
Kampung Duda.
Saat ditugaskan menjadi guru pengganti ke tempat itu, Gayatri tak menyangka bahwa nama kampung itu bukan isapan jempol belaka! Maksudnya, ternyata sebagian besar warga di kampung duda memiliki status yang sama dengan nama kampungnya.
Kedatangan Gayatri, guru muda nan cantik jelita dan masih gadis langsung mencuri perhatian mereka. Bayangkan, selama ini hanya wanita tua dan janda berumur yang betah tinggal di kampung ini.. kini mereka mendapat pemandangan segar gadis belia nan polos...
5. Mengantar Pulang Anak Duda
Sepulang mengajar, Gayatri berencana akan berkunjung ke rumah Sri Gendhis Louisa. Dia ingin berembuk dengan Pak Dani, ayah gadis blasteran itu, tentang tindakannya memasukkan Genduk kedalam kelas anaknya. Gayatri tak mau menghakimi sebelum tahu apa alasan pria dandy itu.
Aduh, hanya berkunjung ke rumah murid saja, tapi sedari tadi Gayatri bolak-balik melihat dandanannya. Dia khawatir lipglossnya belepotan. Atau alisnya tak tertata rapi. Atau, jangan-jangan bedaknya luntur terkena keringat. Mengapa dia merasa seperti akan pergi berkencan saja? Maklum yang didatanginya adalah duda terganteng di Kampung Duda, menurut Gayatri.
Dia baru mengambil tas kerjanya ketika Pak Bejo mendatanginya.
“Dik Tri, bisa minta tolong?”
Spontan Gayatri menjawab, “Boleh, Pak. Apa yang bisa saya bantu?”
“Itu si Bagus belum dijemput. Bukannya Dik Tri tetanggaan sama anak itu, sekalian antar pulang toh."
Waduh, bagaimana sekarang? Dia sudah terlanjur berdandan demi bertemu si duda ganteng. Tapi tak enak juga menolak permintaan Pak Bejo, lagipula dia sudah mengiyakannya sebelum tahu tugasnya apa.
“Mau toh, Dik? Sekalian jalan. Atau Dik Tri ada perlu khusus? Ada kencan toh?” selidik Pak Bejo sembari mengamati Gayatri lebih teliti.
Mateng aku, jangan sampai dia tahu aku berniat menemui Pak Dani! Batin Gayatri was-was.
“Endak, Pak. Mau kencan sama siapa? Demit? Hehehe ...” kekeh Gayatri menutupi kegugupannya. Tak masalah sih kalau demitnya seganteng Pak Dani.
“Daripada sama demit, mending sama aku toh, Dik,” goda Pak Bejo.
Daripada menanggapi godaan Pak Bejo, lebih baik Gayatri minggat. Sambil membawa anak demit ... eh, anak si duda jutek. Bagus Wibowo Santoso.
==== >(*~*)< ====
Sepanjang perjalanan si Bagus diam, seakan tak butuh. Gayatri jadi gemas, bocah itu sengaja berjalan lambat di belakangnya. Padahal tadi Gayatri telah menyampaikan bahwa mereka harus buru-buru karena dirinya masih memiliki keperluan lain.
“Bagus, bisa lebih cepat?” pinta Gayatri sembari menoleh ke belakang.
“Ndak, Bagus lapar. Jadi ndak bisa jalan cepat. Ibu kalau ndak sabar, tinggalkan saja Bagus.”
Mana bisa begitu? Dia guru, ndak mungkin menyia-nyiakan muridnya, walau murid sesombong bocah ini! Menyebalkan lagi. Karena setelah diberi pesan sponsor begitu, Bagus sengaja berjalan lebih lambat lagi. Seperti siput. Kesabaran Gayari menipis. Dia menghampiri Bagus dan berinisiatif menggandengnya.
“Jangan Buk, saya anak laki!” protes Bagus menolak.
“Tahu, saya bisa membedakan anak laki sama anak perempuan.”
Bagus mendecih kesal. “Kata Bapak lelaki tak boleh digandeng perempuan.”
Dasar bapak arogan! Gayatri jadi pengin mencobai duda jutek itu, suatu saat Bapak Bagas yang terhormat itu akan digandengnya didepan umum! Makan tuh arogansi! Astaga, apa pikirannya sudah korslet? Gayatri mengutuk dirinya sendiri.
Menutupi kegeramannya, Gayatri menggandeng paksa Bagus. Setengah menyeretnya. Ternyata bocah cilik itu sangat keras kepala, dia bertahan di tempatnya. Akhirnya mereka adu kekuatan, tarik menarik di pinggir jalan.
“Lepasin, Buk!” teriak Bagus.
“Ndak, saya ndak akan melepasmu, Bocah! Saya akan mengantarmu pulang sampai selamat. Aaaargghhhhh!!” Gayatri menjerit ketika mendadak Bagus menggigit pergelangan tangannya. Spontan dia melepas gandengannya di pergelangan tangan bocah itu.
Bagus segera berlari kencang. Malang tak dapat dihindar, untung tak dapat diraih, Bagus tersandung batu dan terjatuh ke jalan. Kakinya lecet tergores aspal.
“Ya Allah, Bagus! Kakimu luka.”
Gayatri membersihkan luka di kaki Bagus dengan tisu basah, lalu memasang handyplast di lutut anak itu.
“Perih, Buk.”
“Sabar ya, Nak. Bisa jalan toh?”
Bagus menggeleng. “Ndak mau. Perih. Salah Ibuk, tadi maksa aku jalan. Sekarang Ibuk mesti tanggung jawab. Kata Bapak siapa yang salah, dia harus bertanggung-jawab. Itu baru lakik!”
“Bagus, kamu lupa? Ibu bukan lakik! Jadi Ibu ndak harus tanggung jawab toh?” ledek Gayatri.
Bagus spontan merengut kesal.
==== >(*~*)< ====
Dengan tergopoh-gopoh Ujang membukakan pintu mobil majikannya, wajahnya berubah pasi melihat didalam mobil hanya ada Pak Bagas.
“Waduh Tuan, maaf. Saya ndak jemput Den Bagus. Saya pikir dia pulang bersama Tuan.”
Dahi Bagas berkerut dalam. “Apa saya bilang akan menjemput Bagus pulang sekolah?”
Ujang menggeleng frustasi. “Ndak Tuan. Den Bagus yang mengatakan begitu pada saya. Maaf, saya ndak menanyakan pada Tuan. Lalu bagaimana sekarang, Tuan? Saya atau Tuan yang menjemput Den Bagus?”
Bagas mendengus kesal. Baru pulang kerja, pembantunya sudah menambah kerjaan baru baginya. Terpaksa dia harus menjemput anaknya ke sekolah.
“Loh, itu Den Bagus pulang. Digendong Mbak sebelah.”
Pemberitahuan Ujang spontan membuat Bagas menoleh cepat. Matanya membulat melihat Gayatri nampak kepayahan menggendong Bagus di punggungnya sementara anaknya tertidur pulas sembari memeluk bahu gadis itu. Dengan cepat Bagas melesat mendekati mereka, dia segera memeluk tubuh Gayatri yang oleng karena kecapekan membawa beban hidup seberat hampir 30 kilo di punggungnya.
Deg!
Jantung Gayatri berdegup kencang menyadari posisi intim mereka. Dengan wajah merah padam, ia mendongak menatap pemeluknya. Tindakannya salah, menyebabkan wajah mereka berdekatan, dengan hidung saling menyentuh. Gayatri baru tahu manik mata si duda jutek ini berwarna abu.
“Abunya indah,” gumam Gayatri tak sadar.
“Apa?!” dengus Bagas kesal. Dia berpikir Gayatri modus padanya, seperti yang sering dilakukan wanita di kampung sebelah. Kampung Janda.
“Pakaian Bapak, abunya indah,” ralat Gayatri kikuk. Astaga, sedetik kemudian dia baru menyadari. Bagas mengenakan hem berwarna biru laut dan celana hitam. Abu darimana?
“Apa mata kamu X-ray?” sinis Bagas.
“Maaf ... ?” tanya Gayatri tak paham.
“Yang abu hanya pakaian dalam saya,” jawab Bagas datar.
Jiahhhhhhhhh, buat apa toh bapak tak tahu diri ini mengumbar masalah dalaman?! Gayatri sampai syok, nyaris menjatuhkan Bagus kalau tak segera diambil alih oleh Bagas. Otomatis pelukannya pada Gayatri terurai dengan sendirinya.
“Kamu nyaris menjatuhkan anak saya, apa luka di lututnya juga karena ulah kamu?” ketus Bagas.
Minta disambel kok mulut duda jutek ini, nuduh orang sembarangan!
“Maaf, Pak. Bagus tadi jatuh saat mau saya gandeng. Secara ndak langsung itu karena ajaran salah Bapak yang menegaskan padanya bahwa anak lelaki ndak boleh digandeng wanita!” Gayatri balas menyindir.
“Salah? Itu benar, kami ditakdirkan menggandeng, bukan digandeng!”
Gayatri malas mendebatnya, diam-diam dia mencibir sinis. Tapi ketahuan Bagas yang sempat melirik dengan ekor matanya. Perempuan menyebalkan, pikir Bagas kesal.
“Permisi, Pak. Saya pulang dulu, sudah ndak ada yang perlu saya kerjakan disini,” pamit Gayatri.
Tanpa menunggu jawaban si empunya rumah, dia melangkah pergi. Tapi Bagas menahan tangannya.
“Ada apa lagi, Pak?!” ucap Gayatri menahan geram. Bapak sama anak sama saja, membuang waktunya yang seharusnya dimanfaatkan Gayatri untuk bertemu Pak Dani si duda ganteng.
“Kamu harus tanggung jawab, anak ini begini karena ulahmu!”
Yang perlu tanggung jawab cuma lelaki toh? Ingin Gayatri menyindir seperti itu, tapi malas karena bisa memancing perdebatan unfaedah dengan pria jutek yang sialnya tampan sekali ini.
“Saya harus bagaimana, Pak?”
“Rawat lukanya, dan rawat dia sebelum ditidurkan lagi.”
“Trus ndak sekalian minta saya mendongengkan Bagus dan menidurkannya lagi?” sindir Gayatri.
“Sudah seharusnya gitu toh.”
Lalu apa bedanya Gayatri dengan pembantunya?
Ingin sekali Gayatri menjitak ubun-ubun Bagas, biar tahu diri dikit! Tapi dia takut kualat. Bagaimanapun pria itu lebih tua darinya. Jadi dia cuma bisa menghela napas panjang.
Alamat batal rencananya mengunjungi Pak Dani, si duda ganteng.
Sudah dandan demi bertemu duda ganteng, akhirnya dia terdampar dan diperbabukan di rumah si duda jutek.
Apes ...
==== >(*~*)< ====
6. Salah Kaprah
Apakah masih keburu?
Gayatri melirik jam tangannya. Pukul 16.00. Sudah sore. Apa masih layak dia berkunjung ke rumah Pak Dani?
Salahnya sendiri, setelah menidurkan Bagus dia ikut tertidur di ranjang empuk bocah itu.
Enak sih, sejuk karena ada AC di kamar bocah ini. Di rumah sementara Gayatri hanya ada kipas angin yang berputar enggan. Bunyinya ngik-ngik. Bukan ngik-ngok, kalau itu bunyi musik pengiring penjual rambut nenek. Hehehe ...
Meski hawa di kampung ini relatif sejuk, tetap saja di siang hari terasa gerah. Jadi wajar Gayatri terbuai di kamar Bagus yang nyaman dan sejuk.
"Waduh, enaknya piye toh? Apa ndak masalah aku kesana sekarang?" Gumam Gayatri lirih.
Ia tak menyangka ada yang menimpali, dari seseorang yang duduk di pojok ruangan.
"Tergantung kesana itu kemana!"
Berjengkit kaget, Gayatri menoleh pada sosok yang tengah membaca buku setebal kitab di tangannya.
"Aduh, Bapak!! Ndak elok sampean diam-diam duduk mojok, mengintai gadis tidur," omel Gayatri spontan.
Kening Bagas mengerut mendengarnya.
"Salah? Yang benar saja! Pertama, ini rumah saya. Terserah saya duduk dimana saja. Kedua, ini bukan kamarmu. Saya bebas toh mengunjungi kamar anak saya. Dan saya ndak mengintai kamu tidur! Sedari tadi saya sibuk memeriksa laporan keuangan akunting saya."
Laporan keuangan saja setebal itu! Pasti bejibun aset yang harus di laporkan. Kasihan akunting duda jutek ini, batin Gayatri prihatin.
"Maaf, Pak. Saya yang salah, tertidur di ranjang Bagus. Tapi mengapa Bapak ndak membangunkan saya?" Cetus Gayatri heran.
"Apa itu tugas saya?" Sindir Bagas.
Gayatri malas mendebatnya, mending dia pulang. Mungkin masih sempat mampir ke rumah Pak Dani.
Mampir?
Dia lupa, rumahnya di sebelah rumah Pak Bagas. Tinggal berapa langkah sampailah ia di rumahnya.
Gayatri jadi bimbang.
Pulang atau ke rumah si duda ganteng? Belum sempat ia memutuskannya, ada yang mengetuk pintu kamar Bagas.
Tok. Tok. Tok.
"Tuan, ada tamu. Bu Mumuk datang, mengantar rantang masakan." Terdengar suara cempreng Ujang dari luar kamar.
Wajah Bagas berubah muram.
"Perempuan itu! Berani sekali dia datang kemari!" Ujarnya gusar.
Bagas membuka pintu kamar, hendak menolak kedatangan tamu tak diharapkannya.
"Jang, kamu bilang padanya kalau saya ndak ..."
"Ndak apa, Mas? Adik disini kok, Mas bisa sampaikan sendiri sama saya toh?" Potong Bu Mumuk kenes. Dia perempuan bertubuh sedikit montok dengan wajah manis yang dipoles make-up sedikit menor.
Mata Bagas membelalak lebar menyaksikan perempuan yang selalu mengejarnya telah ada di depannya. Dia mendelik pada Ujang yang dianggapnya lalai menjaga kedaulatan rumahnya.
Ujang, si duda abg itu mengangkat bahunya dengan ekspresi memelas.
Lah, tamunya yang nekat menguntit di belakangnya kok.
Bsgas kehilangan akal warasnya menghadapi perempuan buldozer ini. Dia sudah memakai segala cara mengusir perempuan ndak tahu diri itu dari hidupnya, harus pakai upaya lagi?!
Tengah memikirkannya, mendadak telinganya menangkap bunyi kentut didalam kamar, disusul aroma semerbak khas pete yang sudah terkontaminasi.
Bagas tersenyum geli, dia sontak mendapat ide cemerlang. Dibukanya pintu kamar selebar mungkin.
"Aduh, Yang. Bau kentutmu menyebarkan aroma surgawi. Mas suka saja, tapi kasihan anak kita yang sedang tidur." Bagas berkata geli, dengan tangan mengibas-ngibas didepan wajah tampannya.
Gayatri yang mengeluarkan aroma surgawi itu jadi salah tingkah. Dan sangat keheranan.
Pak Bagas sedang korslet toh? Sekonyong-konyong memanggil 'Yang' dan menyebut Bagus sebagai anak kita.
Aduh, jangan-jangan ia melihat penampakan almarhumah istrinya. Dan mengira yang kentut itu hantu istrinya!
Gayatri tak tahu mantan istri Pak Bagas itu minggat, bukan koit! Dan dia lupa hantu tak bisa kentut lagi
Dengan polosnya dia mengaku, "Maaf Pak, yang kentut itu saya. Bukan ... "
"Saya tahu, Yang. Mas hapal bau kentutmu, dan segalanya tentang dirimu."
Pak Bagas waras? Kini pria itu menatapnya mesra, hingga Gayatri bergidik ngeri.
Dan ia semakin syok begitu menyadari kehadiran sesosok wanita berusia awal 30-an yang menatapnya sengit.
Salahnya apa toh? Wanita itu membawa rantang. Apa dia lupa telah memesan makanan? Pikir Gayatri polos.
"Pak, itu siapa?"
"Oh, dia Bu Mumuk. Dari kampung sebelah. Kampung Janda. Dia membawakan masakan buat kita."
Kita? Dahi Gayatri mengerut mendengar kata itu. Sejak kapan dia dan Pak Bagas berubah menjadi 'kita'?
"Bu, terima kasih atas niat baiknya. Tapi terpaksa saya menolaknya, saya ndak mau calon istri saya cemburu. Lagipula, saya hanya suka masakan Dik Gaya. Iya toh, Yang?"
Gayatri melongo.
Bagas memaksa diri bersikap mesra dan bahagia.
Bu Mumuk mendadak suntuk bin kesal.
Bagus masih tertidur lelap di ranjangnya.
Dan ... Ujang garuk-garuk kepalanya yang kebetulan memang sedang gatal. Lah, bingung. Bagaimana bisa status Bu Guru mendadak berubah, dari tamu menjadi calon istri? Apa ada sesuatu yang terjadi di balik kamar ini?
Demikianlah pikiran beragam orang-orang didalam rumah Bagas, si duda jutek yang sore ini menciptakan kejadian salah kaprah.
==== >(~)< ====
Gosip menyebar lebih cepat dibandingkan pergerakan bumi mengitari matahari. Tak sampai sehari, berita Pak Bagas yang telah memiliki calon istri santer terdengar kemana-mana.
Termasuk di sekolah tempat Gayatri mengajar.
"Bener toh, Jo? Kowe ndak salah dengar?" Tanya Pak Paijo pada Pak Bejo, sang guru olahraga. Mereka sedang merumpi sambil menunggu pesanan bubur ayam mereka disiapkan Pak Untung. Tukang bubur yang digosipkan naik haji.
"Saya mendengarnya langsung dari saksi mata langsung, Pak. Dia ada di TKP. Mereka sudah tidur sekamar," bisik Bejo.
Mata Paijo membulat besar.
"Astagfirullah, hubungan mereka sudah sejauh itu toh. Harus segera dikawinkan, Jo! Sebelum menimbulkan zinah," geram Pak Paijo.
Bejo mengerutkan dahi heran. "Pak, kalau dikawinkan apa ndak membuat zinah toh?"
"Dinikahkan, maksud saya. Masa ngono ndak paham? Pak Bejo umur berapa toh?" Sindir Pak Paijo.
"Seminggu lagi, 40 tahun Pak. Usia matang-matangnya seorang pria," sahut Pak Bejo penuh arti.
"Maksudmu apa toh? Minta dikado?"
"Ya, kalau Bapak ndak keberatan," cengir Bejo.
"Saya juga, Pak. Ultah saya selisih dua hari dari Mas Bejo," celetuk Pak Untung polos. Dia adalah sepupu Pak Bejo, mereka sama-sama duda humoris.
"Ndak ada kado! Saya ndak mau pilih kasih pada warga kampung yang lain," tegas Pak Paijo diplomatis. Padahal aslinya pelit.
"Kembali ke masalah tadi. Siapa toh calon istri Pak Bagas?" Tanya Pak Paijo penasaran.
Pesanan bubur ayamnya sudah siap, dia sedang meniup bubur ayamnya supaya cepat dingin.
"Ya itu, Pak. Ndak terlalu jelas wajahnya. Saksi saya ndak bisa mengenalinya jelas, tapi Pak Bagas memanggilnya Dik Gaya."
Bertepatan Pak Bejo menginfokan hal itu, melintaslah Gayatri yang baru saja datang ke sekolah.
"Pagi Bapak-bapak," sapanya manis.
Tiga pria duda yang disapanya menjawab bersamaan dengan senyum sumringah.
"Pagi, Dik Tri."
Setelah Gayatri masuk kedalam sekolah, barulah mereka tersadar akan sesuatu.
"Apakah kalian memikirkan hal yang sama dengan saya?" Celetuk Pak Paijo antusias.
Pak Bejo dan Pak Untung mengangguk berjamaah.
"Apa Dik Tri itu ... " Pak Paijo menghela napas panjang, "diam-diam naksir saya?"
Etdah, ternyata itu toh yang ada di pikiran narsis Pak Paijo.
Terpaksa Bejo dan Untung mengiyakan, padahal dalam hati mereka membantahnya.
Gayatri adalah idola mereka bersama, biarkan ia bebas merdeka dulu supaya bisa dinikmati bersama-sama.
Hehehehe ....
==== >(~)< ====
Bersambung
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
