RETENSI (stase 4-6)(Dokter Duda vs Anak Koas)

13
3
Deskripsi

STASE 4. Gara-gara Badmood


Seperti biasa. Pagi hari Azkia melakukan follow up pada pasien di poli interna. Ia melakukan pengecekan secara menyeluruh pada beberapa pasien. Sibuk menulis. Azri datang membuat Azkia gelagapan. Ia langsung menjelaskan keadaan terbaru pasien pria berusia 60 tahun yang sedang berbaring di ranjang rumah sakit.

"... Hari ini Bapak Ihsan tidak ada keluhan tambahan, Dok. Hanya batuk sama seperti kemarin. Masih ditemukan ronki di lapang paru dalam batas normal .... " Azri diam...

"Tugas baru khusus buat kamu selain referat! Cari penjelasan sedetail mungkin tentang ronki."

Azkia hanya bisa mengangguk dan menahan diri untuk tidak berteriak.
 

***


Siang hari Azri memenuhi undangan parenting dari tempat sekolah Zahra. Undangan itu ditujukan untuk salah satu wali murid agar wajib hadir dan semakin baik jika keduanya sama-sama datang, dengan tujuan mereka mendapatkan penjelasan bagaimana mengasuh buah hati yang diadakan di setiap hari Jumat sebanyak satu bulan sekali. 

"Kok lama banget datengnya. Udah mau selesai baru dateng," sambut Dita langsung mengomel. Azri menghela napas pendek. Selalu saja pertemuannya dengan Dita berakhir cekcok ringan.

"Dit. Tugasku di rumah sakit itu banyak—"

"Alasan banget. Temenku dokter juga gak kayak kamu, dia bisa bagi waktu!" racau Dita. Azri hanya diam. Semua jawabannya pasti akan dibalas dengan perkataan pedas. 

"Aku tuh takut kalau Zahra main sama kamu. Pasti ditelantarin karena sibuk kerja," lanjut Dita. Padahal acara masih berlangsung tapi Dita terus saja meracau, seolah-olah tidak ada siapa pun di sana. "Kalau gak bisa jaga anak bilang lho, daripada anakku kamu cuekin di rumah."

"Aku gak setega itu, Dita!" balas Azri akhirnya membuka mulut. Sebisa mungkin ia menahan diri agar tidak adu mulut di tempat umum, apalagi saat acara penting, bisa mengganggu kenyamanan orang lain. Namun tak dapat dipungkiri hatinya gatal juga jika mantan istri selalu menyudutkan.

"Buktinya, selama acara parenting. Cuma aku doang yang ikut. Ini juga kamu dateng karena aku paksa dan kamu baru mau dateng! Aya anak kita ya, bukan anak aku doang," debat Dita masih serius membahas permasalahan mereka.

Benar memang, Azri jarang menyanggupi undangan rutin dari sekolah anaknya. Itu semua karena pekerjaannya yang tidak bisa ditinggal. Apa mungkin ia menolak mengoperasi pasien saat ada yang membutuhkan penanganan segera?! Dita sama sekali tidak paham akan hal yang ia alami. 

Azri meredam emosinya dengan diam tidak membuka mulut. Ia memilih mengalah karena memang Dita akan selalu membuat hatinya kacau tidak peduli waktu maupun tempat. 

Satu jam setelah acara selesai. Azri mengantar mantan istri dan anaknya ke rumah yang sempat mereka tempati dulu, rumah suami Dita di Bandung, dan di Jakarta mereka tinggal di rumah yang dibeli dari uang Dita dan Azri. Setelah mengantar mantan istri, Azri kembali ke rumah sakit tempatnya dinas.

Kini Azri merasa lelah. Perasaannya selalu campur aduk setelah bertemu Dita. Ia kira setelah bercerai permasalahan rumah tangga akan berhenti dan tidak mengganggunya. Nyatanya, masih saja tuduhan-tuduhan Dita merusak mood-nya hingga berantakan.

Azri mengusap wajahnya lelah. Ia berjalan masuk ke ruangan dan melihat satu jilid makalah di atas meja. Ia melihat nama Azkia Indira di sampul depan. Tangannya membuka setiap lembar yang masih terasa hangat seperti baru dicetak.

Bibir lembabnya berdecak kesal membaca sekilas setiap lembar kerja yang berisi tentang penjelasan detail mengenai ronki—tugas tadi pagi yang ia berikan pada Azkia. 

"Dia kira aku bodoh!" gumam Azri. Tangannya beralih mencari nomor telepon Azkia di grup WhatsApp berisi anak koas angkatan tahun ini.

***


Azkia menggeliat setelah lelah membantu di ruang UGD. Pasien dadakan yang masuk hari ini cukup ramai. Namun syukurlah dia cukup cekatan untuk membantu para ahli medis bagian memberikan pertolongan pertama.

Baru saja menyandarkan tubuhnya ke dinding. Ponsel di saku jubah koasnya bergetar. Segera ia melihat nomor asing di sana. Tidak langsung dijawab. Dia masih memikirkan kira-kira siapa yang meneleponnya di saat jam dinas koas seperti ini.

Perlahan gadis itu mulai mengangkat dan menempelkan gawai-nya ke telinga. "Ke ruangan saya, sekarang!" 

Azkia mencerna suara tersebut. Mencoba menerka. Apa benar suara itu?!

"Dokter Azri?"

Azkia segera berlari menuju lantai dua. Mendengar nada bicaranya, dia yakin, Azri sedang mengeluarkan satu tanduk. 

"Salah apa lagi sih?" gumamnya terus berlari. 

Sesampainya di depan ruangan. Azkia mengatur napas dan merapikan pakaian. Ia menyempatkan diri memoleskan lip tint di bibir agar tidak terlihat pucat di depan dokter pembimbingnya. Ya, siapa tahu dia bisa mengubah mood negatif Azri menjadi lebih baik setelah melihat wajahnya yang sedikit berwarna. Meskipun kemungkinannya sangat sedikit.

Tok tok tok

"Permisi, Dok?" 

Azkia mendorong pintu kaca itu dengan napas yang masih ngos-ngosan. Ia melihat Azri sedang berdiri sambil bersandar di meja kerja. Tangan Azri membawa jilidan tugas yang ia garap.

Bibir Azkia kembali pucat. Raut wajah Azri melebihi zombie yang tidak mendapat mangsa seumur hidupnya. 

"Punya kamu, 'kan?" tanya Azri menggerakkan jilidan tugas bermika bening. 

Azkia mengangguk takut. "Siapa yang nyuruh kamu buat copas dan di-print kayak ini? Saya maunya kamu tulis pakek tangan, di kertas folio! Azkia Indira!" titahnya berhasil membuat Azkia melebarkan mata. Apa dia tidak salah dengar? Diprint dengan font rapi saja menghabiskan tujug lembar! Dan apa ini? Bukankah Azri sudah kelewat gila memberinya tugas sebanyak itu! 

"Kamu kira saya gak tahu semua ini cuma kamu copy paste dari internet dan gak dibaca dengan cermat!" lanjut Azri emosi. "Makanya, baru tadi pagi diberi tugas. Sore sudah dikumpulkan!" cibir Azri tersenyum miring. 

Lembar Azkia dilempar ke sofa ruangan begitu saja. "Jangan kira kamu bisa bodohi saya dengan garapan seperti itu! Ganti dan berikan pada saya besok pagi, setelah follow up!" 

"Tapi, Dok, saya sedang ada tugas jaga di UGD sampai besok pagi. Makanya saya kerjakan sekarang karena takut besok tidak ada waktu," jelas Azkia menunduk dalam. Matanya sudah berembun karena sejujurnya dia dalam keadaan lelah. Mendengar omelan Azri dadanya malah sesak dan ingin menangis. 

"Saya tidak perduli. Kalau kamu gak sanggup, nilaimu di stase interna ... saya kosongi!" 

Azkia kontan berdiri dengan kedua lututnya. Azri jelas terkejut melihat aksi berlebihan dari anak bimbingannya. 

Isak tangis mulai terdengar, dan Azri malah bingung harus berbuat apa. "Maaf, Dok. Saya akan lakukan semua tugas Dokter. Tapi tolong jangan kosongi nilai saya," mohonnya tulus. Tangannya sibuk mengusap lelehan hangat yang turun di pipi. 

Azri masih saja mengerjap bingung. Ia tidak menyangka jika Azkia bertindak sejauh itu. Pria itu mendekati Azkia dan menarik lengan gadis tersebut untuk bangkit. Azri merasa bersalah tentunya. Perasaan acaknya setelah bertemu Dita membuat ia berlagak keterlaluan dengan anak bimbingannya sendiri.

Azkia mulai berdiri dan terus mengusap air matanya. "Ekhem," deham Azri pelan, dia mencoba membuat Azkia segera berhenti menangis. "Oke, saya tunggu tugas kamu sampek besok malam."

=============

Footnote ;
Ronki; suara yang menyerupai dengkuran. Terjadi ketika udara diblokir atau menjadi kasar melalui saluran udara besar.

Lalu panggilan Zahra itu Aya, dari kata Zahra-zahya-ahya-aya. :D Dia kan belum bisa bilang R. Jadi ya begicu.

 

STASE 5. (Penilaian Berubah)

Nara terus-menerus melirik ke arah sang ibu yang sedang sibuk mengunyah makanan. Adik perempuan Azri itu terlihat ingin menyuarakan sesuatu. Dirasa waktunya telah tepat, ia pun mengangguk-angguk kecil dan memanggil ibunya. 

"Buk." 

Wanita beranak dua itu mengangkat pandangan untuk memperhatikan anak ragilnya. Nara lantas menunjukkan kebiasaannya, cengengesan dan tidak langsung mengatakan keperluannya. 

"Apa, Dek?" tanya sang ibu.

Meskipun sudah menginjak usia lebih dari seperempat abad, Nara tetap dipanggil adik oleh keluarganya, kecuali Azri. Pria itu sudah menganggap Nara wanita dewasa. Menurutnya, sudah tidak cocok lagi dipanggil adik.

"Adek punya kenalan, Buk. Orang TNI AL—"

"Waw, jenderal laksamana?" serobot Azri dengan nada meledek, seakan mendengar adiknya sedang berhalusinasi.

"Pangkatnya belum sampek setinggi itu, Bang. Dia masih jadi perwira muda. Tapi, Buk, Adek gak masalah yang penting kita saling nyambung."

Nara ini sangat mengagumi sosok pria berseragam prajurit abdi negara. Di matanya, pria dengan tubuh tegap berambut rapi itu sangat karismatik. 

"Gak ah, Dek. Nanti kamu terus-terusan ditinggal kalau dia dapet kerja di luar pulau, atau bahkan di perbatasan negara? Kamu bakal kesepian, apalagi kalau kamu hamil trus ditinggal nugas. Gak deh, Ibu gak mau kamu digituin. Cari suami yang profesinya kayak Bang Azri aja, setiap hari di rumah, bisa main sama anak istri."

Selalu seperti itu. Sang ibu menjadikan Azri sebagai tolok ukur. Entah dari segi pekerjaan, karakter, bahkan rupa. Bagaimana bisa dia mendapat suami, jika ibunya memberi batasan sekeras itu. Nara menghela napas payah.

"Bang Azri udah jadi dokter nyatanya tetep ditinggal istri," gumam Nara pada akhirnya. Sorot matanya menunduk menatap tidak bergairah ke arah piring.

Azri melirik sekilas dan menghela napas pendek. Mengingat kegagalan rumah tangganya mood seorang Azri mendadak berubah.

"Beda, yang gak bisa jaga rumah tangga Abang kamu itu Dita. Andai dia gak negatif thinking terus sama Azri. Aya pasti gak akan punya ayah dan ibu tiri," bela sang ibu.

Azri terbatuk mendengar kata ibu tiri untuk Zahra. Itu artinya, sang ibu berharap dia menikah lagi, 'kan? Kini Nara tersenyum. Dia memang sangat berharap kakak tampannya itu memiliki istri lagi agar ibunya bisa sedikit teralihkan. 

"Nara. Ayo kita berangkat!" ajak Azri.

Nara bekerja di tempat yang sama dengan Azri sebagai kepala bagian obat-obatan di rumah sakit Medical Center.

"Nara, cari jodoh yang lain aja ya. Semangat!" kata sang ibu memandang kedua anaknya yang sibuk menyiapkan tas kerja, "Azri anak Ibuk. Semangat cari istri jilid dua."

Azri kontan berdecak dan Nara tertawa puas. 

Selama di perjalanan, Azri fokus menyetir tanpa ada kalimat yang disuarakan. Nara menoleh sekilas dan menangkap ekspresi tanpa gairah dari muka kakaknya. Padahal calonnya yang ditolak, tapi kenapa Azri yang tidak bersemangat. Nara sebenarnya mulai merasakan perbedaan sifat Azri sejak perceraian 3 tahun lalu. Seperti merasa gagal menjadi seorang suami terkhusus menjadi seorang ayah. 

"Bang?" panggil Nara lembut.

Azri hanya merespon dengan menggerakkan kepala tanpa bersuara. 

"Nikah dong. Kasihan adikmu ini karena terus terhalang restu." Bukannya memberi ketenangan, Nara malah membuat mood Azri bercerai berai.

"Emang kalau Abang nikah lagi, kamu pasti direstuin?"

"Bisa jadi iya. 'Kan Ibu jadi teralihkan sama istri Abang. Atau istri Abang bisa bantu aku buat bujuk Ibu nerima calonku."

"Masih kukuh sama Aquaman!"

"Kok Aquaman sih."

"Kerja di air kalau bukan Aquaman apa? Pegawai Mr. Krab?" 

Nara mendesis kesal saat Azri mengajaknya bercanda. "Udah jangan ngurus Abang. Kamu fokus cari jodoh sesuai kriteria Ibu aja." 

"Duh. Susah ngomong sama kanebo kering!" 

Azri tersenyum sekilas tanpa berniat memberi komentar. Selang hening beberapa masa, Azri pun berujar, "Abang males cari istri lagi, masih belum bisa nerima kegagalan yang kemarin."

"Owh, masih sayang sama Mbak Dita."

"Enggak, Nara! Cuma kalau nikah lagi. Abang harus cari wanita yang bisa diterima Aya!" Azri beralasan. "Dan tentunya nerima Aya layaknya anak kandung sendiri. Kamu gak pernah baca berita. Ibu sambung membunuh anak dari suaminya."

Nara tergelak mendengar kalimat fakta itu. Namun tidak berarti harus disama ratakan, bukan? 

"Bang, jodoh itu cerminan diri. Bang Azri baik. Pasti jodohnya juga baik, atau lebih baik. Jangan khawatirin Aya. Dia itu gampang bergaul sama siapa pun. Contohnya Dokter Meilin, 'kan." 

Azri diam. Ia tidak menyiapkan balasan untuk menangkis kalimat akurat dari adiknya. 

"Fix. Bang Azri susah move on dari Mbak Dita!"

"No!"

"Yes!"

"Ck. Oke! Bang Azri mau cari Ibu buat Aya. Asal usianya gak seumuran kayak kamu, Nara Davina, yang calonnya selalu ditolak!"

"Makasih, Azri Adhitama. Duda kesepian yang gak bisa move on dari Mbak Dita!"
 

***


Di ruang hemodialisa Azkia tersenyum penuh syukur berada di antara orang-orang yang sedang menjalani proses cuci darah. Sempat ia tertegun melihat tawa ceria beberapa pasien saat jarum besar menancap di kedua sisi tangannya. Masih bisa tersenyum padahal sedang mengalami kesakitan? Batin Azkia kagum.

Melihat ketegaran pasien tersebut, dia semakin semangat bercengkrama dengan perawat untuk mengisi data yang diperlukan dan beberapa hal penting lainnya. Dari sana dia menyimpulkan, jika seringnya proses cuci darah yang dilalui sebagian pasien membuat rasa sakit coblosan jarum penyedot darah itu hanya setara seperti sengatan semut kecil belaka. Azkia sungguh terharu, sekaligus penuh rasa syukur.

"Ibu sendirian?" tanya Azkia mendekati seorang wanita tua yang sedang berbaring dengan selimut tebal di atas tubuh.

"Iya, Dok. Anak saya pulang karena cucu saya juga sakit di rumah," jawabnya. Azkia mengangguk dan tersenyum. 

"Boleh saya duduk di sini?" tanya Azkia meminta izin.

Air muka wanita tua itu berubah sumringah. "Jelas boleh lah, Dok!" jawabnya dengan logat kental khas jawa.

"Ibu Jawa Tengah mana?" 

"Lho kok tahu saya dari Jawa Tengah?"

"Logat jawanya Ibu kenthel banget. Kulo niki ngge tiang Jawi, Buk."  (Saya ini juga orang Jawa, Buk.) 

Ibu berusia hampir 60 tahun itu membelalak dan tertawa kemudian. "Oalah, kirain asli Jakarta. Di sini cuma kuliah? Kalau Ibu dari Tegal." 

Azkia mengangguk semangat dengan senyum ramah yang terus terpatri elok di wajah tanpa banyak sapuan make up. Gadis itu hanya menggunakan lip tint dan coretan samar eye shadow di kelopak matanya. Azkia memang suka dunia make up, dia juga memiliki banyak sertifikat merias hasil dari hobi pengusir jenuhnya. Hanya saja setiap ke kampus dan bertugas seperti ini dia tidak begitu memenuhi wajahnya dengan banyak warna.

"Sudah cantik, ramah, pasti suaminya dokter juga ya, Ndok?" 

"Bukan, Buk. Calon saya masih pusing sambil bawa peta."

"Lho, kenapa?" 

"Iya, tersesat terus belum bisa nemuin saya."

Sang ibu terbahak mendengar jawaban Azkia. Dia pun tertawa bahagia bisa menghiasi wajah keriput itu dengan garis kurva sempurna. 

***


Azri berjalan dengan langkah panjang di lorong rumah sakit hendak menuju bangsal pasien penderita penyakit jantung. Sebelum itu, ia menyempatkan mampir di ruang cuci darah untuk mengecek apa ada pasiennya yang menjalani kegiatan tersebut hari ini. 

Para perawat dan pegawai lantas memberi hormat dengan berdiri menyambut saat Azri menuju meja dekat pintu. Tangannya bergerak mengambil lembar data pasien yang telah direkap dan beralih memperhatikan jumlah pasien yang berbaring di ranjang. Tatapan dinginnya berhenti tepat pada wanita muda yang sering juga membuat ia uring-uringan. 

"Ibu Salim keluarga dia?" tanya Azri pada perawat.

"Dia? Oh, Mbak Kia? Bukan, Dok, Mbak Kia hanya ingin menemani saja setelah jam dinasnya di sini berakhir."

Azri tertegun. Dia kira Azkia seorang koas pemalas yang memiliki hobi datang terlambat. Ternyata gadis itu juga sering menghabiskan waktu istirahatnya bersama pasien yang sama sekali bukan urusannya.

Sudut-sudut bibirnya tertarik berlawan. Samar namun pasti dia bisa merasakan jika sedang menorehkan senyum murni dari hatinya. Lantas senyum kagum itu memudar saat menyadari jika ekspresinya berlebihan. 

Belum beranjak dari tempatnya. Azkia dan pasien tersebut tertawa bersama. Sekuat tenaga Azri tidak ingin kembali terbawa suasana. Dia memalingkan wajah dan memutar arah memunggungi kedua manusia yang sempat menarik perhatiannya. 

"Pasien saya hari ini sudah melakukan cuci darah?" tanyanya mengalihkan.

"Sudah, Dok. Tadi pagi." 

Azri hanya mengangguk dan pergi meninggalkan ruangan. Dengan langkah terburu-buru ia menjauh dari ruangan tersebut. Ia menghentikan langkah sejenak dengan berdiri menghadap ke arah taman dan menggeleng berulang kali saat bayangan tawa gadis itu terus-menerus terputar tanpa diminta oleh otaknya.

"Aku kira dia cuma bisa buat masalah," gumamnya bermonolog.

"Dokter Azri?" 

Sang empu menoleh, ia terlonjak kaget melihat gadis yang baru saja memenuhi otaknya berdiri membawa pasien di kursi roda. Benar, pasien bernama Ibu Salim itu duduk ditumpu selimut di atas paha dan tersenyum padanya.

"Kenapa kaget, Dok?" tanya Azkia bingung.

Azri sempat tidak menduga jika sifat Azkia ini selalu ramah. Padahal sikapnya selama ini diyakini bisa menumbuhkan rasa dendam yang pasti sedang tubuh subur di dalam hati Azkia. Namun kini Azri sedikit berpikir jika dugaannya seolah keliru. 

"Gak papa," jawabnya tidak menatap lawan bicara.

"Saya mau antar Bu Salim ke kamarnya dulu, Dok. Permisi—"

"Kamu gak istirahat?" celetuk Azri. Pria itu reflek merapatkan bibir setelah melontarkan pertanyaan yang terdengar perhatian. 

"Iya, setelah ini. Sekalian membawa Ibu Salim ke kamar inap," jelas Azkia tidak bisa menangkap gelagat Azri yang kini kentara sedang meredam tingkah asalnya. Takut saja, jika anak koas bimbingannya salah persepsi. 

Melihat Azri tidak berniat menanggapi, Azkia pun bersuara dengan senyum hangat yang sama. "Permisi dulu, Dok."

Azri mengangguk pelan. Pandangannya masih mengarah pada interaksi dua manusia yang lebih pantas disebut anak dan ibu, ketimbang dokter dan pasien.

===============

 

STASE 6. (Susu Almond)

Azri turun dari mobil dan berjalan santai meninggalkan parkiran khusus dokter. Hari ini Nara berangkat agak siang karena menemani sang ibu untuk check kesehatan. Ayahnya meninggal dunia saat usia Zahra sekitar 2 tahun, untuk itu Azri dan Nara harus membagi waktu antara bekerja dan menjaga sang ibu.
 

Di belokan sebelum masuk ke gedung rumah sakit. Azri melihat Azkia datang dari arah berlawanan. Gadis itu tetap menjadi penumpang setia kereta listrik kemudian disambung menaiki Transjakarta dan turun di halte dekat rumah sakit.

Azkia membungkuk menunjukkan rasa hormatnya pada Azri. Seperti biasa Azri hanya mengangguk kecil dengan tatapan tak acuh.

"Pagi, Dokter?"

"Pagi."

"Saya sudah mengumpulkan tugas revisi referat di meja Dokter."

Azkia sekarang sangat lebih berhati-hati setiap mengerjakan tugas dari dokter pembimbingnya. Dia juga mulai bisa menunjukkan keseriusan dan Azri tidak lagi sering mengomel.

"Kenan juga sudah?" tanya Azri.

Azkia berpikir sejenak. Kemudian menjawab, "Katanya hari ini, tapi entah, Dok. Apa perlu saya tanyakan?" tawar Azkia merogoh saku hendak mengambil ponsel.

Gelengan kepala Azri membuat Azkia mengangguk dan mengurungkan niatnya. "Kamu sudah masuk stase bedah. Jangan banyak melakukan kesalahan."

Azkia mengangguk patuh. Senyum cerahnya cukup memberi energi positif bagi yang melihat, termasuk Azri sendiri. "Saya masuk dulu," pamit Azri tanpa menunggu Azkia memberi tanggapan.

"Maaf, Dok!"

Azri lantas berhenti dan menoleh. Azkia berjalan mendekat dengan tatapan mengarah ke bawah pantat pria yang kini keheranan. "Apa yang kamu lihat!" sentak Azri langsung membalikkan badan.

Azkia menatap penuh sesal dan berkata, "Ada bercak bedak bayi di celana dokter."

Azri menepuk-nepuk celana belakangnya. "Bau parfum dokter juga ganti. Lebih seperti minyak telon," pikir Azkia menahan tawa. Padahal itu memang bau minyak telon milik Zahra.

"Itu bukan parfum! Anak saya semalam menginap di rumah. Jadi pagi ini saya yang memandikan dan mengurus semua keperluan dia sebelum sekolah," jabar Azri.

"Oh, saya kira dokter pakai minyak telon," gurau Azkia dengan tawa ringan.

Hidupnya seakan bebas setelah terlepas dari stase interna. Kemarin saat ujian di stase itu, Azri memberinya kemudahan, begitu pula dengan pasien yang ditangani Azkia untuk ujian tersebut, sangat kooperatif dan bukan pemilik penyakit dalam kronis, Azkia masih bisa memberi diagnosis dengan tepat dan bisa memberi arahan penanganan sesuai harapan Azri. Alhasil, ujiannya di stase interna dilalui dengan lancar.

"Kalau saya pakai minyak telon, kenapa?" tanya Azri dagunya terangkat seakan tidak suka ditertawakan.

Azkia malah terkekeh. "Saya tidak masalah, Dok. Teman SMA saya dulu cowok keren, salah satu anggota basket, dia juga suka pakai minyak telon. Dan itu tidak mengurangi nilai ketampanannya."

Azri menyunggingkan senyum penuh percaya diri. "Jadi, saya tetap tampan meskipun bau minyak telon? Begitu maksud kamu?"

Lengkung di bibir Azkia pun sirna. Dia mengolah ucapan Azri dengan tenang. Pria di depannya tidak sedang terkena gangguan narsisme, 'kan? Meskipun begitu, Azkia tidak mengelak jika Azri termasuk dalam deretan dokter tampan di rumah sakit tersebut.

"Maaf, Dok. Saya harus segera ke ruang bedah." Lebih baik Azkia pamit, daripada dia salah memberi komentar.

***
 

Azri duduk bersandar di ruang kerja setelah memberi pelayanan pemeriksaan. Ia membaca ulang hasil referat anak koas yang 10 minggu kemarin menjalani dinas di poli interna. Ia terdiam menatap satu nama dari sekian banyak anak koas yang sering membuat tekanan darahnya berubah drastis. Siapa lagi jika bukan Azkia, gadis yang selalu membuat kesalahan, tapi sedikit demi sedikit mengalami perubahan. Bibir Azri tersenyum samar. Kepalanya mengangguk-angguk pelan membaca hasil referat garapan Azkia.

"Bagus juga," pikirnya membaca karya ilmiah anak bimbingannya.

Selama melakukan konsultasi garapan tersebut, Azkia rela menunggu Azri setiap hari tanpa mengenal lelah, bahkan Azri sering membatalkan pertemuan tiba-tiba tapi Azkia tetap terus membuat janji temu dengannya. Kegigihan Azkia membuat Azri memberi nilai tambah meskipun keahliannya soal ilmu kedokteran tergolong biasa saja.

Sibuk membaca. Suara ketukan di pintu membuat sorot matanya beralih fokus. Ia melihat Azkia berjalan masuk ke dalam ruangannya.

"Ada apa?"

Azkia terus mendekat membawa kantong plastik bening berisi botol minuman.

"Susu almond, Dok. Rasa original sama coklat." Azkia meletakkannya di atas meja. Sedangkan Azri masih tidak mengerti dengan tindakan anak didiknya itu.

"Itu aman, Dok. Tanpa saya jelaskan, pasti dokter tahu 'kan, apa kasiat kacang almond?" ringis Azkia.

Melihat Azri diam, Azkia kembali membuka mulut. "Dokter tidak tahu kasiatnya?" pekik Azkia tidak menduga.

"Bukan seperti itu, tapi tingkah kamu ini lho yang buat saya keheranan sampek speechless!"

Azkia tertawa beberapa masa. Kemudian mengangguk dan memberi alasan. "Itu saya beli di temen Facebook. Dia punya usaha kuliner, dan open order juga, Dok. Kalau Dokter ketagihan, bisa pesan lewat saya." Azkia lancar berujar.

"Ketagihan? Apa ada zat adiktif-nya?"

Azkia malah terbahak. Dia baru tahu jika dokter pembimbingnya memiliki humor lumayan jenaka.

"Ah Dokter ternyata bisa melucu ya? Saya kira dingin total."

"Kamu kira saya manusia es batu? Gletser saja makin ke sini makin mencair. Apalagi saya cuma manusia biasa."

"Oh~ Dokter Azri tersentuh dan meleleh dengan kebaikan saya ini? Begitu?" tebak Azkia membuat Azri mendelik.

"Saya bercanda, Dok. Silahkan dinikmati. Mumpung masih dingin."

"Tunggu!"

Azkia berhenti bergerak. Ia menatap Azri yang sedang mengangkat botol minuman tersebut.

"Jangan bilang ini sogokan agar saya bicara hal-hal baik tentang kamu pada konsulen yang lain?"

"Astaghfirullah, Dokter!"

***
 

Kegiatan di ruang bedah tentu saja selalu sibuk. Para koas tak henti-hentinya mendapat giliran membantu dokter ahli bedah untuk melakukan pembedahan pasien di ruang operasi. Hampir tidak ada waktu bagi mereka untuk duduk apalagi leha-leha. Pasti ada saja operasi dadakan yang harus ditangani segera.

Azkia berlari mendekati Kenan di ruang istirahat khusus koas. "Nan, pinjem jubah bedah lo dong!"

"Gue juga cuma bawa satu, itu pun nanti juga mau gue pakek."

"Masih nanti, 'kan? Nanti gue pinjemin sama anak koas lain deh!" Azkia kadang kala teledor. Padahal ketua kelompok koas-nya sudah memberitahu, jika harus menyimpan jubah khusus operasi lebih dari satu di loker penyimpanan.

"Gak ah. Gue takut gak ada yang bawa juga!" tolak Kenan.

"Please, Brother! Dokter Malik gak mau tahu nih. Dia pengennya semua koas ganti jubah sebelum masuk ke ruang operasi sesi kedua," rengek Azkia menggoyang-goyangkan tangan Kenan yang kini bersedekap.

Kenan paling tidak tega jika Azkia sudah memelas seperti itu. Jika bukan karena teman berbagi, sudah dia abaikan begitu saja permintaan teman dekatnya tersebut.

"Ambil gih, di loker gue."

Setelah mendapat pinjaman jubah operasi. Azkia bisa bergabung di ruang operasi menemani dokter konsulen di stase surgery. Di sela-sela membongkar isi perut pasien. Dokter dengan hidung bangir itu membuka obrolan.

"Kamu konsultasi referat sama saya?" tanya Malik. Fokus matanya masih mengarah pada pekerjaan.

Azkia mengerjap. Dia kira konsulen bernama Malik itu memiliki karakter sejenis Azri. Ternyata kesan pertama saat mereka bertemu tadi tidak terlihat lagi. Sekarang Malik lebih kalem dan suaranya terdengar ramah.

"I-iya, Dok."

"Sudah cari judul yang mau dibahas?"

"Emmm. Saya kepikiran sama karsinoma tiroid, Dok? Bagaimana?"

"Sudah paham betul masalah itu?" Azkia hanya mengangguk tanpa mempertimbangkan ulang.

"Oke. Kapan bisa selesai?"

Baru juga mencetuskan ide judul. Sudah ditanya kapan selesai.

"Minggu ke-2 langsung presentasi gimana? Bisalah, 2 minggu lagi."

Waduh, apa ini! Azkia seakan hilang akal. Dia berusaha memikirkan ulang jadwalnya selama koas.

"Hei, ayo fokus, ini lagi bedah orang bukan lagi ngehalu." Malik menyadarkan Azkia lalu tertawa pelan.

"Ah, maaf, Dok."

"Mulai atur jadwal konsul saja. Kalau gak ada waktu bisa konsul lewat chatting. Nanti hasilnya kirim lewat surel." Malik begitu santai menjelaskan pada Azkia.

Selama proses operasi mereka membahas segala hal tentang kedokteran. Azkia sedikit lega. Di stase bedah ini, konsulennya tidak sekejam Azri.

Dua jam di ruang operasi. Azkia kembali ke ruang istirahat dan mengembalikan jubah operasi pada sang pemilik. "Eh, cuciin woi!" jerit Kenan tidak terima.

"Iya. Nanti gue kasih ongkos buat laundry, Kenan Pradipa." Azkia duduk di samping Kenan kemudian meneguk minuman bening dalam sekali napas.

"Kenapa wajah lo hilang gairah gitu?" tanya Kenan. "By the way sorry, gue belum sempet dapet info lengkap tentang Dokter Azri."

Ah, dasar Kenan. Azkia sebenarnya masih kesal perkara tuduhan Azri soal susu almond. Dengan ringan Kenan malah menyebut nama itu.

"Jangan sebut manusia itu lagi. Gue makin kesel sama dia. Udah diajak berdamai sama dua botol susu malah mikir kalau gue nyogok dia," jabar Azkia menggebu-gebu.

Kenan akhirnya tertawa. Masih saja Azkia belum bisa merelakan kalimat-kalimat tajam dari Azri. Padahal setelah ini mereka sudah jarang bertemu dengan dokter jantung itu.

"Mungkin Dokter Azri masih kesel juga sama lo, Kia."

"Trus gue gak berhak kesel karena sifat semena-mena dia?" tanya Azkia.

"Kia. Tenang. Lo lagi capek. Bahas masalah ini makin buat lo bete. Ya udah, anggap aja kepribadian Dokter Azri gitu. Biar lo-nya aja yang ngalah dengan ngertiin watak itu gak bisa diubah."

Azkia menghela napas panjang tanpa berniat memberi tanggapan. "Tapi, Kia. Misal karakter Dokter Azri di sini sama di rumah beda gimana? Kek semacam artis gitu. On camera sama off-nya beda?"

"Trus lo mau gue ngapain. Menyembah sampek sujud sama keahlian bermuka duanya gitu? Ogah!"

"Bisa jadi, 'kan? Dia di rumah suamiable, ayahable, idaman deh."

Azkia mendengkus. "Ya lo pikir aja, Nan. Dia gagal membina rumah tangga. Lo mau berharap dia sosok suami yang gimana? Suamiable? Halah tai kucing."

"Yeu, 'kan perceraian bisa disebabkan dari banyak faktor. Bisa jadi istrinya yang resek. Duh, jadi makin pengen gali info sebanyak-banyaknya deh. Awas aja lo ya, kalau jatuh hati sama sosok lain dari Dokter Azri!"

===============
To be continued

 

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya RETENSI (stase 7-9)(Dokter Duda vs Anak Koas)
11
0
STASE 7 (Hantu Rumah Sakit)Azri memang terlihat mengerikan di depan anak koas. Namun itu tidak berlaku di depan para pasien. Terkhusus pasien berjenis kelamin perempuan. Siapa yang tidak bahagia, bisa mengobrol sembari memandang wajah segar seorang Azri Adhitama. Apalagi kabar tentang Azri adalah seorang duda bukanlah sebuah rahasia. Semua penduduk rumah sakit tahu, dan tentu saja dia sering mendapat lamaran mendadak dari para pasien di sana. Entah sekedar gurauan belaka atau tawaran serius. Dokter. Dokter Kia sudah tidak bekerja di sini? Kok beberapa hari tidak terlihat? tanya pasien pengidap jantung koroner; seorang ibu-ibu berumur 56 tahun itu sedang dirawat inap pasca operasi setelah sempat mendapat perawatan intensif selama 5 hari di ruang ICU.Azri yang sedang berkonsentrasi mendengarkan ritme jantung melalui stetoskop masih diam belum menjawab. Setelah pemeriksaan dikira cukup, ia menurunkan stetoskopnya ke bagian leher dan mulai menjelaskan. Luka operasinya sudah tertutup rapi, Bu. Detak jantung ibu sudah terdengar normal. Nanti kita tes EKG sekali lagi, jika sudah membaik, besok ibu bisa rawat jalan di rumah.Ibu itu mengangguk dan tersenyum bersamaan. Dok, jawab pertanyaan saya tadi! Azri lantas tertawa melihat ekspresi penasaran dari pasien yang kini masih memaksanya membahas Azkia. Selama proses penyembuhan, jangan makan gorengan, dan semua yang mengandung lemak berlebih.Iya, Dokter! Sekarang jawab pertanyaan saya!Dokter Kia yang dimaksud Ibu Arin ini, Azkia Indira? tanya Azri pada perawat yang mendampingi visite-nya pagi ini. Seorang perawat berkacamata mengangguk membenarkan.
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan