FRIENDSH** (2)

3
1
Deskripsi

Novel ini karya author Ricky Pake ‘C’.

Slice of life, Romance, Friendship.

Blurb : 

Sabrang adalah seorang anak yang sedikit berbeda dari kebanyakan anak lainnya dalam memandang hidup. Sifat yang sedikit urakan membawanya berkenalan dan bersahabat dengan Clara, seorang anak manja dari keluarga berada.

Hingga suatu hari tumbuh benih cinta di hati Clara pada Sabrang, tetapi semua menjadi rumit saat seorang mahasiswi baru bernama Mentari hadir dalam kehidupan Sabrang.

Wanita yang menurut Sabrang...

Tubuh Sabrang menggeliat malas saat ponselnya berdering berkali-kali, dan dengan sedikit mengumpat dia meraih benda berbentuk persegi yang terletak tak jauh dari tempat tidur buluknya. Samar-samar dia melihat layar ponsel itu, tertera nama Clara di sana.

"Halo Clar." Sabrang kembali merebahkan tubuh di kasur empuk favoritnya.

"Mang, gue udah jalan ke kost-an elo, buruan mandi ada kelas pak Bambang pagi ini." Terdengar suara Clara dari seberang telepon.

Sabrang menepuk jidat, dia baru ingat jika pagi ini ada kelas Perpajakan. Cowok itu menatap jam butut yang menempel di dinding, sudah menunjukan pukul 7.30 pagi. Namun rasa kantuk masih menghinggapi matanya.

"Gue titip absen aja Clar, masih ngantuk gue." Sabrang menjawab dengan malas.

"Enggak, mandi sekarang! Awas lo kalo gue sampe kost-an belum apa-apa," ancam Clara.

"Tapi Clar, gue baru tidur jam-"

"Sekarang mang! Atau ... semua utang elo yang kalau di jumlah bisa buat kolam lele tujuh hektar gue tagih!" potong Clara cepat.

"Astaga Clar, anceman elo kayak ibu tiri! Iya, ini gue mandi bawel!" Sabrang mematikan ponsel kemudian beranjak ke kamar mandi.

Clara memang selalu menjemput Sabrang dengan mobilnya jika ada kuliah pagi. Gadis itu merasa sahabatnya tidak akan bisa bangun pagi kalau dia tidak mengancamnya.

Tidak lama setelah tiba di depan kost Sabrang, Clara langsung menyalakan klakson mobil terus-menerus. Memaksa agar lelaki itu tak lagi mengeram dalam kamar.

“Berisik lu,” keluh Sabrang. Strategi Clara berhasil, sahabatnya segera keluar walau rambutnya masih basah karena terburu-buru.

***
 


Pagi itu, kelas perpajakan, dilalui Sabrang dengan mendengarkan ceramah berapi-api Pak Bambang tentang kehidupan umat manusia dalam mencari pekerjaan. Dia merasa, kebiasaan buruk Sabrang yang selalu lupa mengerjakan tugas bisa berdampak pada masa depannya kelak.

Sabrang yang merasa selalu menjadi sampel Pak Bambang tentang "manusia tidak berguna" jika tidak serius kuliah hanya bisa pasrah sambil sesekali melirik jam tangan.

Akhirnya setelah melewati serangkaian dakwaan yang menurut Sabrang tidak pernah dia lakukan, rentetan peluru yang keluar dari mulut Pak Bambang tiba-tiba mengendur.

"Baiklah, kelas hari ini cukup, kita ketemu minggu depan dan jangan lupa tugasnya!" ucap pak Bambang yang disambut riuh para mahasiswa dan mahasiswi.

Wajah Sabrang langsung cerah saat mendengar kata penutup Pak Bambang di akhir kelas. Bak baru saja lepas dari kamp kerja paksa ala film-film Holywood, dia menoleh ke arah Clara dengan penuh semangat, yang kemudian dibalas anggukan Clara beberapa saat kemudian.

Clara seolah mengerti tatapan Sabrang setelah kelas perkuliahan selesai, jika diterjemahkan dalam bahasa manusia adalah "Clar, kantin yuk! Tapi gue enggak punya duit." Sahabatnya memang menyedihkan.

Baru saja dipikirkan, Sabrang sudah berdiri di dekatnya. Tersenyum lebar sambil menunggu Clara merapikan meja.

***
 


"Astaga! Nunduk Clar, ada orang gila...." Sabrang menghentikan aktifitas ngopinya saat melihat seorang pria berjalan masuk kantin.

Dia kemudian membenamkan kepala pada kertas menu yang ada di meja.

Clara tersenyum melihat tingkah Sabrang, dia sudah bisa menebak siapa "Orang Gila" yang dimaksud Sabrang.

"Halo Sahabat-sahabat terbaikku ..." sapa seorang pria berambut ikal, yang jika dilihat dari struktur wajahnya lebih pantas menjadi dosen daripada mahasiswa.

"Clara, elo selalu terlihat paling cantik di kampus ini, bagaikan bunga Mawar yang sedang mekar di antara rerumputan liar." Pria tersebut tersenyum pada Clara sebelum menatap Sabrang sinis, seolah Sabranglah rumput liar yang dia maksud.

"Makasih Sep, pujiannya ... tapi kalo hari ini elo mau ngutang duit gue lagi, bayar dulu yang kemarin." Clara berkata pelan, tetapi mampu membuat Asep terdiam.

"Aduh, pedes banget mulut lo Clar, kayak boncabe level sepuluh.” Tidak kehilangan akal, Asep yang memang membutuhkan suntikan dana di akhir bulan kemudian menatap Sabrang yang sudah mulai melanjutkan aktifitas ngopinya.

"Ginjal gue belum laku, percuma elo minjem duit gue," ucap Sabrang ketus sambil menatap ke arah wanita yang dia lihat kemarin.

Mata Asep mengikuti arah pandang Sabrang kemudian tersenyum kecil.

"Oh, itu anak baru, namanya Mentari. Dia tetangga komplek gue, teman main gue dulu.” Mahluk keriting gagal yang duduk tepat di sebelah Clara itu mulai menyombongkan diri.

"Bentar ya, gue nyamperin doi dulu." Asep berjalan mendekati Mentari.

"Mati kita Clar, dia mau bikin malu kita lagi." Sabrang menatap Clara yang tetap cuek bermain dengan ponselnya.

Layar ponsel lebih menarik bagi Clara dibanding kedua temannya yang memiliki sifat ajaib itu.

"Mentari ya? Masih inget sama gue?" Asep menyuguhkan senyum termanisnya di depan Mentari.

Mentari menghentikan aktivitasnya di depan laptop, kemudian menatap Asep dengan bingung. "Maaf siapa, ya?" tanyanya seraya menaikkan sebelah alis.

Sabrang kembali membenamkan wajahnya sambil berbisik pada Clara. "Tuh kan Clar, apa kata gue. Spesies langka kayak Asep emang seneng banget bikin kita malu. Pokoknya kalau orang gila itu balik ke meja ini lagi kita pura-pura mati ya."

Clara mendengkus.

***
 


Langit sore di kota Semarang tampak begitu cerah, secerah pakaian yang dikenakan Sabrang. Dia berjalan memasuki sebuah toko buku seorang diri. Kali ini Clara tak ikut bersamanya karena harus menjemput sang ayah di bandara.

Clara anak seorang pebisnis sukses, ayahnya bekerja sebagai kontraktor besar sedangkan ibunya memiliki usaha Hotel di beberapa daerah.

Sabrang tampak menyusuri rak buku yang berjajar rapi di hadapannya. Matanya kemudian tertarik pada sebuah buku yang berada di tumpukan paling atas.

"Kitab Sabdo Waktu" judul yang tertulis cukup besar di cover buku tersebut, membuat Sabrang mengernyitkan dahi.

"Ini kalo enggak salah novel paling fenomenal di Fizzo itu ya? Enggak nyangka gue sekarang udah cetak dalam bentuk buku." Sabrang tampak berpose sambil memegang buku tersebut seolah berkata 'Ini loh buku author terbaik sealam semesta."

Tanpa Sabrang sadari, aktivitasnya itu menarik perhatian salah satu pelayan toko buku tersebut. Dia berdiri tak jauh dari tempat Sabrang berdiri sambil menatap iba.

Setelah sukses mempermalukan diri sendiri, Sabrang kembali melangkah ke arah rak buku bertuliskan Ilmu Ekonomi. Dia memang sedang mencari buku Perpajakan untuk mata kuliah Pak Bambang.

Namun, baru saja dia hendak mencari buku incaran, langkah kakinya tiba-tiba terhenti saat melihat seorang waninta yang sepertinya juga sedang sibuk mencari buku.

"Mentari?" Sabrang langsung berjalan mendekati gadis itu sambil menyambar satu buku yang ada di rak dengan asal untuk memperlihatkan jika dia "tidak sengaja" menyapa gadis tersebut.

"Kamu anak Ekonomi Bakti luhur ya?" Sabrang memberanikan diri menyapa Mentari.

Mentari menoleh ke arah suara yang menyapanya dan terlihat berpikir sejenak. "Iya Kak. Kakak temennya mbak Clara, ya?"

Sabrang tersenyum manis sebelum mengangguk pelan. Dia merasa lega tidak di "Asep" kan oleh wanita manis yang ada di hadapannya.

"Gue Sabrang, angkatan 2000." Sabrang mengulurkan tangannya.

"Mentari, Kak."

"Lagi cari buku, ya?" Sabrang mencoba mencari bahan pembicaraan.

"Iya Kak, ada tugas pengantar Ekonomi," jawab Mentari sebelum menatap buku yang ada di tangan Sabrang. "Kakak lagi cari buku juga ya?"

"Oh iya dong ... kita sebagai calon pemimpin bangsa harus rajin membaca buku.” Sabrang mencoba menyombongkan dirinya, dia ingin terlihat sedikit pintar di hadapan Mentari

"Tapi kak, itu bukunya..." tangan Mentari menunjuk buku yang ada di genggaman Sabrang.

"Oh ini salah satu buku favorit gu ...." Sabrang menghentikan ucapannya saat membaca cover buku di tangannya yang bertuliskan "CARA CEPAT BELAJAR ILMU SANTET"

Mentari tersenyum melihat tingkah kakak tingkatnya itu.

"Jadi begini..." Sabrang mencoba mencari pembelaan jika dia bukanlah pengikut aliran sesat, "Maksud gue, kita sebagai generasi penerus bangsa juga harus mengetahui bahaya dari ilmu santet."

Mentari mengernyitkan dahinya sambil terus menatap Sabrang.

"Tetangga gue kemarin abis makan tiba-tiba mati." Sabrang memberi contoh.

"Kena santet?" tanya Mentari kembali mengernyitkan dahi.

"Bukan, tapi keselek tulang ayam."

Kali ini Mentari tidak dapat menahan tawanya.

Sabrang menatap Mentari sambil tersenyum. "Elo manis banget kalo lagi ketawa, Tar," gumam Sabrang dalam hati.

Gadis Penjaga toko makin menatap iba padanya.

Setelah berkeliling mencari buku, mereka memutuskan untuk singgah di sebuah rumah makan tak jauh dari toko buku tersebut.

Sabrang memesan satu porsi nasi ayam untuk Mentari dan satu porsi nasi kuah untuknya.

"Kok cuma nasi kuah, Kak?" Mentari menatap piring yang ada di hadapan Sabrang. Nasi setengah porsi plus kuah santan yang menggenang hampir memenuhi piring menarik perhatian gadis itu.

"Oh, menurut buku yang gue baca tadi ... salah satu cara menangkal santet adalah makan nasi kuah."

Mentari kembali tertawa, tetapi kali ini dia tidak ingin membahasnya lebih lanjut karena perutnya sudah memberi tanda untuk diisi.

Sendok Mentari perlahan memotong ayam bakar di piring dan memakannya.

Sabrang menyeruput kuah santan di hadapannya penuh penghayatan.

Tak lama setelah adegan makan penuh drama tersebut selesai, seorang pria yang tadinya menunggangi motor sport terlihat mendekati Mentari.

"Udah cari bukunya? Balik yuk! Udah sore," ajak pemuda tersebut.

Mentari mengangguk pelan kemudian memperkenalkan pria tersebut pada Sabang.

"Kak, ini Rendi temanku. Ren, ini Kak Sabrang teman kampusku."

Sabrang dan Rendi saling bersalaman dengan tatapan curiga.

"Aku duluan ya, kak. Makasih udah nemenin aku." Mentari beranjak dari tempat duduknya dan berjalan mengikuti Rendi.

Sabrang menatap kepergian Mentari diiringi alunan Lagu Payung Teduh "Untuk Perempuan dalam pelukan”.

***
 


Tak Terasa Gelap pun Jatuh

Di ujung malam

Menuju Pagi Yang dingin

Hanya Sedikit

Bintang malam ini

Mungkin karena kau

Sedang Cantik Cantiknya

Dimalam hari

Menuju EMPAT PULUH RIBU

Sedikit Cemas

Banyak HUTANGNYA
 

Sabrang mengernyitkan dahinya, dia merasa lirik lagunya salah kali ini.

"Empat puluh ribu? Banyak hutangnya? Sejak Kapan Payung Teduh Banyak utang."

"Mas, Semuanya EMPAT PULUH RIBU." suara pemilik warung membuyarkan lamunan Sabrang kemudian menyodorkan sebuah bon makan.

Sabrang menoleh ke arah kertas bon yang di ada ditangan pemilik warung makan tersebut. Dia menghela napas panjang dan merasa kali ini akan kembali terlilit hutang.

"Bang, ada yang harus kita diskusikan dulu tentang bon itu." Sabrang menatap pemilik warung dengan wajah memelas.

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya Selingkuh, Yuk! - 4
1
0
Bab 4 berisi chat sweet dari Bastian 😍Blurb :Vania (26), diselingkuhi oleh kekasihnya—Arya (29). Ia marah, tetapi juga tidak sanggup mengakhiri hubungannya. Tidak sengaja bertemu dengan Bastian (26), teman semasa SMA-nya. Bastian menjalani LDR dan sangat percaya pada kekasihnya, ternyata ia juga diselingkuhi. Saling curhat, berbagi keluh kesah dan seringkali menggosipi pasangan masing-masing, membuat Bastian dan Vania semakin dekat. Hingga tercetuslah, “Selingkuh, yuk!” Dari mulut Vania.Apakah Bastian akan menyetujui ide gila itu?©Venus2023
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan