Jebakan Cinta CEO Eps 1-5

1
0
Deskripsi

Wolf jatuh cinta pada pandangan pertama pada Yuriko. Demi memiliki wanita itu, Wolf menjebaknya dengan sebuah pernikahan kontrak…

EPISODE 1 KENCAN BUTA

"Aww! Maaf-maaf, aku tidak sengaja," ujar seorang wanita cantik sambil membungkukkan tubuhnya.

Wanita yang diketahui memiliki nama lengkap Yuriko, beberapa kali membungkukkan tubuhnya berusaha meminta maaf pada seseorang yang tidak sengaja ia tabrak. Kemudian, ia memunguti barangnya yang jatuh dari tas dan berserakan di lantai. Tanpa melihat sosok yang ia tabrak, Yuriko bergegas pergi dengan langkah terburu-buru.

"Siapa wanita itu? Kenapa aku baru melihatnya? Apa dia karyawan baru di sini? Tapi, sudah lama perusahaan ini tidak membuka lowongan pekerjaan," tanya pria yang tidak sengaja Yuriko tabrak.

Pria itu adalah Wolf Lundmark Antariksa Phoenix pemilik sekaligus pemimpin perusahaan PT. Griant Phoenix. Pria dengan tubuh tegap dan tinggi semampai. Rahang yang tegas dan bulu-bulu tipis yang menghiasi wajahnya itu, kini menjadi penasaran terhadap wanita. Padahal seumur hidupnya, ia tidak pernah peduli dengan wanita mana pun kecuali pada Theona, pujaan hatinya.

"Apa alasan wanita itu terlihat sangat terburu-buru?" tanyanya lagi.

Karena terlalu penasaran, jadi ia mengikuti wanita itu yang saat ini sedang melambaikan tangannya memanggil taksi. Terlihat, sebuah taksi berhenti dan Yuriko masuk ke dalam. Wanita itu tidak sadar bahwa saat ini ada pria yang sedang mengikutinya.

"Phoenix Hotel? Apa yang akan dia lakukan di sini?" tanya Wolf pada dirinya sendiri.

Phoenix Hotel merupakan perusahaan yang kakaknya pimpin dan ia membantunya di belakang layar. Wolf turun dari mobil dan mengikuti Yuriko masuk ke dalam. Namun sebelum itu, ia meraih kacamata hitam dan topi hitam di laci mobil. Ia tidak boleh terlihat membuntuti seorang wanita.

"Apa kau Kevin?" tanya Yuriko pada seorang pria tampan berusia tiga puluhan.

"Iya. Apa kau Yuri?" sahut Kevin balik bertanya.

"Iya, aku Yuri. Apa kau sudah lama menunggu?" Yuriko menarik kursi dan duduk, "Maaf, ya, aku terlambat soalnya aku habis kerja lembur," imbuhnya.

Sudah tidak terhitung jumlahnya Yuriko melakukan kencan buta demi memenuhi keinginan sang nenek untukenikah.

"Tidak, aku juga baru datang. Mungkin sudah sekitar lima sampai sepuluh menit yang lalu," jawab Kevin sambil menyentuh arloji yang melingkar di pergelangan tangan kirinya.

"Syukurlah, kalau begitu." Yuriko menghembuskan nafas lega sambil menyandarkan tubuhnya ke kursi.

"Kau mau makan apa?" tanya Kevin sambil membuka buku menu.

"Apa saja, aku bukan pemilih," sahut Yuriko santai.

Selagi Kevin sibuk membolak-balikkan buku menu, Yuriko sibuk memperhatikannya. Hal pertama yang wanita itu perhatikan adalah wajah tampan Kevin.

"Sepertinya aku akan gagal lagi di kencan buta kali ini," bisik Yuriko dalam hati.

Hampir setiap bulan, Yuriko melakukan kencan buta melalui sebuah aplikasi. Hal itu ia lakukan demi mewujudkan permintaan sang nenek. Namun, sudah tidak terhitung jumlahnya ia gagal mencari pria yang ia inginkan. Semua pria di kencan buta memiliki paras yang tampan sedangkan yang ia cari adalah pria dengan paras yang biasa-biasa saja. Kriterianya benar-benar berbanding terbalik dengan wanita pada umumnya.

"Ada apa? Apa ada yang salah dengan wajahku?" tanya Kevin menyadari bahwa Yuriko sejak tadi sibuk memperhatikannya.

"Tidak ada," balas Yuriko singkat.

Sementara Yuriko dan Kevin sibuk mengobrol, Wolf hanya sibuk memperhatikan dan mendengarkan percakapan mereka. Bahkan sampai mereka makan dan selesai, ia tetap berada di sana menunggu Yuriko keluar.

"Aku berharap pertemuan pertama kita ini bisa berlanjut," harap Kevin sambil mengulurkan tangannya.

Yuriko tidak menjawab dan hanya mengurai senyum canggungnya. Lalu, ia membalas uluran tangan Kevin. Setelah itu, mereka berdua berpisah.

Sambil menghela nafas berat, Yuriko berkata, "Gagal lagi, gagal lagi." Kemudian, ia melangkah menuju toilet untuk menghapus riasannya dan mengubah dengan riasan buruk rupa untuk menyembunyikan wajah cantiknya.

Wolf masih terus mengikuti Yuriko sampai ke toilet. Ia cukup terkejut melihat wajah karyawan yang cukup familiar. Namun, pakaian dan tas yang wanita itu kenakan merupakan milik Yuriko.

"Jadi, selama ini kau membunyikan wajah cantikmu di balik riasan. Sungguh wanita yang sangat menarik," gumam Wolf sambil mengulas senyuman.

Pria itu masuk ke dalam lift setelah Yuriko. Ia begitu penasaran dengan alasan apa yang membuat wanita itu menyembunyikan kecantikan wajahnya, sedangkan di luaran sana banyak wanita yang berlomba-lomba menunjukkan kecantikan wajah mereka.

Setelah sampai di depan hotel, Ikosagon membiarkan Yuriko pergi begitu saja. Ia hanya memperhatikan punggung wanita itu yang kian menjauh.

"Kenapa aku merasa ada yang memperhatikanku?" tanya Yuriko dalam hati.

Wanita itu menoleh ke belakang untuk memastikan. Namun, ia tidak mendapati seseorang yang memperhatikannya. Meskipun ada, orang itu adalah Wolf dan pria itu sudah langsung bersembunyi.

"Sepertinya kali ini aku harus mengecewakan Nenek lagi," lirihnya sambil berjalan menyusuri trotoar.

Kemudian, ia berhenti di halte bertepatan dengan bus yang datang. Dalam sekejap, bayangan Yuriko sudah menghilang.

***

Keesokan harinya, entah ada angin apa, wanita pendiam yang sama sekali tidak dikenal karyawan lain tiba-tiba dipanggil ke ruangan CEO.

"Sebenarnya ada apa? Kenapa Pak Wolf memanggilku?" batin Yuriko bertanya-tanya.

Semua karyawan bahkan atasan yang satu ruangan dengannya pun mulai sinis padanya. Mereka berpikir, bagaimana bisa wanita berwajah pas-pasan atau lebih tepatnya di bawah standar kecantikan negeri ini seperti Yuriko dipanggil ke ruangan CEO. Padahal, jarang sekali ada orang yang bisa masuk ke sana.

"Apa kau Nona Yuri?"

"Iya, Pak, saya sendiri," jawab Yuriko.

Baru saja keluar dari lift, sudah ada pria tampan yang menghampirinya. Sambil menghela pelan, Yuriko terus menundukkan kepalanya.

"Saya, Reza, sekretaris Pak Wolf. Mari saya antar ke ruangan Pak Wolf," kata Reza berjalan lebih dulu.

Yuriko mengangkat kepalanya terkejut. Kemudian, ia berjalan tergopoh-gopoh mengejar Reza. "Maaf, Pak. Kalau boleh tahu, Pak Wolf meminta saya ke ruangannya untuk apa, ya?" tanya wanita itu sambil menatap Reza lekat.

Pria itu menghentikan langkahnya dan menatap Yuriko. "Saya tidak tahu dan hanya Pak Wolf sendiri yang tahu. Mungkin saja kamu membuat kesalahan besar, makanya Pak Wolf memanggilmu ke ruangannya," jawab Reza, kemudian melanjutkan langkahnya.

"Kesalahan besar. Perasaan aku tidak membuat kesalahan apa pun," gumam Yuriko sambil berpikir.

Reza mengetuk pintu. Kemudian, terdengar suara seruan dari dalam yang memintanya untuk masuk.

"Masuklah! Pak Wolf sudah menunggumu di dalam," kata Reza mempersilahkan.

"Tapi, Pak Reza. Saya merasa tidak membuat kesalahan apa pun. Apa jangan-jangan Pak Wolf salah memanggil orang?" Yuriko memilin ujung kemejanya khawatir.

Selama ini, ia berusaha agar tidak menjadi karyawan yang menonjol. Apa pun ia lakukan sendiri dan ia tidak pernah mencoba agar dekat dengan karyawan lain. Jadi ia pikir, Wolf salah memanggil orang.

"Tidak mungkin Pak Wolf salah memanggil orang. Atau kalau bukan karena kau membuat masalah besar, mungkin karena kinerjamu yang baik. Jadi, lebih baik kau masuk ke dalam sebelum Pak Wolf marah," balas Reza sambil memutar kenop pintu dan sedikit mendorongnya agar Yuriko bergegas masuk ke dalam.

"Baiklah." Dengan langkah berat, Yuriko masuk ke dalam dan menyapa, "Selamat pagi, Pak."

Wanita itu hanya menatap Wolf sekilas. Mungkin hanya dalam hitungan tiga detik ia langsung menundukkan kepalanya.

"Pagi. Duduklah!" balas Wolf menyapa.

Ia menatap Yuriko dari atas ke bawah. Melihat penampilan wanita itu saat ini membuat sudut bibirnya naik sebelah. Kemudian, ia beranjak bangun dari kursinya dan meraih dokumen di rak.

"Baik, Pak." Yuriko melangkah ke depan dan duduk di kursi seberang meja kerja Wolf.

"Tandatangani ini," kata Wolf sambil menyodorkan dokumen pada Yuriko.

"Apa ini, Pak?" tanya Yuriko sambil mengerutkan keningnya.

"Baca dan tandatangani," balas Wolf berdiri di dekat jendela dan menatap ke bawah.

Yuriko membuka map berwarna kuning itu dan mulai membacanya. "A-apa? Surat perjanjian nikah kontrak?" terkejut wanita itu dengan manik mata dan mulut yang terbuka lebar.

EPISODE 2 SURAT PERJANJIAN NIKAH KONTRAK

"Maksud Pak Wolf apa?" tanya Yuriko sambil menatap punggung kokoh pria itu.

Wolf membalikkan tubuhnya dan berjalan mendekat. "Kau sudah membacanya bukan? Jadi, itu maksudku memanggilmu," jelasnya datar.

"Tapi, bagaimana bisa? Bahkan kita baru pertama kalinya bertemu. Bagaimana bisa Pak Wolf mengajak saya nikah kontrak?" tanya Yuriko tidak habis pikir.

Di perusahaan itu, Yuriko hanya pegawai biasa. Ia tidak pernah mengikuti rapat yang dihadiri oleh Wolf dan selama tiga tahun bekerja di sana, ia tidak pernah sekalipun bertemu atau sekedar berpapasan dengan Wolf.

"Kata siapa? Sebelumnya kita pernah bertemu dan sepertinya kau tidak menyadarinya." Ikosagon menghempaskan tubuhnya di kursi kebesarannya.

"Kalaupun iya, kenapa? Saya bukan tipe wanita yang bisa diajak nikah kontrak dengan Pak Wolf. Bukankah di perusahaan ini banyak wanita cantik? Saya juga yakin, di luaran sana banyak sekali wanita cantik yang tergila-gila dengan Anda dan saya yakin mereka akan sangat bersedia jika menikah kontrak dengan Anda." Yuriko masih tidak bisa percaya dengan apa yang terjadi padanya saat ini.

"Aku tidak butuh alasan untuk membuat keputusan ini. Justru aku berpikir di sini kau yang memiliki alasan itu," sanggah Wolf tersenyum tipis.

Ketika melihat punggung Yuriko menghilang dibawa bus, Wolf langsung menghubungi Reza untuk mencari informasi pribadi Yuriko. Ia menemukan fakta bahwa nenek wanita itu sering sakit-sakitan dan membuat permintaan pada cucunya untuk segera menikah. Itulah alasan kenapa Yuriko sering pergi kencan buta. Berhubung Wolf tertarik pada Yuriko pada pandangan pertama. Jadi, ia langsung membuat surat perjanjian nikah kontrak untuk menjerat wanita itu.

"Saya? Kenapa jadi saya? Saya tidak memiliki alasan apa pun untuk menandatangani surat perjanjian ini," tanya Yuriko tersenyum canggung.

Memang alasan apa yang bisa membuatnya berpikir untuk nikah kontrak? Kalaupun karena neneknya, ia masih bisa mencari pria sesuai kriterianya di kencan buta nanti.

"Benarkah? Bukankah nenekmu ingin kau segera menikah sebagai permintaan terakhirnya?" Wolf balik bertanya dengan nada  mencibir.

Mendengar pertanyaan yang Wolf lontarkan membuat Yuriko mengangkat kepalanya. Ia menatap tajam ke arah pria itu.

"Bagaimana bisa Anda tahu masalah pribadi saya? Apa Anda mencari informasi pribadi saya?" tanya Yuriko sambil menggertakkan giginya.

"Kalau iya, memangnya kenapa?" sahut Wolf malas.

Pria itu kembali berdiri dan berjalan ke arah jendela. Sambil melipat kedua tangannya di depan, pria itu menatap lurus ke depan.

Sambil menggertakkan giginya dan tangan yang terkepal kuat, Yuriko berkata, "Meskipun saya karyawan di perusahaan ini, tapi tidak seharusnya Anda mengorek informasi pribadi saya."

"Aku tahu, tapi aku butuh kau untuk dijadikan istri kontrakku. Aku melakukan ini bukan karena kau karyawan di perusahaanku, tapi karena kau yang masuk ke dalam kriteriaku," balas Wolf menoleh ke belakang dan menatap kepalan tangan Yuriko.

"Apa saya tidak salah dengar?" Yuriko tersenyum mengejek. Kali ini ia berani menatap manik mata Wolf, "Apa yang membuat Anda berpikir bahwa saya masuk ke dalam kriteria wanita Anda?" imbuhnya bertanya.

Wanita itu tersenyum mengejek karena tidak percaya dengan ucapan Wolf. Bagaimana bisa pria tampan dan kaya seperti Wolf yang kelihatannya tidak memiliki kekurangan apa pun, tetapi menyukai wanita berwajah pas-pasan sepertinya? Apalagi ia bukan dari kalangan orang berada melainkan dari kalangan rakyat jelata.

"Apa kau tidak mempercayai ucapanku?" tanya Wolf tersenyum menyeringai.

Semakin lama berinteraksi dengan Yuriko, semakin membuat Wolf semakin tertarik. Ia jadi lebih ingin mengenal seperti apa sosok Yuriko itu.

"Tentu saja, saya tidak percaya. Saya memang miskin dan tidak cantik. Tapi, jangan kira saya wanita gampangan yang bisa dengan mudahnya dibodoh-bodohi," sanggah Yuriko menggebu.

"Kenapa tidak? Bukan tanpa alasan aku mengajakmu menikah secara kontrak. Aku melakukan ini hanya untuk membantumu saja. Daripada kau terus berkencan buta dan tidak juga menemukan pria yang sesuai dengan kriteriamu. Lebih baik kau menikah kontrak denganku. Apalagi kau sudah tahu siapa aku. Jadi, kau hanya perlu menandatangani kontrak itu dan masalahmu selesai."

Wolf menyandarkan tubuhnya di dinding sambil membujuk Yuriko agar mau menerima tawarannya.

"Benarkah hanya itu? Aku rasa tidak sesederhana itu. Mana mungkin seorang Wolf, CEO perusahaan sebesar ini mau membantuku tanpa imbalan apa pun."

Siapa yang akan percaya dengan kata-kata Wolf? Mana mungkin di zaman yang serba susah ini ada yang mau membantu tanpa balasan apa pun. Jika ada, mungkin orang itu sedang jatuh cinta.

"Tidak mungkin Pak Wolf menyukaiku, 'kan?" tanya Yuriko pada dirinya sendiri. Ia melirik pria itu sejenak dan menelan salivanya dengan susah payah.

"Tentu saja, tidak. Aku melakukan ini karena aku dipaksa menikah dengan wanita yang tidak aku cintai. Jadi daripada aku menikah dengan dia, lebih baik aku menikah denganmu selama satu tahun sambil mencari wanita yang bisa membuat jantungku berdebar," jelas Wolf terdengar masuk akal.

"Sudah kuduga." Yuriko membatin membenarkan pemikirannya, "Baiklah, saya mengerti. Untuk tawaran ini, saya minta waktu untuk memikirkannya lebih dulu."

"Apa kau bilang? Kenapa harus memikirkannya lebih dulu? Bukankah dengan adanya kontrak ini kita sama-sama diuntungkan?" tanya Wolf terbelalak tidak percaya.

Ia pikir setelah mengatakan alasannya Yuriko mau menandatangani surat perjanjian nikah kontrak, tapi ternyata ia salah. Wanita itu justru meminta waktu darinya untuk berpikir.

"Saya tahu kalau kita berdua sama-sama diuntungkan, tapi saya harus menemui rekan kencan buta saya lebih dulu. Kalau masih tidak cocok, saya akan menandatangani surat perjanjian itu," jawab Yuriko. Padahal ia sengaja mengulur waktu karena tidak tertarik menikah kontrak dengan pria seperti Wolf.

"A-apa?" Wolf begitu terkejut sampai-sampai tidak mempercayai indera pendengarannya.

Bagaimana bisa ia dijadikan pilihan yang kedua? Memangnya apa yang kurang dalam dirinya. Ia pria single, tampan, kaya, baik, dan tidak kurang suatu apa pun. Berani-beraninya wanita seperti Yuriko menjadikannya sebagai pilihan kedua.

"Kalau sudah tidak ada yang dibicarakan lagi, saya permisi." Yuriko beranjak berdiri dan melangkah ke arah pintu. Sedangkan Wolf membeku tidak percaya.

"Tunggu!" cegah Wolf.

"Iya. Apa masih ada lagi?" tanya Yuriko setelah menoleh ke samping di mana Wolf berada.

"Apa kau tidak sadar dengan sikapmu yang seperti ini telah merendahkanku?" tanya Wolf sambil menggertakkan giginya.

Tiba-tiba tubuh Yuriko bergetar setelah mendengar ucapan Wolf. Setelah dipikir-pikir, ia mengakui bahwa ucapannya sungguh keterlaluan. Akan tetapi, ia terlalu takut untuk menandatangani surat perjanjian itu. Ia masih curiga bahwa apa yang Wolf lakukan saat ini padanya tidak hanya sekedar simbiosis mutualisme.

"Maaf, Pak. Saya benar-benar tidak bermaksud untuk merendahkan Anda. Saya hanya ... Saya masih memiliki satu kencan buta yang harus saya datangi," sanggah Yuriko dengan suara bergetar.

Ia takut dipecat dari perusahaan itu karena di sanalah satu-satunya mata pencahariannya. Apalagi ia butuh biaya banyak karena neneknya sering sekali keluar masuk rumah sakit.

EPISODE 3 MENIKMATI TUBUHMU

"Apa kencan butamu lebih penting daripada aku? Bukankah tujuanmu hanya satu yaitu menikah demi menyenangkan nenekmu? Lalu, untuk apa kau melakukan kencan buta?" tanya Wolf sambil melangkah ke depan.

Sontak, Yuriko melangkah mundur hingga tubuhnya mengenai daun pintu. Pikirannya benar-benar kacau saat ini. Apa yang Wolf katakan memang benar, tetapi ia paling tidak menyukai pria tampan. Jika ia menyukai pria tampan, maka ia sudah menikah tidak lama setelah neneknya memintanya untuk menikah.

"Maaf, Pak. Pekerjaan saya hari ini sangat banyak. Jadi, saya izin undur diri." Yuriko memutar kenop pintu dan bergegas keluar.

Wanita itu menutup pintu dengan tergesa. Kemudian, ia berlarian menuju lift takut Wolf akan mengejarnya. Bahkan setelah berada di dalam lift, ia terus menekan tombol agar pintu segera tertutup.

"Selamat-selamat," lirih Yuriko sambil menyandarkan tubuhnya ke belakang. Kemudian dalam sekejap, pintu lift terbuka. Ia bergegas keluar dan pergi ke ruangannya.

Baru sampai di ruang kerjanya dan belum sempat duduk, semua rekan kerja sudah menatapnya sinis. Hal itu membuat Yuriko mengerutkan keningnya.

"Semua orang pada kenapa, sih?" Yuriko bertanya-tanya dalam hati sambil melangkah menuju meja kerjanya, "Semua orang kenapa, sih, Na? Kok, lihatin aku sampai begitu," tanya wanita itu pada rekan kerjanya yang cukup dekat.

"Ada yang melihatmu ke ruangan Pak Wolf," sahut Nana.

"Lalu?" tanya Yuriko masih tidak mengerti. Memangnya apa yang salah dengan hal itu?

"Coba cek komunitas perusahaan saja deh. Aku bingung jelasinnya," balas Nana malas menjelaskan secara singkatnya.

Yuriko langsung meraih ponselnya di meja dan mulai membuka komunitas perusahaan. Di sana, terdapat postingan sebuah foto di mana dirinya masuk ke dalam ruang CEO. Tidak hanya foto, tetapi terdapat sebuah keterangan. Postingan itu hampir mendapat seribu suka dan komentar lebih dari seribu.

["Tidak ada satu wanita pun yang bisa masuk ke ruangan Pak Wolf kecuali asisten pribadi Pak Wolf sendiri. Hari ini, wanita berwajah pas-pasan dengan begitu mudahnya masuk ke ruangan Pak Wolf. Menurut kalian, kira-kira alasan apa yang mampu membuat wanita itu masuk ke ruang Pak Wolf dengan sangat mudah?"

["Paling-paling dia pakai pelet. Tidak mungkin dia bisa masuk dengan wajah pas-pasan."

["Mungkin dia menyerahkan tubuhnya pada Pak Wolf."

["Iya, benar. Selain tubuhnya, tidak ada yang bisa dijadikan alasan."

["Aku rasa bukan pelet maupun tubuh wanita itu. Mungkin memang ada hal penting mengapa dia bisa masuk ke ruangan Pak Wolf."

Yuriko membaca komentar-komentar yang menyakitkan mata juga hatinya. Bagaimana bisa orang berpendidikan seperti mereka berpikir yang tidak-tidak seperti itu? Meskipun ada beberapa komentar yang membelanya, tetapi itu hanya satu banding seribu.

"Makasih sudah percaya sama aku, Na," kata Yuriko.

"Sama-sama, tapi Yuri. Kenapa Pak Wolf memanggilmu ke ruangannya?" tanya Nana penasaran.

Sebelum menjawab, Yuriko menghela nafas berat. Merebahkan kepalanya di meja sambil mengerucutkan bibirnya.

"Hey! Aku tanya kenapa? Apa jangan-jangan apa yang mereka katakan benar kalau kau memelet atau--"

"Jangan sembarangan kalau bicara," sentak Yuriko terkejut.

Wanita itu benar-benar tidak menyangka mendengar tuduhan itu dari Nana. Ia bahkan langsung duduk tegap karena terlalu terkejut.

"Iya, terus apa?" tanya Nana penasaran.

"Aku pusing, Na. Aku tidak tahu apa yang membuat Pak Wolf memintaku menandatangani kontrak pernikahan," jelas Yuriko murung sambil kembali merebahkan kepalanya di meja.

"Apa?!" terkejut Nana sambil beranjak berdiri.

Mendengar teriakan Nana, semua orang di ruangan itu langsung menatap wanita itu. Mereka begitu penasaran dengan apa yang sedang Yuriko dan Nana bicarakan.

"Ya ampun, Nana! Cepat duduk dan jangan membuat keributan," ujar Yuriko frustasi.

"Iya-iya. Ya sudah, sekarang ceritakan semuanya padaku dan jangan membuatku penasaran," pinta Nana kembali duduk.

Mau tidak mau, Yuriko menjelaskan semuanya pada Nana. Meskipun demikian, perasaannya tetap tidak nyaman. Padahal biasanya, perasaannya akan jauh lebih baik setelah membagi bebannya.

***

Malam hari setelah pulang bekerja, Yuriko bersiap-siap dan pergi untuk melakukan pekerjaan paruh waktunya di klub malam. Gaji di PT. Griant Phoenix belum cukup untuk membiayai biaya rumah sakit neneknya. Jadi, baru-baru ini ia melamar pekerjaan sebagai pelayan di sebuah klub malam dan diterima.

"Sial! Kenapa aku tidak mendapatkan pekerjaan lain saja?" keluh Yuriko sambil menarik-narik pakaian kurang bahannya.

"Kenapa kau masih di sini anak baru?" tanya seorang senior.

"I-iya, Senior," sahut Yuriko sambil mengangguk tersenyum canggung.

Wanita itu langsung bergerak melakukan tugasnya. Mengantar minuman ke sana kemari pada pelanggan yang datang. Semuanya pun terlihat baik-baik saja sebelum akhirnya tengah malam tiba.

"Maaf, Tuan. Bisa tolong lepaskan tangan saya?" Yuriko terkejut dan merasa tidak nyaman karena seorang laki-laki menarik tangannya.

"Kemarilah! Ayo, kita bersenang-senang!" Alih-alih melepaskan tangan Yuriko, laki-laki itu justru menarik tangannya kuat-kuat hingga Yuriko jatuh di atas tubuhnya.

"Maaf, Tuan, saya di sini untuk bekerja dan bukan untuk bersenang-senang," sanggah Yuriko sambil berusaha melepaskan diri.

Hari pertama bekerja, Yuriko sudah mendapatkan perlakuan seperti itu. Padahal, ia tidak menunjukkan wajah aslinya dan masih menggunakan penampilannya yang pas-pasan. Apalagi kalau sampai ia menunjukkan wajah aslinya. Bisa-bisa banyak laki-laki di sana yang akan menggoda atau memperebutkannya.

"Tentu saja, aku tahu kalau kau sedang bekerja. Tapi, aku akan membayarmu dengan sangat mahal. Ya, meskipun wajahmu pas-pasan, tetapi aku tidak akan mempermasalahkannya," ujar laki-laki itu.

"Maaf, Tuan, saya tidak tertarik," tolak Yuriko setelah berhasil menjauhkan tubuhnya.

"Kau berani menolakku?" geram laki-laki itu.

"Maaf, Tuan, saya harus kembali bekerja." Yuriko menundukkan kepalanya beberapa saat dan melangkah pergi.

Melihat sikap Yuriko membuat laki-laki itu marah. Ia sudah berbaik hati menawarnya dengan harga mahal dan dengan beraninya Yuriko menolak. Akhirnya, laki-laki itu beranjak berdiri dan mengejar Yuriko. Meraih tangannya dan menariknya dengan kasar.

"Aww! Lepas, lepaskan saya!" pekik Yuriko sambil berusaha melepaskan tangannya.

"Diam! Aku akan melepaskanmu setelah aku menidurimu," sentak laki-laki itu.

"Tidak, Tuan, jangan saya mohon!" mohon Yuriko sambil meronta.

Wanita itu semakin ketakutan melihat dirinya diseret melewati lorong-lorong. Apalagi ia tahu betul bahwa lorong-lorong itu menuju sebuah kamar.

"Tolong! Tolong, tolong aku!" teriak Yuriko berusaha meminta tolong.

"Teriaklah sekeras yang kau mau karena tidak akan ada satu pun orang yang menolongmu."

Sekeras apa pun wanita itu berteriak, tidak sebanding dengan suara musik di ruangan itu yang jauh dan jauh lebih keras sehingga tidak ada satu orang pun yang mendengarnya. Kalaupun ada, mungkin tidak akan ada satu orang pun yang membantunya.

"Lepaskan saya, Tuan! Saya minta maaf kalau saya menyinggung Anda," ujar Yuriko berusaha membujuk.

"Terlambat. Seharusnya kau menerima tawaranku dengan bayaran mahal. Kalau sekarang, aku akan menikmati tubuhmu tanpa mengeluarkan uang sepeser pun," sanggah laki-laki itu menggebu.

EPISODE 4 KESUCIAN YURIKO TERENGGUT

"A-apa?" Yuriko begitu terkejut mendengar jawaban laki-laki itu. Dibayar mahal pun ia tidak sudi, apalagi kalau sampai digagahi secara cuma-cuma, "Lepas, lepaskan saya! Saya mohon, Tuan. Di bar ini masih banyak wanita cantik dan biarkan wanita pas-pasan ini pergi," mohon wanita itu berusaha membujuk.

"Kalau sudah tahu wajahmu pas-pasan, kenapa kau mencari masalah denganku? Seharusnya kau terima saja tawaranku sebelumnya. Jadi, aku tidak perlu bersikap kasar seperti ini," sanggah laki-laki itu malas.

Laki-laki itu terus menarik tangan Yuriko. Tidak peduli seberapa keras Yuriko berusaha melepaskan diri dan berontak karena tujuannya hanya satu yaitu membawanya ke kamar dan menyelesaikan rencananya.

"Tidak, Tuan. Lepaskan saya, saya mohon!" ujar Yuriko memohon dengan air mata yang sudah bercucuran deras membasahi wajahnya.

Di sisi lain, Wolf sedang duduk bersandar di sofa sambil melipat kakinya. Beberapa jam yang lalu, Reza melaporkan tentang Yuriko yang mendapatkan pekerjaan di sebuah club malam. Malangnya, club malam itu terkenal ketidakramahan pengunjung. Sebagian besar pengunjung di sana merupakan pengunjung yang nakal. Jadi, Wolf merasa kali ini akan mendapatkan Yuriko sesuai keinginannya.

"Bagaimana, Pak? Apa kita perlu membantu Nona Yuriko?" tanya Reza.

Pria itu melihat Yuriko digoda dan diseret ke dalam dengan cara paksa. Ia merasa perlu membantu, tetapi menunggu persetujuan dari bosnya.

"Tunggu dulu! Biarkan dia merasakan ketakutan dan putus asa terlebih dahulu. Setelah itu, kita akan datang membantunya seperti seorang pahlawan," sahut Wolf tersenyum menyeringai.

"Baik, Pak," ujar Reza tegas.

Wolf menurunkan kakinya. Duduk dengan posisi tubuh membungkuk dan tangannya pun bergerak mengetuk-ngetuk meja. Pria itu terlihat seperti sedang menghitung waktu.

"Ayo, Za! Sudah waktunya kita bergerak," kata Wolf sambil beranjak berdiri.

"Tunggu, Pak!" cegah Reza terlihat khawatir.

"Ada apa?" tanya Wolf menatap Reza penasaran.

"Apa tidak sebaiknya Anda pergi sendiri?"

Alih-alih menjawab, Reza justru balik bertanya. Sedangkan Wolf hanya bisa mengerutkan keningnya tidak mengerti. Bukankah Reza yang sudah tidak sabar ingin membantu Yuriko? Lalu, apa ini?

"Jangan salah paham dulu, Pak. Saya hanya ingin Anda menjadi satu-satunya pahlawan bagi Nona Yuriko. Dengan begitu, Anda bisa meminta imbalan dengan menandatangani perjanjian kontrak pernikahan," jelas Reza panik. Ia takut Wolf marah karena salah paham.

"Aku mengerti," kata Wolf. Sepersekian detik kemudian, ia melangkah ke arah di mana Yuriko diseret.

Dengan langkah besar, Wolf menyusuri lorong yang di samping kanan dan kirinya sebuah kamar. Ia berusaha menajamkan telinganya dan melihat sebuah kamar dengan pintu yang terbuka lebar. Baru saja hendak mendekat, pintu itu ditutup dengan kasar.

"Sepertinya aku datang tepat waktu," lirih wolf sambil tersenyum menyeringai.

Pria itu melangkah ke depan dan berdiri tepat di depan pintu. Mengulurkan tangannya dan mengetuk pintu. Satu kali ketukan diabaikan, begitu pula dengan ketukan kedua dan ketiga. Lalu, ia mengumpulkan seluruh tenaganya dan menendang pintu sekuat tenaga.

Debuman keras cukup membuat penghuni ruangan terkejut. Meski ruangan itu cukup gelap karena lampu yang menyala hanya lampu tidur, tetapi Wolf bisa melihat dengan jelas bahwa pakaian Yuriko sudah hampir terlepas. Robek sana sini dengan kondisi yang cukup mengenaskan. Andai ia terlambat beberapa menit saja, mungkin kesucian Yuriko sudah terenggut.

"Sial! Siapa yang berani mengganggu kesenanganku?" umpat laki-laki yang menyeret Yuriko kesal.

Wolf melangkah masuk dan laki-laki itu pun beranjak mendekat. Melihat betapa menyebalkan laki-laki itu membuat Wolf mengepalkan tangannya kuat-kuat dan melayangkannya ke wajah laki-laki itu.

"Beraninya kau!"

Pria dengan aura dingin itu tidak bisa menahan kekesalannya lagi. Wanita yang ingin ia jadikan sebagai istri hampir dinodai dengan brutal. Padahal sebelumnya, ia begitu bersemangat karena rencananya menjebak Yuriko akan berhasil. Namun melihat bagaimana kondisi wanita itu saat ini, Wolf sangat menyesal karena tidak bertindak sejak awal.

"Siapa kau sampai berani mengganggu wanitaku?" Wolf memukuli laki-laki itu hingga membabi buta.

Sementara itu, Yuriko bergerak menyelimuti tubuhnya dengan selimut. Manik matanya yang mengabur karena air mata tidak bisa melihat dengan jelas sosok Wolf di sana. Ia hanya meringkuk ketakutan sambil menangis. Bahkan, telinganya seakan tuli dan tidak bisa mendengar ucapan Wolf pada laki-laki itu.

"Kenapa kau diam saja, huh?! Lihat saja! Akan aku hancurkan kau sampai ke akar-akar kehidupanmu," murka Wolf. Dalam satu kali hantaman, laki-laki itu terpental hingga tidak sadarkan diri.

Setelah itu, Wolf menoleh ke belakang. Menatap Yuriko sendu dan langsung mendekat. Namun sayangnya, ia tidak disambut dengan baik.

"Aku mohon, jangan!" Yuriko pikir, Wolf pria tidak baik yang memperebutkannya untuk digagahi, "Berhenti di situ dan jangan mendekat," lanjut wanita itu histeris.

Alih-alih membalas ucapan Yuriko, Wolf justru menarik paksa selimut yang Yuriko gunakan untuk menutupi tubuhnya. Hal itu membuat wanita itu semakin ketakutan.

"Aku mohon pergilah! Pergilah dan tinggalkan aku sendiri!" mohon Yuriko sesenggukan sambil memeluk lututnya.

Wolf melepas jasnya dan melempar ke arah Yuriko. "Pakai ini," kata pria itu dingin.

Sontak, Yuriko langsung meraih jas itu dan memakainya. Menyembunyikan tubuhnya dari pakaian yang sudah compang-camping. Sedangkan Wolf, pria itu berbalik dan melangkah ke arah pintu.

"Kenapa kau diam saja? Cepat bangun dan keluar!" Wolf menoleh ke samping karena tidak mendengar pergerakan apa pun dari Yuriko, "Apa kau menyesal karena aku menyelamatkanmu?" lanjut pria itu geram.

Yuriko menelan salivanya kasar mendengar pertanyaan yang Wolf lontarkan. "Ti-tidak. Justru aku berterimakasih karena kau menolongku," balasnya sambil menatap punggung terlihat sangat lebar itu.

"Kalau kau merasa berterima kasih, cepat bangun dan keluar dari tempat kotor ini," ujar Wolf dingin.

"Ba-baik," balas Yuriko terbata.

Jas Wolf cukup besar di tubuh Yuriko dengan panjang di atas lutut. Jadi, akan aman untuk keluar dari tempat itu tanpa perlu takut tubuhnya akan terekspos. Setelah keluar dari klub, Yuriko melihat Reza memberi hormat pada pria yang menolongnya. Ia cukup terkejut karena sejak tadi tidak melihat wajah Wolf dengan jelas ketika di kamar.

"Pak Reza? Bagaimana bisa? Apa jangan-jangan dia ... Pria yang menolongku ... Apa dia Pak Wolf?" lirih Yuriko bertanya-tanya.

Reza membukakan pintu mobil untuk Wolf. Kemudian, ia mendekat ke arah Yuriko dan berkata, "Pak Wolf akan mengantar Nona pulang. Jadi, silahkan masuk ke mobil!"

"A-apa? Ja-jadi, Pak Wolf yang menolong saya?" tanya Yuriko memastikan.

"Iya, Nona. Apa Nona Yuriko bisa masuk ke dalam mobil sekarang? Saya takut kalau Pak Wolf harus terlalu lama menunggu," sahut Reza.

Bertepatan dengan Reza meminta agar Yuriko bergegas masuk ke dalam mobil, Wolf menurunkan kaca mobil.

"Bisakah saya pulang sendiri saja?" pinta Yuriko tersenyum tidak enak pada Reza.

"Apa kau akan pulang dalam keadaan seperti ini di tengah malam begini?" tanya Wolf dingin dengan pandangan mata yang lurus ke depan.

EPISODE 5 SIAPA PEDULI

Yuriko menunduk menatap tubuhnya yang berbalut jas. "Ti-tidak, Pak. Saya akan masuk ke dalam mobil sekarang juga," balas Yuriko bergegas beranjak.

Ia tahu maksud Wolf baik. Di tengah malam begini, tidak aman baginya untuk naik kendaraan umum. Lagi pula, tidak ada kendaraan umum di pukul satu malam. Yang ada hanya berandalan yang akan mengganggunya di jalan.

"Tunggu! Bisakah saya duduk di samping Pak Reza saja?" bisik Yuriko meminta. Ia benar-benar takut jika harus duduk di samping Wolf.

"Tidak bisa, Nona," tolak Reza menggeleng pelan.

"Baiklah," ujar Yuriko pasrah.

Sambil menghembuskan nafas berat, wanita itu masuk ke dalam mobil dan duduk di samping Wolf. Ia tidak bisa terlalu dekat dengan atasannya dan memilih memberingsut ke pintu.

"Cih! Kemarin kau begitu berani meninggalkanku di tengah pembicaraan yang sangat penting," batin Wolf tersenyum menyeringai melihat kaki Yuriko bergetar.

Merasa ada yang memperhatikan, Yuriko melirik dan tatapan matanya bertemu dengan tatapan tajam Wolf. Kemudian, ia kembali menundukkan kepalanya dan memperdalamnya.

"Ya Tuhan ... Kapan aku akan sampai rumah?" bisik Yuriko dalam hati. Ia tidak bisa berlama-lama di satu ruangan yang sama dengan pria dingin itu. Apalagi di ruangan yang sempit itu. Rasanya sangat sulit sekedar untuk bernafas. "Astaga, iya! Aku bahkan belum menyebutkan alamat rumahku, tapi kenapa Pak Reza tidak bertanya?"

"Alamat rumah Nona Yuriko di mana? Tadi saya lupa menanyakannya," tanya Reza bertepatan dengan pemikiran Yuriko.

"Turunkan saya di depan Rumah Sakit Internasional Heaven. Rumah saya tidak jauh dari sana," sahut Yuriko tidak berniat menyebutkan alamat rumahnya.

Meskipun tidak menyebutkan alamat rumahnya, Wolf dan Reza sudah tahu karena sebelumnya mereka sudah mengorek informasi pribadi Yuriko. Wanita itu menjual rumahnya untuk biaya pengobatan neneknya dan memilih mengontrak rumah di dekat rumah sakit tempat neneknya dirawat.

"Baik, Nona," kata Reza bergegas menaikkan laju mobil.

Sepanjang jalan, tidak ada yang membuka suara. Wolf duduk santai menatap lurus ke depan. Sedangkan Yuriko, wanita itu berubah menjadi patung. Duduk diam seolah tidak bernafas dan memang ia tidak bisa bernafas berada di dekat Wolf sedekat itu. Apalagi mengingat kejadian kemarin di mana pria itu mengajukan perjanjian kontrak pernikahan.

"Sudah sampai, Nona," celetuk Reza di tengah keheningan.

Entah sudah berlalu berapa lama, tiba-tiba mereka sudah sampai di depan Rumah Sakit Internasional Heaven. Padahal beberapa saat yang lalu Yuriko baru masuk ke dalam mobil. Wolf menghembuskan nafas kasar membuat Reza menatap ke arah cermin.

"Sial! Kenapa cepat sekali?" keluh Wolf dalam hati.

"Iya, Pak Reza." Yuriko merapikan jas yang melekat di tubuhnya, "Terimakasih banyak atas bantuannya, Pak," kata wanita itu sambil menundukkan kepalanya ke arah Wolf.

Wolf sama sekali tidak menjawab. Ia sama sekali tidak bergerak dan tetap pada posisi semula. Duduk tegap, melipat tangannya di depan, dan melipat kaki. Tatapan matanya lurus ke depan dengan aura dingin yang menyelimuti tubuhnya.

"Kalau begitu, saya permisi. Sekali lagi, terimakasih banyak," pamit Yuriko sebelum akhirnya keluar dari mobil.

"Kenapa kau terburu-buru sekali, Reza?" tanya Wolf dingin.

"Ma-maaf, Pak." Reza terbata dengan suara yang bergetar ketakutan. Sejak mendengar helaan nafas sang bos, perasaannya sudah berubah tidak enak.

"Maaf-maaf! Seharusnya kau menggunakan kecepatan rendah bukannya malah terburu-buru seperti ini. Memangnya kau pikir kau sedang membawa wanita hamil yang akan segera melahirkan?" omel Wolf panjang lebar.

Seharusnya, Reza melihat situasi dengan menurunkan kecepatan sehingga waktu bergerak lambat. Tidak mengemudikan mobil dengan kecepatan tinggi dan membuat waktu Wolf bersama Yuriko bergerak begitu cepat. Seharusnya pria itu tahu kalau bosnya sedang kasmaran.

"Maaf, Pak. Saya pikir, Nona Yuriko merasa tidak nyaman dalam situasi ini. Jadi, saya menaikkan kecepatan agar cepat sampai," sanggah Reza takut-takut sambil sesekali melirik ke arah spion menatap pantulan wajah bosnya.

"Siapa peduli? Harusnya kau tahu kalau aku menyukai situasi ini," ujar Wolf menggebu.

"Sekali lagi, saya minta maaf, Pak. Besok pagi Anda bisa memanggil Nona Yuriko ke ruangan Anda dan membahas perjanjian kontrak pernikahan," balas Reza berusaha memecah kemarahan bosnya. Ia yakin, Wolf akan berhenti marah jika membahas masalah perjanjian itu.

"Baiklah, kali ini aku maafkan dan besok pagi kau bertugas untuk memanggil Yuri ke ruanganku," ujar Wolf dengan api amarah yang kian meredup.

Sejak pertama kali melihat Yuriko di depan lift, Wolf selalu terbayang-bayang wanita itu. Bahkan perasaannya terhadap Theona tiba-tiba musnah begitu saja. Mungkin karena ia sudah benar-benar tidak memiliki harapan. Tentu saja karena wanita itu sudah berkumpul lagi bersama suaminya dan hidup bahagia.

Mengingat soal Theona, sepertinya Wolf tidak ingin menyesal lagi seperti dulu. Ia akan mengutarakan perasaannya pada Yuriko apa pun yang terjadi. Ia tidak akan memendam perasaannya dan menyesal karena Yuriko direbut laki-laki lain, seperti ketika Theona direbut oleh Ikosagon karena ia tidak berani mengutarakan perasaannya.

"Baik, Pak," tegas Reza sambil menghela nafas lega.

"Ikuti Yuri. Aku takut terjadi sesuatu yang buruk di jalan dia pulang," ujar Wolf memerintah.

"Baik, Pak," tegas Reza lagi. Kemudian, ia mengemudikan mobil secara perlahan mengikuti Yuriko agar tidak ketahuan.

Perlahan, mobil mengikuti Yuriko. Akan tetapi, wanita itu berjalan masuk ke area gang sempit dan sangat tidak mungkin untuk dilewati sebuah mobil. Jadi, Reza menghentikan mobil dan bertanya.

"Saya yang turun dan mengikuti Nona Yuriko atau Anda, Pak?"

"Biar aku saja," sahut Wolf.

Pria itu melepas sabuk pengaman dan bergegas turun. Mengikuti Yuriko karena takut di gang sempit itu ada orang yang ingin berbuat jalan. Sekitar lima sampai tujuh menit berlalu, Yuriko sampai di deretan kontrakan tiga petak. Lalu, ia mengeluarkan kunci dan tas, membuka pintu, dan masuk. Sedangkan Wolf langsung berbalik pergi setelah memastikan Yuriko aman sampai di rumah.

***

Keesokan harinya, Wolf sedang duduk di kursi kerjanya dengan gusar. Ia sudah tidak sabar menunggu Yuriko datang ke ruangannya. Sepersekian detik kemudian, terdengar suara ketukan pintu. Tiba-tiba, kedua sudut bibir pria itu naik sempurna. Kemudian, ia lekas merapikan ekspresi wajahnya dan menunjukkan ekspresi dingin.

"Masuk!" seru Wolf.

Dalam satu kali kedipan mata, pintu terbuka dan terpampanglah wajah pas-pasan Yuriko. "Anda memanggil saya, Pak?" tanya wanita itu.

"Ya, duduklah!"

Yuriko pun lekas melangkah masuk, menarik kursi, dan duduk sambil menundukkan kepalanya. Ia mengangkat pandangan sekilas sebelum akhirnya kembali menundukkan kepalanya.

"Jadi, kenapa Anda memanggil saya?" tanyanya lagi.

"Nenekmu dirawat di rumah sakit dan membutuhkan biaya yang cukup besar, bukan?"

Yuriko cukup terkejut. Ia mengangkat kepalanya dan menatap Wolf dengan manik mata terbelalak.

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya Jebakan Cinta CEO Eps 6-14
1
0
Yuriko terpaksa menerima tawaran Wolf karena neneknya butuh biaya operasi…
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan