EPILOG 3-4

0
0
Deskripsi

Kedua mata Indira semakin membesar. Dia tidak yakin dengan telinganya, tapi melirik cincin di jari manis kiri Meta membuat kepalanya tersadar. Yasa tidak sedang bercanda. Tapi demi Tuhan, mereka belum genap satu tahun berpisah.

3. PERTEMUAN TAK TERDUGA

Indira tak membiarkan lilin itu padam. Bibirnya terus bergerak melafalkan doa dengan wajah Janu yang menari-nari di matanya. Semakin lama semakin jelas.

Tubuh mungil yang melemah, dengan kelopak yang tertutup rapat. Tangan kecil itu sangat lembut seperti kapas. Berbagai alat kesehatan tersambung di hidung, mulut, dada, tangan dan kaki. Indira tak sanggup membayangkan bagaimana rasa sakit yang harus ditahan bayi yang baru dia lahirkan beberapa jam yang lalu.

Demi Tuhan, dia tidak menduga akan menghadapi situasi ini. Bayangan menggendong sesudah melahirkan, hanyalah tinggal harapan. Bayinya harus mendapat perawatan khusus karena terlahir prematur dengan berat badan rendah. Hanya satu kilo setengah di usia kehamilan dua puluh delapan minggu.

Meski tak berharap banyak, di pucuk doanya Indira berharap bayinya dapat bertahan di NICU. Nyatanya Tuhan lebih sayang Janu. Bayi mungil itu hanya bernapas kurang dari dua puluh empat  jam di dunia.

“Ra.”

Indira tersadar dari lamunannya. Dia menoleh dan  memberikan senyuman agar Uti tidak khawatir.

“Aku baik-baik saja, Ti.”

Uti pun membalas senyum Indira. “Iya, aku tahu kamu pasti kuat. Ini lilinnya udah mau habis. Enggak ingin tiup lilin dan  make a wish?

Seperti tersadar Indira segera meraih tas selempangnya dan mengambil sesuatu. Sebuah mobil hot wheels hitam dia letakkan di sebelah kue. Indira menatanya berdampingan dengan  mawar putih yang baru dipetik dari halaman.

Dengan mata terpejam Indira kembali berdoa. Kedua tangannya saling menggenggam di depan dada.

Maafkan Mama. Semoga kamu bahagia, Nak.

Indira meniup lilin yang hampir habis dengan lembut. Diusapnya pipinya yang basah. Dia berjanji ini yang terakhir kali dia menangis di depan Janu. Tangan kanannya menyapu permukaan nisan bertinta emas.

Januari Pratama

Bin...

“Janu pasti sedih kalau melihat mamanya bersedih.”

Indira mengangguk, tangannya kini beralih membersihkan daun-daun kering.

“Aku akan belajar bahagia, Ti. Aku hanya membayangkan, seandainya Janu tidak pergi mungkin sekarang dia sedang belajar berjalan.”

“Dengan empat atau enam giginya, dia akan berjalan seperti robot dan memanggilmu. Ma ma ma ma.” Kedua tangan Uti bergerak ke samping menirukan gerakan robot.

“Berjalan seperti robot?” Senyum Indira kembali terbit kala bayangan anak kecil yang berjalan tertatih memenuhi matanya. Andai itu benar terjadi, dia pasti menjadi orang yang paling bahagia.

“Mungkin dia juga akan menyemburkan masakanmu kalau dia tidak suka. Wajahnya penuh dengan nasi dan kamu akan menggerutu karena sibuk membersihkannya.” Uti sengaja menemani Indira berhayal. Karena dengan ini wajah sahabatnya dapat berbinar.

“Janu pasti suka masakanku. Dia akan jadi anak yang pintar.”

“Oh, tidak bisa. Janu harus sedikit nakal agar kamu tidak berhenti mengomelinya. Suara ribut kalian akan meramaikan rumah.”

“Janu tidak akan membuat mamanya mengomel sepanjang waktu, Uti. Dia anak yang pengertian.” Indira mengembuskan napas dalam, dadanya kembali bergemuruh manakala bayangan itu semakin nyata di matanya.

“Sudah petang, mau balik sekarang? Kalau kamu masih kangen, besok bisa ke sini lagi.”

Keduanya menatap langit yang memerah. Indira mengangguk dan kembali menatap makam kecil di hadapannya yang sekarang terlihat lebih bersih dan ramai.

“Mama pergi dulu, ya, Sayang. Besok Mama ke sini lagi.”

Setelah mengusap sekali lagi nisan Janu, Indira menyusul Uti yang berdiri lebih dulu. Mereka belum beranjak, masih setia menatap peristirahatan terakhir Janu.

“Indira...”

Suara berat seseorang membuat Indira menoleh. Kedua matanya membesar saat mengetahui siapa yang baru saja menyebut namanya.

“Mas... Yasa....”

Keduanya saling pandang dalam diam. Tak terkecuali Uti yang serasa gagal menjaga sahabatnya. Tangannya mengepal di samping tubuh. Sia-sia semalam dia menggagalkan pertemuan mereka jika akhirnya hari ini harus bertemu juga. Takdir sepertinya sedang bercanda.

“Ayo, Ra, kita pulang.” Perlahan Uti menarik tangan Indira, menyeretnya menjauhi Yasa. Namun baru tiga langkah, kakinya terhenti saat tak jauh di depannya datang seseorang berjalan mendekat.

Mereka masih bersama rupanya.

Gemuruh di dada kembali datang. Bisa-bisanya lelaki itu membawanya ke rumah anaknya. Tubuh Indira berbalik dengan tiba-tiba.

“Aku tidak tahu ini penting atau tidak. Tapi aku harap, di hari ulang tahun anakku. Kamu tidak membawa orang lain ke sini.”

Kening Yasa berkerut, dia menoleh dan menemukan seorang wanita yang sudah berdiri tak jauh di belakang tubuhnya. Yasa kembali menatap perempuan di hadapannya.

“Dia bukan orang lain, Ndi. Dia calon istriku.”

Dunia seperti meledak bagi Indira. Kedua matanya menyipit menatap lelaki yang pernah menjadi bagian hidupnya.

“Jadi aku rasa, alasanmu tidak masuk akal. Justru kamu yang datang dengan orang lain. Meta berhak datang ke sini, karena dia juga akan menjadi ibu bagi Janu.”

Gelengan kuat Indira membuat Uti meremas jemari Indira. Dia ingin membawa sahabatnya pergi tapi kaki Indira seperti tertanam.

“Janu tidak butuh ibu lain. Yang Janu butuhkan adalah kehidupan, yang sudah dirampas oleh ayahnya sendiri.” Dengan gigi bergemeletak, Indira menatap tajam Yasa.

Wajah Yasa memerah, matanya melebar menatap mantan istrinya yang masih tidak berubah.

“Aku tidak merampas hidup Janu, justru pikiranmu lah yang merampas napasnya. Kalau saja kamu tidak sibuk dengan prasangkamu, mungkin sekarang Janu masih hidup.”

“Kamu...”

Indira tak lagi sanggup berkata. Air mata yang sudah hilang datang kembali. Ingin dia membungkam mulut besar mantan suaminya dengan tamparan kuat, tapi dia enggan menyentuh lelaki itu.

“Jika itu hanya sebatas prasangka, lalu apa yang kamu katakan tadi? Calon istri? Bukankah itu berarti prasangkaku benar?”

Kali ini Indira menatap perempuan cantik yang berdiri tak jauh dari tempat mereka. Dengan kaca mata hitam dan lily putih, perempuan itu terliht anggun. Tapi itu tak berlaku bagi Indira.

Di mata Indira, perempuan itu tetap terlihat murahan. Karena sudah menghancurkan keluarga dan  impiannya.

“Ingat, kamu yang memulai semua ini, Indira. Jangan mulai lagi.” Yasa tak bergeming. Dia melambai pada Meta agar mendekat.

Meski dihujani tatapan tajam Indira, perempuan itu tetap berjalan mendekat. Tiba di samping Yasa, lelaki itu menggenggam tangannya dan membimbingnya duduk di dekat pusara. Meta hanya diam mengikuti arahan Yasa. Untuk saat ini, suaranya hanya akan menambah kobaran api yang sempat membara.

“Selamat ulang tahun jagoan Papa. Papa... datang bersama Bunda Meta. Janu ingat kan, siapa dia?”

Gelengan kuat Indira dan air mata yang menumpuk tak mampu mengusik cerita mantan suaminya. Jiwanya meronta ingin segera pergi dari sini. Tapi raganya masih tak sanggup melangkah.

“Papa dan Bunda Meta akan menikah satu bulan lagi. Papa harap Janu ikut bahagia.”

Kedua mata Indira semakin membesar. Dia tidak yakin dengan telinganya, tapi melirik cincin di jari manis kiri Meta membuat kepalanya tersadar. Yasa tidak sedang bercanda. Tapi demi Tuhan, mereka belum genap satu tahun berpisah.

-o0o-

4. MENELUSURI JEJAK LUKA

Yasa tertegun mendapati kue ulang tahun dan sebuah mobil mainan. Lelaki itu baru menyadari setelah mantan istrinya pergi beberapa menit yang lalu. Sejak tadi dia hanya fokus pada gelegar aneh di dadanya. Keterkejutan membuatnya tanpa sadar berbicara yang bukan semestinya.

Menemukan seseorang yang mati-matian sedang dia lupakan bukanlah sebuah penutup hari yang baik. Terlebih pertemuan pertama mereka tidak di waktu yang tepat.

Bukan, Yasa bukan menyesali membawa Meta ke pusara anak semata wayangnya. Hanya saja, dia tidak menduga akan berakhir sengit seperti tadi. Yasa mengusap wajahnya dengan kasar. Ditutupnya rapat kedua mata dan bibir, dalam hening dia melantunkan doa-doa panjang untuk Janu.

Maafkan Papa, Sayang. 
Sudah membuat Mamamu kembali menangis. 
Tapi kamu pasti tahu, Papa menyayangi kalian.

Setelah hening cukup lama, Meta yang duduk di sisi Yasa menyentuh lembut lengan lelaki itu. Membuat Yasa membuka matanya dan menoleh. Meta memberikan sebuah senyuman manis seakan kejadian barusan tidak pernah terjadi. Dan itu salah satu yang disukai Yasa dari perempuannya, Meta tahu menempatkan sistuasi.

“Janu pasti bahagia, Sa. Dia juga pasti sedih kalau melihat Papanya bersedih.” Meta meletakkan lily putih yang digenggamnya  di pusara. Perempuan itu menatanya agar terlihat indah berdampingan dengan mawar putih yang  ia duga dari Indira.

Lesung pipi di wajah Meta semakin kentara kala perempuan itu tersenyum.  Tangan kanan Yasa terulur memeluk bahu Meta dan mengusapnya pelan. 
“Terima kasih, Ta.kamu selalu ada untukku. Aku enggak tahu bagaimana hidupku tanpa kamu. Kamu malaikatku.”

Yasa tidak sedang berbohong atau merayu. Dia tulus mengatakannya. Bibirnya mengecup lembut pipi Meta yang tersipu. Jemari yang sebelumnya bersandar di bahu  kini beralih mengusap pelan pipi Meta  yang memerah.

“Sudah mulai gelap. Masih mau di sini atau kita pulang?”

Yasa mendongak sesaat lalu kembali mengecup singkat ujung bibir Meta. “Sebentar, aku mau ngomong dulu dengan Janu.”

Fokus lelaki itu beralih tanpa melepas pelukannya. Sekali lagi Yasa menutup mata dan berdialog dalam hati.

Kamu tetap cinta pertama Papa.

Papa berharap, kamu ikut bahagia dengan pilihan Papa, Janu.

-o0o-

Setelah mengantar Meta pulang, Yasa tidak segera kembali ke rumah. Dia justru memutar mobilnya menuju rumah mereka. Entah kenapa, perasannya sangat yakin jika mantan istrinya pulang.

Pagar tembok berlapis batu alam menjadi pemandangan pertama yang Yasa lihat. Matanya menelisik jauh ke dalam di sela-sela celah. Tak banyak yang dia temukan, tapi sinar lampu yang menyala menjadi pertanda jika dugaannya benar. Meski telah mendapat jawaban, lelaki itu tak beranjak. Dia seperti ditarik oleh sesuatu untuk tetap berada di sana.

Embusan napas dalam terdengar jelas, Yasa menggeleng ketika hasratnya untuk masuk ke rumah tiba-tiba muncul. Dia memutar kunci dan menyalakan mesin mobil.

Jika dia tetap di sini sesaat lagi. Dia tak yakin bisa bertahan untuk tidak menerobos gerbang yang tertutup rapat itu.

Dia harus pulang.

Begitu tiba di halaman rumah orang tuanya, Yasa mengembuskan napas lega. Dia seperti sedang kabur dari sesuatu yang mengejarnya. Yasa turun dari mobil dan melangkah masuk, tak dia temui siapa-siapa. Mungkin sedang keluar. Yasa melanjutkan langkah menuju kamarnya di lantai dua.

Bukan tanpa alasan dia memilih tinggal di rumah orang tuanya pasca bercerai beberapa bulan lalu. Sebenarnya dia sudah beberapa kali tinggal di apartemen, bahkan sebelum statusnya berubah menjadi duda. Hanya saja, permintan Ibu meluluhkan angkuhnya. Dengan berderai air mata, Ibu menyuruhnya tinggal di rumah mereka. Ibu tidak ingin Yasa melampiaskan lukanya dengan hal-hal yang buruk. Setidaknya Yasa masih terpantau saat malam. Dan lelaki itu masih punya keluarga.

Perpisahan dan kehilangan adalah dua hal yang meluluhlantakkan hidupnya. Bohong jika dia baik-baik saja. Meski bukan niatnya berakhir seperti ini, tapi Yasa tak berdaya. Saat apa yang sedang dia pertahankan memilih melepaskan diri.

Tiba di kamar yang dulu menjadi tempatnya menghabiskan masa kecil, Yasa segera membersihkan diri. Selepas menunaikan salat, dia tak segera turun untuk makan malam. Perutnya belum lapar.

Tubuh tegap itu terlentang di atas kasur, dengan kedua tangan menyangga kepala. Matanya nyalang menatap langit-langit kamar yang berwarna putih.

Indira.

Nama itu mendesis keluar dari bibirnya tanpa suara.

Setelah berbulan-bulan, akhirnya mereka bertemu. Tak terduga. Bahkan dirinya belum siap dan dipaksa terlihat baik-baik saja. Yasa menyipit manakala rupa mantan istrinya tadi timbul tenggelam di kepalanya.

Perempuan itu terlihat lebih kurus dari terakhir kali mereka bertemu. Rambut panjang yang dulu menjadi favoritnya setelah menghabiskan malam panas, telah terpangkas hampir separuh. Wajah anggun itu tak nampak lagi. Berganti dengan wajah penuh luka dan juga amarah. Bahkan sorot mata yang dulu selalu memujanya kini berganti rasa muak dan juga tak terbaca.

Tak ada senyuman hangat untuknya. Yasa bahkan sudah lupa kapan terakhir kali Indira tersenyum padanya. Tawa Indira bahkan sudah hilang dari telinganya. Dada Yasa mencelus, menyadari perubahan perempuan itu bukanlah tanpa alasan. Namun semua sudah berlalu dan mereka kini memiliki kehidupan masing-masing. Seharusnya mereka bisa lebih baik.

Yasa mengusap wajahnya dengan kasar. Dia terpejam beberapa saat lalu menggeleng. Sebegitu bencinya kah Indira padanya? Apakah kesalahannya teramat fatal di matanya?

Dia menggeleng, bukan kah semua orang juga punya kesalahan? Dia sendiri sedang belajar memaafkan dirinya dan juga mantan istrinya. Tapi kenapa perempuan itu tidak? Bagaimana pun, ketika sebuah pernikahan berakhir, bukan hanya satu orang yang harus dibebani rasa bersalah.

Ketika sepasang suami istri memutuskan untuk mengakhiri mahligai perkawinan, artinya mereka sepakat jika kapal yang mereka tumpangi tak lagi bisa sejalan. Meski ada drama di setiap keputusan yang diambil, tapi ketika tiga ketukan palu dari hakim mendengung di ruang sidang. Bukan kah itu artinya mereka berada di pintu keluar yang sama?

Sama-sama keluar dari kerumitan rumah tangga.

Tangan Yasa memijat keningnya yang tiba-tiba berdenyut. Pertemuan tak terduga telah membuatnya kembali membuka luka yang mulai mengering. Luka yang sudah dia tutup rapat kembali terkuak walau tak sepenuhnya. Lelaki itu menarik napas panjang dan mengembuskannya perlahan.

Sudah cukup dia membuka tabir kenangan. Sudah bukan waktunya menelusuri jejak luka. Pilu yang pernah dia rasa bukan lah sesuatu yang harus diingat sepanjang waktu. Meski ada kalanya menjemput kenangan untuk dibawa ke masa kini, namun itu hanya lah sebatas sebagai pengingat. Bukan untuk dipelihara. Dia sudah melepas semua masa lalunya sejak meminta Meta menemani sisa hidupnya. Lalu apalagi yang membuatnya risau?

Yasa mengangguk perlahan dan duduk. Ya, dia sudah melepas masa lalu. Bukankah memang harusnya demikian?

Lantas apa yang membuat dadanya menjadi tidak nyaman?

-o0o-

Yasa : Yok, Neti, hujat aku.

Wkwkwk

Peluk erat buat kamu.

Vita.

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya EPILOG 5-6
0
0
“Apakah kamu cemburu, Ra?” bisik Uti.“Aku? Cemburu?” lirihnya serupa bertanya pada dirinya sendiri.Benar kah dia cemburu?Untuk apa?
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan