RETENSI (stase 1-3)(Dokter Duda vs Anak Koas)

19
0
Deskripsi

Kalau anak saya anggap kamu kekasih saya. apa kamu keberatan?
_____________________________________

Berawal dari pertemuan di KRL. Seorang anak koas bernama Azkia kaget bukan kepalang saat mengetahui sebuah fakta jika ternyata-Azri-orang yang ia anggap hendak bertindak cabul adalah dokter pembimbingnya di rumah sakit. Suratan takdir mengubah kisah mereka yang berawal buruk menjadi roman picisan.

Lalu apa jawaban Azkia setelah mendapat pesan singkat dari dokter pembimbingnya?

 

(DAPATKAN HARGA MURAH, DENGAN MEMBELI DALAM BENTUK PAKET ✨)
 

Stase 1. Cerita Dimulai 

Azri memutuskan untuk pergi ke stasiun setelah menyerahkan mobilnya pada bengkel langganan. Hari Sabtu yang cukup sial. Seharusnya ia sudah menjemput Zahra—anak kesayangannya—untuk diajak menginap di rumah. Namun nyatanya ia harus menghadapi kondisi mobil bermasalah.

Pria itu memilih berjalan kaki menuju stasiun terdekat. Pikirnya, ingin menikmati senja Jakarta dari balik kaca commuter line. Untuk kedua kalinya, ia mengumpat dalam hati. Bisa-bisanya melupakan sebuah fakta jika sore hari seperti ini kereta akan penuh terisi manusia-manusia setelah pulang dari tempat kerja.

Azri berdecak kesal. Ia melihat jam di pergelangan tangan, mau tidak mau ia harus menaiki kendaraan bergerbong itu. Ia tidak boleh telat menjemput Zahra, pasti bayi lucunya itu akan mengomel dan merajuk jika sampai telat menjemput. Sama persis dengan ibunya yang gampang cemberut jika keinginannya tidak dituruti segera.

Dan kini Azri lupa-lupa ingat harus menunggu di jalur yang mana jika ingin ke Jatinegara dari stasiun Juanda. Ia pun bertanya pada petugas untuk memastikan jika kereta yang hendak datang bisa mengantarnya ke tempat tujuan.

"Mas, ini bisa turun Jatinegara?"

"Bisa, Pak. Tapi nanti transit di Manggarai, abis itu naik lagi jurusan Cikarang."

Azri mengangguk paham. Setelah berseru terima kasih, kereta mulai masuk di jalur dua. Segera ia masuk ke dalam gerbong berebut tempat dengan banyak penumpang yang lain. Sial lagi, tidak ada tempat duduk yang kosong. Jangankan tempat duduk, besi untuk pegangan tangan saja penuh terisi. Azri berusaha mencari pegangan yang masih belum dijamah. Setelah menjelajah, akhirnya laki-laki berusia 36 tahun itu menemukan apa yang dicari. Masih ada pegangan kosong di besi paling atas dekat pintu. Mungkin banyak yang malas menggapai karena posisinya terlalu tinggi.

Azri meraih pegangan tersebut. Menahan diri dengan keseimbangan yang kurang. Tubuhnya terhimpit sana-sini oleh penumpang lain. Dalam hati ia bersumpah, tidak akan lagi menaiki kendaraan umum seperti ini.

"Sesaat lagi kereta akan tiba di stasiun Gondangdia."

"A view minute we will arrive Gondangdia station."

"Sebelum turun pastikan kembali tiket dan barang bawaan anda, jangan sampai tertinggal atau tertukar di dalam kereta, hati-hati saat anda turun perhatikan antara peron dengan kereta."

Inilah alasan, kenapa para penduduk ibu kota mencintai kendaraan panjang itu. Bukan hanya cepat tapi juga cukup terjangkau.

Kereta berhenti dan pintu terbuka. Banyak orang turun tapi banyak pula yang naik. Azri menahan diri saat tubuhnya tertarik ke sana ke mari karena bertubrukan dengan penumpang yang lain.

"Hati-hati penumpang, pintu akan kami tutup."

Pintu tertutup secara otomatis. Kereta pun kembali melaju. Azri menggenggam erat besi di tangannya. Tubuhnya sedikit sempoyongan meskipun kereta telah melaju perlahan. Lalu ia menoleh ketika seorang gadis hampir terjatuh ke arahnya.

"Ini Mbak, pegangan." Azri memberikan satu-satunya tempat pegangan yang ia punya pada gadis berambut panjang itu.

Gadis itu mendongak, memperhitungkan jika sedikit kesusahan untuk meraih besi bundar yang ditawarkan padanya. Setelah menyakini jika tidak akan jatuh gadis itu pun menjawab, "Gak perlu, Om. Makasih."

Azri mengerjap. Apa wajahnya setua itu hingga dipanggil dengan sebutan "Om".

Azri kembali meraih pegangan tersebut. Kakinya mulai terasa pegal dan ia ingin segera sampai. Belum selesai mengeluh, tiba-tiba kakinya diinjak oleh gadis yang sama. "Ya Allah, maafin, Om. Saya gak sengaja!"

Azri mengangguk sembari tersenyum konyol. Cukup sakit sebenarnya. Apalagi gadis itu menggunakan pantofel dengan hak setinggi 3 sentimeter. Azri menggerakkan kakinya berharap rasa nyeri itu segera sirna.

Belum sampai rasa sakit hilang sempurna. Gadis itu mencengkeram kuat lengan kanannya ketika kereta memperlambat laju jalan.

"Mbaknya turun mana?"

Spontan saja Azri bertanya agar gadis itu sadar jika genggaman tangan di lengannya sedikit mengganggu.

"Manggarai, Om." Seakan nyaman, gadis itu tidak melepas genggamannya.

"Maaf, Mbak! Mending Mbaknya pegangan gagang besi itu."

"Ya Allah, maaf lagi, Om. Hehe, saya kira besi, keras sih."

Meskipun Azri bukan tergolong anak muda, tapi ia tetap mempedulikan bentuk tubuhnya. Tak ayal lengannya tetap berotot.

Azri menghembuskan napas singkat. Gadis itu bergeser dan pindah ke depan Azri untuk memegang besi panjang di dekat pintu. Jarak mereka bertambah dekat. Azri bahkan bisa menghirup bau sampo yang tertangkap indera penciumannya.

Gerbong seketika hening. Hingga suara aba-aba akan berhenti kembali terdengar. Para penumpang yang hendak turun mendekat ke arah pintu. Azri terdorong oleh seorang penumpang yang ingin mencari jalan keluar. Tentu saja hal itu membuat ia menubruk tubuh gadis di depannya.

"Maaf-maaf!" ucap Azri tidak enak.

"Ah, Om sengaja, 'kan!"

Azri mendelik kaget. "Makanya Om suruh saya pegangan di sini, biar bisa curi-curi kesempatan. Saya sudah menduga itu, awas saja kalau Om mau macem-macem, saya bakal teriak!"

***

Senin pagi yang selalu riuh. Azkia berlari menuju peron stasiun dan menunggu kereta yang akan membawanya menuju rumah sakit tempat melakukan koas. Ini hari pertama, ia tidak boleh datang terlambat. Namun kenyataannya, setengah jam lagi jadwal pembukaan masa koas-nya akan dimulai dan ia masih terjebak di tempat yang padat akan lautan manusia.

Tiga menit menunggu akhirnya kereta datang. Ia segera masuk dan berebut tempat dengan penumpang lain. Tubuh wanginya seketika dibasahi keringat di pagi hari. Niat hati memperbaiki diri berubah kacau karena semalam sibuk berdagang dan bangun kesiangan.

Sahabatnya—Kenan—terus-menerus memberi informasi tentang keadaan di rumah sakit. Kabar terbarunya, semua sudah berada di dalam ruangan dan hanya dia yang belum datang.

Azkia bertambah panik. Ia tidak mau mengundur lebih lama waktu sekolahnya, UKT mahal, Bung, dia harus segera lulus. Targetnya 2 tahun mendatang ia ingin bisa mengikuti UKDI, jika gagal lagi, ia lebih baik menikah meskipun pada kenyataannya sedang dalam status jomlo.

Ponsel digenggaman menerima pesan baru. Lagi-lagi Kenan memberi informasi. Azkia menjerit kesal saat dokter pendamping koas telah memasuki ruang pertemuan. Gadis itu tidak mempedulikan banyak pasang mata menatapnya seraya menggunjing. Persetan, yang jelas Azkia sangat benci hari ini.

Satu jam berlalu, Azkia baru sampai di rumah sakit. Ia bahkan tidak sempat merapikan dandanannya yang acak-acakan. Langkah kakinya terasa semakin berat ketika menapak di koridor sepi. Ia membasahi bibir sebelum mengetuk pintu kayu di depannya. Gadis itu mengatur napas beratnya. Setelah mengumpulkan niat, dengan percaya diri ia mengetuk lalu mendorong pintu sambil meneguk ludah.

Azkia menunduk menatap sepasang sepatu hitamnya sembari meredam detak jantung yang heboh, kemudian mengangkat pandangan dengan ekspresi penuh penyesalan. Tak perlu banyak detik, mimik mukanya berubah drastis. Ia terkejut setengah mati, melihat dokter pembimbing yang kini juga menatapnya tanpa ekspresi.

Om KRL!

Azkia mengucap sumpah serapah dalam hati. Kenapa bisa, seorang pria yang ia tuduh hendak bertindak asusila itu ternyata dokter pembimbing koas-nya.

Sial!

"Azkia Indira?"

"Iya, Om-- em maksud saya, Dok!" Azkia menepuk bibirnya pelan. Tawa teman-temannya lantas mengisi ruang ber-AC di sana.

Kenyataan apalagi ini, kenapa ia harus menghadapi kesialan seperti ini. Mau disembunyikan dimana wajah itu. Kakinya seakan ingin berlari menjauh dan terjun ke jurang terdalam di penjuru dunia. Malu, sungguh ia ingin kabur dari tempatnya berdiri.

"Bisa minta tolong?! Tolong tutup pintu dari luar!" suruh Azri dengan tatapan gahar. Sangat amat berbeda dengan sosok pria yang ia temui di kereta malam minggu kemarin.

Petanda buruk. Azkia harus menjalani 2 tahunnya bersama pria berkepribadian banyak itu. Dasar bodoh memang, sudah berulangkali ia mendengar dari kakak tingkatnya jika pembimbing koas tidak ada yang lemah lembut, belum lagi menghadapi penguji akhir koas nanti. Lantas apa yang Azkia harapkan dari masa koas yang akan melelahkan?

"Dok! Maaf! Tolong dengarkan alasan saya," cicitnya memohon.

"Jangan buat mood saya kacau! Cepat keluar, dan temui saya setelah acara selesai!"

===============
To be continued

 

~DISCLAIMER~

Ao~ saya hadir membawa story dengan latar medical. Karena saya bukan ahli klinis, apabila ada kekeliruan mohon pemberitahuannya. Ngasih koreksinya mohon dengan bahasa yang baik ya ehehe.

🏥 Cerita bergenre #romance #komedi #family. Problem ceritanya: Medium to low.

🏥 Bahasa semi Baku. 

🏥 Dont expect too much sama cerita ini. Jika tidak cocok dengan konfliknya tinggalkan komentar baik atau diam tanpa meninggalkan hujatan pada penulis. Jangan sungkan juga untuk berkomentar atau memberi kritik membangun ya. Saya tidak sebaper itu, relax ✌🏻

🏥 Kesamaan nama tokoh, latar, alur, dll, terjadi karena ketidaksengajaan, apabila terjadi kemiripan dengan cerita anda, atau cerita yang pernah anda baca, berarti itu hanya kebetulan. Tidak berniat menyinggung ras, agama, profesi, dan cerita nyata dari pihak manapun. 

🏥 Stase dalam judul setiap BAB disamakan dengan istilah dunia koas. Yang artinya tahapan. Dimana tahapan/tingkatan dalam koas ada 15 stase. Tapi di sini Bab lebih dari 15 disesuaikan dengan kebutuhan cerita.

🏥  Sebutan lain u/ dokter pembimbing selama koas adalah konsulen, dan Azri sebagai salah satu dari dokter pembimbing/konsulen anak koas. 

🏥 For plagiator; May God forgive u, but I'M NOT 🙂

🏥 Salam sehat selalu, dari mereka untuk kalian. Ingat, sehat itu mahal, sakit lebih mahal. 👩⚕️👨⚕️

~Happy Reading~


 

Stase 2. Ancaman 

Azri memperhatikan gadis yang kini menunduk tidak berani menatapnya. Setelah mengisi pertemuan pertama bersama para koas angkatan tahun ini, Azri meminta Azkia untuk menemuinya di ruangan pribadi.

"Kenapa bisa terlambat? Hari ini pembukaan dan kamu sudah telat! Gimana kalau udah jadi dokter muda yang jam 6 pagi sudah standby di rumah sakit, pulang malam, bahkan dapat jadwal jaga juga!" Suara Azri semakin meninggi. Azkia masih dengan posisi yang sama, menunduk merasa menyesal, ah maksudnya merasa jengkel. Iya, kenapa juga dokter pembimbingnya orang yang sempat ia tuduh hendak bertindak cabul.

"Kenapa diam? Mau saya kasih nilai jelek dan gak lulus koas!"

Kepala Azkia menggeleng kuat. Ia membalas tatapan Azri yang masih menyerbunya dengan nyalang. "Jangan, Dok! Maaf tempat tinggal saya jauh, dan saya bangun kesiangan."

Alasan klise yang berhasil membuat Azri mendengkus kencang. Salah satu sudut bibirnya terangkat menandakan dia bosan mendengar alasan tersebut.

"Kalau dokter kayak kamu gini, bisa-bisa pasien meninggal karena tidak bisa tanggung jawab!"

"Umur 'kan Allah yang atur, Dok," sanggah Azkia, Azri melotot tidak menduga dengan jawaban anak bimbingannya. Apakah itu pantas disuarakan bagi seorang calon dokter.

"Bisa-bisanya ya kamu berpikir semudah itu," geram Azri semakin emosi.

Menyadari Azri tampak mengeluarkan kepulan asap di kepalanya. Azkia memejam erat lalu berujar, "Ampun, Dok. Mohon maafkan saya. Saya orang pinggiran yang berusaha jadi dokter, kasihan orang tua saya kalau saya gak lulus-lulus. Dokter tahu 'kan UKT kedokteran mahalnya gak manusiawi, mau jadi apa saya, kalau koas gagal atau ngulang lagi. Apa Dokter tega melihat saya putus asa dan milih nikah aja," cerocosnya dalam sekali napas.

"Kalau tahu biaya kuliah mahal, sekolah yang serius! Jangan cuma tidur aja kerjaan kamu!"

"Iya, Dok. Semalem lembur mengerjakan tugas jadi tidurnya kemalaman," papar Azkia beralasan. Tidak mungkin jika harus berkata jujur, yang ada Azri akan semakin murka.

Sepasang netra Azri menangkap kuku Azkia dengan warna merah berkilau di atasnya. "Tugas mewarnai kuku maksud kamu!?"

"Ini saya cat dari awal saya haid, sekitar dua hari lalu, Dok," jelas Azkia menatap jemarinya seakan memberi informasi penting.

Peduli setan dengan masa periode gadis itu, Azri memilih menghela napas berat lalu memberi keputusan. "Besok kamu berangkat jam 4 pagi."

"Jadwal prakteknya mulai jam 6 bukannya, Dok?" Astaga Azkia, bisa-bisanya menawar, sudah jelas itu kalimat perintah.

"Ah, i-iya Dok, saya paham." Azkia kembali berujar setelah Azri melebarkan mata ke arahnya.

***

Kenan terbahak mendengar cerita temannya yang dipenuhi caci maki. Sebagai teman dekat atau bisa disebut sahabat, ia memang sudah tahu bagaimana gadis asli Solo itu saat bercerita; penuh dengan umpatan, blak-blakan, frontal, dan tidak mencerminkan sosok gadis jawa yang notabennya kalem tanpa meninggalkan kesan manis. Azkia memang sangat berbeda dari gadis-gadis yang lahir di wilayah keraton pada umumnya.

"Lo tuh jadi orang mikir dikit napa kalau mau ngomong, bisa-bisanya malah ceramah dan bilang kalau usia Allah yang atur! Lo pikir Dokter Azri buta agama sampek lo ingetin!" Kesal Kenan tapi tak dapat dipungkiri jika dia gemas juga dengan sosok di depannya. Gemas karena kecerobohannya yang pasti.

"Nih ya, gue udah cari tahu semua karakter dokter di sini, terkhusus mereka yang bakal megang di setiap stase nanti!" bisik Kenan seakan berhasil membobol rahasia negara.

Azkia yang sibuk menatap kertas jadwal shift itu menggeleng tidak peduli. "Bagi gue, semua dokter kalau ngadepin anak koas pasti jahat dan merasa paling benar. Mengintimidasi semua dokter muda dengan dalih, 'saya juga pernah di posisi koas, kalau gak mau berjuang, jangan jadi dokter'." Azkia mencibir dengan fokus mata ke arah kertas.

"Jangan tak acuh gitu, kita butuh tahu karakter dokter di sini biar lebih gampang ambil hatinya gitu, Kia!"

Gadis dengan rambut terurai itu hanya mencebik tidak berniat menanggapi. Tangannya memfoto jadwal jaga dengan kamera ponsel.

"Biar gue gak telat. Gue tinggal di kos lo ya?!" Azkia memberikan lembar jadwal itu kembali pada pemiliknya. Tak ada ekspresi bercanda di wajah gadis tersebut. Sedangkan Kenan membulatkan matanya terkejut. Selama menjadi dokter muda Kenan menyewa kamar kos yang cukup dekat dengan rumah sakit tempat mereka koas. Selain dekat dengan rumah sakit Kenan juga membawa kendaraan pribadi, setidaknya Azkia tidak akan terlambat selama tinggal sementara bersama Kenan.

"Kenapa gitu amat ekspresi lo? Takut gue perk*sa?" sembur Azkia tertawa konyol.

"Gue gak enak sama tetangga kamar. Mereka tahunya gue jomblo."

"Seminggu doang. Lo tidur di sofa depan ruang TV dulu, Nan. Atau di ruang khusus setrika. Atau ruang yang lain deh."

Sejak kuliah Azkia sering mampir ke kosan Kenan. Entah untuk rehat sejenak atau menghabiskan waktu bosannya.

"Baru kali ini ya, ada bocah numpang tidur ngatur pula. Selama seminggu itu jatah makan gue lo tanggung, gimana?" tawar Kenan mengangkat kedua alisnya.

"Oke lah. Daripada gue kena amuk Om KRL gegara gak bisa berangkat pagi!"

***

Di dalam kamar Nara sedang menemani anak kakaknya mengerjakan tugas sekolah. Tangan kecil Zahra menulis angka di buku tugasnya.

"Tante, kenapa Papa aku belum pulang?" tanya Zahra tatapannya masih fokus ke arah buku. Nara menoleh ke arah pintu kamar sebelum menjawab. Tumben juga kakaknya itu telat pulang, apa ada operasi pasien mendadak?

Baru hendak membuka mulut. Azri masuk dengan raut masam. Zahra mendongak mendengar suara langkah kaki di sana.

"Papa Aya!" sebut Zahra sumringah. Pipi gembulnya terangkat ke atas melihat Azri tersenyum seadanya.

"Kenapa Papa Aya cembeyut?" tanya Zahra ikut merengut.

"Capek, Sayang. Papa 'kan pulang kerja," jelas Azri sebisa mungkin menyunggingkan senyum agak lama. Nara masih diam menebak dalam otaknya. Apa ada masalah di rumah sakit tempat Azri bekerja?!

"Kenapa, Bang?" tanya Nara.

"Biasa, anak koas." Nara mengangguk pelan. Semenjak ditunjuk sebagai konsulen, Azri sedikit terbebani dan sulit mengatur jadwal. Salah satu faktor perceraian Azri dengan mantan istri juga karena seringnya cekcok. Dita—mantan istrinya—itu suka menuduh aneh-aneh. Padahal Azri sibuk bekerja. Bagaimana mungkin dia berselingkuh.

"Nikah, Bang, nikah! Siapa tau kalau ada yang urus jadi segeran, gak kusut kayak gitu," usul Nara tidak berniat memberi saran omong kosong belaka. Siapa tahu, setelah Azri menikah. Nara juga segera menemukan jodohnya.

"Ck. Gak ah," tolak Azri.

Tin tin.

"Permisi, Pak Azri. Bu Dita sudah ada di depan," kata Arum—ART keluarga Adhitama.

"Ra, kamu anter Aya ke depan. Abang males ketemu Dita," suruh Azri pada adiknya.

Dita memang sudah menjadi mantan istri. Namun setiap bertemu, masih saja keduanya berdebat tentang hal sepele. Contohnya, kenapa Zahra tidak mau menghabiskan bekal sekolahnya? Atau kenapa Zahra jarang menurut jika diperintah.

"Papa kenapa gak mau ketemu Mama?" tanya Zahra sambil membereskan kotak pensilnya ke dalam tas.

Setiap pulang sekolah, Zahra akan pulang ke rumah Azri. Ketika malam tiba ia dijemput atau diantar ke rumah ibunya. Khusus Sabtu-Minggu, Zahra akan tidur di rumah Azri.

"Papa cembuyu lihat Mama sama cowok lain?" tanya Zahra layaknya wanita dewasa yang telah paham akan kata cemburu. Maksud dari cowok lain itu ayah tiri Zahra. Ya, gadis kecil itu dituntut paham jika kini ia memiliki dua ayah.

Azri tersenyum. "Gak, Sayang. Papa mau istirahat aja." Zahra mengangguk lucu. Azri mengecup kening anaknya sebagai tanda perpisahan sesaat.

"Gak ada pesan-pesan apa gitu buat mantan istri?" tanya Nara.

"Apaan sih. Udah sering ketemu pakek pesan-pesan segala," ketus Azri.

"Owh, jangan-jangan bener Aya. Kalau Abang cemburu lihat Mbak Dita semobil sama suaminya?!" goda Nara tersenyum jail.

Azri sontak melebarkan mata lelahnya. "Nara adek Abang. Jangan ngomong macem-macem, sana kamu anter Aya ketemu ibunya. Nanti dia ngomel lagi." Melihat Azri mencoba meredam emosinya Nara lantas cekikikan.

"Aya, nanti bilang ke Mama. Papa Azri kangen banget," tutur Nara mengajari Zahra.

"Nara!" bentak Azri semakin membuat Nara terbahak.

"Kangen, Pa?" tanya Zahra polos.

"Enggak!"

"Bohong."

"Enggak, Aya!"

"Aya kasih tahu Mama, ya?"

"Ck. Papa aja yang anter ke depan," putus Azri berubah pikiran.

Daripada Nara atau anaknya berkata yang tidak-tidak pada Dita. Mending dia sendiri yang menghadapi mantan istri, sekaligus membuktikan jika dia sama sekali tidak pernah cemburu melihat mantan istri bersama suami barunya.

=============
 

Stase 3. Mr. Perfeksionis 

Satu minggu setelah tinggal di kosan Kenan, Azkia bisa tiba di rumah sakit tanpa terlambat. Soal kedisiplinan gadis itu tidak lagi mendapat omelan bahkan bisa membuktikan jika dia sedikit banyak mengalami perubahan.

Selama sepekan menjadi bagian di poli penyakit dalam, Azkia selalu berangkat pagi sebelum jam dinasnya berlangsung. Azkia dan Kenan tidak berangkat di jam yang sama. Gadis itu memutuskan berangkat lebih awal, sekitar jam 5 pagi ia sudah berada di rumah sakit untuk melakukan follow up pasien. Tujuan awalnya, demi menghindari omelan Azri yang selalu terjadi padanya setiap hari. Tolong catat, setiap hari!

Pagi ini, wajah Azkia terlihat sumringah memandang Kenan dan teman kelompok koas lainnya. Gadis itu tampak siap ditanya jika Azri melayangkan pertanyaan tentang semua hal perihal pasien. Kemarin Azkia tidak bisa menjawab saat Azri mempertanyakan hal sepele meliputi dimana dan bagaimana keluarga pasien. Jujur saja Azkia kalang kabut karena tidak menanyakan hal itu pada pasien, alhasil Azri kembali memberinya ceramah dan menyadarkan Azkia jika anamnesa pada pasien sangatlah penting, diantaranya untuk menegakkan diagnosa dan membangun relasi antara dokter dan pasien.

Ekspresi Azri masih tetap sama. Dingin tidak ada senyuman. Benar-benar bisa membekukan hati dan pikiran, meremukkan semangat yang telah disusun secara kuat. Namun Azkia tidak mau lagi dipermalukan hingga terlihat tidak kompeten di depan pasien.

Azri beralih ke ranjang pasien yang lain untuk melakukan visite; mengecek perkembangan kesehatan pasiennya hari ini. Di sana Azkia membungkukkan badan dan tersenyum ramah menyambut kehadiran Azri, tapi sambutan hangat Azkia sama sekali tidak dibalas oleh dokter jantung itu. Azkia tetap menorehkan senyum manis sebagai pengalihan berkata kasar pada konsulennya. Jika tidak mengingat Azri adalah orang penting penentu kelulusan koas-nya, Azkia akan melantunkan caci maki yang kini sudah tertahan di lidah.

Azkia berdeham sebelum akhirnya bersuara. "Permisi, Dok, ini Nyonya Faiz usia 42 tahun, didiagnosis mengalami diabetes melitus, kemarin sempat hiperglikemia dan sekarang kadar gula turun menjadi 270mg/dl, perawatan hari ke-2. Hari ini pasien mengeluh mengalami bab cair berwarna kuning kehijauan sebanyak 3x, Dokter. Untuk tanda tanda vitalnya ...." Azkia terus menjelaskan dan Azri diam menyimak. 

Setelah selesai memberi laporan pagi, Azri menatap pasien dan bertanya, "Ibu bab-nya cair?"

Azkia tersenyum dan menunggu jawaban pasien yang sudah ia interogasi. Ia yakin, hari-hari sebelumnya tidak akan terulang di hari ini. 

"Gak juga, Dok. Biasa aja," jawab pasien acuh tak acuh.

Azkia mendelik kaget mendengar jawaban pasien. Kenapa jawaban wanita berusia dewasa madya itu sangat bertolak belakang dengan apa yang ia dengar sebelum Azri datang. Lagi-lagi, ternyata Dewi Fortuna belum memihaknya di hari ketujuh menjalani koas. 

Azkia memejam sembari merapatkan bibir, hatinya sudah siap mendengar ocehan dari dokter pembimbingnya di pagi hari. Pria berjas dokter dengan wangi parfum maskulin itu menoleh memperhatikan Azkia.

"Kamu mau buat catatan palsu?" tanya Azri dengan tatapan dingin. Namun Azkia dengan jelas bisa merasakan aura kemarahan dari konsulennya pagi ini. Astaga, ini bahkan masih terlalu pagi untuk mendapat petuah yang membuat hatinya sesak.

Sabar Azkia. Sabar. Masih pagi!
 

***


Seperti biasa, disela-sela istirahat, Azkia dan Kenan menghabiskan waktu berdua di kantin rumah sakit. Mereka saling diam memikirkan banyak hal di dalam otak masing-masing. Keduanya menghela napas berat, dan saling bertukar tatap lalu tertawa konyol bersamaan.

"Gendeng aku, Nan. Edan lah, belum apa-apa hati gue remuk duluan," keluh Azkia kemudian menyedot minuman dinginnya. (Gila aku, Nan. Gila...)

Kenan mengangguk paham. Fase koas memang berat. Secara fisik dan mental benar-benar diuji. Apalagi jika menghadapi konsulen semacam Azri yang tidak menerima jawaban cacat sedikitpun. Semua pertanyaannya harus dijawab sempurna, tidak boleh ada keraguan.

Masih dengan keluh kesahnya. Azri berjalan masuk ke kantin rumah sakit bersama dokter wanita lebih muda. Kenan tersenyum manis menyapa kedua dokter senior di sana. Azri memilih kursi di ujung kantin kemudian berbincang serius dengan dokter wanita yang duduk di depannya. 

"Dokter Meilin bukan itu?" bisik Kenan sambil terus mencuri pandang. Pemuda dengan wajah nyaris menyentuh tingkat ketampanan sempurna itu memajukan kursi seolah-olah hendak membahas kasus penting.

Azkia mengangkat pundak tidak memperhatikan. "Cantik banget ya. Asli," puji Kenan pipinya bersemu merah. Matanya masih menatap ke arah wanita yang baru saja ia puja.

"Sadar diri, lo cuma koas!" sembur Azkia. Kenan beralih menatap Azkia. 

"Berubah kalem macem Dokter Meilin sana lo, biar gak jomblo," ujar Kenan.

"Ogah, lo nanti jatuh cinta sama gue!" tolak Azkia dengan ekspresi tidak bergairah. Ya, dia masih kesal dan lelah karena setiap hari masih mendapat ocehan Azri. 

"Mit amit!" tolak Kenan. 

"Katanya lo niat cari jodoh buat jaga-jaga kalau gagal jadi dokter? Coba aja cari dokter single di sini. Lulus koas bisa tunangan minimal," pikir Kenan memberi usulan.

"Hati gue masih kacau gara-gara omelan Dokter Azri, gue butuh beradaptasi sama dunia koas dulu! Jangan bicarain rencana yang itu," dumel Azkia. Tak lama ia melihat tiga dokter muda masuk ke dalam kantin. Tatapan Azkia membuat Kenan menebak jika temannya itu sedang terpesona dengan sosok dokter berambut pirang.

"Nan, gue mau yang pirang, kok baru lihat ya, kenapa gak jadi konsulen aja sih?" kata Azkia nadanya berubah kagum.

Kenan baru mengingat sesuatu. Buru-buru ia menggeleng dan berkata, "Eh, jangan suka yang pirang!" pekik Kenan. 

"Kenapa? Lo cemburu!" sungut Azkia.

"Gue baru inget. Kalau dokter rambut pirang alias Dokter Julian itu deket sama Dokter Meilin!" beber Kenan. Ya, Kenan memang sudah mengumpulkan hampir semua informasi tentang dokter di rumah sakit tersebut. 

"Ya Allah. Baru juga berbunga-bunga hati gue," ucap Azkia kembali loyo.

Azkia menarik napas dalam dan membuangnya kasar. "Lagian Dokter Julian juga gak mau nerima gue, ya, Nan. Apalagi gue belum jadi apa-apa," dumel Azkia menopang dagu meratapi nasib. 

Kenan tertawa sesaat. "Yang lain aja, Dokter Azri aja tuh single."

"Dih ogah! Jangan sampek!" ucap Azkia dengan raut tidak setuju.

"Gue yakin, Dokter Azri pisah sama istrinya karena dia galak! Gak ada romantisnya! Hueh, makanya cerai," racau Azkia skeptis.

"Hus! Gak boleh menilai orang sebelum tau aslinya. Kayak gitu bisa menimbulkan fitnah!" tukas Kenan mengingatkan. "Besok gue cari tau lebih detail tentang Dokter Azri deh, biar kita bisa buat dia senyum bangga, dan siapa tau lo lanjut jatuh cinta sama Dokter Azri," kekehnya.
 

***


Dari tempat duduknya Azri tahu, jika Kenan dan Azkia sedang menjadikan dirinya sebagai topik pembicaraan. Namun hal itu bukan suatu kejadian yang aneh baginya. Azri sudah biasa mendengar desas-desus bahwa anak koas banyak yang membenci kepribadian dinginnya.

"Dokter sudah mulai memberi konsultasi tugas referat sama anak-anak koas?" tanya Meilin.

"Ya, Minggu ini," jawab Azri.

"Makin ke sini anak koas makin ahli ya, Dok?" pikir Meilin memuji.

Azri mendengkus lirih. "Ahli apanya? Tuh, salah satu anak koas yang tiap hari hasil follow up-nya selalu keliru!" Azri menunjuk dengan dagu ke arah Kenan dan Azkia yang duduk di tengah kantin. Meilin menoleh sesaat dan melihat dua anak koas sedang bergurau.

"Mungkin masih permulaan, Dok?" pikir Meilin.

Pria berkacamata itu menghela napas berat. "Dokter Meilin. Permulaan itu hari pertama hari kedua, ini hari ketujuh!" tekan Azri. "Hah, saya benar-benar terbebani dengan keteledoran dia," keluh Azri. "Kalau kayak gitu terus, masak iya saya lulusin?" lanjutnya.

"Sabar, Dok. Dulu saya juga begitu, 'kan? Setiap pindah stase saya terserang rasa panik, dan sering melakukan kesalahan juga."

"Beda. Dokter Meilin itu termasuk anak koas yang punya nilai bagus di mata dokter-dokter konsulen di sini. Buktinya, bisa lulus sekolah lebih awal, 'kan?" tanya Azri. Meilin tertawa beberapa masa.

"Beda era mungkin, Dok. Anak sekarang suka multitasking. Jadi ya, kadang tugas utamanya rada terabaikan," pikir Meilin mencoba meredam emosi dokter seniornya.

"Saya gak terima alasan apa pun! Saya cuma butuh nilai akademik dan etika bagus dari anak bimbingan saya."

===============
To be continued
 

Footnote;

follow up: berkeliling ke seluruh bangsal, mendata dan mengecek kondisi pasien. Biasanya pasien pre-op atau post-op.

Visite: salah satu aktivitas rutin dokter di rumah sakit. bedanya sama follow up? Pahamku, follow up itu biasanya yang ngelakuin perawat atau anak koas. nanti bakal ada kunjungan/visite dokter, nah anak koasnya jelasin deh tuh, dari tensi, keluhan, dll. Yang pernah  opname pasti tahu hehe.

Referat: tugas makalah gitu simplenya. pengertian idealnya, Referat: tugas individu dimana dokter muda (Co-ass) membuat karya tulis ilmiah atas tema yang telah disepakati. Contoh, Azkia ngambil tema A, nah nanti konsulnya sama Azri.

Ohiya, dokter pembimbingnya banyak ya, beda stase beda konsulen, dan nanti kalian bakal kenalan juga sama konsulen ganteng selain Azri.

Anamnesa: komunikasi aktif atau dialog antara dokter, staf medis, dan pasien, sehingga membentuk komunikasi melampaui komunikasi empatik.

Kalau ada yang keliru mohon diberitahu ya.

Retensi; Dokter Duda Vs Anak Koas, di sini berisi 2-3 BAB dalam satu kali posting. Cerita ini fiksi, dilarang menjiplak, dan Happy reading ✨

 

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya RETENSI (stase 4-6)(Dokter Duda vs Anak Koas)
13
3
STASE 4. Gara-gara Badmood Seperti biasa. Pagi hari Azkia melakukan follow up pada pasien di poli interna. Ia melakukan pengecekan secara menyeluruh pada beberapa pasien. Sibuk menulis. Azri datang membuat Azkia gelagapan. Ia langsung menjelaskan keadaan terbaru pasien pria berusia 60 tahun yang sedang berbaring di ranjang rumah sakit.... Hari ini Bapak Ihsan tidak ada keluhan tambahan, Dok. Hanya batuk sama seperti kemarin. Masih ditemukan ronki di lapang paru dalam batas normal .... Azri diam menyimak dengan ekspresi dinginnya.Selepas Azkia diam. Azri pun berkomentar, Tidak ada keluhan kok dirawat inap!? Yang bener aja kamu. Trus kenapa masih batuk? kenapa bisa ada ronki padahal perawatan hari ke tiga? Ronki apa? Memang ronki ada berapa? Ronki itu terjadi karena apa? Azkia membatu dibombardir pertanyaan seperti itu. Apa dia salah dalam menyampaikan hasil? Sial sekali hidupnya. Azri seakan balas dendam karena dia pernah mempermalukannya di kereta listrik saat pertama kali bertemu. Apa benar Azri akan menekan batinnya selama koas?!
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan