
STASE 7 (Hantu Rumah Sakit)
Azri memang terlihat mengerikan di depan anak koas. Namun itu tidak berlaku di depan para pasien. Terkhusus pasien berjenis kelamin perempuan. Siapa yang tidak bahagia, bisa mengobrol sembari memandang wajah segar seorang Azri Adhitama. Apalagi kabar tentang Azri adalah seorang duda bukanlah sebuah rahasia. Semua penduduk rumah sakit tahu, dan tentu saja dia sering mendapat lamaran mendadak dari para pasien di sana. Entah sekedar gurauan belaka atau tawaran serius.
"Dokter....
Azri ikut mengangguk kecil dan kembali menatap sang pasien. "Dia masih koas, Ibu. Dan sekarang masih menjalani stase di bagian bedah," jelas Azri lembut.
Ibu itu mengangguk-angguk seolah paham. "Jadi masih di rumah sakit ini?" simpulnya meminta pembenaran.
Azri hanya mengangguk. "Saya suka sama Dokter Kia. Kalau anak saya pulang dan saya sendirian, dia yang menemani saya ngobrol. Kemarin sebelum operasi dia juga ikut menenangkan saya, kadang bermain dengan anak saya yang paling kecil selama saya dirawat inap."
Azkia memang suka meluangkan sejenak waktu istirahatnya untuk mendekati para pasien dan membantu di luar tugasnya sebagai koas. Tak ayal beberapa pasien suka menunggu kehadiran Azkia. Dan Azri kira kejadian di ruang hemodialisa tempo lalu hanyalah kebetulan.
"Dia juga sering menceritakan hal-hal lucu yang buat saya terhibur. Dari pengalaman dia saat masih kecil, sampai ujiannya yang sering gagal di fakultas kedokteran. Anak saya yang sulung juga diberi motivasi agar terus semangat menjalani sidang skripsi sambil merawat saya di sini."
Azri terdiam dan tidak menyela. Rasa salutnya pada Azkia semakin bertambah, kehangatan hati seorang Azkia saat berhadapan dengan pasien di rumah sakit membuat ia termangu dan sulit berkata-kata. Dulu saat Azri menjalani masa koas bahkan residen, ia hanya meluangkan waktu istirahatnya untuk belajar dan menghafal kosakata berbau kedokteran. Memang sulit menyisihkan waktu untuk bercengkrama bersama pasien di luar jam jaga. Kebanyakan anak koas memilih tidur atau mengerjakan tugas.
Belum lagi sifat Azkia yang ceria dan penuh energi membuat orang-orang di sekitarnya lupa akan masalah yang terjadi. Azri semakin merasa tidak enak telah membuat Azkia menangis dan menuduh menyogoknya dengan dua botol susu almond beberapa hari lalu. Dia baru merasakan, jika Azkia pasti tulus memberikan hal itu padanya.
"Rumahnya Dokter Azkia dimana, Dok?" tanya pasien.
Azri tampak berpikir. "Kurang tahu, Bu. Kenapa?"
"Gak papa, cuma mau sambung silaturahmi aja, Dok."
Selama menjadi dokter, Azri tidak pernah mendapat sanjungan sehangat itu. Dia merasa kalah dengan anak koas, yang bisa membuat pasien ingin menjalin kekeluargaan. Sepertinya Azri harus banyak belajar dengan anak didiknya, soal bagaimana menumbuhkan hubungan seakrab itu dengan para pasien.
***
Kenan menunggu Azkia yang sedang sibuk di ruang operasi. Meskipun banyak anak koas yang juga ia kenal, lelaki keturunan Palembang-Jakarta itu lebih nyaman menghabiskan waktu istirahatnya bersama Azkia.
Setelah memberi kabar melalui pesan singkat, Kenan pergi menuju kantin rumah sakit. Disela-sela waktu istirahatnya, ia berniat mencicil menyelesaikan tugas sembari membeli minuman di sana.
Dua minuman berbeda rasa sudah ia sajikan. Kini ia hanya menunggu Azkia datang sembari fokus mengerjakan tugas. Beberapa menit menyelami karya ilmiah tentang dunia medis. Seseorang duduk di kursi yang diperuntukan untuk sahabatnya. Wajahnya mendongak menatap wanita cantik yang kini tersenyum ramah padanya.
"Saya duduk sini, ya. Soalnya penuh."
Kenan melempar pandangan ke seluruh penjuru tempat. Benar ternyata, kursi di kantin itu penuh terisi. Anggukan kepalanya menyetujui kalimat izin seorang wanita yang belum pernah ia lihat tapi juga tidak begitu asing. Bahkan wanita itu menggunakan seragam dinas kepegawaian rumah sakit tempatnya koas.
"Kerja di sini, Kak?" tanya Kenan.
"Iya betul. Kamu nunggu seseorang?"
Oh, syukurlah, ada timbal balik dari obrolan yang Kenan buka. Sepertinya Kenan akan meninggalkan tugasnya dan memilih bercengkrama dengan wanita berparas ayu itu.
"Iya, Kak."
Wanita itu mengangguk. Kenan melirik cepat ke arah emblem dan name tag di seragam yang digunakan wanita tersebut.
Nara Davina. Adik kandung Azri, yang tentu saja Kenan belum mengetahui kenyataan itu.
"Kak Nara di sini bagian apa?" tanya Kenan.
"Saya kepala bagian farmasi. Jadi jarang ngasih pelayanan di depan," ringis Nara. Kenan mengangguk.
"Oh makanya jarang lihat." Kenan menyengir.
"Kamu nunggu siapa, anak koas juga yang ditunggu, atau nunggu dokter pembimbing?"
"Saya nunggu Azkia, Kak. Dia lagi di ruang operasi."
Nara mengangguk paham. Ia mulai mengingat sesuatu. Seakan nama Azkia pernah ia dengar atau mungkin ia baca. Sekelebat obrolan tentang keluh kesah Azri tentang anak koas mulai ia ingat. Ternyata Nara mendengar nama itu dari mulut kakaknya.
"Azkia yang awal masuk telat itu bukan?"
Kenan mengerjap terkejut. "Kok tahu?"
Nara tertawa sejenak. "Beritanya udah terdengar dimana-mana kok."
Kenan hanya cengengesan dan memaklumi keteledoran Azkia yang ternyata menjadi buah bibir para pegawai di sana.
"Usianya berapa?" tanya Nara.
"Saya 26 tahun." Kenan menjawab malu-malu.
"Saya tanya umurnya Azkia."
Suara tawa sumbang mengudara beberapa masa. Bagaimana mungkin ia salah mengartikan pertanyaan sepele. Malu, Kenan malu dengan mulut asal jeplaknya.
"Sama kayak saya, Kak. 26 tahun."
Huft, untung saja tahun kelahiran mereka sama. Kenan jadi bisa menjawab dengan angka serupa.
"Lebih tua saya setahun," gumam Nara wajahnya tampak berpikir.
"Kenapa, Kak?"
"Gak papa, siapa tahu bisa saya jodohkan dengan kakak saya," jelas Nara tertawa anggun.
Kenan jelas terkejut. Namun ia juga menyetujui ide spontanitas itu. "Wah, saya setuju, Kak. Dia juga lagi cari jodoh."
Ganti Nara yang tampak tidak menduga. Padahal dia hanya asal jeplak saja. "Beneran? Tapi kamu tahu, siapa kakak saya?"
Kenan kembali meringis. "Belum tahu. Hehe. Tapi kalau adiknya secantik ini pasti kakaknya ganteng banget," ujar Kenan pipinya bersemu merah muda.
Nara sontak terbahak. "Kakak saya kerja di sini, dokter jantung, konsulen kalian."
Seketika Kenan menjadi balok es. Informasi terbaru yang ia dengar membuat otaknya berhenti bekerja.
"Jadi kira-kira, apa teman kamu—Azkia itu mau dijodohkan dengan Dokter Azri?" tanya Nara meminta pendapat.
***
Malam hari sekitar jam 10 malam. Azkia pergi ke salah satu kamar mandi rumah sakit setelah memakan sebungkus nasi goreng yang ia beli. Hari ini ia mendapat jatah jaga malam hingga besok pagi dan akan dilanjut dengan dinas koas seperti biasanya.
Tubuhnya jelas lelah. Dia bahkan belum mengerjakan satu lembar pun tugas referat selama bertugas di stase bedah. Setelah memijat tengkuknya, ia menguncir rambut ke atas dan memandang wajahnya di depan cermin. Tiupan angin dingin meremangkan bulu kuduk di bagian tengkuknya yang kini tidak tertutup rambut.
Seketika hawa aneh mendesak masuk ke dalam logikanya. Sekuat tenaga ia meyakini jika semua yang ia rasakan hanyalah efek lelah kurang istirahat. Segala doa baik telah rapalkan dalam hati. Cepat-cepat ia mengeluarkan peralatan gosok giginya dari pouch bening.
Dengan gerakan terburu-buru Azkia mengeluarkan pasta gigi di atas bulu sikat yang kini ia genggam. Hawa aneh semakin membuat hatinya merasa tidak tenang. Dari ekor matanya ia seperti menangkap sosok tinggi hitam di ujung ruangan yang sedang mengawasi. Suasana dingin semakin membuat situasi terasa menegangkan. Sembari menyikat giginya, Azkia memejam rapat dengan degup jantung berdetak heboh.
Ilusi. Ilusi. Ilusi. Rapalnya menguatkan hati.
Sosok kehadiran di sekitarnya semakin memaksanya untuk membuka mata. Benar saja, saat matanya terbuka ia melihat dari bias cermin sebuah tubuh tanpa kepala dengan balutan pakaian hitam berdiri bersanding dengannya berjarak setengah meter. Azkia lantas berteriak dan lari meninggalkan kamar mandi.
Tepat di depan kamar mandi. Ia terjatuh dengan posisi duduk karena menghindari seseorang yang berjalan di depannya.
"Kamu ini kenapa?"
Mendengar suara manusia di depannya. Azkia yang masih terduduk mendongak dan mendapati Azri sedang berdiri di hadapannya. Cepat-cepat Azkia berdiri dan terus menoleh ke arah kamar mandi. Takut jika sosok itu mengejarnya seperti adegan di film horor.
"Kamu kenapa?" ulang Azri melihat ekspresi ketakutan dari wajah Azkia. Gadis itu juga masih memegang sikat gigi lengkap dengan busa di mulutnya.
"Azkia Indira!" sentak Azri.
Azkia mengedikan bahu terkejut dan spontan menelan busa yang masih berada di mulut. Sensasi mentol kini melorot menelusuri kerongkongannya. Wajahnya mengernyit dan bibirnya mengecap ngecap beberapa kali.
"Dokter Azri ada jadwal operasi?" tanya Azkia tatapannya terlihat tidak fokus.
Azri menghela napas panjang. "Saya tanya ke kamu. Kenapa lari-lari dari kamar mandi."
"Itu, Dok. Ada hantu."
Azri langsung tertawa. Semakin lama nada tawa itu terdengar mengejek. "Saya gak bohong, Dok. Hantu tanpa kepala, tinggi banget."
"Udah tua masih percaya hantu? Selama 36 tahun saya hidup, saya gak pernah melihat apa yang kamu bilang tadi."
"Saya masih muda, Dok. Dokter yang sudah tua." Azkia sontak merapatkan bibirnya yang berujar tanpa pikir ulang. "Maksud saya. Hantunya yang sudah tua," ralat Azkia.
"Darimana kamu tahu kalau hantunya tua. Katanya tanpa kepala?" seloroh Azri masih melepas tawa konyol.
"Sudahlah, Dokter kalau gak percaya gak usah tanya-tanya, percuma nanti juga gak bakal percaya kalau saya jelaskan." Kesal Azkia.
Azri mengangguk tanpa beban. Puas tertawa, pria berpakaian kemeja polos itu memberikan sebotol air mineral pada Azkia. "Kamu pakai kumur-kumur. Airnya cuma saya minum sedikit."
Azkia tertegun dengan tingkah dokter yang ia kenal sebagai manusia sedingin es itu. Ia hanya membatu tanpa menggerakkan tangannya untuk mengambil botol berisi cairan bening di tangan Azri.
"Gak mau? Ya sudah, semoga saat balik ke kamar mandi. Kamu gak ketemu hantu tua tanpa kepala lagi."
"Saya mau, Dok." Tangan Azkia menyahut botol di tangan Azri dengan segera.
"Terima kasih," ucap Azkia kemudian.
"Kalau penakut, ke kamar mandi jangan sendirian. Kalau kamu lari kayak tadi trus kepeleset, kebentur lantai, bahaya juga."
"Saya sebenarnya gak takut, Dok. Cuma tadi aura-nya memang beda," papar Azkia tidak mau dianggap remeh.
"Ya sudah, kembali ke bangsal. Jangan keluyuran lagi."
Azkia hanya mengangguk tanpa meninggalkan tempat. Padahal, Azri ingin memantau Azkia selama berjalan di lorong sepi. Ia tahu jika gadis itu masih terlihat syok.
"Kenapa masih diem di sini? Kebelet kencing? Apa perlu saya antar ke kamar mandi!"
"Tidak, Dok!"
Azkia berjalan terbirit-birit menelusuri koridor dengan pandangan menunduk. Azri hanya tertawa tanpa bersuara melihat tingkah unik anak koas bimbingannya tersebut.
=============
Footnote;
Residen : dokter yang sedang menjalani pendidikan untuk menjadi seorang dokter spesialis. Semacam koas, tapi untuk dokter spesialis.
STASE 8 (Cari Muka)
Hampir dua bulan menjalani koas di rumah sakit, kesehatan Azkia mulai menurun. Hari ini ia meminta Kenan untuk menjemputnya di stasiun Juanda, Azkia harus mengirit energi dengan tidak menaiki kendaraan umum selain KRL.
"Baik ya gue, mau jemput lo ke stasiun!" kata Kenan sembari menyetir motor.
Kenan memilih menggunakan motor selama menjalani koas karena lalu lintas Jakarta sangat tidak memungkinkan mengendarai kendaraan beroda empat, bisa-bisa dia terjebak macet setiap harinya. Meskipun tempat kos Kenan yang baru lebih dekat dengan area rumah sakit, ia tetap butuh motor agar lebih mudah digunakan mondar-mandir.
"Baik juga gue, gak nyuruh lo jemput gue ke kosan Depok!" timpal Azkia sedikit berteriak karena berusaha menyaingi suara-suara kendaraan yang sudah memadati jalanan ibu kota, meskipun pada kenyataannya saat ini masih jam setengah 6 pagi.
"Lo kenapa gak ambil libur aja misal ngerasa kurang fit?" tanya Kenan sembari membelokkan stir motor ke area parkiran rumah sakit. "Udah paham kalau imun rendah bisa gampang keserang penyakit!" lanjut Kenan mengoceh.
"Ya elah, Mr. Kenan Pradipa, iye iye gue tahu," balas Azkia tangannya mulai membuka pengait helm dan turun dari motor setelah Kenan memarkir kuda besinya.
Azkia sontak menutup mulut menggunakan lengan bagian dalam saat ia melakukan bersin. Kenan mengernyit melihat temannya melampiaskan rasa gatal di dalam hidung. Ada rasa iba melihat gadis itu terus-menerus menyembur melakukan sneezing.
"Gak minum obat tadi?" tanya Kenan perhatian.
Kepala gadis itu mengangguk setelah aksi bersinnya yang terhitung lebih dari lima kali. "Udah, Kakanda. Cuma belum merasuk aja."
"Jangan bilang kalau lo semalem abis COD-an lagi?" tebak Kenan. Azkia menyengir tanpa mengelak.
"Please! Tinggalin pekerjaan lo itu napa! Koas dulu biar lo bisa bertahan sampai akhir!" pinta Kenan memohon.
Kenan tahu siapa Azkia. Selain hobi berburu perlengkapan make up, gadis itu juga memiliki pekerjaan sampingan, Azkia menekuni dunia jual beli online segala produk kecantikan, dari masalah rambut hingga ujung kaki seperti kutek dan lainnya.
"Demi cuan, Mr. Gue butuh nabung buat tambahan jajan," kata Azkia mengusap hidung merahnya dengan tisu.
Kenan menggeleng pasrah. Ia lelah memberi peringatan pada teman dekatnya. "Ini gue flu bukan karena COD, tapi karena ketularan pasien aja kemarin," dalih Azkia tidak ingin temannya khawatir.
"Salah satu faktor juga kena angin malam! Lo semalem pulang jam 8 malem trus COD jam berapa gue tanya!" introgasi Kenan.
"Sekitar jam 10-an, dia udah langganan gue, Nan. Lagian kita bisanya ketemu jam segitu," jelas Azkia tidak begitu mengindahkan tatapan geram dari sahabatnya.
"Lo belum tahu sih, gimana dapet cuan hasil keringat sendiri! Asik tahu! Mau coba jadi reseller gak lo?" tawar Azkia. Seolah tahu apa yang akan dibicarakan, Kenan beranjak meninggalkan teman perempuannya.
"Hei, coba dulu, Nan. Temen gue jual obat kuat laku keras!"
Kenan sontak meletakkan telunjuknya di bibir saat kalimat Azkia bisa menimbulkan pemikiran negatif bagi siapa saja yang mendengar.
"Diem! Awas aja lo nyebut itu lagi!"
***
Azri masih enggan pulang setelah seharian sibuk di ruang kerjanya. Ia memilih bersandar di sofa ruangan sembari bermain ponsel; melihat isi galeri dan terpaku memandang foto pernikahannya. Ada rasa tidak tega menghapus foto pernikahan itu, bukan karena dia tidak merelakan keputusan Dita untuk bercerai, hanya saja, ada sekelumit rasa ketidakmampuan mempertahankan apa yang ia miliki.
Azri menghembuskan napas pelan. Jika ia menikah lagi, apa bisa dia membina rumah tangga tanpa adanya kata berpisah? Apa ada wanita yang mau mencintai dirinya dan juga menyayangi anaknya? Zahra adalah bagian penting dalam pencarian jodohnya. Dia harus mencari seseorang yang langsung siap menjadi ibu bukan hanya sekedar menjadi seorang istri.
Pria beralis tebal itu menghempaskan tangannya ke sisi tubuh; meletakkan ponsel yang masih menayangkan foto senyum bahagianya di atas pelaminan.
Tak lama gambar di ponsel tergantikan dengan panggilan masuk. Azri melirik dan melihat nama ibunya di sana. Ia menarik diri untuk duduk tegap. Tangannya menggeser layar dan menempelkan gawai-nya ke telinga.
"Papa~"
Azri lantas tersenyum. Itu suara anak gadisnya.
"Assalamualaikum dulu cantik," tutur Azri mengajari dengan bahasa lembut.
"Waalaikumsalam, Pa." Azri terkekeh.
"Pa, sibuk?"
Azri melirik jam dinding. "Barusan ada operasi, Sayang, Papa masih istirahat bentar. Abis ini pulang," katanya memberi kepastian.
"Aya mau jalan-jalan sama Papa, sama Pacal Papa."
Mata Azri melebar sempurna. Darimana anaknya tahu istilah pacar seperti itu. "Pacar apa sayang?"
"Yang kemayin diajak beli boneka," jelas Zahra. Azri mengangguk paham. Anaknya mengira jika Azri dan Meilin—dokter jantung juniornya—memiliki hubungan spesial.
"Bukan, Sayang, Tante Meilin itu calon istri orang," koreksi Azri.
"Papa putus sama tantenya?" tanya Zahra sedih.
Azri menghela napas pendek. Susah juga memberi pengertian pada anak 5 tahun seperti Zahra. "Papa gak pernah pacaran sama siapa pun, Nak."
"Kenapa? Aya mau tidur beltiga sama Papa sama Mama balu," kata Zahra bergumam di balik benda tipis milik Azri.
Jangan bilang, Nara yang mengajari hal tersebut pada anak berusia 5 tahunnya. Azri mengangguk yakin, pasti Nara yang mengajari anaknya hingga bisa berkata demikian.
"Aya mau es krim gak? Yang ada gambar princess-nya?" Azri mengalihkan.
"Mauuuu!" Akhirnya, Zahra tidak membahas perihal ibu baru.
"Sekarang Papa pulang. Aya tunggu di rumah ya."
"Oke! Jangan lama-lama ya, Pa."
"Siap, Tuan Putri."
"Sayang Papa."
Belum sempat membalas, sambungan telepon telah dimatikan. Azri bergegas pulang dan meninggalkan ruang kerjanya. Di lorong menuju pintu parkiran. Azri bertemu dengan Malik.
"Lho, belum pulang?" tanya Malik terkejut. "Kalau gak ada istri nyantai ya, Dok?" kekehnya kemudian. Azri tersenyum seadanya. Hendak mengelak tapi malah terdengar beralasan.
"Mau saya kenalkan dengan teman istri saya. Masih perawan lho, Dok."
Azri mendengkus dalam hati. Tahu darimana jika masih perawan? Belum menikah tidak menjamin jika masih perawan, 'kan.
"Maaf, Dok. Saya lewat sini saja," dalih Azri memilih belok ke lorong menuju rawat inap pasien. Azri tidak mau jika pembahasan jodoh menjodohkan itu mengisi jalan setapak menuju parkiran rumah sakit.
"Lho, gak bawa mobil?" tanya Malik heran.
"Ada yang mau saya cek sebelum pulang."
"Pasien? Tumben visite malam-malam?" Azri berdecak pelan. Kenapa Malik terus menyerangnya dengan pertanyaan masuk akal itu.
"Iya, soalnya waktu di ruang operasi sempet ada masalah kecil, jadi saya memastikan saja dulu."
Wajah Malik terlihat memikirkan ucapan Azri. "Sudah ya, Dok. Saya permisi." Menunggu Malik berpikir bisa-bisa Azri terlambat menemui putri lucunya di rumah.
Langkah Azri berjalan tergesa-gesa. Gara-gara Malik dia harus memutar rute jalan lebih jauh menuju tempat parkiran mobil. Dia harus melewati pintu utama gedung dan banyak bertemu dengan para pegawai rumah sakit shift malam.
Kakinya reflek berhenti saat kedua pasang penglihatannya menangkap sosok Azkia dengan mata sayu khas orang kelelahan. Tak lama gadis itu menutup mulutnya yang sudah dilapisi masker untuk melakukan bersin. Azri semakin yakin jika gadis yang sedang duduk di ranjang UGD itu dalam kondisi kurang prima.
Tangannya spontan merogoh ponsel dan menelepon seseorang. "Iya, Bang?"
"Ra. Masih di rumah sakit?"
"Udah pulang, Bang. Kenapa?"
"Siapa yang jaga malam di bagian obat?"
"Temen aku lah, Abang gak kenal."
"Bisa tolong suruh temenmu yang gak Abang kenal itu nyiapin vitamin sama obat flu dosis ringan?"
"Buat?"
"Tanya sekali lagi, Abang doain jodohmu makin lama datengnya!"
"Yeu, kenapa nyenggol perkara jodoh! Iya iya, aku suruh dia nyiapin keperluan Abang aku yang juga jomblo."
"Sekarang! Abang tunggu di depan ruanganmu!" titah Azri sembari berbalik arah menuju ruang pengambilan obat.
"Hah? Buat apaan sih!"
"Jangan banyak tanya, cepetan!"
"Ya Allah, iya! Ini sambil ngetik pesanan Abang."
"Makasih ya."
"Doain dulu jodohnya Dek Nara cepet datengnya!" paksa Nara.
"Gak mau!" balas Azri dengan nada tengil.
"Sialan banget sih udah—"
Azri menggeser simbol merah dan memasukkan ponsel ke dalam saku celana. Tak lama seorang pegawai bagian obat-obatan keluar dari ruangan kaca memberi bungkus plastik berisi pesanan Azri. Tak banyak kata Azri mengambil obat itu dan berseru terima kasih. Buru-buru ia menuju ruang istirahat khusus koas. Seperti harapannya, ruangan sepi. Segera ia membaca satu persatu nama pemilik loker di sana.
Azri berdecak kesal saat ia tidak menemukan apa yang dicari. Hanya ada satu loker tanpa nama di sana. Dengan yakin Azri menebak jika pasti itu milik Azkia.
"Dasar! Jaga kerapian milik sendiri saja gak becus," gerutu Azri mempermasalahkan loker tanpa nama di depannya.
Tangannya bergegas membuka loker dengan mata tertutup, takut saja jika ia melihat suatu hal yang mengganggu pikirannya. Bungkusan plastik berisi vitamin itu segera ia masukkan ke dalam loker.
Selesai menuntaskan tugas dadakannya. Azri kembali menuju pintu utama. Dan lagi. Dia bertemu Azkia yang sedang mengantar pasien hendak meninggalkan rumah sakit. Dilihatnya kedua kali proses interaksi hangat antara Azkia saat melayani sang pasien yang akan masuk ke dalam mobil jemputan. Biasanya, tugas mengantar perpulangan pasien itu dilakukan oleh perawat. Namun Azri baru melihat seorang koas mau berbuat di luar tugasnya.
"Gak cari muka, 'kan dia?" gumam Azri menggeleng sendiri. "Kenapa setiap ada aku tingkahnya pada pasien berlebihan!"
***
Azkia berjalan lemah menuju ruang istirahat. Ia meminta izin teman kelompoknya untuk memberi waktu sejenak di ruang istirahat. Keringat dingin semakin banyak bercucuran. Matanya terasa panas tapi tubuhnya kedinginan. Perlahan ia masuk ke ruang gelap dengan meraba tembok sebagai pegangan sekaligus mencari tombol lampu.
Saat lampu menyala ia memejam sejenak karena sorot cahaya dari ruangan tersebut begitu menyilaukan. Ia menuju loker untuk mengambil jaket yang sengaja Azkia bawa untuk keadaan genting seperti ini. Alisnya mengerut melihat bungkusan obat di atas lipatan jaketnya.
"Kenan? Hmm baik banget bestie gue," gumamnya tersenyum samar.
==============
STASE 9 (Jadi Ternyata)
Beberapa menit membelah lalu lalang kendaraan, akhirnya Azri sampai di rumah. Sesuai janjinya Azri membawakan es krim untuk putri kecilnya. Zahra sedikit mengomel karena sang ayah pulang kemalaman. Setelah puas mengoceh, bayi berusia 5 tahun itu langsung menyantap es krim dari ayahnya ditemani Nara yang selalu menjadi kawan bermain dan belajar saat sedang menginap di rumah keluarga Adhitama.
Melihat sang kakak duduk termenung, Nara mencoba mendekati. "Ada apa, Bang?" tanya Nara.
Azri lantas mengangkat kedua alisnya tanpa menjawab. Tatapannya memandang nanar obyek di depannya. Nara duduk di dekat Azri dan mulai mengintrogasi. "Kelihatan banget lagi mikir sesuatu?"
"Gak ada."
"Tadi minta obat buat siapa?" tanya Nara, tentu ia masih penasaran.
Sekarang Azri mencoba mencari jawaban masuk akal. Ia juga baru sadar dengan tingkah refleknya hingga bertindak sejauh itu pada anak bimbingannya.
"Bang? Kenapa sih?" tanya Nara menangkap wajah serius kakak kandungnya.
Azri masih mengontrol diri. Menolak kenyataan konyol tentang perbuatannya pada Azkia. Untuk apa juga dia berbuat sepeduli itu? Apa karena balas budi? Ah iya, mungkin itu, Azri mengangguk membenarkan isi pikirannya. Satu bungkus obat-obatan sebagai balasan dua botol susu almond.
"Tadi ada anak koas yang minta obat aja," jeplak Azri singkat, tidak ingin membahasnya lagi. Jelas Nara tidak percaya. Jarang bahkan tidak ada ceritanya anak koas berani meminta obat untuk keperluan pribadi.
Azri berdiri hendak menuju kamar. Namun pertanyaan Nara membuat langkahnya terhenti. "Anak koasnya Azkia?"
"Bukan!" sangkal Azri tanpa membalikkan badan. Nara dengan mudah menangkap gelagat kebohongan dari kakak kandungnya.
"Aya, kalau manusia bohong kata Bu Guru masuk apa?" tanya Nara pada sang keponakan yang khidmat menjilat es krim di atas kasur lantai berbulu lebat.
Gadis kecil itu berpikir sejenak. "Neyaka?"
Nara tersenyum mengapresiasi. "Neraka itu panas apa dingin?"
"Panas, Tante," jawab Zahra.
"Bang, anakmu aja tahu lho, kalau bohong masuk neraka," sindir Nara. Azri tampak menghela napas pendek dan pergi menuju kamar.
Pintu kamar sengaja ditutup dengan keras. Azri kesal jika Nara menyudutkannya seperti itu. Ia berdiri di depan cermin sembari melepas kemeja kerjanya. Kejadian saat meletakkan obat di loker secara diam-diam kembali terputar di otaknya.
"Itu cuma balas budi. Iya. Balas budi!"
***
Pagi hari kegiatan di rumah sakit Medical Center tidak berubah. Masih sibuk bahkan semakin hari semakin ramai. Rumah sakit tersebut merupakan rumah sakit tipe A. Menjadi salah satu tempat rujukan dari berbagai rumah sakit luar kota bahkan luar provinsi. Tak ayal banyak pasien luar kota yang dirawat di sana.
Dan hari ini, Kenan menyampaikan pada Malik jika sahabatnya—Azkia Indira—izin tidak bisa masuk. Tentu saja Kenan mendapat ceramah dari Malik atas izin yang terbilang mendadak itu.
"Harusnya dia lebih jaga kesehatan. Mau kerja di bagian medis setidaknya lebih tau apa kebutuhan fisiknya dan bagaimana mengantisipasi biar jangan sampek sakit parah."
Kenan hanya mengangguk tanpa berani membantah. Ia sangat setuju dengan pemikiran Malik soal menjaga kesehatan. Namun Azkia salah satu sosok gadis keras kepala yang tidak mudah dinasehati.
"Kalian semua, jaga kesehatan! Jangan sampai sakit!" petuah Malik pada segerombolan anak koas yang melakukan follow up. Tujuh calon dokter termasuk Kenan kompak mengangguk patuh.
Malik sibuk memeriksa keadaan pasien dan menyimak laporan follow up para koas. Perbincangan terus berlanjut di antara Malik, koas, dan pasiennya. Sesekali Malik memberi penjelasan tentang penyakit pada para koas di sana.
"Ada pertanyaan nggak?" tanya Malik menatap satu persatu anak koas bimbingannya. Malik menunjuk Kenan untuk bertanya. Kenan lantas terkejut.
"Kok kaget? Gak belajar ya. Kalau nggak tanya saya yang tanya nanti. Awas gak bisa!"
Kenan sontak bersuara, "Tanya, Dok, saya mau tanya."
"Silahkan." Malik menunggu Kenan yang sedang memeras otak untuk mencari bahan pertanyaan.
"Dok, ini 'kan tiroidektomi. Apa mungkin terjadi komplikasi suara pasien sampai hilang? 'Kan di situ ada nervus laringeus recurrent?"
"Hmm ... bagus. Karena kamu tanya, saya tanya lagi. Nervus laringeus recurrent cabang ke berapa dari apa? mempersyarafi apa? Lalu berada di lapisan otot apa?"
Kok kambing! Batin Kenan.
***
Pikiran dokter jantung berstatus duda itu masih saja mengulang kejadian dimana tubuhnya bergerak menuju ruang istirahat koas dan meletakkan obat di loker milik orang yang statusnya bukanlah kerabat dekat. Semalaman ia susah tidur hanya karena gerak konyolnya. Satu perasaan yang kini memenuhi benaknya setelah melakukan tingkah hero semalam adalah; penyesalan.
Azri menggigit kuku cemas. Entah khawatir karena Azkia akan salah menilai perbuatannya, atau khawatir akan keadaan gadis itu? Kenapa isi otaknya hari ini mendadak penuh berjejalan pertanyaan tidak berguna tersebut! Azri ingin berteriak tapi ia sadar hal itu akan mengganggu penduduk rumah sakit.
Akhirnya pria berkacamata minus itu memutuskan keluar ruangan mencari udara segar. Sebelumnya ia membuat kopi panas untuk menghilangkan rasa kantuk akibat kurang tidur semalam.
Segelas kopi di cup kecil telah berada digenggaman. Azri menuju taman belakang dan berhenti di depan ruang istirahat khusus koas. Astaga! Kenapa lagi dengan isi otaknya.
Matanya menyipit menelisik isi ruangan. Melihat keadaan sepi, ide baru muncul secara tiba-tiba.
"Mungkin Azkia belum sempat buka loker?"
Jika iya, Azri akan mengambil lagi obat yang ia letakkan di sana.
"Dokter Azri?" sebut Kenan. Azri menoleh sedikit terperanjat.
"Cari siapa?" tanya Kenan.
Rasa penasaran soal ketiadaan eksistensi Azkia membuat alis Azri menukik samar. Biasanya Kenan dan Azkia ini selalu berdua. Lalu kenapa Kenan sendiri?
"Cari Azkia, Dok?" tebak Kenan. Azri langsung menggeleng tegas. Tidak mencari tapi dia penasaran. Ah, perasaan apa ini. Kenapa jadi campur aduk.
"Saya kira Azkia belum mengumpulkan tugas ke Dokter Azri?" pikir Kenan menebak. "Hari ini dia izin, Dok. Demam tinggi katanya—"
"Demam?" ulang Azri terkejut.
Kenan menemukan ekspresi berlebihan di wajah tampan dokter berusia kepala tiga itu. Senyum tertahan merekah samar di bibir Kenan. Pasti ada apa-apa. Batinnya menilai.
Kenan mengangguk dengan ekspresi mendramatisir. "Kasihan Azkia, Dok. Dia tinggal di Depok sendiri. Keluarganya semua di Solo. Saya juga gak bisa jenguk, karena jadwal di stase bedah padat sekali."
Soal jadwal kegiatan itu Kenan tidak sedang berbohong. Di stase surgery dokter sering meminta anak koas menunda jadwal pulang.
Azri diam memikirkan sesuatu. Kenan semakin ingin tertawa. Dia merasa hebat jika kalimatnya berhasil menimbulkan rasa iba seorang konsulen berhati dingin seperti Azri. Bonus spesial kalau saja Azri merasa empati pada Azkia melebihi rasa tanggungjawabnya sebagai pembimbing. Pasti seru, andai Azkia dan Azri ternyata memang jodoh yang baru dipertemukan, pikir Kenan bersorak dalam hati.
"Kasih tahu sama dia, harusnya jaga kesehatan! Jangan malah ngerepotin temen kelompoknya! Apalagi bikin orang cemas!" cerocos Azri, Kenan mendelik kaget. Setelah memasang wajah terkejut kenapa raut Azri sedikit berusaha memunculkan sifat dingin seperti biasanya? Tidak mungkin 'kan, dokter konsulennya memiliki gangguan bipolar!?
Kenan menggeleng heran melihat Azri pergi tanpa permisi. "Ganteng but pshyco!"
***
Nara memejamkan sejenak mata lelahnya yang kini duduk di jok mobil Azri. Malam ini mereka bisa pulang bersama karena jadwal perpulangan keduanya kebetulan hanya berselang 10 menit.
Dari ekor mata, Nara mendapati sosok pria dengan tampang gelisah dan tampak termenung di balik kacamata kerjanya.
"Ra. Kamu terakhir demam umur berapa?" tanya Azri.
"Demam biasa apa demam rindu?" Azri menoleh kilat lalu kembali menatap ke arah depan.
"Jangan ngalihin pembicaraan! Bang Azri lagi ngobrolin pasien ini!"
"Emm, aku juga ngobrolin seseorang. Tadi aku ketemu Kenan di kantin, dia bilang Azkia demam. Apa pasien Abang seumuran Azkia?"
Azri tidak langsung menjawab. Nara kembali berujar, "Udah mulai ada perasaan aneh kah, Bang? Selama beberapa Minggu ketemu Azkia, Bang Azri udah pernah nyesel karena buat dia nangis, pernah bilang kasihan waktu dia ketakutan lihat hantu, sempet kagum karena sifat hangatnya sama pasien, sekarang khawatir karena dia gak dateng ke RS?"
Ya, Nara adalah tempat curhat Azri perihal apa pun. Untuk itu dia berani menyimpulkan tentang keadaan hati kakaknya sekarang seperti apa.
"Jangan ngaco, Abang bersikap kayak gitu cuma sebatas konsulen ke anak bimbingan," jelas Azri pelan, nyaris tak terdengar. Ada nada bimbang dalam penyampaiannya. Seolah dirinya juga meragukan kalimatnya sendiri.
"Jangan malu mengakui puber kedua, Bang. Wajar aja, kalau misal emang Bang Azri menaruh rasa sama Azkia. Selama koas emang sering barengan. Bahkan berkali-kali Bang Azri kesel terus sama dia. Inget, Bang. Hati mudah terbolak balik, bisa jadi Allah lagi banting setir; mengubah perasaan Abang dari benci jadi rasa nyaman."
Azri langsung menggeleng. "Nyaman darimana—"
"Oke, belum ke hal nyaman. Katakanlah proses ke titik itu! Dari sebel, marah, kecewa, jadi kagum, kasihan, sampek ke titik khawatir! Yakin, kalau Abang ngobrol sama dia di luar pembahasan soal rumah sakit, pasti ranahnya ke arah nyaman dan terjebak rasa suka!"
Azri diam merenungi kalimat sang adik sembari menyetir. Selama ini Azri dan Azkia memang belum pernah mengobrol di luar konteks tentang dunia medis. Untuk apa juga? Bukankah sangat aneh, tiba-tiba mengajak bercengkrama soal kehidupan apalagi masalah hati! Azri sontak menggeleng.
"Enggak! Azkia masih terlalu muda!"
Nara terkekeh. "Wah, udah dibayangin nih? Bayanginnya cuma sebatas naik pelaminan, 'kan, Bang? Belum masuk kamar?"
"Pikiranmu, Ra!" pekik Azri. Nara semakin tergelak.
"Abang gengsi, abis bilang gak mau dapet istri seumaran sama aku, makanya jaga jarak ke Azkia? Membatasi diri karena ucapan Abang yang itu kah?"
Azri memilih diam. "Lupain, Bang. Nara gak akan ngomong ke siapa pun soal kualifikasi umur calon mama baru buat Aya."
"Gak bisa, Ra. Abang udah pernah bilang gitu ke Dokter Meilin," cicitnya terlihat menyesal.
Nara terkejut. "Tumben banget cerita ke orang lain sampek segitunya? Abang sempet suka Dokter Meilin?"
"Sebatas kagum. Dokter muda, cantik, ramah, pasti cowok yang deket sama Meilin kesemsem, Ra. Termasuk Abang."
Nara menepuk dahi pelan. Kenapa kakaknya mudah jatuh hati tapi sulit membedakan mana cinta dan mana yang sesaat?
"Bang Azri sengaja ngajakin Dokter Meilin ke sana kemari karena perasaan kagum itu?"
Nara juga tahu, saat Azri sering meminta bantuan Meilin untuk membereskan tugas-tugasnya sebagai konsulen. Ternyata ada niatan lain dari kakaknya yang tidak diketahui oleh Nara.
"Abang 'kan butuh kepastian, Ra. Perasaan Abang ke Meilin itu gimana? Makanya bikin trik ngajak jalan itu. Ternyata Meilin udah ada yang ngincer. Jadi Abang gak penasaran lagi."
"Bentar, Bang! Jangan bilang, Abang jadiin patokan usia buat istri itu cuma alasan di depan Dokter Meilin?"
Azri mengangguk mengiyakan. "Abang gak pernah bikin batasan buat usia pasangan. Kalau dia dewasa meskipun usianya masih muda, Abang mau-mau aja. Abang bilang ke Meilin kayak gitu biar dia gak mikir aneh-aneh ke Abang."
Nara mendesah pelan. Ternyata itu alasan Azri yang sesungguhnya. Kenapa Nara tidak berpikir sejauh itu! Ia kira Azri tidak akan menyimpan rahasia apa pun dengannya. Nyatanya, dia tidak tahu jika Azri menutup rapi arti dari kalimat sesungguhnya.
"Sekarang Abang udah kejebak ucapan sendiri. Abang gak mau kelihatan plin-plan." Azri menyimpulkan dan menghela napas berat.
"Menarik, Bang. Jangan menyerah diawal. Kalau Abang bisa ngarang alasan serapih itu. Jelas ada alasan buatan yang bikin Abang terbebas dari kalimat Abang."
"Apa, coba?"
"Ck! Terlanjur suka, apalagi!"
===============
To be continued
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
