
“Tuhan, kalau boleh, aku ingin masa SMA-ku ini menjadi seperti kisah di novel-novel remaja yang sering kubaca. Terutama kasmarannya.”
Dan ajaibnya, Tuhan mengabulkan pintaku.
PENAWAR(AN) HATI
Masa SMA emang masa yang paling pas buat urusan cinta-cintaan. Pernyataan yang didukung oleh tontonan sinetron dimana kasmaran putih abu-abu digambarkan dengan begitu eloknya, dan terutama oleh penyuka novel teenlit seperti aku, duh…. Sampai aku menyimpan satu harapan tersendiri kala itu.
“Tuhan, kalau boleh, aku ingin masa SMA-ku ini menjadi seperti kisah di novel-novel remaja yang sering kubaca. Terutama kasmarannya.”
Dan ajaibnya, Tuhan mengabulkan pintaku.
Kelas 2 SMA adalah awal dari kehidupan seperti novel remaja yang kuidam-idamkan. Ternyata, membaca novel dan mengalaminya langsung di dunia nyata adalah dua hal yang berbeda. Kalau baca novel, kita masih bisa tertawa walau apa yang dialami oleh tokoh sebenarnya menyakitkan. Tapi di kehidupan nyata, mana bisa kita menertawakan rasa sakit yang sedang dirasakan?
***
“Neng, ada temenku lagi nyari pacar, nih. Tipe kamu banget, lho!”
“Emang tipeku tuh yang gimana?”
Temenku itu membetulkan letak kacamatanya seraya mengulum senyum jahil dan berkata, “Ya… yang anak band gitu, kan? Dia juga jago bahasa Jerman, lho. Trus pengetahuan umumnya juga bagus. Anaknya pinter, deh. Tinggi putih. Kaya raya. Mau, ya?”
Mendengar penuturan temanku itu, aku langsung tergelak. Sumpah, promosinya niat abis!
“Mau, ya? Ya? Ya?” temenku masih terus berusaha. Aku hanya senyum-senyum.
Kalau boleh jujur, sih, aku mau-mau aja dicomblangin. Apalagi tawarannya begitu menggiurkan. Tapi, aku gengsi untuk mengiyakannya. Malu aja, gitu. Karena aku suka canggung untuk setiap perkenalan pertama—walau kalau udah kenal jatuhnya malah malu-maluin, nggak ada canggung-canggungan sama sekali.
Karena aku nggak menjawab, akhirnya tawaran tersebut dilemparkan kepada Lea, yang langsung mengiyakan dengan antusias. Aku dan Lea memang memiliki kesamaan visi-misi: ingin kasmaran di masa SMA!
Apakah saat itu aku menyesal karena tidak langsung menerima tawaran buat dicomblangin? Saat itu, nggak ada kata menyesal. Malah aku lupa kalau pernah ditawarin untuk dicomblangin dengan orang itu—sampai beberapa bulan setelahnya.
Setelah Lea mengiyakan untuk dicomblangin dengan orang itu, Jessi (nama panggilan mak comblang) memulai aksinya dengan memberikan kontak orang itu pada Lea. Kalau dari ceritanya dan melihat binar-binarnya, mereka berdua itu nyambung. Cocok. Orang itu jago bahasa Jerman, sementara Hani ingin belajar bahasa Jerman. Orang itu suka main band sama seperti Lea yang vokalis. Lea jago menggambar, yang digunakan oleh orang itu sebagai kiat awalnya agar mereka bisa bertemu: orang itu minta Lea untuk mengcover lagu yang disukainya.
Genk hore kami yang terdiri dari lima orang cewek langsung pada heboh mendengar kabar bahwa akhirnya Hani dan orang itu akan bertemu. Sialnya, hari itu aku ada bimbel dan nggak bisa melihat langsung adegan Hani memberikan lukisannya pada orang itu. Aku sudah berusaha mengulur waktu pergi bimbel sebisaku demi menunggu orang itu datang dari Tembalang ke daerah Jalan Pemuda—daerah sekolahku di Semarang—namun orang itu tak kunjung datang. Hingga akhirnya aku menyerah dan memutuskan untuk pergi bimbel tanpa sempat melihat adegan romantis itu; pertemuan pertama Lea dan orang itu.
Tepat ketika aku menaiki bus kota di seberang jalan, orang itu tiba di sekolah kami. Sebelum bus melaju, dapat kulihat gerakan teman-temanku yang heboh menunjuk bus kota yang kunaiki, dan orang itu turut menoleh ke arah bus. Sialnya, aku tak dapat melihat wajah orang itu dengan jelas karena jarak pandang yang lumayan jauh. Ya sudah, lah.
Beberapa hari setelahnya, orang itu diundang masuk ke grup genk hore kami di MXIT—aplikasi chatting yang popular saat itu. Aku sangat antusias ngegodain orang itu habis-habisan di grup untuk melampiaskan kekesalan karena nggak bisa godain secara langsung. Ternyata anaknya asik juga. Pinter. Pengetahuan umumnya sangat bagus.
Aku nggak sadar dimulainya sejak kapan, yang jelas kami tiba-tiba saja sudah berbincang di japri—jalur pribadi, tidak di grup lagi. Aku senang melihat dia bercerita panjang lebar tentang Perang Dunia. Tentang NAZI dan Hitler. Tentang ledakan nuklir Chernobyl, Ukraina. Tentang Jepang. Dan masih banyak lagi yang selalu diceritakannya. Aku selalu menjadi pendengar yang baik atas semua dongengnya itu.
Tanpa sadar, malah aku yang terpikat dengan pesona orang itu.
Beneran tanpa sadar, karena saat itu aku masih sangat mendukung supaya Hani dan orang itu bisa melangkah ke jenjang selanjutnya. Karena mereka memang terlihat sangat serasi. Dan orang itu juga kelihatan naksir banget sama Hani. Dalam perbincangan kami, seringkali aku memberikan tips untuk dia mendekati Hani. Hingga pada akhirnya, orang itu bilang padaku bahwa dia akan menembak Hani. Dia akan pergi ke rumah Hani untuk mengutarakan perasaannya.
Saat itu magrib. Aku masih di angkot pulang bimbel. Keadaan angkot penuh sesak, dan aku konsen main HP demi mendapat kabar tentang orang itu dan Hani. Sungguh, aku yakin banget Lea bakal menerima orang itu. Aku menunggu kabar bahagia dari mereka. Ketika turun dari angkot, saat meraba bagian depan tas, aku baru sadar kalau HP-ku hilang. HILANG!
Aku galau. Galau karena HP hilang, galau gimana cara bilang ke orang tua, serta—tentu saja—galau karena nggak bisa langsung mendengar kabar tentang Hani dan orang itu.
Keesokan harinya, langsung kuberitahu Jessi bahwa HP-ku hilang, dan meminjam HP-nya untuk memberi kabar kepada orang itu sekaligus kepo dengan hasilnya. Entah kenapa aku nggak berani bertanya langsung pada Lea dan lebih nyaman untuk bertanya pada orang itu. Katanya, Lea minta waktu untuk menjawab.
Aku, sampai mendapatkan HP baru dari orangtua, setiap jam istirahat selalu meminjam HP Jessi hanya untuk bisa chatting dengan orang itu. Sebelum pergi bimbel, kusempatkan untuk pergi ke warnet dan chatting dengan google talk—yang sekarang telah berubah menjadi Hangouts—hanya demi mendapat kabar dari orang itu. Konyol.
Dan akhirnya, orang itu memberikan kabar yang mengejutkan padaku: dia ditolak dengan alasan Lea nggak ingin pacaran. Aku berang. Kok bisa?! Jelas-jelas, Lea dan aku memiliki kesamaan visi misi untuk punya pacar. Jelas-jelas, Lea bersedia dicomblangin supaya punya pacar. Ketika sudah suka sama suka, ketika sudah ditembak, kenapa malah ditolak?!
Aku—dan genk hore kami—langsung mengerubungi Lea untuk menanyakan penyebabnya. Jawabannya cukup bikin syok.
“Aku lagi pengen punya pacar cowok gondrong, seniman gondrong gitu.”
Jedgeeeerrrrr!!!!
“Kamu serius? Coba dipikirin lagi, deh. Dia itu udah suka banget lho sama kamu. Dia juga kan baik banget. Buktinya, waktu itu dia rela nungguin kamu yang lagi lomba selama berjam-jam. Sendirian. Nggak ada yang nemenin.” Kucoba untuk membuat Lea merubah keputusannya. Kasian orang itu, yang sudah beneran suka banget sama Lea. Dan aku, entah kenapa nggak yakin sama alasan yang Lea lontarkan. Aku bisa merasakan kalau Lea juga memiliki perasaan pada orang itu. Walaupun Lea orangnya labil dan plinplan, nggak akan mungkin dia seplinplan itu untuk hal-hal yang berkaitan dengan hati.
Tapi, Hani selalu meyakinkan kami dengan alasan tersebut. Dia bahkan gencar berkenalan dan berhubungan dengan cowok gondrong. Setiap ada cowok gondrong yang melintas di depan mata, dia akan bertingkah antusias. Hingga akhirnya aku percaya dengan alasan Hani, dan memulai usaha untuk menghibur orang itu. Tidak hanya lewat dunia maya, kadang kami juga bertemu. Ke warnet bareng. Makan tahu gimbal di PRPP.
Hingga suatu ketika, karena alasan pribadi yang tak dapat disebutkan, aku harus pindah sekolah dari Semarang. Aku frustasi, jelas. Aku baru satu setengah tahun di kota itu dan sudah nyaman dengan segalanya: sekolah, bimbel, OSIS, kegiatan penunjang lainnya, dan terutama lingkungan pertemanannya. Aku nggak mau pisah dengan guru-guruku. Aku nggak mau pisah dengan teman-teman sekelasku. Terlebih, aku nggak mau pisah dengan genk hore-ku.
Oh, orang itu nggak tahu aku akan pindah sekolah sampai seminggu sebelum kepindahanku.
Karena seminggu sebelum aku pindah, genk hore-ku tiba-tiba menyeretku saat jam istirahat sekolah—tanpa Lea.
“Kamu tau nggak? Sebenarnya, Lea nolak orang itu karena kamu,” jelas Jessi. Aku syok.
“Karena aku? Kok bisa karena aku?!”
“Karena Lea ngeliat kamu kayaknya ada rasa ke orang itu,” jawabnya lagi. “Jujur, deh. Kamu sendiri sebenernya suka kan, sama orang itu?”
Aku tertegun. Nge-blank. “Aku? Suka sama orang itu? Ya nggak mungkin, lah!”
“Tapi itu yang Lea rasakan. Juga…,” Kali ini Nez yang angkat bicara. Dia terdiam sesaat, sebelum kemudian melanjutkan, “dari apa yang kami lihat.”
Aku melongo.
“Kamu jujur, deh. Kamu suka kan sama orang itu? Kamu selalu senyum-senyum sendiri kalo lagi MXIT-an sama orang itu,” todong Nez lagi. Aku masih melongo, nggak tau mau jawab apa. Justru, teman-temanku yang menyadarkanku bahwa aku terpikat pada orang itu.
Aku? Nggak tau sama sekali.
Aku hanya merasa nyaman. Nyambung. Asik. Peduli. Itu saja.
“Tapi tetep aja, Lea nggak boleh nolak orang itu hanya karena asumsi aku juga suka ke orang itu, dong!” Aku mencoba membawa semuanya kembali ke jalur yang benar. Jalur yang semestinya. Karena orang itu dicomblanginnya sama Lea. Keduanya saling suka, yaudah. Silakan jadian. Perasaanku di luar hal itu. Toh, selama ini aku selalu gigih mengusahakn kedua orang tersebut untuk meresmikan hubungan, kan?
Makanya, aku sengaja mengatur waktu agar orang itu dan Lea bisa bertemu dan ngobrol berdua. Kedoknya adalah perpisahan denganku. Orang itu datang ke sekolah kami dengan sedih. Orang itu datang ke sekolah kami buat jadi juru foto bagi aku dan genk hore-ku.
Saat kami istirahat di selasar sekolah, ketika Lea dan orang itu sedang melamun, aku dan genk hore diam-diam melipir dari sana, meninggalkan mereka berdua. Belum juga lima menit, Lea sudah berlari mengejar kami dengan muka merah menahan marah dan berujar, “Aku nggak suka kalian begitu!”
Usahaku agar mereka ngobrol berdua gagal. Orang itu juga terlihat kecewa. Maka yang terjadi adalah, hari itu benar-benar menjadi hari untuk melepasku pindah sekolah.
***
Setelah aku pindah, komunikasi kami justru makin intens. Orang itu sedang dalam tahap denial karena ditolak dan berujung pada menyimpan amarah pada Lea. Aku bimbang. Posisiku sulit. Di satu sisi, aku adalah sahabat Lea. Di sisi lain, aku sangat ingin merawat hati orang itu. Karena saat itu sedang labil-labilnya—khas anak SMA—hubunganku dengan Hani sempat memburuk. Yang kusadari, memburuknya hubungan kami juga disponsori oleh rasa bersalah karena aku memiliki perasaan pada orang itu. Aku, tanpa sadar menyendok orang itu dari Hani. Hani merelakan orang itu disendok olehku, suatu hal yang bagiku jelas sangat tidak masuk akal. Dan itu membuatku marah, dan itu justru akhirnya membuatku semakin ingin menyembuhkan luka hati orang itu.
Setelah beberapa drama yang cukup panjang—sebut saja dijadikan pelarian padahal sebenarnya orang itu masih belum bisa move on dari Hani—akhirnya aku dan orang itu beneran jadian delapan bulan setelah semua yang terjadi. Di periode tersebut, aku sebenarnya semakin merasa bersalah pada Lea.. Aku benar-benar nggak berani menghubungi Lea.
Namun, sebuah pembelaan entah darimana asalnya muncul begitu saja dalam pemahamanku. Bahwa aku tidak sepenuhnya salah dalam hal ini. Bahwa sejak awal, orang itu sempat ditawarkan untuk dicomblangin ke aku, tapi akunya yang tidak memberikan kepastian apapun. Bahwa ketika pada akhirnya aku bersama dengan orang itu, aku tidak nyendok siapapun, namun karena jalan takdirnya begitu. Konyol, kan?
Dengan cara seajaib itu, aku mendapatkan kehidupan seperti novel remaja yang kuidam-idamkan. Setidaknya, aku bisa kasmaran saat SMA. Dan benar-benar hanya saat SMA. Di awal kuliah, aku dan orang itu memutuskan untuk berpisah karena beberapa masalah yang memang bom waktu banget. Sejak putus, aku mulai berani untuk berinteraksi secara nyaman dengan Hani. Namun, seperti ada syarat tak terucap di antara kami—atau setidaknya yang kuciptakan sendiri. Sampai saat ini, kami tidak pernah mengungkit-ungkit tentang orang itu. Kalau ada salah satu genk hore-ku yang keceplosan tentang hal tersebut, pembicaraan langsung kealihkan ke topik lain.
Buat Hani, maaf yak arena aku sempat menjadi orang jahat dengan menyendok orang itu dari kamu. Buat orang itu, terima kasih karena menjadi salah satu perantara indah untukku mendapatkan kehidupan seperti novel remaja.
Suatu sudut di Pulau Jawa, 8 April 2016
Cerita dari sahabat Roro Sendok, dengan sedikit perubahan
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
