin sini, “Ayo, Vel. Jauh-jauh dari orang gila ini.”
“Hahaha. Ayo, Mbaaa.”
“Ikut dong. Takut gua,” timpa Bagas yang menyusul dengan berlari kecil di samping Vella yang sudah ditarik Audine di depan sana.
Kemudian ini adalah waktu yang tepat untuk setidaknya Marlo memberikan pernyataannya bahwa Ia mendukung lelaki ini dengan wanita yang ada di depan mereka, Audine, dengan tepukan kecil pada pundak Wisnu.
“Selamat, Mas. Bahagia terus ya sama Mba Audi,” ucap Marlo setelahnya meninggalkan Wisnu sendirian di belakang sini dengan hati yang gembira bahwa saingannya sudah tahu tentang lelaki ini mendapatkan wanita yang nyatanya mereka incar sama-sama.
Iya, Marlo juga memiliki sedikit perasaan pada Audine yang sangat masuk pada kriteria wanitanya, namun dibanding perasaan Wisnu, ini bukanlah apa-apa.
“Oke waktunya langkah mundur, Mar. Audi dah milik orang lain.”
Next Level.
“Nu.”
“Iya?”
“Mampir ke mall dulu ya, mau belanja bulanan,” ucap Audine yang sudah merebahkan tubuhnya di bangku sini dalam setengah perjalanan mereka pulang dari kantor.
“Mall mana?”
Kemudian Audine mengetuk layar radio mobilnya sini dan mulai mengaktifkan GPS mobilnya dengan juga Ia bersuara untuk memberitahukan tujuan mall mereka. Wisnu terkagum lagi dengan Audine yang mana wanita ini benar-benar membuka matanya akan teknologi canggih seperti ini, sedangkan Wisnu hanya tau persoalan komputer dan alogaritma software.
“Ikutin aja mapsnya.”
“Oke.”
Perempuan yang duduk di samping sini nampak lelah setelah membereskan beberapa kerjaannya yang memang menjadi tugasnya. Memejamkan matanya sebentar, Audine membiarkan Wisnu menyetir sendirian di sini.
“Capek banget ya, Di… Kamu hidup bertahun-tahun tuh kayak gini aja sendirian? Astaga…”
Sesampainya mereka di mall besar sini, Audine mulai memakai earphone bluetoothnya yang disambungkan ke tablet canggihnya dan juga tak lupa Audine menyampaikan bahwa Ia akan mulai meeting dengan klien bersamaan perusahaan luar negerinya.
Wisnu mengangguk mengerti. Ia tidak merasa kesal atau keberatan karena wanitanya sibuk sendirian, Wisnu pun suka juga dengan tidak diajak berbicara banyak hal, lagipun saat ini mereka menikmati waktu berduaan juga.
“Kita belanja dulu ya,” kata Audine pada Wisnu, “Baru habis itu makan.”
Lelaki itu mengangguk.
Lalu Wisnu berperan mendorong troli besi ini dengan Audine sibuk di depan sana memasukkan beberapa bahan yang sudah masuk pada list belanjaannya.
Pemandangan ini cukup mengagumkan bagi Wisnu yang melihat Audine tetap bisa fokus akan beberapa hal yang Ia kerjakan dalam satu waktu, sedangkan Wisnu tak akan bisa seperti itu.
“Kamu ada yang mau dibeli di luar ini?” tanya Audine, “Mungkin mau request sama Ibu buat dimasakkin apa buat besok?”
“Hm… Engga ada.”
“Oke, kalau gitu kita langsung ke kasir aja.”
“Iya.”
Troli ini benar-benar penuh akan belanjaan dapur bulanan Audine yang menghabiskan jutaan dan itu membuat Wisnu ingin sekali membicarakannya tentang bagaimana jika mereka mengubah agenda berbelanja ini lebih ke pergi saja ke pasar tradisional yang tentunya lebih murah.
Setelah membayarkan semuanya, Audine meminta Wisnu menaruh trolinya di depan tempat makan self-service ini agar mereka bisa memulai agenda lainnya, yakni makan malam.
“Nu.”
“Iya?”
“Boleh ga kita kerjasama buat ini? Kamu yang megang nampan, aku yang ambilin makanan yang kita mau? Biar aku bisa tetep megang ini buat fokus kerja juga.”
“Ohya, boleh.”
“Makasiiih.”
“Iya, Sayang,” ucap Wisnu yang mana membuat Audine merasa sedikit semangat kembali setelah mendengar kata sayang dari laki-laki yang disayangnya.
Ada banyak makanan yang sudah siap yang ditampilkan dalam tempatnya di sini dengan di belakang sana ada banyak koki yang sibuk akan masakan mereka masing-masing.
Lagi, Wisnu dibuat kagum akan Jakarta ini yang mana baginya ini budaya yang maju untuk di sebuah perkotaan yang orang-orangnya sibuk.
Hampir sebagian yang ada di sini adalah orang dewasa dengan kemeja formal mereka, seperti Wisnu dan Audine yang baru pulang kerja dan mau makan malam dengan cepat.
Menurut Wisnu ini fenomena alamiah yang terjadi sesaat kebanyakkan orang Jakarta akan sibuk dengan aktivitasnya bekerja dan tak mampu atau tak sempat lagi memberikan diri mereka sendiri dengan masakkan sendiri, maka tempat makan seperti ini lah jawaban yang tepat untuk mereka.
“Nu.”
“Iya?”
“Ada lagi yang mau kamu ambil? Sebelum kita ke kasir buat bayar.”
“Oh, engga, sudah.”
“Mungkin ada yang mau buat dibawa pulang? Kamu laperan ga tengah malem? Ibu Eva cuman masak pagi aja emang, aku yang minta karena makan malam aku ga nentu. Kadang makan, kadang engga. Kalau kamu takutnya mau ngemil yang asin, ambil aja apa aja di sini buat di rumah. Gapapa. Kalau aku kayaknya habis ini mau langsung tidur.”
Melihat wajah wanitanya yang menyiratkan kelelahan, Wisnu benar-benar tidak tega karena sampai di detik ini saja Audine masih harus berkutit dengan perusahaan luar negerinya.
“Engga. Gapapa. Nanti kalaupun laper bia pesen online kan kayak kamu?”
“Susah tengah malem, Nu. Ambil aja. Kamu mau apa? Sosis? Dimsum atau apa?”
“Hm… Gaada, Di. Yuk langsung bayar aja. Biar cepet selesai dan bisa cepet pulang.”
“Bener ya?”
“Iyaaa, Sayang. Ohya, ini gantian aku yang bayarin ya? Kamu kan dah bayarin belanjaan bulanan dapur.”
“Ck,” “Aku orang yang ga nolak loh ya. Jangan nyesel.”
“Hahaha. Iya, Audi.”
“Sayanggg.”
“Iya, Sayang.”
Setelah membayarkan makanan mereka, Audine dan Wisnu langsung mencari spot tempat duduk yang memang ada di samping tempat ini. Keduanya lalu sibuk akan makanan mereka masing-masing dengan sembari Audine juga meminta izin keluar sebentar dari ruangan online meetingnya untuk makan.
“Di.”
“Hm?”
“Boleh tanya-tanya soal kerjaan kamu di perusahaan luar negeri ini ga?”
“Boleeeh. Mau nanya apa?”
“Pekerjaannya sama yang kamu kerjain di perusahaan kita ini?”
“Sama.”
“Beda levelnya atau apa mungkin?”
“Hm… Beda sih levelnya. Jatuhnya aku masih middle di perusahaan LN ini, kalau di Jakarta dah senior.”
“Oh, bukan. Maksudnya tingkatan kerjaan yang kamu kerjain, apa beda?”
“Beda dong? Dari tingkatan akunya aja beda. Jatuhnya aku di sini asisten gitu yang buat mantepin konsep dari atasan aku sama jelasin ke kliennya. Kalau di Jakarta sini kan aku yang buat seluruh konsep dari klien sama website dan cuman itu aja. Urusan klien lebih ke Vella.”
“Oh… Gajinya?”
“Beda. Gedean di sini, karena level senior. Di sana aku cuman dua belas juta perbulan.”
“Di sini?”
“Tiga puluh.”
Lagi, Dan lagi Wisnu dibuat terpukau dengan Audine yang bisa melakukan dua pekerjaan sekaligus dengan gaji yang tinggi untuk ukuran di Indonesia.
“Jangan gitu deh. Gaji kamu lebih gede tau dari aku.”
“Emangnya tau berapa?”
“Hm… Gatau. Tapi pastinya di atas aku.”
“Berapa coba?”
“Gatau?”
“Tebak.”
“Hm… Lima puluh?”
“Hua, itu tau namanya.”
“Ohya?”
“Iya.”
“Wah… Pantes sama sekali ga ada jeda buat mikirin tawaran apartment aku ya.”
“Selain harga, yang aku pertimbangin juga kamu, Di. Bagi aku itu kesempatan buat lebih deket sama kamu juga.”
“Ohhh begituuu. Kamu emang naksir banget apa sama aku?”
“Banget. Makanya bisa nangisin kamu selama satu tahun.”
“Nu, seriusan kamu nangisin aku waktu itu?”
“Iya,” “Bayangin kita baru wisuda, lagi seneng-senengnya. Habis bagi cerita mau jadi apa di masa depan nanti. Engga ada ribut, tiba-tiba kamu bilang mau putus. Terus menghilang gitu aja, sosial media kamu hapus semuanya. Tau-tauanya udah di Singapura aja. Sakit rasanya, Di.”
Mendengarkan seluruh perkataan sang lelaki yang merampung cerita perpisahan mereka itu membuat wanita yang ada di sini tertegun setelahnya.
“Eh, Di, aku cuman jelasin aja ya.”
“Iyaaa,” “Maaf ya, Nu. Aku mikirnya waktu itu dengan ninggalin kamu lewat cara itu berharap bisa kita lupa masing-masing dengan cepat. Karena kalau pisahnya baik-baik aja, kayaknya aku malah gabisa lupain kamu. Meskipun sama aja sih. Ujung-ujungnya gabisa lupain kamu juga, ditambah ngerasa bersalah lagi. Kenapa ya dulu aku mikirnya cabut aja lah nanti Wisnu juga lupa? Padahal engga, dan itu malah nyakitin kita berdua.”
“Audi.”
“Hm?”
“Yang lalu biar berlalu, ya? Lagian di masa sekarang kita balik dengan baik-baik kan? Jadi itu bukan masalah lagi yang harus dibicarakan lagi kenapanya. Dah berlalu.”
“Hm… Maaf ya, Nu.”
“Iya,” “Biar afdol dimaafinnya mulai sekarang harus berbakti ya sama suami.”
“Hahaha. Ya ampun. Serius deh. Ini kita bakalan nikah? Kok bisa sih?”
“Bisa, soalnya saya emang punya impian nikah sama kamu dan punya keluarga sama kamu.”
“Kan, saya lagi.”
“Iyaaa, maaf-maaf. Aku emang mau buat keluarga sama kamu, Odiii.”
“Ya ampun dah lama banget ga denger kamu manggil aku Odi.”
“Lucu ya,” “Apa nama anak pertama kita Odi aja?”
“Belum nikah, dah mikirin nama anak aja.”
“Ini namanya perencanaan kayak dibilang Aron.”
“Astaga…”
Singkatnya mereka sudah sampai di apartment mereka dengan bantuan satpam apartment sini yang ikut membantu membawa belanjaan mereka.
“Makasih ya, Pak.”
“Sama-sama, Mba. Mari, Mas.”
Kembali lagi berdua, Wisnu benar-benar suka akan naiknya tingkatan hubungan mereka ini, yang mana keduanya seperti suami-isteri yang baru saja pulang dari kantornya.
“Di.”
“Iya?”
“Biar aku aja yang beresin belanjaannya. Kamu mandi gih.”
“Bisa? Tau emangnya?”
“Kan bisa dibuka kulkasnya, terus liat tempatnya. Oh ini tempat sayuran, aku taruh deh sayurannya di sini. Oh ini tempat telur, aku taruh telurnya di sini. Iyakan?”
Seiring Wisnu menggunakan intonasi yang menggemaskan itu membuat Audine tidak sanggup lagi menahan kegemasannya pada lelaki yang sedang bersamanya ini.
“Oh YA TUHAN!” pekik gemas Audine yang sudah membuat kedua tangannya menekan pipi Wisnu yang gempil dan ini juga membuat satu kesempatan untuk Wisnu mencium wanitanya.
Ciuman kali ini lebih panjang bunyinya karena Wisnu yang melakukannya dengan sengaja sampai-sampai Audine sendiri yang harus melepaskan ciuman mereka dan berujung Wisnu menciumi leher wanitanya.
“Hahaha. Geliii! Wisnu, geli!”
“Di.”
“Apaaa?”
“Nanti habis mandi, jangan tidur dulu ya, Di. Keluar sebentar. Kita duduk dulu di sofa, temenin aku nonton mungkin?”
“Hm… Tapi aku ngantuk.”
“Gapapa deh kamu tidur, tapi di sofa kayak waktu itu. Gimana?”
“Hm… Oke, aku mandi dulu.”
“Oke, mandi yang bersih ya.”
“Emangnya aku anak kecil?”
Setelah Audine selesai mandi, Ia malah tidak mendapati siapa-siapa di ruang utama sini.
“Nu?”
Perempuan itu mencoba menguping ke pintu kamar lelakinya dan ternyata sang lelaki sedang mandi, dan perkiraan Audine, Wisnu juga baru selesai dengan agenda membereskan belanjaan bulanannya.
“Enak juga ya ternyata punya temen apart yang bisa diajak kerjasama gini. Jadi ga kerasa capeknya.”
Seperti permintaan lelakinya, Audine merebahkan tubuhnya di sofa sini dengan Ia juga mulai menyelimuti dirinya dengan nyaman seiring pendingin udara di sini mulai menyala.
Mata Audine terasa berat, Ia benar-benar lelah dan memang seperti ini rutinitasnya sehari-hari.
“Di?”
Wisnu sudah selesai dengan agenda membersihkan serta menyiapkan dirinya itu, lelaki itu membangunkan wanitanya karena tak tega melihat sang wanita tertidur pulas di sini.
“Hm?”
“Tidur di kamar aja gih. Gapapa. Lain waktu aja lagi kita santai-santainya,” ucap Wisnu yang mau mengatakan bahwa rencananya yang menginginkan santai bersama itu lebih baik di lakukan di lain waktu saja, mengingat Audine sangat lelah malam ini.
Memberikan tangannya ke atas sana, Audine meminta Wisnu membantu membangunkannya.
“Gendong.”
“Astaga…”
Menggendong tubuh wanitanya yang lumayan, Wisnu bercanda mengeluhkannya, “Berat banget, Di,” dan itu langsung mendapat sambutan dari jambakan Audine pada rambut kepala Wisnu, “AAAAA. Audi, sakit?”
Turun dari gendongan belakang punggung laki-lakinya, wanita itu langsung terjun ke atas kasurnya untuk mengistirahatkan tubuhnya.
“Dah ya.”
“Wisnu…”
“Iya?”
“Tidur sini aja…”
Hening, Wisnu rasanya tertegun sebentar dengan mencoba memproses kata-kata dari wanitanya yang agaknya membingungkan tentang sinyal yang Ia tangkap.
Membalikkan tubuhnya untuk dapat memberi tatapannya pada sang lelaki, wanita itu menggunakan ekspresi wajahnya seolah menanyakan di mana jawaban atas pertanyaannya tadi.
“Nu?”
“Hah—Iya?”
“Gamau tidur bareng?”
“Tidur? Bareng? Di sini?”
Memikirkan berkali-kali, Wisnu ingin mencari tahu apakah ini aman untuk dilakukannya sejak kejadian parahnya yang menyiksanya waktu itu.
“Iya… Tidur. Tidur doang. Jangan mikir yang aneh-aneh.”
Wisnu langsung tertawa karena Audine sepertinya tahu mengenai gerak-gerik Wisnu yang kaget.
“Iya, tau. Tapi nanti semisal aku pindah ke kamar aku boleh kan?”
“Kenapa? Ga nyaman sama aku?”
Duduk di bibir kasur sini, Wisnu mau berbicara lebih dekat dengan wanitanya untuk dapat Ia beri pengertian tentang ini.
“Engga. Bukan ga nyaman, takutnya saya yang kelewatan nanti.”
“Kele—Oh… Takut kenapa-kenapa gitu? Kitanya?”
“Iya, tapi lebih ke sayanya, Di. Gimanapun kita ini laki-laki sama perempuan dewasa, bukan anak kecil lagi.”
“Hm… ya sih. Iyaudah gausah. Pergi sana.”
“Ehhh ga gitu. Aku mau juga tidur sama kamu. Sebentar deh. Kayaknya enak pelukan deh? Katanya bisa bikin capek hilang.”
“Ck,” “Kata siapaaa?”
“Beneran,” “Aku baca buku romansa katanya gitu. Ketemu, ngobrol, bercanda, ciuman, pelukan, sama berhubungan seks sama pasangan tuh bagus loh buat menghilangkan jenuh sama rutinitas dunia. Apa ya namanya? Pokoknya dampak bagus dari afeksi.”
“Hm… Iya sih. Kayak tadi ciuman aja bikin aku seneng, capek ruwet habis meeting sama klien rasanya kayak ilang aja.”
“Di.”
“Hm?”
“Minggu ini aja ga sih kita nikah? Biar enak juga lebih leluasa.”
Audine dibuat tertawa kekeh karena Wisnu menjadi tidak sabar akan status mereka.
“Kamu tuh mau akunya atau aktivitas setelah nikahnya sih?”
“Iyaaa mau kamunya lah. Aktivitasnya kan bonus. Terpenting saya bisa leluasa sama kamu. Kalau kayak gini kan tertahan.”
“Apanya?”
“Audi.”
“Hahaha. Kacau.”
“Audi, jangan diperjelas gitu. Kamu mancing namanya.”
“Oh… Itu mancing namanya? Emangnya langsung ada perasaan kayak mau menerkam aku gitu?”
“Iya.”
“Serius?”
“Ga selemah itu pertahanan saya, Di.”
“Ah, pergi, pergi, pergi sana!”
“Engga mau. Mau pelukan dulu biar capeknya hilang.”
“Awas aja ya.”
“Iyaaa, Audi.”
Beginilah mereka berakhir, Wisnu memeluk wanitanya yang sudah setengah kesadarannya hilang karena kantuknya, sedangkan Wisnu yang tak begitu lelah masih dengan kesadaran penuhnya menikmati waktunya saat ini.
Tubuh Audine jika dipeluk seperti ini membuat Wisnu sadar bahwa tubuh wanita benar-benar mungil dibandingkan tubuh laki-laki, dan juga Ia baru tahu hal seperti ini membuat jantungnya berdebar lebih kencang.
Tak ada pikiran kotor lagi seperti di awal-awal kedekatannya dengan wanita ini, yang dirasakan sekarang hanya ada kehangatan yang membuat tubuh Wisnu rileks juga.
Kali ini Wisnu mengagumi lagi bagaimana bisa Tuhan membuat mereka berpasang-pasangan dan hal yang seperti ini ternyata bisa membuahkan perasaan nyaman dan juga bahagia? Wisnu terpukau dengan hubungan manusia yang seperti ini.
“Di, kayaknya nanti setelah nikah, saya mau tiap malam kita tidur kayak gini ya. Saya suka, Di. Kamu ga akan pernah pergi lagi dan ninggalin saya lagi. Makasih, makasih, makasih, Odi. Aku sayang kamu, Di.”
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
