
Tidak ada tempat terbaik untuk pulang selain rumah. Namun itu tak berlaku bagi Indira. Baginya, rumah adalah tempat yang paling ingin dia jauhi. Tempat yang tidak ingin dia datangi, serindu apa pun itu.
- RUMAH
Tidak ada tempat terbaik untuk pulang selain rumah. Namun itu tak berlaku bagi Indira. Baginya, rumah adalah tempat yang paling ingin dia jauhi. Tempat yang tidak ingin dia datangi, serindu apa pun itu.
Rumah adalah album kenangan yang ingin dia bakar tapi tak akan pernah bisa. Seperti sebuah album, ada tawa dan air mata yang tersimpan. Dan Indira tak bisa menghapus tawa di rumah ini.
Setelah berdiri cukup lama di depan gerbang yang masih cukup bersih, Indira memutuskan segera menghapus jarak. Diraihnya beberapa kunci dengan gantungan karet rambut dari tas selempang hitam. Dengan tangan sedikit bergetar, dia membuka gembok dan melebarkan pintu gerbang.
Langkahnya tak bertambah. Kakinya masih terpaku seiring matanya yang membeku. Dari sini, dapat dia temui halaman yang luasnya tak seberapa tengah ditumbuhi rumput liar. Bunga mawar dan angelonia yang dulu selalu terawat, kini tumbuh subur tak berbentuk.
Perempuan dengan celana jins hitam dan kemeja senada itu menarik napas sedikit kasar. Kepalanya menggeleng pelan. Memangnya apa yang dia harapkan? Dia mau merawat rumah mereka?
Lagi-lagi rasa itu datang. Indira cepat-cepat mengusir sesuatu yang mengimpit dadanya.
"Fiuh! Minimarket ternyata jauh juga dari sini. Untung tadi bawa motor." Sebuah suara cempreng menyadarkan Indira, perempuan itu menoleh dan disambut dengan cengiran lebar. Indira terlalu sibuk dengan pikirannya hingga tak mengetahui kedatangan seseorang.
"Ketemu?" tanya Indira dengan menaikkan sebelah alis.
Perempuan yang masih mengenakan helm itu mengangguk. "Apa sih, yang aku enggak bisa, Ra. Eh, sebentar. Aku masukin dulu motornya." Tanpa menunggu balasan, perempuan dengan celana jins biru gelap dan jaket denim itu meninggalkan Indira yang masih membeku di tempatnya berdiri.
Mata Indira kembali menoleh, menemukan bangku kayu yang mulai kusam termakan cuaca. Nyeri di dadanya bertambah hebat. Satu air mata lolos begitu saja tanpa bisa dia cegah. Buru-buru tangannya mengusap mata.
Kamu sudah berjanji enggak akan nangis lagi, Ra.
"Kok enggak masuk? Anginnya mulai enggak bersahabat, nih."
Indira tergagap, "Iya, ini mau masuk. Tadi tiba-tiba keinget dia." Tanpa menoleh, Indira menyeret kakinya mendekati pintu. Tangan kirinya sibuk merogoh tas.
Perempuuan di belakangnya mengerjap, menyadari siapa yang dimaksud Indira. Lama dia menatap tubuh mungil yang merunduk mencari sesuatu.
"Nyari apa, Ra?" tanyanya memastikan tebakannya tidak salah.
"Kunci, Uti."
Alis perempuan yang dipanggil Uti itu menyatu. "Kunci? Yang ada di tangan kananmu, bukan?"
"Ya ampun! Ternyata sudah kukeluarkan." Indira terpejam seraya menggeleng pelan. "Makasih, ya, Astuti." Indira tersenyum tulus, tapi tidak dengan lawan bicaranya.
"Perasaan aku udah bolak-balik ngingetin. Jangan panggil aku Astuti, Ra."
Senyum Indira semakin melengkung. "Tapi itu, kan, namamu."
Uti semakin cemberut. "Iya, tahu. Sekalian saja sebut lengkap. Astutiningrum." Kedua tangannya gemas ingin mencubit pipi perempuan di hadapannya. Tapi hatinya tidak tega, pipi itu terlalu kurus. "Udah sana buruan buka. Punggungku pegal pengen leyeh-leyeh, Dira."
Uti mendorong tubuh Indira menghadap pintu. Perempuan itu mengawasi Indira yang tengah membuka kunci tanpa tangan bergetar.
"Kamu bisa, Ra. Kamu pasti bisa." Batin Uti dengan senyum tipis. Begitu Indira berhasil membuka pintu dan menoleh, dia kembali memasang wajah lelah.
"Nah, aku tidur di mana?"
Kini giliran alis Indira yang menyatu. "Kamu mau kita tidur terpisah?" tanya Indira ragu.
Uti mengerjap sesaat lalu menggeleng. "Aku sekarang capek, Ra. Kan aku enggak tahu kamar rumah ini di mana? Takutnya nanti aku salah masuk kamar. Kamar hantu misalnya."
Indira tersenyum pelan, kepalanya menggeleng menyadari kekonyolan Uti.
"Enggak akan ada hantu. Kalau pun ada, aku berharap itu hantunya Janu."
Pandangan Indira menerawang. Entah apa yang dipikirkan perempuan itu, Uti tidak suka.
"Ra, tunjukin kamarnya? Atau aku tiduran di sofa ini aja, kali ya." Uti mendekati sofa panjang yang tertutup kain hitam. Setelah membuka kain tersebut, dia menepuk pelan permukaan sofa.
"Masih lembut," Uti menerjang permukaan sofa dengan pantatnya, "Dan empuk."
Perempuan itu meletakkan ranselnya di lantai dekat sofa dan bersiap telentang namun suara Indira menggagalkan niatnya.
"Bantu bersih-bersih dulu, dong, Ti."
Tahu seperti apa sosok Indira, Uti tak lagi membantah. Dia melepas jaket denimnya dan meletakkan di bahu sofa. 'Jadi, dari mana kita akan mulai projek bedah rumah ini, Kapten?"
-o0o-
Indira sibuk mencuci peralatan masak saat Uti datang dengan sapu dan pengki di tangan. Uti mendekati sahabatnya yang sudah berganti kaus abu-abu dan celana pendek hitam, matanya menatap dapur yang nampak berbeda dari beberapa menit yang lalu.
"Dapurnya sudah beres, kan?"
Indira tak menoleh, dia balas mengangguk. "Kalau kamu capek, tidur aja. Yang penting kamar dan ruang tamu sudah bersih."
Uti mengangguk, mereka berbagi tugas. Tahu Indira tak akan bisa leluasa bergerak, dia mengusulkan membagi pekerjaan. Indira bagian dapur, Uti ruang tamu dan ruang keluarga. Sedangkan kamar, mereka mengerjakannya bersama-sama.
Sebenarnya rumah ini tidaklah terlalu besar. Hanya saja, terlalu lama ditinggalkan dan Indira yang terbilang sangat suka kebersihan, membuat acara bersih-bersih sedikit lebih lama dari yang Uti perkirakan. Matahari hampir tenggelam saat Uti membuang sampah terakhir di luar rumah.
"Apa kamu ada ide masak sesuatu, Ra? Umm... aku lapar." Uti meringis mendapati keterkejutan Indira. Uti yakin, perempuan itu menyamakan perut mereka.
"Astaga, Ti! Kok, aku bisa lupa kamu belum makan siang?"
Indira ingat begitu tiba di dekat rumahnya, Uti mengajaknya makan siang. Tapi perempuan itu menolak. Dia beralasan ingin segera sampai. Karena tidak ingin mengecewakan sahabatnya, Uti menurut dan berpamitan ke minimarket terdekat untuk membeli cemilan.
"Ya sudah. Enggak usah pasang wajah menyesal. Yang penting sekarang bagaimana? Kamu masak, atau kita beli?" Uti meletakkan sapu dan pengki di sudut dapur dan lalu mengambil air minum di dekat kulkas yang baru dinyalakan beberapa jam yang lalu.
"Kalau sekarang kita belanja,"
"Akan semakin lama aku harus nunggu buat makan, Ra." Dengan gelas yang masih tersisa setengah isinya, Uti berbalik. "Kita makan dulu, baru belanja. Ok?"
Tak ada jawaban, Indira hanya menatap Uti dalam keheningan.
"Ra?"
Kedua mata Indira mengerjap, "Ok."
Senyum tak dapat Uti tahan, meski Indira masih banyak melamun, tapi perempuan itu tak menolak diajak makan. Sesuatu yang jarang sekali Indira lakukan sejak kejadian itu.
Indira suka memasak, bahkan saat dirinya enggan bertemu makanan, dia tetap memasak untuk Uti. Dia cukup senang ada yang bisa dia lakukan untuk sahabat satu-satunya yang sudah mau menolongnya. Meski saat itu, Uti tengah kehilangan pekerjaannya.
"Karena aku bukan orang sini, jadi ke mana kita makan?"
"Pecel lele langganan Mas-"
"Ra," Uti berdehem dan menyebut nama Indira pelan.
"Oh," sesaat kening Indira menyatu, lalu dia kembali menggeleng dan meringis. "Kita ke warung soto."
Sekali lagi Indira menggeleng. Kembali ke kota ini, seperti membuka kenangan yang sudah dia tutup rapat. Dia tidak tahu bagaimana tiba-tiba bibirnya hampir menyebut nama mantan suaminya, yang hampir setahun ini tidak pernah dia lakukan. Mungkin kah efek rumah ini begitu kental? Indira tidak yakin tapi juga tidak menemukan jawabannya.
-o0o-
2. KUNJUNGAN PERTAMA
Lama sekali Indira tidak merasakan nikmatnya makan. Semangkuk soto ayam dengan sambal dan perasan jeruk nipis juga taburan koya tiba-tiba mengundang liurnya. Soto favorit sejak pertama kali dia datang ke kota ini sebagai seorang istri.
“Ada lagi yang dibutuhkan, Ra?” Suara Uti menyadarkan lamunan Indira. Perempuan itu melirik troli belanja dan berusaha mengingat bahan apa yang kurang.
“Sepertinya cukup. Yuk, kita ke kasir.”
Dengan penuh semangat Uti mendorong troli belanja dan tersenyum senang. Memutari supermarket di jam belanja malam bukanlah hobinya. Dia lebih senang datang saat orang-orang masih sibuk bekerja atau saat mendekati waktu tutup. Alasannya sederhana, dia tidak mau antri. Terlebih sejak Indira tinggal bersamanya, berbelanja merupakan pekerjaan yang harus punya waktu khusus. Indira yang Uti kenal adalah sosok yang teliti dan cermat dalam berbelanja. Untuk membeli saus tomat saja, Indira bisa menhabiskan sepuluh menit untuk memilih, menimbang dan menentukan saus mana yang akhirnya dia beli.
Langkah tegap Uti mendadak terhenti tanpa aba-aba membuat Indira yang berjalan di belakang menabrak punggungnya. Uti mengaduh lirih sembari mengusap kening.
“Aduh, Ra. Aku lupa beli pembalut. Puter lagi, yuk?” Uti setengah menyeret Indira meski perempuan itu belum sepenuhnya mengerti kenapa dia memutuskan kembali ke rak-rak yang berjejer. Begitu tiba di depan deretan barang wajib yang harus tersedia setiap bulannya bagi seorang perempuan, Uti justru kebingungan. Dia mengambil acak dan pura-pura membaca keterangan.
“Uti, kamu yakin mau ambil yang merk itu?”
“Ya. Kenapa, Ra?”
Ragu Indira menatap wajah Uti yang seperti menahan sesuatu. “Kamu alergi sama yang merk itu.” Mendapati wajah Uti yang memucat, Indira memegang pundak sahabatnya. “Sebenarnya ada apa sih, Ti? Bukannya tadi kamu yang ngotot pengen pulang?”
Hampir saja Uti mengeluarkan suaranya, tapi tertahan di tenggorokan.
Tidak.
Dia tidak bisa mengatakan yang sebenarnya. Dia yang bukan siapa-siapa orang itu saja sakit hati melihatnya. Apalagi Indira?
“Ti....”
“Beneran, Ra. Aku tiba-tiba kepikiran inget tanggal. Makanya sampai bingung pilih pembalut. Tahu sendiri kan, aku biasanya nyetok di kos. Tapi kan, sekarang kita di rumahmu. Mana sempet nyetok aku.” Meski sedikit terbata, Uti berhasil meyakinkan Indira. Tapi kepalanya masih memberikan sinyal alarm.
“Ra, sepertinya kamu harus beli lem tikus, deh. Tadi aku enggak sengaja lihat tikus di deket dapur.”
Kerutan di kening Indira semakin menumpuk.”Masa, sih? Perasaan enggak ada tadi.”
“Udah, deh beli aja. Buat jaga-jaga juga.”
Meski tak yakin dengan ucapan Uti, Indira tetap mencari rak berisi barang yang dicarinya. Sambil berjalan, dia mencuri pandang ke wajah Uti. Menebak dalam hati, apa yang membuat Uti menyeretnya dari barisan kasir.
Apakah Uti melihat seseorang?
-o0o-
Dapur yang mengepul di pagi hari adalah pemandangan yang indah. Indira merindukan suasana dapurnya. Rasanya dia terlalu lama meninggalkan rumah ini. Kompor yang menyala, suara minyak yang menenggelamkan ayam dan aroma masakan yang menguar, membuat Indira memejam. Dia menghidu udara yang terkontaminasi itu dengan senyum merekah.
Tak lama suara derap langkah terdengar semakin jelas. Sepasang tangan memeluknya dari belakang dan membisikkan ucapan selamat pagi penuh cinta. Indira berdebar dan seketika menoleh.
“Ra?”
Dua ayam yang berwarna hitam menjadi pemandangan pertama yang Indira lihat setelah membuka mata. Dengan tergesa dia mengangkat ayam yang sudah gosong. Bibirnya berdecak, bisa-bisanya dia melamun saat memasak. Ini pertanda buruk!
“Kamu baik-baik saja?”
Ada nada khawatir yang Indira tangkap, dia menggeleng memberi jawaban. “Aku baik-baik saja, Ti. Tadi aku tiba-tiba ingat saat memasak bersama Janu.”
Senyum Indira yang merekah, membuat Uti tak lagi bertanya. Perempuan dengan piyama hitam bermotif kopi itu berjalan mengambil minum. Setelah membasahi tenggorokannya, dia menatap Indira yang masih berkutat dengan ayamnya yang gosong.
“Nanti jadi ke tempat Janu jam berapa?”
Wajah yang tengah serius menatap wajan itu menoleh. “Sepertinya sore. Aku mau buat kue dulu.”
Masih dengan wajah khas bangun tidurnya, Uti mengangguk. Dia mendekat ke sisi kiri Indira, turut mengawasi masakan. “Masih lama, kah sarapannya? Aku lapar.”
Tanpa basa-basi Uti menodong Indira. Hal itu sudah lumrah bagi keduanya. Hidup satu atap selama enam bulan belakangan, kedekatan yang sempat terpisah beberapa tahun kembali menguat.
“Tinggal goreng sambal doang. Kenapa? Mau bantuin?”
Uti mencebik. Tangannya berkacak pinggang. “Kalau mau dapur kesayanganmu rusuh, aku mau aja bantuin.”
Dengan cepat Indira menggeleng. “Yang ada aku masaknya makin lama.”
“Nah, itu tahu. Dah lah, aku nyapu aja di depan. Sekalian pangkasin mawar.” Uti berbalik meninggalkan dapur tapi Indira segera mernyahut.
“Nanti potongan bunga mawarnya jangan dibuang, ya? Mau aku bawa ke Janu.”
Uti mengangguk dengan mata berkaca. Sangat mengerti bagaimana perasaan Indira walau dirinya belum pernah berada di posisi dia.
Tenang aja, Ra. Akan aku pilihkan bunga yang bagus untuk pangeranmu.
Tepat pukul empat sore mereka membelah jalanan. Sedikit terlambat dari rencana karena Indira lupa membeli korek api. Hal sepele tapi sangat fatal jika tidak ada. Dengan motor matic hitamnya, Uti mengikuti arahan Indira. Tidak sampai lima belas menit kemudian mereka tiba di tempat yang dituju.
Aroma kamboja seketika menyapa keduanya begitu memasuki pemakaman. Deretan nisan yang berjejer seakan menjadi pengingat, jika di sini lah akhir dari kisah hidup kita.
Indira melangkah perlahan dengan menggenggam erat lengan Uti. Sementara tangan kanannya menenteng sebuah kotak. Mereka berjalan menuju area pojok belakang makam.
Saat melihat nisan hitam itu, kaki Indira bergetar. Begitu juga tangannya yang mendadak termor. Berkali-kali perempuan dengan terusan hitam selutut itu berhenti hanya untuk menarik napas dalam. Matanya terpejam untuk beberapa detik saat bayangan itu kembali hadir.
“Ra, kamu pasti bisa. Ayo, dikit lagi. Janu udah nungguin kamu.”
Bisikan Uti menyadarkan Indira jika dirinya tidak sendirian. Dia mengangguk dan kembali berjalan dengan wajah menatap lurus ke depan. Dadanya berdebar dengan deru napas yang kian memburu begitu nisan itu semakin dekat.
“Ra, ayo.”
Indira melangkah sangat pelan. Begitu tiba di depan makam Janu, tubuhnya lemas. Dia terhempas ke tanah dan hampir menjatuhkan kotak di tangan. Dengan sigap, Uti memegang tubuh Indira dan menahannya agar tidak ambruk ke belakang.
“Ra...” hanya kata itu yang sanggup keluar dari bibir Uti. Mulutnya tak lagi bisa bersuara saat mendapati air mata Indira mengalir sangat deras. Dia hanya bisa memeluk dan pengusap punggung sahabatnya.
Tanpa suara Indira meratapi pemilik makam di depannya. Berpuluh kata seandainya memenuhi kepalanya. Tanpa kata dia meraih kotak di sampingnya dan membukanya. Sebuah kue sederhana yang dia buat siang tadi tersaji dengan indah. Uti segera mengambil lilin dan menyalakannya.
“Happy birth day, Sayang. Selamat ulang tahun yang pertama.”
-o0o-
Salam sayang,
Vita
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
