Moonlit 1: The Clawless Luna Wants Rejection Bab 1-7 (Free)

2
0
Deskripsi

Note: Cerita ini sudah tamat dengan total 37 bab yang dirangkum menjadi 7 bab besar di KaryaKarsa.

Genre: Romantis, Manusia Serigala, Fantasi, Dewasa (18+)

~

“Apa maksudmu, Mireya?”

Mireya berpaling. Ditatapnya Usher dengan tangan yang terangkat dan ia menuding Vione. “Dia, luna yang dihormati oleh para kawanan, adalah wanita rendahan. Dia telah mengkhianatimu, Usher. Dia menyelingkuhimu.”

Vione ternganga. Dilihatnya Mireya dengan sorot tak percaya. Ia geleng-geleng, lalu meringis. “Jadi, ini taktikmu...

Bab Satu

“Aku mencintai Alpha Usher Thorne.”

Vione Celestia Munest berdiri mematung. Ia bergeming dan tak mengatakan apa pun untuk pengakuan yang baru saja didengarnya. Lagi pula ia harus bereaksi seperti apa? Haruskah ia kembali menghabiskan tenaga seperti yang sudah-sudah sementara ia tahu bahwa itu adalah tindakan percuma?

Vione menyadarinya, Mireya Lark tak akan goyah. Mireya tak akan pernah pergi, tetapi begitu juga dengan dirinya.

“Mengapa kau diam saja, Vione? Apa kau tak mendengar apa yang baru saja kukatakan?”

Vione mengerjap. Pundak bergerak samar ketika ia menarik udara. “Memangnya apa yang kau harapkan akan aku katakan? Kau tidak berharap aku memberimu selamat bukan?”

Kali ini Mireya yang diam. Ditatapnya Vione dengan mata menyipit dan kedua tangan bersedekap di depan dada, lalu ia melangkah. Ia kelilingi Vione dengan kesan mencemooh.

“Aku tak memerlukan ucapan selamat darimu. Tak penting, tetapi aku pikir sepertinya ada yang mulai sadar diri.”

Vione memejamkan mata. Dihirupnya napas sedalam mungkin dan berharap di dalam hati, semoga saja percakapan memuakkan itu akan segera berakhir.

“Selamat? Ehm. Bukankah itu membuktikan kalau kau akhirnya bisa menerima kenyataan? Ternyata selama ini bukan kau yang bertakhta di hati Usher. Bukan kau, tetapi aku.”

Udara terperangkap di dada Vione. Gemuruh menggema di sana dan menerbitkan panas yang tak bisa dibendung.

“Cukup, Mireya.”

Mireya menyunggingkan senyum remeh. “Cukup?”

“Tak seharusnya kau bicara seperti itu padaku. Bagaimanapun juga kau harus ingat, Meriya,” lanjut Vione seraya membuka mata. Napas berembus perlahan dan tatapannya tertuju lurus ke depan. “Aku adalah lunamu.”

Senyum remeh Mireya menghilang. Langkah-langkah kecil yang sedari tadi mengitari Vione pun berhenti seketika. Ia tertegun, lalu memutuskan untuk menunggu tindakan Vione selanjutnya.

Namun, Vione tak melakukan apa-apa. Pun tak mengatakan apa-apa lagi. Ia justru beranjak meninggalkan Mireya.

Mireya mendengkus. Sesaat ia hanya memutar bola mata dengan ekspresi tak percaya. Vione pergi begitu saja?

Rasa tak terima membuat Mireya menyusul Vione. Ditahannya tangan Vione, lalu berkata.

“Kau bukan luna siapa-siapa, Vione. Sama seperti kau yang menyadari kalau hanya ada aku di hati Usher, seharusnya kau juga sadar kalau kau tak pernah menjadi luna yang sesungguhnya.”

Vione menguatkan diri. Ucapan Mireya membuat tubuhnya bergetar dalam usaha untuk menyangkal, tetapi semua itu sia-sia. Mireya lanjut menyudutkannya dengan semua cara.

“Kau tahu bukan? Satu-satunya alasan mengapa kau menjadi luna adalah karena ramalan sialan itu. Tanpa ramalan Ayla, mustahil sekali Usher ingin menjadikanmu luna. Kau adalah manusia serigala yang menyedihkan, Vione. Kau tak pantas menjadi pendamping Usher.”

Sepertinya Vione tak perlu diingatkan akan asal muasal ikatan yang terjalin antara dirinya dan Usher. Semua berkat ramalan sang tetua suci Kawanan, Ayla Crandall.

Tak sering terjadi dalam sejarah keberlangsungan Kawanan Frostholm selama ini di mana luna ditentukan berdasarkan sebuah ramalan. Menurut sejarah yang diwariskan dalam perpustakaan Kawanan, hal tersebut terjadi untuk terakhir kali sekitar 148 tahun lalu. Setelahnya alpha selalu menemukan luna dengan takdirnya sendiri.

Kejadian itu menggemparkan Kawanan. Beberapa kawanan menunjukkan keberatan, tetapi tak bisa berbuat apa-apa. Perkataan Ayla adalah hal mutlak yang harus dipatuhi, tak terkecuali oleh alpha.

Ayla sebagai pewaris posisi tetua suci meneruskan tugas penting dari tetua suci sebelumnya. Ia memimpin setiap upacara dan memberikan berkat pada semua keturunan manusia serigala yang lahir. Juga mengabarkan setiap ramalan yang ditunjukkan oleh alam padanya, termasuk dengan takdir pasangan Usher.

Tak sedikit yang menentang. Beberapa dari mereka meragukan ramalan Ayla. Namun, keluarga Thorne menunjukkan wibawanya. Mereka menerima ramalan tersebut dan memutuskan bahwa Vione adalah manusia serigala yang tepat untuk bersanding dengan Usher.

Sayangnya tidak demikian orang-orang memandang. Di mata mereka, Vione sangat tidak pantas menjadi luna. Ia tidak pantas menjadi pasangan Usher.

Vione menundukkan wajah. Dilihatnya genggaman Mireya dan dilepasnya dengan perlahan.

“Pantas atau tidak, nyatanya sekarang yang menjadi luna adalah aku. Bukan kau, Mireya.”

“Kau—”

“Terlepas siapa wanita yang bertakhta di hati Usher, nyatanya sekarang yang menjadi pasangannya adalah aku. Bukan kau, Mireya.”

Mireya memelototkan mata, terlebih karena sesaat kemudian Vione menyingkirkan genggamannya begitu saja.

“Aku tak peduli bagaimana orang-orang melihatku, tetapi aku adalah luna dan pasangan Usher. Sementara kau?”

Vione menatap Mireya tanpa sedikit emosi pun. Lagi pula untuk apa ia melelahkan hati untuk hal yang telah ia sadari? Anggap saja semua tak ada dan tanpa arti.

“Orang-orang hanya melihatmu sebagai simpanan Usher. Tak lebih dari itu.”

Mata Vione memejam seketika tepat ketika ia tuntas bicara. Tangan Mireya melayang dan mendarat di pipinya. Suara tamparan terdengar seiring dengan terhentaknya kepala Vione ke satu sisi.

Napas Mireya menggebu. Dada naik turun dan ditatapnya Vione dengan penuh murka.

“Apa yang kau katakan?”

Vione merasakan setitik asin timbul di sudut bibir, tetapi ia tak meringis. Ditahannya rasa sakit dan tersenyum.

“Kau ingin aku mengulanginya?” tanya Vione dengan nada mencemooh. “Apa kau yakin?”

Mireya tak menjawab, melainkan kembali mengangkat tangannya. Tamparan kedua siap mendarat di pipi Vione, tetapi gagal. Vione menangkap pergelangan tangannya di waktu tepat.

“Sepertinya kau tidak paham dengan kata-kataku tadi, Mireya. Aku adalah pasangan Usher. Suka atau tidak, aku adalah luna. Jadi jaga sikapmu.”

Mireya mendengkus seraya berusaha menarik tangannya. “Jaga sikapku? Jangan bermimpi, Vione. Kau tak pernah menjadi luna siapa-siapa. Seharusnya kau becermin, kau tak pantas menjadi luna. Kau harus sadar diri. Kau hanyalah seorang manusia serigala yang terbuang tanpa keluarga, seorang manusia serigala yang hidup tanpa cakar.”

Ditakdirkan menjadi luna bukanlah hal buruk. Namun, terlahir tanpa asal-usul yang jelas dan tak memiliki cakar adalah malapetaka untuk Vione. Sampai detik ini, ia menyadari bahwa dua hal itulah yang membuat hidupnya tak ubah berada di neraka.

Vione mencoba untuk menabahkan hati. Diangkatnya dagu tinggi-tinggi demi membangun kamuflase yang selama ini berhasil menegakkan kedua kakinya.

“Jadi bayangkan ini, Mireya. Bahkan dengan adanya keluarga dan cakar, kau tetap tak bisa menyaingiku.”

Wajah Mireya semakin mengeras. Balasan Vione semakin membakar amarahnya. Ia tak lagi bisa menahan diri, tetapi sesuatu tertangkap oleh sudut matanya ketika ia akan membalas Vione.

“Lepaskan aku, Vione! Kau menyakitiku!”

Vione mengerutkan dahi. “Apa maksudmu?”

Perubahan sikap Mireya membuat Vione kebingungan. Dilihatnya Mireya dengan sorot tak mengerti dan mendadak saja satu bentakan menggelegar.

“Vione! Apa yang kau lakukan pada Mireya?!”

Vione tersentak bukan hanya karena bentakan tersebut, melainkan juga akibat sentakan yang membuat ia terhempas beberapa langkah ke belakang. Beruntung, ia cukup sigap sehingga tak terjungkang.

“Usher.”

Nanar mata Vione menyaksikan pemandangan itu. Dengan mata kepalanya sendiri, dilihatnya Usher menghampiri Mireya dan memeriksa pergelangan tangannya.

Vione melongo tak percaya. Bisa-bisanya Mireya melakukan sandiwara murahan seperti itu?

“Kau tak apa-apa, Mireya? Apa ada yang terluka?”

Mireya menggeleng selagi Usher memeriksa keadaannya. “Tidak, Usher. Aku tidak apa-apa. Terima kasih.”

“Syukurlah kalau begitu,” ujar Usher seraya berpaling tanpa melepaskan Mireya. Ia pastikan Mireya untuk tetap berdiri tepat di sebelahnya, lalu menatap tajam pada Vione. “Apa-apaan ini, Vione? Kau pikir apa yang kau lakukan pada Mireya?”

Vione bisa melihat sorot mengejek diberikan oleh Mireya. Pun Mireya tersenyum seolah memberikan isyarat padanya bahwa tak ada yang bisa ia lakukan. Semua sudah jelas. Bagi Usher, ia sama sekali tak berarti apa-apa.

“Apa yang aku lakukan pada Mireya?” ulang Vione dengan lirih. Wajah tampak tanpa ekspresi, ia menggigit bibir bawah. “Seharusnya kau tanyakan itu pada gundikmu, Usher. Apa yang sudah dilakukannya padaku?”

Mata Usher membesar. Mireya pun terkesiap ketika Vione mengatainya dengan kata rendahan. Agaknya mereka sama-sama tak mengira kalau Vione akan membalas.

“Dia, Usher. Dia yang telah menamparku. Dia juga mengatakan kalau aku tak pantas menjadi lunamu.”

Usher bisa melihat jejak merah yang tercetak di pipi putih Vione dan itu disadari pula oleh Mireya. Ia menunggu sembari bertanya di dalam hati, apa yang akan dilakukan Usher selanjutnya?

“Melihat dari sikapmu, mungkin yang dikatakan oleh Mireya memang benar.”

Vione tertegun sementara kelegaan menyeruak di dada Mireya.

“Sikapmu benar-benar tidak mencerminkan luna yang sesungguhnya.”

“Tidak mencerminkan luna yang sesungguhnya? Oh, astaga, Usher.” Vione terkekeh ironis seraya menggeleng berulang kali. “Bisa kau jelaskan bagaimana luna yang sesungguhnya itu? Apakah dia adalah wanita yang sukarela melihat gundik suaminya menginjakkan kaki di rumah mereka?”

Usher menggertakkan rahang. “Jaga ucapanmu, Vione.”

“Kau pun harus menjaga perilakumu, Usher.”

“Vione!”

Vione tak sempat berkedip ketika Usher melangkah dan tiba-tiba saja sudah berdiri di hadapannya. Ia terkejut, tetapi tak berlangsung lama. Usher segera menyambar lehernya dan membuat ia tak bisa bernapas.

“U-Usher.”

Kedua tangan Vione naik. Ia berusaha melepaskan tangan Usher dari lehernya. Namun, tenaga alpha tak akan pernah menjadi tandingannya.

“U-Usher, lepaskan aku. Aku tak bisa bernapas.”

Wajah keras Usher mengisyaratkan bahwa ia tak goyah dengan permohonan Vione. Ia bergeming dan jari-jari besarnya meremas.

Vione semakin kesulitan. Paru-parunya berontak dan rasa sakit mulai menjalari sekujur tubuh.

“U-Usher.”

“Seharusnya kau menjaga sikapmu, Vione. Jangan pikir dirimu istimewa hanya karena kita berpasangan. Kau jelas tahu, semua ini terjadi hanya karena ramalan sialan itu.”

Vione tak bisa membalas perkataan Usher lagi. Ia megap-megap dan matanya mulai kehilangan fokus.

Air mata mulai merembes. Mulut semakin menganga lebar dan pandangannya mulai kabur.

Apakah ini akan menjadi akhir hidupku? Apakah kesabaranku akan selesai sampai di sini?

Vione memejamkan mata. Dalam hati, dirutukinya diri sendiri. Seharusnya ia pergi dari dulu. Seharusnya ia tak patuh dengan ramalan Ayla. Seharusnya ia abaikan saja kepentingan Kawanan. Lagi pula benar kata mereka.

Seharusnya aku sadar diri. Aku memang tak pantas.

Di detik-detik terakhir ketika Vione pikir napasnya akan putus, Usher melepaskannya. Ia terjatuh di lantai dan buru-buru menarik udara, ia masih hidup.

“Ini peringatan terakhir untukmu, Vione. Sentuh lagi Mireya, sedikit saja, maka kau akan menanggung akibatnya.”

*


Bab Dua

Vione pasti salah mendengar. Mungkin juga Usher salah berucap. Lagi pula bagaimana mungkin seorang alpha mengancam lunanya sendiri di hadapan selingkuhannya?

Itu bukan memalukan, tetapi menyedihkan. Bahkan tamparan Mireya tak sebanding dengan kenyataan yang baru saja menohoknya.

Benar. Di mata Usher, hanya ada Mireya. Vione tak pernah berarti apa-apa. Persis yang dikatakan oleh orang-orang, ia hanyalah seorang manusia serigala yang tak bernilai apa-apa. Ia adalah luna yang tak berharga.

Jadilah pandangan Vione kabur oleh genangan air mata. Di sela-sela usahanya dalam mengatur napas, dilihatnya Usher yang beranjak meninggalkan dirinya demi kembali merengkuh Mireya.

Mereka tampak serasi. Sama-sama gagah dan cantik. Keduanya tak ubah dewa-dewi yang memang sepatutnya bersama.

“Usher, apa tindakanmu tidak sedikit keterlaluan? Lihatlah Vione. Tampaknya dia benar-benar kesakitan.”

Usher berpaling dan melihat Vione seraya mendengkus. Tatapannya mencemooh dan amat merendahkan.

“Kupikir malah sebaliknya. Hukuman itu belum cukup setimpal dengan perbuatan yang telah dilakukannya padamu.”

Vione berusaha bangkit dengan susah payah. Digigitnya bibir bawah kuat-kuat sementara tangan mengepal kuat. Perih hatinya sudah tak bisa diungkapkan dengan kata-kata lagi, tetapi ia mencoba untuk bertahan dengan seluruh tenaga yang tersisa.

“Kau benar-benar keterluan, Usher.”

Usher tak memedulikan Vione. Ia abaikan perkataan Vione ketika lebih memilih menaruh perhatian pada Mireya. Didekapnya Mireya dan dibiarkannya Mireya mendaratkan kepala di dadanya yang bidang, lalu ia membelainya.

Vione tak bisa bertahan lagi. Sisa tenaganya benar-benar tak mengizinkannya untuk bisa berdiri lebih lama dari itu. Jadi ia putuskan untuk pergi secepat mungkin sebelum Usher dan Mireya semakin merendahkan dirinya.

“Kau sungguh tak punya hati, Usher.”

Itulah kalimat terakhir yang Vione lirihkan sebelum benar-benar angkat kaki dari sana. Ia melangkah sembari menguatkan hati ketika menyadari bahwa keadaannya yang menyedihkan tak cukup untuk menyentuh rasa iba Usher.

Tubuh gemetar. Kaki Vione mulai goyah. Ia nyaris tersungkur ketika berhasil keluar dari aula Istana. Namun, ia bersyukur. Setidaknya ia keluar dari sana di waktu tepat, yaitu ketika Usher mulai mencium Mireya dan menimbulkan decakan yang memekakkan telinga.

Vione bertahan di dinding untuk sejenak. Dihirupnya udara sebanyak mungkin sembari memejamkan mata. Ia menabahkan hati dan lalu kembali melangkah sebelum ada yang melihatnya dalam keadaan memalukan seperti itu.

Tiba di kamar, pertahanan Vione benar-benar runtuh. Tubuhnya benar-benar lunglai dan ia terjatuh di atas tempat tidur. Air mata yang sedari tadi ditahannya pun luruh.

Vione meremas seprai. Ditahannya luapan untuk menjeritkan semua sakit di dalam hati karena tak ingin Usher dan Mireya mendengarnya, mereka pasti akan tertawa.

Namun, sakit ini sungguh menyiksa. Dada terasa sesak dan Vione pikir dirinya akan benar-benar meledak.

Vione meratap. Di antara semua sedih dan rasa tak terima, satu tanya menggema di dalam benaknya. Mengapa harus ia yang mengalami itu semua?

Seharusnya takdir tidak sekejam ini. Seharusnya takdir tidak memberikan kesedihan bertubi-tubi.

Tak cukup lahir tanpa asal-usul dan tak memiliki cakar, Vione pun harus kehilangan harga diri dengan perilaku Usher. Ia benar-benar direndahkan hingga titik terendah yang tak pernah ia bayangkan selama ini.

Bagaimana mungkin, Usher? Bagaimana mungkin kau melakukan ini padaku?

*

“Aku benar-benar tak mengira kalau Vione akan bertindak kasar padamu, Mireya. Maafkan aku.”

Mireya tersenyum. Dilihatnya Usher yang berulang kali memeriksa pergelangan tangannya, memastikan bahwa ia benar-benar tak terluka.

“Mengapa harus kau yang meminta maaf? Bukan kau yang salah, Usher. Ini adalah salah Vione dan mungkin juga salahku.”

Usher selesai memeriksa pergelangan tangan Mireya. “Salahmu?”

“Ya,” jawab Mireya mengangguk. Dipasangnya ekspresi merasa bersalah. “Seharusnya aku tak datang ke Istana. Pada akhirnya kerinduanku malah membuatku bertemu dengan Vione.”

Ada satu hal menarik yang membuat Usher tersenyum. Diraihnya tengkuk Mireya dan dilumatnya bibir Mireya.

“Kalau kau merindukanku, seharusnya kau menghubungiku. Biar aku yang datang ke rumahmu.”

Mimik Mireya berubah menjadi manja. Ia menggeleng, lalu berkata. “Aku sengaja datang ke sini karena ingin memberimu kejutan.”

“Rencanamu berhasil,” sambar Usher dengan mata menyipit. Ditunjukkannya pergelangan tangan Mireya yang sedikit memerah. “Aku benar-benar terkejut dan kalau aku sampai datang terlambat, entah apa yang akan dilakukan oleh Vione padamu.”

“Jangan marah, Usher. Kau tau aku melakukannya karena aku merindukanmu. Lagi pula aku tak mengira, ternyata Vione bisa bertindak seperti itu.”

Usher membuang napas panjang. Disandarkannya punggung ke sofa, lalu ditariknya tubuh Mireya. Ia merengkuh dan ibu jarinya mulai membelai Mireya.

“Aku pun tak mengira kalau Vione akan bertindak seperti itu. Selama ini ia tak pernah bersikap kasar pada siapa pun.”

Di dalam dekapan Usher, Mireya tampak nyaman. “Kau melihatnya sendiri dengan kedua matamu, Usher. Dia menggenggam tanganku dengan sangat kuat. Dia menyakitiku. Entah apa yang akan dilakukannya kalau kau tak datang tepat waktu.”

Usher mengangguk tanpa kata. Ia membenarkan perkataan Mireya dan merasa bersyukur, untunglah urusannya di perkebunan bisa selesai lebih cepat dari yang seharusnya. Ia tak bisa membayangkan apa yang akan terjadi bila pulang terlambat.

“Kurasa ini adalah hubungannya dengan ramalan Ayla.”

Usher mengerjap. “Ramalan Ayla?”

“Ya, ramalan Ayla. Dia bisa menjadi lunamu karena ramalan itu. Jadi tentu saja itu membuatnya besar kepala. Dia jadi merasa istimewa.”

“Istimewa?” Usher mendengkus seraya menggeleng. Samar, kekehannya pun terdengar. “Dia tak akan pernah menjadi sesuatu yang istimewa. Kau lihat saja. Hidupnya benar-benar menyedihkan.”

Senyum penuh arti mengembang di wajah cantik Mireya. Tangannya naik dan mengusap dada Usher. “Istimewa atau tidak. Menyedihkan atau tidak. Nyatanya aku dan dia tak berbeda jauh.”

“Apa maksudmu? Mengapa kau membandingkan diri dengan Vione?”

“Aku tidak bermaksud untuk membandingkan diri dengan Vione, tetapi itulah yang terjadi,” lanjut Mireya seraya membuang napas. Sikapnya seolah menyiratkan lelah walau sebenarnya tanpa terlihat oleh Usher, ia tersenyum dengan makin lebar. “Bagaimanapun juga Vione adalah lunamu. Jadi di mata orang-orang, akulah sebenarnya yang menyedihkan, Usher. Aku terus mencintaimu sementara Vione yang memiliki dirimu.”

“Mireya.”

Suara Usher naik. Rengkuhan santainya pada Mireya hilang sudah. Ia ciptakan jarak secukupnya demi melihat ekspresi sedih yang telah tercetak di wajah Mireya.

“Apa yang kau katakan?”

Mireya tersenyum, tetapi kali ini ia pasang senyum perih. “Aku mengatakan yang sebenarnya, Usher. Aku memang menyedihkan karena mencintai pria yang telah memiliki pasangannya. Apalagi karena pasangannya itu telah ditetapkan langsung oleh Dewi Bulan dan direstui oleh semua kawanan. Benar bukan?”

“Tidak. Jangan pernah mengatakan dirimu menyedihkan, Mireya. Kau tahu aku mencintaimu bukan?”

Mireya tak menjawab. Ia hanya diam dengan sorot tak berdaya yang terus menatap Usher.

“Mireya.”

Mireya mengangguk lesu. “Aku tahu, Usher. Aku tahu kau mencintaiku.”

Jawaban Mireya tak melegakan Usher. Sebaliknya, ia malah makin gusar. Ia tak suka melihat Mireya meratap dan memandang rendah dirinya sendiri.

“Persetan dengan ramalan itu, Mireya. Semuanya tak berarti apa-apa dibandingkan dengan cintaku padamu.”

“Bagimu begitu, tetapi bagaimana dengan yang lainnya? Kau tidak tahu bukan? Bahkan Vione tadi merendahkanku.”

“Apa maksudmu? Apa yang Vione katakan padamu?”

Kembali, Mireya tak menjawab. Ia malah berpaling ke arah lain, menghindari tatapan Usher. “Sudahlah. Kau tak perlu tahu. Mungkin cintamu hanya sebatas menjadikanku sebagai gundikmu saja.”

Usher tertegun. Diresapinya kata demi kata yang Mireya ucapkan, lalu wajahnya pun berubah. Rahang mengeras dan urat mulai menunjukkan wujud di dahi.

“Vione mengatakan itu padamu?”

Mireya hanya membuang napas tanpa menjawab.

“Mireya, jawab pertanyaanku. Apakah Vione mengatakan itu padamu?”

Mata Mireya memejam dramatis untuk sesaat, lantas mengangguk. “Ya, dia mengatakan itu padaku, Usher.”

“Sialan.”

“Sialan? Tidak, Usher. Seharusnya kau tahu apa saja yang dia katakan padaku. Sialan tak cukup untuk mengumpatinya.”

“Katakan padaku, Mireya. Apa saja yang dikatakan oleh Vione padamu?”

Usher meraih dagu Mireya. Ditatapnya Mireya seolah memberi isyarat bahwa sudah sepatutnya Mireya jujur kepadanya.

“Baiklah, Usher. Aku akan mengatakan semua yang terjadi tadi.”

Berwajah sedih. Sorot mata tampak layu. Tak sulit untuk Mireya memutarbalikkan fakta yang terjadi. Dikatakanlah olehnya bahwa Vione melarangnya untuk bertemu dengan Usher.

Tak hanya itu. Berbekal kenyataan bahwa Usher datang di waktu yang tepat, Mireya pun menambahkan beberapa elemen dramatis.

Usher mendengar semua dengan menahan napas. Darahnya mendidih. Kemarahannya bergejolak dalam raungan tak terima.

“Di antara itu semua, ada satu hal yang membuatku sangat terluka, Usher.”

“Katakan padaku, Mireya.”

“Dia mengatakan kalau aku tetap tak bisa menyainginya, terlepas dari aku yang memiliki keluarga dan cakar. Dia tetap menjadi pemilikmu dan aku hanya wanita simpananmu.”

Sepertinya itu adalah satu-satunya kebenaran yang dikatakan oleh Mireya. Namun, ia mengatakannya dengan cara berbeda sehingga Usher menangkap dengan makna yang berbeda pula.

“Berani-beraninya Vione mengatakan itu padamu. Aku tak akan memaafkannya.”

Mireya mengusap dada Usher, mencoba untuk meredakan amarahnya. “Sudahlah, Usher. Lagi pula yang dikatakan oleh Vione memang benar. Aku mencintaimu. Kau pun mencintaiku. Sayangnya aku memang tak lebih dari sebatas wanita simpananmu.”

“Mireya, jangan ucapkan itu.”

“Lalu apa, Usher? Semua tak akan berubah walau aku tak mengucapkannya. Kenyataannya tak akan berubah. Aku tetap hanya sebatas wanita simpananmu sementara Vione?” Mireya memejamkan mata dengan ekspresi terluka. “Dialah yang menjadi lunamu.”

 Kembali mendengar hal serupa dilontarkan oleh Mireya membuat Usher kian gusar. Diraihnya wajah Mireya, ditangkupnya. Ia bawa tatapan Mireya untuk tertuju lurus pada tatapannya.

“Lihat aku, Mireya,” perintah Usher. Tak berkedip, ia tampilkan keteguhan tak terbantahkan. “Aku mencintaimu. Persetan dengan ramalan Ayla atau restu para kawanan. Di hatiku, hanya ada kau seorang.”

Sesaat, Mireya tak mengatakan apa-apa. Dibalasnya tatapan Usher seraya tersenyum perih.

“Aku tahu, Usher.”

Ucapan Mireya tak menenangkan gejolak Usher. Ia menggeram.

“Aku akan melakukan apa pun untukmu, Mireya. Aku hanya mencintaimu.”

Mireya mengangguk. “Aku tahu, Usher.”

“Katakan padaku, apa yang harus aku lakukan agar kau mempercayaiku? Semua akan aku lakukan agar kau tak bersedih lagi.”

Tangan Mireya naik dan memegang pergelangan tangan Usher. “Semua?”

“Semua,” angguk Usher yakin. “Apa pun itu. Semua akan aku lakukan.”

Semua. Mireya bisa merasakan keteguhan dan keyakinan Usher. Jadilah ia tak ragu untuk memberikan yang Usher mau, yaitu jawaban untuk apa yang diinginkannya.

“Termasuk dengan memutuskan hubungan berpasangan dengan Vione?”

*


Bab Tiga

“A-apa?” Usher mengerjap. “Memutuskan hubungan berpasangan dengan Vione?”

“Mengapa? Kau tidak ingin melakukannya?”

Usher tak menjawab dan Mireya langsung melepaskan diri. Ia beranjak sementara Usher tampak kebingungan.

“Sepertinya apa yang dikatakan oleh Vione memang benar. Di matamu, aku tak lebih dari sekadar wanita simpanan.”

“Mireya.”

Usher buru-buru bangkit dan meraih tangan Mireya. Digenggamnya Mireya sehingga wanita itu tak bisa terus melangkah.

“Usher, lepaskan aku.”

Usher menggeleng. “Tidak.”

“Kau jangan egois, Usher. Kau tidak ingin melepaskanku, tetapi juga tak ingin melepaskan Vione? Apa kau ingin memiliki kami berdua?”

Tudingan Mireya membuat Usher tak bisa berkata apa-apa. Ia terdiam sementara Mireya berusaha menarik lepas tangannya.

“Aku bukan egois, tetapi ….”

Ucapan Usher menggantung di udara. Ditariknya napas, lalu kebingungan itu membuatnya mengerutkan dahi.

Ada sesuatu yang tak tepat di sini. Ada sesuatu yang salah dan Usher bisa merasakannya. Namun, apa?

“Tetapi apa, Usher?”

Dalam sekali sentakan yang tak seberapa, Mireya berhasil melepaskan tangannya dari genggaman Usher. Namun, ia tak beranjak ataupun pergi seperti dugaan Usher sebelumnya. Alih-alih ia justru menghadapi Usher.

“Katakan padaku. Tetapi apa?” desak Mireya dengan berapi-api. “Tetapi kau tidak ingin melepaskan Vione?”

Usher menggeleng. “Bukan begitu, Mireya.”

“Lalu apa?” Mireya mundur selangkah ketika Usher mendekat. Ia menepis tangan Usher yang ingin meraihnya. “Apa sebenarnya kau memang mencintai Vione?”

Bola mata Usher membesar. Mulut membuka, tetapi ia merasakan sesuatu yang janggal ketika ingin membantah tudingan Mireya.

Tidak. Aku tidak mencintai Vione. Aku tidak—argh!

Usher memejamkan mata. Tiba-tiba saja ada beban berat tak kasat mata yang seolah menimpa kepalanya. Ia berkunang-kunang dalam rasa nyeri yang berdenyut hebat.

Geraman sakit Usher mengejutkan Mireya. Dihampirinya Usher seraya bertanya.

“Usher, ada apa?”

Usher bertahan dengan satu tangan yang memegang kepala, kembali menggeram. “Kepalaku, Mireya. Kepalaku sakit.”

Bola mata Mireya membesar. Rasa panik tercetak nyata di wajahnya dan ia buru-buru mengajak Usher untuk duduk.

“Sebentar, Usher. Aku akan mengambilkan obat untukmu.”

Usher mengabaikan Mireya. Ia berkutat dengan nyeri yang semakin menjadi-jadi. Rasanya sungguh menyiksa sehingga ia terpaksa meremas rambut dengan kedua tangan.

“Bertahanlah, Usher.”

Mireya menyiapkan teh dengan cepat, lalu mengambil sebutir obat pereda nyeri dari laci nakas. Setelahnya ia membantu Usher untuk meminum obat tersebut.

“Tenanglah. Sebentar lagi sakitnya akan pergi.”

Mireya menaruh cangkir teh yang telah kosong di atas meja, lalu mengajak Usher untuk pindah ke tempat tidur. Diselimutinya Usher dan ia berkata.

“Istirahatlah. Aku akan menjagamu di sini. Kalau ada yang kau butuhkan, katakan padaku.”

Usher hanya mengangguk sekali dan Mireya tak mengatakan apa-apa lagi. Suasana berubah jadi sunyi. Satu-satunya suara yang masih terdengar selama beberapa saat kemudian adalah rintihan Usher tatkala nyeri itu belum juga pergi.

Mireya bersabar. Ia tak beranjak dan membuktikan perkataannya untuk menjaga Usher. Bergeming, duduknya pun tak bergeser sedikit pun.

Waktu berlalu dalam bilangan yang tak sebentar. Rintihan Usher akhirnya benar-benar berhenti. Ia tak lagi mengerang kesakitan dan sekarang tampak tertidur dengan nyenyak.

Mireya membuang napas panjang, bersyukur. “Untunglah aku tak terlambat.”

*

Usher tak tahu pastinya berapa lama ia tertidur. Dalam hitungan detik yang tak seberapa ketika kesadarannya kembali, ia teringat bahwa hari itu ia pulang lebih cepat karena urusannya di perkebunan tak terlalu menyita waktu. Mungkin ia tiba sekitar pukul sebelas siang.

Pertengkaran antara Vione dan Mireya menyambut kepulangan Usher. Mereka ribut sehingga ia memberi peringatan pada Vione. Setelahnya rasa sakit itu menghantamnya. Tepat setelah Mireya mendesaknya untuk memutuskan hubungan berpasangan dengan Vione, rasa sakit itu datang dan nyaris membuat kepalanya pecah.

Benar. Vione.

Usher mengerjap. Ia berpaling dan mendapati Mireya tertidur di dekatnya. Mireya benar-benar menjaganya dan bahkan tak melepaskan tangannya.

“Mireya.”

Tangan Usher bergerak dan mendarat di kepala Mireya. Ibu jari bergerak, ia mengusap Mireya dengan penuh kelembutan.

Tidur Mireya terusik. Kelopak mata bergerak berulang kali sebelum akhirnya ia benar-benar terbangun.

“Usher,” lirih Mireya semringah. “Kau sudah bangun?”

Usher mengangguk.

“Bagaimana keadaanmu?”

Usher bangkit dan Mireya membantunya duduk bersandar di kepala tempat tidur. “Tidak merasakan sakit lagi,” jawabnya seraya menangkup wajah Mireya dengan satu tangan. “Terima kasih.”

“Syukurlah kalau begitu. Aku merasa lega sekarang. Aku tak ingin sesuatu yang buruk terjadi padamu, Usher.”

“Aku tak apa-apa. Itu hanya sakit kepala biasa.”

Sakit kepala biasa yang rasa nyerinya sangat luar biasa. Sejujurnya Usher tak yakin dengan perkataannya. Selama ini ia tak pernah merasakan sakit kepala sehebat itu. Saking menyakitkannya, ia sempat mengira kalau kepalanya tadi benar-benar akan meledak. Beruntung, Mireya memberinya obat tepat waktu.

“Walau begitu kau tetap harus beristirahat, Usher. Aku akan menyuruh pelayan untuk menyiapkan makan siangmu.”

Ucapan Mireya membuat Usher berpaling. Dilihatnya jam dinding, lalu ia membelalak. Tidak mungkin ia tidur selama itu bukan?

Mireya terkekeh samar, menyadari arah pikiran Usher. “Memang. Kau tertidur nyaris lima jam. Jadi apakah kau tidak merasa lapar?”

“Oh! Kalau kupikir-pikir,” ujar Usher seraya meraba perut. Dahi mengerut dan ia meengangguk. “Sepertinya aku memang merasa lapar.”

“Kau tunggulah sebentar. Pelayan akan mengantarkan makan untukmu dan sementara itu sepertinya aku harus pulang.”

Refleks, Usher menahan tangan Mireya. “Kau ingin pulang?”

“Ya, Usher. Aku tak ingin mengganggu istirahatmu.”

“Kau tidak mengganggu istirahatku. Justru kau menjagaku.”

Mireya tersenyum. “Terima kasih karena menganggap begitu, tetapi kupikir aku harus beristirahat pula.”

Mata Usher menyipit. Ditatapnya Mireya dengan sorot tak yakin. Bukankah Mireya sering beristirahat di Istana? Lebih tepat lagi, di kamarnya?

“Hari ini begitu melelahkan untukku, Usher. Jadi aku butuh waktu untuk memikirkan semuanya.”

Wajah Usher berubah. “Mireya, kau tidak bermaksud untuk—”

“Aku mencintaimu, Usher. Kau tahu itu, tetapi aku tak sanggup kalau harus terus-menerus direndahkan oleh Vione. Aku tak bisa.”

Usher bisa melihat luka yang tersirat di mata Mireya. Tak ditemukannya tatapan teduh di sana. Sorot damai yang selalu Mireya pancarkan menghilang dan ia tahu pasti penyebabnya.

“Maafkan aku, Mireya. Aku tahu perkataanku pasti telah menyakitimu.”

Mireya menarik napas dalam-dalam. Ia tersenyum, tetapi jelas terlihat menyimpan luka. “Tak apa, Usher. Aku cukup bijak untuk menyadari posisiku. Tak sepatutnya aku mengharapkan sesuatu yang tak akan pernah menjadi takdirku. Aku tak pantas bersanding denganmu. Aku—”

“Siapa yang mengatakan itu?” potong Usher cepat dengan mata yang membidik Mireya. “Siapa yang mengatakan kau tak pantas bersanding denganku?”

“Usher.”

“Kau harus tahu, Mireya. Kaulah wanita yang aku impi-impikan. Kau cantik dan kau kuat.”

Tatapan tanpa kedip Usher membuat Mireya takjub. Terlebih lagi dengan kata-kata yang Usher ucapkan, berhasil membuat ia tersihir untuk sesaat.

“Kau mencintaiku, Usher. Ya, tentu saja kau mencintaiku. Aku selalu berada di sisimu dan menemanimu. Aku berharga, tidak seperti Vione yang bahkan tidak memiliki cakar.”

Sekelumit senyum hadir di wajah keras Usher, ia mengangguk. “Benar. Kau tau kalau aku sangat mencintaimu dan untuk itu, aku akan membuktikannya.”

“Bu-bukti?” Mireya mengerjap dengan detak jantung yang perlahan meningkat. “Bagaimana kau akan membuktikan cintamu, Usher?”

“Aku akan memutuskan hubungan berpasangan dengan Vione.”

*

Garth Morris baru saja menyelesaikan pekerjaannya lima menit yang lalu. Ada sebuah proposal pengadaan barang-barang perkebunan yang harus ditinjaunya dan disusul oleh pengecekan beberapa pesan yang telah mengantre di surel Usher. Hari yang sibuk, tetapi sepertinya ia belum bisa beristirahat untuk beberapa jam ke depan.

Ponsel berdering. Garth mengeluarkan ponsel dari saku celana dan segera mengangkat panggilan tersebut.

“Halo, Alpha Usher.”

“Segera ke Istana, sekarang.”

Perintah tanpa tedeng aling-aling. Bahkan Garth tak sempat menyuarakan kepatuhannya ketika panggilan itu langsung diakhiri sebelah pihak.

Sepertinya ada hal penting.

Garth tak membuang-buang waktu. Ia segera meninggalkan kantor dan mengendarai mobil menuju ke Istana.

Beruntung jalanan tak padat seperti biasanya. Garth tiba di Istana sekitar 40 menit kemudian dan langsung menemui Usher di ruang kerjanya.

“Ada apa, Alpha?”

Usher pandangi sang beta yang berdiri dengan sikap siaga di hadapannya. “Jemput Vione.”

Garth sama sekali tidak mengira bahwa perintah Usher akan berhubungan dengan Vione. Dipikirnya ada sesuatu mengenai pekerjaan atau masalah Kawanan.

“Ada hal penting yang harus kukatakan pada Vione, tetapi ternyata dia malah pergi tanpa memberitahuku. Sepertinya dia pergi ke rumah orang tuanya karena jelas dia tak memiliki tempat lain untuk didatangi.”

Garth mengangguk dengan perasaan tak enak. Sikap Usher terkesan tak biasa sehingga ia pun mengerutkan dahi. “Baik, Alpha.”

“Jangan lupa. Setelah kau menjemputnya, katakan padanya untuk segera menemuiku.”

Garth memberikan anggukan patuh terakhir sebelum ia keluar. Tinggallah Usher seorang diri di sana dan ia putuskan untuk mengerjakan beberapa pekerjaan selagi menunggu kedatangan Vione.

 Sesekali Usher melihat pada jam. Ternyata mencoba untuk tenggelam dalam pekerjaan selama menunggu tak membantu sama sekali. Menunggu tetaplah menunggu dan ia tak suka itu.

“Dasar kekanakan. Setelah membuat keributan, malah dia yang pergi dan bersikap seolah jadi korban,” gerutu Usher ketika mengingat sikap Vione. Diputar-putarnya pena di tangan dengan ekspresi tak yakin. “Apakah dia berencana untuk mengadu pada orang tua angkatnya itu?”

Memang tak akan berpengaruh apa pun, tetapi Usher tak akan lupa fakta bahwa kedua orang tua angkat Vione—Hilary Russell dan Addy Roberto Munest—memiliki hubungan yang baik dengan orang tuanya—Jemma Lumina Vale dan mendiang Kendrick Thorne. Mereka sempat bekerja di Istana dan bisa dikatakan semua orang menyukai mereka. Jadi karena itulah ia sadari bahwa tak aneh bila orang tuanya menyetujui ramalan Ayla tanpa berpikir dua kali.

Terlepas dari dirinya yang tak memiliki asal-usul jelas dan cakar, Vione adalah manusia serigala yang disenangi banyak orang. Ia memang pernah dirundung, kebanyakan ketika masih kanak-kanak dan remaja, tetapi itu tak menyurutkan kenyataan bahwa ia memiliki hubungan baik dengan semua orang.

Jadilah Usher gelisah karena menyadari hal tersebut. Ia meraba dan bertanya-tanya, apakah Vione akan mengadu pula pada Jemma?

Semoga saja tidak.

Usher memang alpha, tetapi ia tak pernah berpikir untuk berselisih dengan ibu kandungnya sendiri. Terlebih setelah kepergian alpha terdahulu, ia hanya ingin melihat Jemma hidup dalam kedamaian. Ditinggal pasangan bukanlah hal mudah dan Jemma sudah melalui masa-masa sulit yang tak terkira. Sekarang waktunya untuk Jemma bahagia di dalam kesendiriannya.

Samar suara pintu yang membuka menarik perhatian Usher. Semua pemikiran di benaknya sontak menghilang ketika dilihatnya Vione masuk dengan wajah tanpa ekspresi.

Vione melangkah dan Usher bangkit dari duduk. Mereka berjalan menuju satu sama lain sehingga bertemu di tengah-tengah ruangan.

Kedua langkah terhenti. Kedua pasang mata saling menatap.

“Mengapa kau pulang ke rumah orang tuamu?”

“Aku hanya tak ingin menjadi penonton untuk tindakan asusila di Istana ini.”

“Vione!”

Vione mengepalkan tangan, mencoba untuk bertahan. “Lagi pula bukankah itu hal bagus? Kau dan Mireya bisa bermesraan tanpa kuganggu.”

Usher mengatupkan mulut. Matanya menyipit dengan rahang yang semakin mengeras di tiap detik.

“Kau menyindirku, Vione?”

“Kau merasa tersindir?” balas Vione mendengkus dengan ekspresi mencemooh. “Baguslah kalau kau merasa tersinggung. Lagi pula sepertinya baru kau alpha yang dengan terang-terangan membiarkan selingkuhannya untuk datang ke Istana.”

“Jaga ucapanmu, Vione.”

“Aku akan menjaga ucapanku di hari kau menjaga perilakumu, Usher. Kau tahu? Aku sudah muak denganmu.”

Mata Usher memelotot. “Apa kau bilang? Kau muak denganmu?”

“Ya. Aku muak denganmu. Kau benar-benar menjijikkan.”

“Kau benar-benar keterlaluan, Vione. Apa kau tak lagi memandangku sebagai alphamu?”

“Alpha?”

Diulangnya satu kata itu dan Vione meringis. Sesaat kemudian ia malah tertawa, tetapi matanya justru menunjukkan perih. Tawa makin menjadi-jadi dan perih yang dirasanya pun makin tak terperi.

“Aku selalu memandangmu sebagai alphaku, Usher. Aku sudah berjanji untuk mengabdikan diri padamu, tetapi aku tak pernah mengira kalau ini yang akan terjadi padaku.”

Amarah Usher terusik. Emosi yang timbul berkat sikap Vione terganjal oleh sesuatu yang tak dimengerti olehnya.

“V-Vione.”

“Sejujurnya aku telah lama mempertanyakan ini, Usher. Mengapa?” Vione mengangkat dagunya setinggi mungkin. Ditantangnya Usher walau matanya mulai terasa panas. “Mengapa kau menerimaku sebagai pasanganmu kalau kau mencintai Mireya?”

Sialan. Nyeri itu datang lagi dan Usher mengernyit dalam usaha mencoba bertahan.

“Seharusnya kau menolak ramalan itu, Usher. Kau tahu bukan? Apa yang kau lakukan ini menyakitiku.”

Nyeri memberontak. Usher menggeram, tetapi Vione bergeming.

“Kau benar-benar tega padaku, Usher. Di antara semua orang, kaulah yang paling mengerti semua ketakutanku. Lalu kau malah memanfaatkan itu untuk menyakitiku.”

Usher memejamkan mata. Kata-kata yang diucapkan oleh Vione berputar-putar di dalam kepalanya dan membuat nyeri itu semakin menjadi-jadi.

Tidak. Ada sesuatu yang salah di sini.

Usher menarik napas dalam-dalam. Ia mencoba untuk menenangkan diri dan ketika ia membuka mata, adalah air mata Vione yang dilihatnya.

Vione mengerjap. Ia mencoba bertahan, tetapi tak bisa. Jadilah air mata merembes dan mengalir di pipinya.

“Kau tahu aku mencintaimu dan kau malah tega menyakitiku.”

Geraman Usher meledak. Tubuh kehilangan kendali dan ia merosot jatuh ke lantai. Tangannya naik, berusaha menggapai Vione. Namun, Vione memilih pergi seraya mengusap air mata yang terus jatuh.

“V-Vione.”

*


Bab Empat

Vione abaikan beberapa pasang mata yang menatapnya iba. Bukan yang pertama kali, sejak dulu ia sudah sering mendapatkan tatapan demikian. Ia memang rendah dan pantas saja orang-orang mengasihaninya.

Namun, ini berbeda. Sepertinya tak pernah ada dalam sejarah Kawanan Frostholm seorang luna mendapatkan nasib mengenaskan. Biasanya mereka hidup dengan penuh kebahagiaan karena disayangi dan dicintai. Bukan hanya oleh semua orang, melainkan juga oleh alpha.

Sayangnya Vione tak mendapatkan itu. Harapan dan khayalan yang sempat mengisi hari-harinya selepas ramalan Ayla datang sirna sudah. Tanpa cinta dan kasih sayang alpha, ia benar-benar menjadi luna yang menyedihkan.

Vione menumpahkan semua kesedihannya setelah tiba di kamar. Diluapkannya semua jerit dan air mata yang selama ini ia pendam. Dada terasa nyeri dan ia pikir ia sudah tak sanggup lagi untuk bertahan.

Mungkin inilah batas akhirnya. Mungkin inilah waktu untuk menyerah.

Vione sudah tak sanggup lagi. Ia tahu batas kemampuan dirinya dan ia sudah melewatinya.

Ini bukan hanya tentang pandangan kasihan yang orang-orang berikan. Tidak. Vione sudah terlatih untuk menabahkan hati terhadap semua bentuk rasa kasihan orang-orang. Ia sudah kebal untuk itu dan tak lagi peduli. Namun, ini semua tentang Usher.

Mengapa kau tega melakukan ini padaku, Usher?

Di ingatan Vione, Usher adalah pria paling sempurna di dunia. Ia tak hanya cakap dan bertanggungjawab, melainkan juga sangat perhatian dan penuh kasih.

Usher tak akan segan-segan mengulurkan tangan untuk semua yang membutuhkan pertolongan. Ia tak pernah membeda-bedakan orang dan menghargai semua tanpa ada batasan sama sekali.

Walau demikian jangan ragukan ketegasan Usher. Tanggung jawab besar yang bertengger di pundaknya membuat ia bijak dan juga profesional. Bukan hanya untuk urusan Kawanan, melainkan juga menyangkut pekerjaan.

Jadi rasa-rasanya tak aneh bila banyak wanita yang jatuh hati pada Usher, termasuk Vione. Terlebih karena mereka telah mengenal satu sama lain sejak usia muda dan jadilah Vione jatuh cinta dengan sejatuh-jatuhnya.

Namun, Vione tak berani serakah. Dipendamnya cinta itu selama bertahun-tahun. Ia cukupkan diri dengan hanya melihat Usher dari kejauhan. Tak apa, ia mencari alasan untuk membantu orang tuanya bekerja di Istana, asalkan ia bisa melihat Usher. Setidaknya rindu yang dirasakannya bisa sedikit terbayarkan.

Demikianlah Vione melewati hari demi hari hingga Ayla mengumumkan ramalannya. Semua orang gempar, tetapi tak ada yang berani menentang. Jadilah ia dan Usher sepasang kekasih yang direstui Dewi Bulan dan seluruh alam.

Kala itu Vione mengira hidupnya akan berubah. Ia pikir akhirnya ia akan mendapatkan kebahagiaan sejati, tetapi ternyata tidak. Perselingkuhan Usher dan Mireya yang dilakukan tepat di depan matanya membuat semua mimpi-mimpi indah itu hancur lebur tak tersisa.

Vione memejamkan mata. Dienyahkannya semua bayang-bayang menyakitkan itu, tetapi sulit sekali. Semua seakan berputar-putar di dalam kepala dan membuat air matanya mengalir semakin deras.

Perih. Getir. Semua hadir menemani kesendirian Vione. Tanpa ada yang menemani, kesunyian menyelimuti.

Vione tertidur dalam letih dan sedih. Air mata mengering dan entah berapa lama kesadarannya pergi. Satu yang disadarinya, adalah usapan lembut di pipi yang membuatnya terbangun lagi.

Kelopak mata bergerak-gerak samar. Bulunya yang lentik bergoyang lembut. Vione terbangun dan untuk sesaat, ia mencoba memfokuskan pandangan.

Kebingungan langsung menghantam Vione. Dahi mengerut dan ia buru-buru bangkit.

“Argh.”

Kepala Vione terasa berat. Sepertinya karena ia terlalu banyak menangis.

“Vione, kau tak apa-apa?”

Vione memegang kepala, menggeleng. “Tidak. Aku hanya merasa pusing.”

“Sebentar. Kuambilkan minum untukmu.”

Sesaat kemudian segelas air hangat berada di genggaman Vione. Diteguknya dengan perlahan dan rasa lega seketika menyeruak di dada.

“Bagaimana sekarang?”

Vione membuang napas panjang. “Lebih baik.”

“Syukurlah.”

Gelas kosong berpindah tangan. Vione bergeming dengan kebingungan yang semakin menjadi-jadi.

“Usher.”

Usher berpaling setelah menaruh gelas kosong di nakas. “Ya?”

“Apa yang kau lakukan di sini?” tanya Vione tanpa tedeng aling-aling. “Ini kamarku, bukan kamarmu.”

Satu kenyataan pahit lainnya, yaitu mereka memiliki kamar terpisah. Terhitung hanya sekali mereka bermalam bersama. Itu adalah ketika malam pengantin mereka. Setelahnya Usher memerintahkan Vione untuk tidur di kamarnya sendiri.

“Oh, itu.” Usher menarik napas dalam-dalam. Beringsut, didekatinya Vione yang duduk bersandarkan kepala tempat tidur. “Aku tahu ini kamarmu, Vione.”

“Kalau begitu, apa yang kau lakukan di sini?”

“Apakah aku butuh alasan untuk datang ke sini?”

Vione terdiam. Benar yang dikatakan oleh Usher. Ia tak membutuhkan alasan apa pun untuk semua yang dilakukannya.

“Tidak.”

Namun, tentunya Vione tak mengira bahwa Usher akan mendatanginya setelah yang terjadi seharian. Ia bertengkar dengan Mireya dan Usher. Mereka ribut.

Jadilah wajar bila Vione tak bisa menahan prasangka liar di benaknya. Ia yakin Usher tak mungkin mendatanginya bila itu tak berhubungan dengan yang terjadi tadi.

“Kau memang tidak butuh alasan, tetapi aku tahu kau tak akan pernah ingin menjejakkan kaki di kamarku tanpa alasan. Jadi apa, Usher? Katakan saja. Jangan kau ulur-ulur.”

“Kalau kau memang menginginkan alasan, baiklah. Aku akan mengatakannya.”

Vione menahan napas. Pikiran buruk semakin berkecamuk. Mungkinkah ini ada kaitannya dengan pertengkaran mereka sore tadi? Ketika ia menyinggung soal cinta, ramalan, dan hubungan berpasangan?

Apakah Usher akan—

“Aku ingin melihat keadaanmu, Vione.”

Pertanyaan dan semua pemikiran buruk itu sirna seketika dari benak Vione. Ia melongo dan ditatapnya Usher tanpa kedip.

“Aku minta maaf untuk semua yang terjadi hari ini,” lanjut Usher seraya menangkup satu pipi Vione. Ibu jari bergerak dan ia mengelus dengan lembut, terasa penuh perasaan. “Aku tahu aku menyakitimu, tetapi aku mohon. Maafkan aku.”

Vione mengerjap. Ia pasti bermimpi. “Usher.”

“Maafkan aku, Vione. Kau tahu bukan hanya kau yang mencintaiku. Aku …” Usapan ibu jari Usher berhenti. Dibalasnya tatapan Vione dan ia lanjut bicara. “… juga mencintaimu.”

Tubuh Vione tak ubah dedaunan kering yang dihantam hempasan angin. Ia rontok dan beterbangan tak tentu arah. Ia berceceran dan hilang arah.

“A-apa, Usher? Apa yang baru saja kau katakan?”

“Aku mencintaimu, Vione. Ini bukan karena ramalan atau apa pun. Ini karena kita berdua. Aku mencintaimu. Kumohon. Untuk pertama kalinya, aku mohon padamu. Apa pun yang terjadi, jangan pernah kau meragukan perasaanku.”

Vione tak bisa berkata apa-apa. Ucapan Usher adalah sesuatu yang berada di luar jangkauan imajinasinya. Rasanya mustahil dan terkesan tak mungkin.

“Aku tak peduli asal-usulmu. Aku tak peduli kau tak memiliki cakar. Bagiku, kau adalah satu-satunya.”

Vione menarik udara, tetapi justru tak bisa bernapas. “Usher.”

“Aku mencintaimu, Vione.”

Kesekian kali Usher mengungkapkan perasaannya dan Vione dapati jantungnya berdetak dengan dentuman yang tak pernah dirasakan sebelumnya.

“Aku juga mencintaimu, Usher. Aku sangat mencintaimu.”

Ungkapan cinta bersambut. Vione tak membutuhkan apa-apa lagi. Semua sudah cukup, tetapi Usher justru kembali membuatnya ternganga.

“Ada sesuatu yang ingin kuberikan padamu. Aku ingin kau menerima dan memakainya sampai kapan pun.”

“Apa itu?”

Usher tak menjawab dengan kata-kata, melainkan ia merogoh saku dan mengeluarkan sesuatu. Ditunjukkannya pada Vione sebuah kalung berbuah bulan separuh.

Vione diam dalam kebahagiaan tak terkira. Entah apa yang didoakannya sehingga malam itu memberikan kejutan terduga sedemikian rupa. Ia tak hanya mendapatkan ungkapan cinta yang teramat manis, Usher juga memberinya sebuah kalung.

“Aku ingin kau selalu memakainya,” ujar Usher tepat di telinga Vione ketika mengenakan kalung tersebut. “Jangan pernah lepaskan apa pun yang terjadi.”

Vione mengangguk seraya menundukkan wajah. Dipandanginya kalung yang sekarang bertengger cantik di lehernya, lalu ia menyadari sesuatu. Ia melihat Usher juga mengenakan kalung serupa.

“Kau benar. Aku juga memakainya.”

Rasa penasaran Vione mendapatkan jawaban bahkan sebelum ia bertanya. Ia tersenyum seraya terus memegang buah kalung tersebut.

“Ini kalung yang sangat cantik, Usher. Terima kasih.”

Usher tak mengatakan apa-apa. Ia diam, tetapi matanya menyorotkan senyum terindah yang tak pernah Vione lihat selama ini.

Vione terpukau. Disadarinya bahwa untuk kesekian kali, ia telah terjatuh pada pesona Usher.

“Ah.”

Tiba-tiba sesuatu melintas di benak Vione. Ditatapnya Usher lekat-lekat seraya berusaha mengingat. Ia tak yakin, tetapi wajah dewasa Usher dan kalung bulan separuh itu terasa familier di matanya.

“Ada apa? Apa ada sesuatu?”

Vione mengerjap, lalu menggeleng. “Tidak. Tiba-tiba saja aku teringat masa kecil kita. Apa kau masih ingat? Dulu, aku pernah hampir tenggelam di danau.”

“Aku masih mengingatnya. Lalu?”

“Waktu itu kau panik sekali. Kau ingin menyelamatkanku, tetapi kau juga tak bisa berenang. Jadilah kita nyaris tenggelam bersama.”

Usher mengangguk dengan senyum lebar yang terbentuk. “Itu dulu. Sekarang, aku bisa berenang.”

“Aku tahu, tetapi aku tak berencana untuk hampir tenggelam lagi.”

Namun, bukan itu yang dimaksud oleh Vione. Jadilah ia menarik napas sekali sebelum lanjut bicara.

“Sekarang kalau kuingat-ingat, kau memiliki mata yang mirip dengan pria itu.”

Senyum lebar Usher terjeda. “A-apa?”

“Matamu,” ulang Vione seraya menangkup wajah Usher dengan kedua tangan. Seolah ingin memastikan, dipandanginya mata Usher tanpa kedip untuk sesaat. “Matamu mirip dengan mata pria yang menyelamatkan kita dulu. Selain itu …”

Tatapan Vione berpindah. Kali ini yang dilihatnya adalah kalung di leher Usher. Ketidakyakinan terasa kuat, tetapi entah mengapa Vione merasa tak salah.

“… bukankah dia juga mengenakan kalung ini?”

Usher mendeham. Diraihnya dagu Vione agar menatapnya kembali. “Sebenarnya apa yang sedang ingin kau katakan, Vione? Bisa-bisanya kau membahas pria lain di saat kita sedang berdua.”

“O-oh.” Vione mengerjap salah tingkah, lalu menggeleng. “Tidak. Aku tidak bermaksud begitu.”

“Di mataku, kau bermaksud begitu. Ehm. Apa kau tidak bisa hanya memikirkanku saja?”

“Itulah yang kulakukan selama ini, Usher. Aku selalu memikirkanmu. Tak pernah seharipun kulalui tanpa memikirkanmu.”

Akhirnya Vione bisa benar-benar mengungkapkan semuanya. Tak hanya soal cinta, melainkan caranya melewati hari selama ini. Usher selalu menjadi bagian tak terpisahkan dari hidup dan matinya.

“Vione.”

Vione pancarkan ketulusan dari sorot dan juga senyumnya. Ekspresinya tampak teduh dan membuat Usher tak bisa bernapas untuk sesaat.

Paru-parunya meronta, tetapi Usher mengabaikannya. Ia seakan tak peduli dengan diri sendiri ketika menyadari bahwa ada yang lebih penting ketimbang bernapas.

Jadilah Usher meraih tengkuk Vione. Dilihatnya sekilas, Vione memejamkan mata dan akhirnya bibir mereka bertemu.

Saling membuka dan saling melumat. Usher sadari paru-parunya tenteram kembali berkat oksigen yang dihirupnya. Menyenangkannya adalah ia menghirup oksigen dengan cara yang paling indah.

“U-Usher.”

Lirih suara Vione tak ubah alunan musik surgawi. Nada-nadanya melantun merdu dan menerbitkan candu yang membuat Usher tak jemu-jemu. Jadilah ia mendesak dalam ingin yang menuntut lebih.

Vione terkesiap. Mata membuka walau tak bisa fokus memandang apa pun. Sekilas, dilihatnya tato alpha yang menghiasi leher kokoh Usher, kilau emasnya yang sewaktu-waktu berkelip membuatnya terpana, selanjutnya entahlah ke mana lagi matanya tertuju. Ia gelagapan, merasa gelisah ketika didapatinya ciuman Usher telah berpindah.

Basah. Hangat. Bibir Usher menyusuri leher Vione hingga si empunya merasa panas di sekujur tubuh.

“Apakah aku membutuhkan alasan untuk bermalam di sini?”

Bisikan Usher meluluhlantakkan Vione. Jantungnya berdegup semakin kencang dan ia tak bisa mengatakan sepatah kata pun sebagai jawaban, melainkan hanya menggeleng sekali.

Namun, itu sudah cukup. Usher tak butuh jawaban lebih nyata lagi untuk menyasar pada deretan kancing di kemeja Vione, dilepasnya satu persatu seraya berbisik.

“Berjanjilah padaku, Vione.”

Bola mata Vione berputar. Matanya lantas memejam. Semua benar-benar menghilang dari benaknya ketika Usher menyentuhnya.

Tanpa penghalang. Tanpa ada jarak. Usher dan Vione menyatu dengan amat padu.

“Apa pun yang terjadi, Vione. Berjanjilah padaku.”

Vione meremas seprai. Desahan menggema di dada dan digigitnya bibir bawah sekuat mungkin, lalu ia mengangguk.

“Aku berjanji, Usher.”

*

 

Bab Lima

Cahaya matahari pagi menerobos masuk melalui celah-celah ventilasi. Pun berusaha untuk menembus tebalnya tirai yang masih menutupi semua jendela-jendela besar di kamar itu. Terang dan cerahnya menyemburatkan keindahan yang seharusnya tak akan mampu ditolak oleh siapa pun, termasuk Vione.

Perlahan, Vione membuka mata. Seiring dengan kembalinya kesadaran, senyum melengkung dengan amat cantik di wajahnya. Ia melenguh samar dan sepintas ingatan berpendar di benak.

Aku dan Usher ….

Vione tertegun untuk sejenak. Semalam adalah malam yang indah, tetapi ia jadi bertanya-tanya, apakah itu nyata adanya atau hanya mimpi belaka?

Masih segar di ingatan Vione, ia dan Usher bertengkar. Ia menangis dan berlari ke kamar. Kesadarannya menghilang ketika lelah dan sedih bersatu menyerangnya.

Namun, sepertinya tidak. Karena ketika Vione memutar pandangan maka semua bukti yang tertinggal memberikan kesaksian tanpa mampu dibantah lagi.

Pakaian Vione berserakan di lantai. Selain itu ada pula jejak-jejak merah yang terlihat di payudaranya. Pun kalau itu tak cukup maka seuntai kalung yang bertengger di lehernya adalah jawaban valid untuk semua keraguan.

Vione menggenggam kalung tersebut. Sekarang hati dan perasaannya benar-benar penuh. Ia seperti tengah terbang melayang-layang dan enggan untuk menjejak ke tanah lagi.

Itu adalah kali kedua setelah malam pengantin mereka. Setelah sekian lama, akhirnya Vione bisa merasakan lagi hangat dan kasih Usher. Sentuhan, bisikan, dan juga kuasanya persis seperti dulu, tak ada yang berubah sedikit pun.

“Aku mencintaimu, Vione.”

Tak hanya sekali. Usher mengucapkan hal sama berulang kali. Sepanjang masa ketika tubuh mereka bersatu dan melekat erat karena keringat, ia kerap mengatakannya.

Vione tak akan melupakannya. Dipastikannya akan selalu mengingat hal tersebut hingga kapan pun.

Sesaat berlalu dan kebahagiaan Vione terjeda oleh debar menggelitik. Jantungnya kembali bertalu ketika teringat eratnya pelukan Usher semalam. Kedua tangan kokoh Usher memerangkap dan tak melepasnya sama sekali. Jadilah wajar bila ia terlelap dalam penuh kedamaian.

Tunggu.

Senyum dan wajah bahagia Vione menghilang. Ia mengerjap dan menundukkan pandangan, lalu menyadari sesuatu.

“Usher?”

Tak ada lagi pelukan. Vione sontak berpaling dan kekecewaan langsung tercetak di wajahnya.

Bantal di sebelahnya kosong. Usher sudah pergi.

Namun, kekecewaan Vione tak bertahan lama. Ia bergegas. Turun dari tempat tidur dan mengabaikan kekacauan yang tercipta berkat percintaan panas semalam, ia segera bersiap.

Masih ada waktu. Vione masih punya sekitar tiga puluh menit sebelum jadwal Usher pergi ke kantor.

Jadilah Vione berdandan. Ia memulas mekap dan memastikan tampil serapi mungkin, juga secantik mungkin.

Ketika Vione menuruni tangga, dilihatnya Usher dan Garth melintasi aula depan Istana. Ia mempercepat langkah dan memutuskan untuk berlari.

“Usher.”

Usher dan Garth sama-sama berhenti melangkah. Keduanya berpaling dan mendapati Vione yang terburu-buru datang menghampiri.

“Usher.”

Wajah semringah Vione membuat Usher mengernyit, lalu ia bertanya. “Ada apa?”

“Kau akan pergi ke kantor?”

Kernyitan Usher semakin menjadi-jadi, lalu dijawabnya pertanyaan itu dengan ketus. “Tentu saja aku akan pergi ke kantor. Memangnya kau pikir aku akan pergi ke mana?”

“Ah,” lirih Vione mengerjap dengan salah tingkah. Dilihatnya Usher dan ia bisa menangkap gusar di wajah tampan itu. “Te-tentu saja kau akan pergi ke kantor.”

Perasaan aneh timbul dan membuat Vione mengerutkan dahi. Ia sama sekali tak mengantisipasi sikap ketus Usher. Sejujurnya ia mengira akan mendapatkan sikap manis Usher setelah apa yang mereka lalui semalam.

“Sebenarnya apa yang sedang kau lakukan, Vione? Kau berlari dan memanggilku hanya untuk pertanyaan tak penting seperti ini?”

Tudingan Usher menyentak Vione. Jadilah ia buru-buru menggeleng.

“Ti-tidak, Usher. Aku tidak bermaksud begitu. Aku hanya—”

“Kau benar-benar merepotkan, Vione,” potong Usher seraya berdecak. Agaknya ia mulai merasa kesal. “Apa tidak bisa sehari saja kau tidak membuat kegaduhan? Sepagi ini kau malah berteriak-teriak seperti orang gila.”

Bola mata Vione membesar. “Orang gila?”

Bukan hanya Vione, nyatanya Garth juga tersentak ketika mendapati Usher mengatai Vione seperti itu. Ia mendeham dan mengerjap dengan perasaan tak enak.

“Ya, orang gila. Jadi kuharap kau bisa menjaga perilakumu.”

Vione melongo. Ditatapnya Usher lekat-lekat dengan rasa tak terima.

“Jangan buat aku sampai habis kesabaran, Vione. Aku tak ingin keributan kemarin terulang lagi.”

“A-apa, Usher?”

Usher yakin Vione mendengar perkataannya, jadi ia tak mengulanginya. Alih-alih ia peringatkan Vione untuk hal lain.

“Satu yang harus kau camkan. Aku tidak ingin kau mengusik Mireya. Kalau kau sampai melakukannya maka tanggung sendiri akibatnya.”

Vione terhenyak. Peringatan Usher berbanding terbalik dengan ungkapan cinta yang didapatnya semalam. Apakah itu masuk akal? Setelah cinta kasih membungkus mereka bersama dan justru ini yang terjadi?

“A-apa kau bilang, Usher? Kau tak ingin aku mengusik Mireya?”

Lagi, Usher tak merasa perlu mengulang hal yang telah jelas. Jadilah ia mengangkat tangan kirinya dan melihat jam.

“Aku harus pergi sekarang. Aku tidak ingin membuang-buang waktu berhargaku hanya dengan meladeni ocehanmu,” ujar Usher seraya mendengkus. Tatapannya membentur sesuatu yang dikenakan oleh Vione, lalu ia berkomentar dengan nada mencemooh. “Kalung yang jelek sekali. Memang cocok untukmu.”

Setelahnya Usher benar-benar pergi. Garth yang serba salah hanya bisa memberikan senyum tipis sebelum menyusul sang alpha. Sekarang tinggallah Vione sendiri yang terpaku dengan ketidakpercayaan.

“A-apa yang dia katakan tadi?” tanya Vione pada diri sendiri seraya memegang kalungnya. “Kalung ini jelek sekali?”

*

Ada satu tempat berharga yang berlokasi di Solaris City, yaitu perkebunan anggur yang terhampar luas ribuan hektare. Posisinya tepat diapit oleh perbukitan hijau yang asri sehingga memberikan pemandangan yang memukau, terlebih ketika cuaca sedang dalam keadaan cerah.

Tenteram dan damai. Setidaknya itulah dua hal yang pasti akan dirasakan ketika kaki menjejak di sana. Persis dengan yang dirasakan oleh Usher.

Helikopter baru saja mendarat sekitar lima menit lalu. Kehadirannya memberikan riuh yang menerbangkan beragam benda ke udara. Dedaunan, ranting, atau mungkin kerikil-kerikil kecil terhempas tanpa daya. Ia tak ubah sedang membersihkan jalan untuk menghormati kehadiran sang alpha.

Austin Hayes selaku Direktur Pertanian yang bertanggungjawab penuh atas perkebunan anggur tersebut telah menunggu kedatangan Usher bersama dengan para staf terkait. Terlepas dari kebingungannya karena Usher baru saja datang ke sana kemarin, ia tetap mempersiapkan semua dengan sebaik mungkin. Bisa jadi ada hal penting lain yang mengusik sehingga Usher memutuskan untuk berkunjung kembali.

“Selamat pagi, Pak.”

Usher terus melangkah. “Selamat pagi.”

Austin berencana untuk mengikuti Usher, tetapi Garth mencegahnya. Sang beta yang juga memegang posisi sebagai asisten pribadi Usher untuk urusan pekerjaan itu berkata.

“Pak Usher hanya ingin berkeliling. Kau bisa melanjutkan pekerjaanmu.”

Austin bingung, tetapi tetap mengangguk. “Baik.”

Setelahnya Garth bergegas menyusul Usher. Diikutinya ke mana kaki Usher melangkah tanpa mengatakan apa pun. Lagi pula ia telah paham akan sifat Usher setelah bertahun-tahun mengabdi.

Ada sesuatu yang mengganjal pikiran sang alpha. Ada yang membuatnya gelisah. Untuk itulah mengapa ia perintahkan Garth untuk membatalkan semua jadwal hari itu dan menyiapkan helikopter.

Usher butuh ketenangan dan beruntunglah ia memiliki tempat yang menjanjikan hal tersebut. Suasananya harmonis dan terhindar dari kebisingan dunia. Satu-satunya suara yang bisa mengusik adalah celotehan para buruh panen yang tengah memetik buah anggur.

Terus melangkah. Usher lalui daun-daun anggur yang menyelimuti tanah. Dinikmatinya aroma segar anggur yang menyelimuti udara. Sesaat, itu benar-benar menenangkan jiwanya.

“Aku merasa tak nyaman akhir-akhir ini, Garth.”

Garth terus mengikuti Usher dengan langkah teratur. “Apa yang sedang mengganggu pikiranmu, Alpha?”

“Aku tak tahu,” jawab Usher seraya membuang napas. Dilemparnya tatapan hampa ke seberang sana, entah ke mana, lalu mengeluh. “Aku tak tahu apa yang sedang mengusikku, tetapi aku merasa tak tenang.”

“Mungkin kau kurang istirahat, Alpha. Belakangan ini terlalu banyak pekerjaan dan masalah Kawanan yang kau selesaikan. Bagaimana kalau aku atur liburan untukmu? Mungkin seminggu di pegunungan akan membuatmu lebih tenang.”

Ide yang menarik, tetapi Usher tak tertarik. “Tidak. Ada banyak pekerjaan yang akan terlantar kalau aku sampai liburan sekarang.”

Garth tak membantah.

“Semoga saja semua akan lekas membaik.”

Usher tuntaskan pembicaraan itu. Ia kembali melangkah dan kali ini memberi isyarat pada Garth untuk tidak mengikutinya. Ia butuh waktu untuk menyendiri.

Waktu terus berputar. Para buruh panen telah menyelesaikan tiga jadwalnya di hari itu. Cerah yang sempat berubah terik pun perlahan memudar. Matahari mulai menunjukkan tanda-tanda akan berpamitan dalam waktu dekat.

Usher tak tahu sudah selama itu dirinya mengelilingi perkebunan. Anehnya, ia tak merasa letih sama sekali.

Helikopter kembali menerbangkan Usher dan Garth kembali ke kota. Mereka mendarat ketika langit telah gelap dan satu mobil membawa Usher kembali ke Istana sementara Garth masih bertahan di kantor.

Perjalanan yang tidak melelahkan, tetapi juga tidak menyenangkan. Bila ada satu kata yang akan dipilih oleh Usher untuk mewakilinya maka itu pastilah hampa.

Semua terasa kosong. Usher pikir dirinya persis cawan yang tak berisi apa-apa.

Apa yang sedang terjadi padaku? Mengapa perasaanku benar-benar tidak tenang?

Mobil berhenti bergerak. Usher telah sampai di Istana. Pintu terbuka dan ia langsung turun.

Usher berjalan. Dinaikinya undak-undakan dengan tak bersemangat, lalu ia mendadak berhenti.

Insting menyala. Usher menoleh ke sisi kiri Istana dengan mata menyipit, seolah berusaha menembus kegelapan di sana. Ia menunggu, tetapi gemerisik yang sempat ditangkapnya berhenti dengan seiring waktu.

Tak ada yang terjadi. Semua tampak baik-baik saja. Namun, insting seorang alpha tak bisa ditipu dengan begitu mudah.

Usher mengeluarkan ponsel. Dihubunginya Garth.

“Perketat penjagaan di Istana.”

*

“Sebenarnya siapakah yang gila? Aku atau justru Usher?”

Entah sudah berapa kali dalam sehari itu, Vione menanyakan hal serupa pada diri sendiri. Ia benar-benar bingung hingga terus mondar-mandir di kamar tanpa lepas memegang kalungnya.

“Lebih anehnya, bagaimana mungkin dia mengatakan kalungku jelek? Kalung ini adalah pemberiannya.”

Semakin dipikir maka semakin bingung pula Vione. Namun, ia tak bisa mengenyahkan kejanggalan itu dari benaknya. Berusaha untuk tidur pun percuma, otaknya terus menyajikan keanehan yang membuatnya terus terjaga.

Suara pintu yang terbuka menarik perhatian Vione. Dalam hitungan detik yang singkat ketika ia menoleh, satu dugaan pun terbit. Tak ada seorang pun yang memasuki kamarnya tanpa mengetuk, kecuali orang itu adalah.

“Usher.”

Usher menghampiri Vione seraya melepaskan jaket kulit dan topinya. Berikut dengan masker yang menutupi separuh wajahnya.

“Kau dari mana?”

Kebingungan yang menemani Vione seharian itu sirna ketika dilihatnya penampilan tak biasa Usher. Terkesan santai, ia bertanya-tanya dari manakah Usher semalam itu?

“Seharian ini aku pergi ke perkebunan. Aku berkeliling dan baru sampai di Istana sekitar jam delapan tadi.”

Vione mengerutkan dahi. Bukankah tadi Usher mengenakan setelan formal sebelum meninggalkan Istana?

“Kau belum tidur?”

Bukan hanya pertanyaan Usher yang membuyarkan pikiran Vione, melainkan juga dengan belaian ibu jari di pipinya.

“A-ah, belum,” jawab Vione terbata. “Aku belum mengantuk.”

“Sudah tengah malam dan kau belum mengantuk. Apa kau sedang menungguku?”

“Menunggumu?”

Bola mata Vione membesar. Semburat merah langsung menunjukkan diri di kedua pipi. Usher tersenyum dan Vione justru jadi salah tingkah.

“A-aku bukannya menunggumu, Usher. Aku hanya—”

“Sepertinya justru aku yang seharian ini menunggu waktu yang tepat untuk bisa bersama denganmu,” potong Usher membungkam kata-kata Vione. Ditatapnya Vione, lalu ia membuang napas. “Aku merindukanmu, Vione.”

Vione mengerjap. “Rindu? Ehm. Kita baru tidak bertemu seharian ini, Usher.”

“Seharian yang menguji kesabaranku.”

Seakan ingin membuktikan perkataannya, Usher pun maju. Dikikisnya jarak tak seberapa yang tersisa dan ditundukkannya wajah. Ia labuhkan sekilas kecupan di bibir Vione yang membuka.

Tubuh Vione bergetar hingga ke ujung kaki. Ia membuka mata dan mendapati kehangatan berpendar di mata Usher.

Vione menahan napas. Ia mencoba untuk tetap tenang di sela-sela serbuan degup jantung yang tak kira-kira. Semua sel di tubuhnya bangkit dan setiap saraf mengirimkan sinyal akan kegembiraan tak terbendung.

“Usher,” bisik Vione ketika bibir mereka terurai. “Apakah kau akan bermalam di sini lagi?”

“Menurutmu?”

“Menurutku …”

Tangan Vione naik keduanya. Jari-jari lentiknya menuju pada tepian kaus yang Usher kenakan. Diremasnya sejenak bahan lembut itu, lalu ia loloskan melewati kepala Usher.

Vione meraba dada bidang Usher. Sentuhannya lembut dan membuat Usher menggeram.

“… ya.”

Tepat setelah satu kata itu terucap dari lidahnya, Vione dapati tubuhnya melayang. Dilingkarinya pinggang Usher dengan kedua kaki dan lalu mereka jatuh ke tempat tidur.

*

 

Bab Enam

Pagi yang sama berulang untuk kesekian kali. Vione terbangun tanpa ada Usher di sebelahnya. Usher telah pergi dan jadilah ia membuang napas seraya bangkit dari tidur. Ia duduk sembari menahan selimut di depan dada, lalu dipandanginya kekacauan yang membekas di sekitar kamar. Semua itu tak ubah menjadi bukti untuk panasnya percintaan yang mereka lalui semalam.

Bila teringat akan hal itu maka aneka bunga dengan beragam aroma serentak timbul dan memenuhi dada Vione. Perasaannya melayang dan ia pikir akan benar-benar terbang hingga membentur langit-langit di atas sana. Sayangnya kegembiraan itu terjeda tatkala sekelumit rasa tak terima berhasil menunjukkan diri.

Sesekali saja, sepertinya tak berlebihan, Vione ingin merasakan bangun di pagi hari dalam pelukan Usher. Ia ingin mengawali hari dengan menjadikan Usher sebagai sarapannya. Ia ingin merasakan kecupan hangat Usher di dahinya. Ia ingin membuka mata dan wajah Usher menjadi hal pertama yang dilihatnya.

Namun, Vione menyadari bahwa Usher memanglah sangat sibuk. Tentu saja ia akan buru-buru bangun di tiap paginya agar bisa bekerja tepat waktu. Ada banyak hal yang harus diurus olehnya, tak hanya urusan perusahaan, melainkan juga persoalan kawanan.

Jadilah Vione kembali menabahkan diri. Ia cukupkan ingin hatinya dengan mengingat lagi betapa menyenangkannya malam-malam yang berlalu. Sentuhan Usher terasa begitu penuh perasaan, kasih sayang yang diberikan menguarkan kehangatan, dan hasratnya yang menggebu lebih dari cukup untuk menggambarkan limpahan cinta yang tak terhingga.

Vione dapati gelenyar mulai merambati tubuh. Didekapnya dada dan dirasakannya debar jantung yang mulai meningkat. Jadilah ia mengulum senyum seraya mengejek diri sendiri.

“Bisa-bisanya kau merindukan Usher secepat ini?”

Baru saja beberapa jam tak melihat Usher, nyatanya Vione sudah merasakan kerinduan. Hatinya berkehendak dan ia tak kuasa untuk melawan. Maka diputuskannya untuk segera turun dari tempat tidur. Dipanggilnya pelayan dan diberinya perintah.

“Bereskan kamar dan siapkan pakaian untukku.”

Biasanya Vione tak melakukan itu. Seringnya ia yang akan membereskan kamar dan menyiapkan keperluan pribadinya. Ia terbiasa mengerjakan semuanya sendiri sedari dulu, masih terasa aneh bila membiarkan orang lain yang mengerjakan dan menyentuh barang-barangnya. Namun, kali ini pengecualian. Kamar itu benar-benar berantakan seperti ada dua serigala yang baru saja selesai bergumul di musim kawin. Rasanya mustahil ia bisa merapikannya seorang diri.

Vione bergegas. Setelah bersiap, ia buru-buru keluar. Tempat yang ditujunya adalah ruang makan dan untunglah ia tiba tepat waktu.

Usher duduk seorang diri di meja makan. Di hadapannya ada seporsi salad dengan protein hewani. Ia nikmati sarapan sambil melirik ketika dirasakannya kehadiran Vione.

“Selamat pagi, Usher.”

Vione menarik kursi, lalu duduk. Dibiarkannya seorang pelayan menyajikan sarapan untuknya sementara ia terus menatap Usher dengan semringah di wajah.

“Ada apa, Vione?”

Tanya Usher menyentak Vione. Ia tersenyum dan menggeleng. “Tidak ada apa-apa. Aku hanya … merindukanmu.”

Kunyahan Usher terhenti seketika. Ditelannya bulat-bulat sayuran yang masih utuh di dalam mulut, lalu dilihatnya Vione dengan dahi yang mengerut.

“Merindukanku?”

Semringah dan senyum di wajah Vione terjeda. Dilihatnya ekspresi wajah Usher. Ia mengerjap dan menahan dorongan untuk mengucek mata. Bisa saja ia salah melihat, tetapi nyatanya tidak. Usher melihatnya dengan mimik jijik.

“Usher.”

Usher menuntaskan sarapan. Mimik jijik di wajahnya semakin menjadi-jadi. Dilapnya mulut dan ditandaskannya segelas air putih. Lalu ia berkata dengan kesan merendahkan.

“Kau jangan bertingkah, Vione. Jangan membuatku mual-mual dengan perkataan menjijikkanmu itu. Apa kau ingin melihatku memuntahkan sarapanku?”

Vione tertegun. Respons Usher benar-benar tak seperti yang dibayangkannya. Bagaimana mungkin bisa Usher bersikap seperti itu? Usher terlihat benar-benar jijik dan tak suka padanya. Sikapnya benar-benar berbeda dengan semalam.

“Kupikir-pikir, ini bukanlah pertama kalinya kau mengacaukan pagiku, Vione. Belakangan ini kau selalu saja muncul dengan sikap yang harus kau ketahui sangat membuatku muak. Apa kau tidak bisa membiarkanku mengawali hari dengan tenang dan damai? Aku tidak ingin kau recoki.”

“Usher, aku tidak bermaksud begitu. A-aku hanya—”

“Tempo hari kau berlarian di aula dan memanggilku. Lalu ada hari di mana kau datang ke kamarku dengan membawa sarapan. Hari ini kau justru mengatakan sesuatu yang membuat perutku mual. Sebenarnya apa yang kau pikirkan sehingga kau melakukan itu semua?”

Vione tak bisa menjawab. Ia hanya bisa terdiam dengan perasaan aneh yang pelan-pelan membuatnya jadi mengernyit.

“Kau benar-benar merepotkan, Vione. Apa harus aku ingatkan kau berulang kali agar kau menyadari posisimu yang sebenarnya?” tanya Usher tanpa menunggu jawaban Vione. Diberinya tatapan tajam dan ia tekankan setiap kata yang ia ucapkan. “Kau memang luna dan pasanganku, tetapi itu bukan berarti kau seberharga itu. Di mataku, kau tak hanya pajangan. Kau tak berarti sama sekali.”

Wajah Vione berubah. “Usher. Bisa-bisanya kau mengatakan itu?”

Usher mendengkus. “Aku bisa mengatakan apa pun yang kuinginkan. Jadi kalau kau tak ingin mendengar hal semacam itu maka yang perlu kau lakukan hanya satu, yaitu jaga sikapmu. Jangan pernah mengganggu ketenanganku,” ujarnya sembari bangkit. Dilapnya mulut dengan serbet, lalu dibantingnya serbet itu di meja. “Cih! Dasar wanita memuakkan!”

Vione ternganga. Dilihatnya Usher pergi dengan mulut membuka dan mata membesar. Sesaat, ia benar-benar bergeming. Lalu barulah ia geleng-geleng tak percaya.

“A-apa yang dikatakannya tadi? Wa-wanita memuakkan?” Vione merasakan dadanya jadi panas. Ia menggeram dan menggerutu. “Bisa-bisanya dia mengatakan aku memuakkan setelah semalam dia justru mengatakan yang sebaliknya.”

Masih segar di ingatan Vione, beragam pujian dan rayuan dilontarkan Usher kepadanya. Dikatakanlah oleh Usher bahwa ia adalah wanita yang sempurna. Ia adalah wanita yang tepat dan sungguh seperti yang diidam-idamkannya selama ini. 

Tak hanya itu. Usher pun berulang kali mengatakan hal serupa ketika mereka menyatu dan mendesah. Di sela-sela hunjaman kejantanan yang terus memporak-porandakan dunia Vione, Usher terus membisikkan kata-kata manis. Jadilah Vione terbang hingga ke langit ketujuh dan sekarang ia justru dihempaskan dengan amat menyedihkan.

“Kau benar-benar menyebalkan, Usher. Sebenarnya apa yang kau inginkan? Kau selalu saja begitu. Setiap malam kau membuatku merasakan surga dunia, tetapi keesokan harinya kau justru berubah menjadi neraka dunia,” gerutu Vione tanpa henti dan jadilah nafsu sarapannya hilang. Ia dorong piring berisi sarapan yang belum disentuhnya, lalu berdecak. “Kau membuatku bingung. Sebenarnya ada apa denganmu? Mengapa kau seperti dua orang yang berbeda? Kau se—”

Gerutuan Vione terjeda. Diresapinya kata demi kata yang baru saja terucap dari bibirnya. Ia merenung dan jadilah perasaan aneh yang sempat timbul tadi hadir kembali.

Vione kesal, tetapi keheranannya lebih mendominasi. Dipikir-pikirnya, memang ada kejanggalan yang terjadi. Tepat seperti yang dikatakannya tadi, Usher seperti dua orang yang berbeda.

Setiap malam dia mendatangiku. Dia merayuku dan sikapnya sangat lembut, penuh kasih. Lalu keesokan harinya dia justru bersikap sebaliknya. Dia ketus, dingin, dan tak segan-segar melontarkan kata-kata yang bisa menyakiti perasaanku.

Keanehan itu semakin menjadi-jadi. Benak Vione pun langsung terisi oleh fakta-fakta yang bertolakbelakang. Sikap Usher yang berbeda di kala malam dan pagi membuat ia jadi bertanya-tanya.

Apa yang sebenarnya terjadi? Maksudku, apa yang Usher lakukan? Mengapa dia melakukan itu dan membuatku bingung?

Jadilah sepanjang hari itu tak ada hal lain yang dilakukan oleh Vione. Diabaikannya beberapa laporan yang masuk ke Istana. Ia hanya sempat mengecek sekilas dan berpikir bahwa persoalan pendidikan para anak dan remaja Kawanan bisa menunggu sejenak. Lagi pula ia sudah menyusun proposal program pendidikan khusus sejak jauh hari. Ia tinggal melakukan penyelarasan antara laporan tahunan itu dan rencana pembelajaraan yang diajukan.

Selain itu rasanya percuma juga bila Vione memaksa untuk bekerja. Pikirannya benar-benar tidak bisa berpaling dari keanehan Usher. Jadilah ia menghabiskan waktu sepanjang hari di aula istirahat. Ia duduk dengan pandangan keluar yang menembus jernihnya kaca jendela, lalu diingat-ingatnya semua yang terjadi belakangan ini.

Usher. Sebenarnya ada apa dengan semua ini?

Waktu terus bergulir dan Vione masih tenggelam dalam alam pikiran. Diabaikannya jam makan siang dan hingga matahari mulai tergelincir di ufuk barat, ia masih bergeming dengan kemungkinan mustahil itu.

Tak mungkin ada dua Usher bukan?

Vione memejamkan mata seraya menggeleng. Dienyahkannya pikiran tak masuk akal itu dan dicobanya untuk menemukan kemungkinan yang terdengar lebih logis. Namun, suara derap langkah yang datang mendekat membuat semua pikirannya jadi buyar.

Vione berpaling dan mendapati kedatangan Mireya. Dihelanya napas panjang sembari bangkit dari duduk. Bertemu Mireya dengan kepala yang penuh diisi oleh keanehan Usher bukanlah hal yang bagus. Jadilah diputuskannya untuk pergi dari sana.

Mireya masuk sementara Vione berniat untuk keluar. Mereka bertemu di tengah-tengah aula dan Mireya menahan tangan Vione. Jadilah langkah Vione terhenti.

“Ada apa, Mireya?” tanya Vione sembari menatap lurus. Ditariknya tangan sehingga lepas dari genggaman Mireya. “Aku yakin kedatanganmu ke sini bukanlah untuk menemuiku. Kau pasti ingin bertemu dengan Usher, tetapi sayangnya dia belum pulang.”

Mireya tersenyum seraya beranjak. Dihadapinya Vione dengan santai. “Tentu saja aku tahu kalau dia belum pulang. Ehm. Kau mungkin tidak mengetahuinya, tetapi Usher selalu memberi tahuku jadwalnya sehari-hari.”

Vione diam. Matanya jadi menyipit. “Apa maksudmu, Mireya? Kau tidak sedang menyombongkan diri bukan?”

“Terserah bagaimana menurutmu. Aku hanya sekadar memberi tahu.”

“Informasi yang tak penting.”

Vione kembali melangkah. Diyakininya bahwa semakin cepat ia pergi dari sana maka semakin baik.

Namun, lagi dan lagi, untuk kesekian kalinya Mireya berhasil menahan langkah Vione. Kali ini tanpa ada tindakan fisik, melainkan ucapannya yang berhasil membuat kaki Vione berhenti melangkah.

“Aku hamil.”

Agaknya ada petir yang menggelegar tepat di depan mata Vione. Sesaat, pandangannya seperti kabur. Dunia seolah menghilang dan ia tak lagi punya apa-apa.

Ha-hamil? Tidak. Tidak mungkin.

Vione mengerjap. Dipaksanya diri untuk tetap bernapas walau yang terasa kemudian bukanlah lapang, melainkan perih yang menusuk-nusuk.

“Kukatakan sekali lagi, Vione. Aku hamil dan kau pasti tahu bukan siapa ayah dari bayi yang saat ini sedang kukandung?”

Dingin hadir dan dengan cepat menjalari sekujur tubuh Vione. Jadilah ia tak bisa bergerak dan benar-benar membeku jiwa-raga.

“Tentu saja Usher. Jadi, bagaimana menurutmu? Apakah ini adalah informasi yang bisa kau anggap penting?”

Vione tak bisa berkata-kata. Lidahnya kelu. Dunianya runtuh.

“Mireya, apa yang kau katakan tadi? Kau hamil?”

Vione mengerjap. Fokus matanya kembali. Ia mengerjap pelan dan dilihatnya kedatangan Usher beserta Garth.

Hati Vione berkehendak. Ia ingin memanggil Usher, tetapi tubuhnya seperti lumpuh. Tangan, kaki, dan bahkan lidahnya tak bisa digerakkan sama sekali. Jadilah ia hanya bisa mematung ketika Usher melewatinya dengan langkah tergesa untuk menghampiri Mireya.

“Ya, Usher. Aku hamil.”

Vione tertohok oleh nyeri yang menyentak di jantung. Ingin rasanya ia menutup mata dan telinga, lalu berlari dari sana. Ia tak ingin melihat dan mendengar kemesraan yang dipamerkan oleh Usher dan Mireya.

“Oh, Tuhan, Mireya. Kau hamil!”

Suara Usher menyiratkan kegembiraan. Ia tertawa dan sedetik kemudian terdengar pekik bahagia Mireya.

Kala itu Vione sadar bahwa seharusnya ia segera pergi dari sana, tetapi yang ia lakukan justru sebaliknya. Ia memutar badan dan dilihatnya pemandangan menyakitkan hati itu. Usher menggendong Mireya dan berputar-putar dengan diiringi oleh deraian tawa tak henti-henti.

Getir hadir. Disumpalnya pangkal tenggorokan Vione dengan rasa pahit tak terkira. Dihadangnya udara dan diberikannya hawa panas yang membuat sesak dada.

Vione gemetar. Tubuhnya terasa limbung dalam terpaan kenyataan. Namun, ia mencoba bertahan. Sebisa mungkin ia menguatkan diri dan tak menjatuhkan air mata.

“Oh, Usher. Berhenti. Kepalaku pusing. Aku khawatir akan muntah di sini.”

Tawa Usher mereda dan ia menurunkan Mireya. Ditangkupnya wajah Mireya dan seakan tak ada orang lain di sana, ia pun mencium Mireya.

Vione memejamkan mata. Ia tak sanggup melihat pemandangan itu. Dikuatkannya hati sementara di sebelahnya ada Garth yang hanya bisa menatapnya iba.

“Mireya, sungguh. Ini adalah kabar yang sangat membahagiakan. Kau tak akan tahu betapa bahagianya aku sekarang.”

Mireya tertawa. Usher tak henti-hentinya memeluk, lalu mencium setiap sisi wajahnya. “Usher, berhenti. Aku tahu kau bahagia, tetapi lihatlah. Di sini ada Vione.”

“Vione?” ulang Usher dengan nada tak yakin. Sedikit, ia menarik diri dengan tangan yang masih bertahan di pinggang Mireya. Diedarkannya pandangan ke sekitar, lalu ia mengeryit. “Vione! Sejak kapan kau di sana?”

Tawa Mireya jadi semakin pecah. Dipukulnya dada Usher dengan lembut. “Kau keterlaluan, Usher. Vione sudah berada di sini dari tadi.”

“Aku tak melihatnya.”

Vione menggigit bibir. Ia mencoba tak mendengar, tetapi ejekan itu lantas menggema di benak. Benar, selama ini kau tak pernah melihatku, Usher.

Begitu menyedihkan. Di mata Vione, hanya ada Usher. Namun, di mata Usher, hanya ada Mireya. Lalu Vione pun jadi bertanya-tanya, apa arti semua kata cinta dan sentuhan lembut yang Usher berikan kepadanya?

Vione tak terima. Lara di hatinya berontak. Jadi dikepalkannya jemari dengan sekuat mungkin, lalu dilihatnya Usher dan Mireya dengan tanpa kedip.

“Kalian benar-benar keterlaluan. Bisa-bisanya kalian berdua melakukan ini di hadapanku.”

Usher dan Mireya sama-sama berpaling pada Vione. Luapan kebahagiaan mereka terjeda. Namun, mereka tak merasa terganggu sama sekali dengan ucapan Vione, malah sebaliknya.

“Kalau kau tidak ingin melihatnya, kau bisa pergi, Vione. Lagi pula tak ada orang yang menyuruhmu untuk tetap berada di sini.”

“Usher.”

Mata Usher membesar. Satu tangannya meninggalkan pinggang Mireya demi menunjuk ke sembarang arah. “Kau tinggal pergi, Vione. Tidak ada yang menyuruhmu untuk tetap di sini.”

“Pergi?” ulang Vione dengan suara bergetar. Ditatapnya Usher dengan sorot yang menyiratkan semua buncahan kepedihan. “Kau menyuruhku pergi dari sini atau kau menginginkanku pergi dari kehidupanmu?”

Pertanyaan itu menarik keterkejutan semua pihak walau dengan emosi berbeda yang mengiringinya. Mireya, tentu saja berbinar-binar matanya. Sementara Garth lebih pada syok yang membuatnya berulang kali melihat Usher dan Vione secara bergantian.

“Aku tak mengatakan itu, Vione, tetapi kalau kau menganggapnya demikian maka apa boleh buat. Kau bisa pergi dari sini atau bahkan pergi dari kehidupanku. Aku sama sekali tidak peduli.”

Garth menggeleng pelan. Dicobanya untuk menenangkan Usher. “Alpha.”

“Diam, Garth,” perintah Usher tanpa tedeng aling-aling. Agaknya ia bisa menerka bahwa sang beta akan berusaha membela Vione. “Ini urusan pribadiku, jangan ikut campur.”

Namun, tidak sesederhana itu. Vione adalah pasangan Usher. Ia adalah luna. Ia adalah wanita dengan kedudukan tertinggi di kawanan. Jadi sudah sepatutnya Garth turut campur. Garth tidak ingin Usher hilang akal sehingga menimbulkan kekacauan.

“Alpha, kupikir sebaiknya kau sekarang beristirahat. Hari ini sangat padat dan kau pasti lelah.”

Tidak mempan. Usher bergeming dengan tatapan yang tertuju lurus pada Vione. “Pilihan ada di tanganmu, Vione. Apakah kau akan pergi atau tetap di sini?”

“Kau kejam, Usher. Kau benar-benar tidak berperasaan. Hanya demi wanita itu, kau tega melakukan ini padaku.”

Usher menggeram. “Jaga ucapanmu, Vione. Wanita ini adalah Mireya dan dia tengah mengandung anakku. Sebaiknya kau mulai belajar menghormatinya.”

“Menghormatinya?” Vione mendengkus dengan ironis, lalu ia tertawa perih. “Aku harus menghormati selingkuhanmu? Oh, lucu sekali, Usher.”

Wajah Usher memerah. Geramannya semakin menjadi-jadi, tetapi Mireya sebaliknya. Ia tampak tenang di bawah tudingan Vione.

“Aku memaklumi kemarahanmu, Vione. Kau pasti tak terima dengan kenyataan ini, tetapi mau bagaimana lagi? Di hati Usher, hanya ada aku. Apalagi sekarang aku mengandung anaknya.”

Wajah Vione berubah merah. Ketenangan Mireya justru menyulut kemarahannya. “Kau benar-benar wanita rendahan, Mireya.”

“Vione!”

Di saat Usher kembali menggeram, Mireya justru tertawa. Ditenangkannya Usher dengan belaian di dada, lalu ia berkata.

“Aku wanita rendahan? Ehm. Sepertinya ada yang tidak sadar diri di sini. Kau mengatakanku sebagai wanita rendahan, lalu bagaimana dengan dirimu sendiri, Vione? Bukankah kita sama rendahnya?”

Vione mengerutkan dahi. “Apa maksudmu?”

“Maksudku adalah …”

Mireya beranjak. Dilangkahkannya kaki dengan irama perlahan. Tatapannya menuju pada mata Vione yang menyorotkan kebingungan. Ia mendekat dan lalu berhenti tepat di hadapan Vione. Senyum penuh arti tersungging di wajahnya.

“… bukankah kau juga melakukan hal yang sama sepertiku?”

*

 

Bab Tujuh

“Apa maksudmu, Mireya?”

Mireya berpaling. Ditatapnya Usher dengan tangan yang terangkat dan ia menuding Vione. “Dia, luna yang dihormati oleh para kawanan, adalah wanita rendahan. Dia telah mengkhianatimu, Usher. Dia menyelingkuhimu.”

Vione ternganga. Dilihatnya Mireya dengan sorot tak percaya. Ia geleng-geleng, lalu meringis. “Jadi, ini taktikmu selanjutnya, Mireya? Tak cukup dengan merebut Usher dariku, bahkan sekarang kau mencoba memfitnahku?”

“Fitnah?” balas Mireya tersenyum dengan penuh percaya diri. “Menurutmu, apakah aku harus menyibukkan diri dengan memfitnahmu? Sementara Usher sendiri telah mencintaiku dengan begitu besar?” Ia menggeleng. “Tidak, Vione. Aku tidak perlu mengotori tanganku karena kenyataannya memang itulah yang terjadi.”

Di titik itu, Vione tak bisa meraba rencana apa yang telah disusun Mireya. Persis seperti yang dikatakan oleh Mireya, tak ada gunanya lagi ia memfitnah Vione. Nyatanya ia telah mendapatkan hati dan cinta Usher bahkan tanpa skenario tambahan lainnya.

Walau demikian Vione tak bisa tinggal diam. Ia tak akan membiarkan Mireya menudingnya untuk hal yang sama sekali tak dilakukannya.

“Aku tidak tahu apa rencanamu, Mireya. Seperti yang kau bilang, Usher memang mencintaimu. Jadi, kau tak perlu lagi memfitnahku. Pada kenyataannya aku sama sekali tidak melakukan itu.”

Mireya mendengkus. “Oh ya?”

“Aku tidak pernah menyelingkuhi Usher. Walaupun Usher tidak mencintaiku, bukan berarti aku akan melakukan hal serendah itu. Perlu kau camkan, Mireya. Kita berbeda.”

Keteguhan Vione membuat senyuman Mireya semakin lebar. Sikapnya tak ubah menyiratkan tantangan dan Vione menerima tantangan itu tanpa gentar. Jadilah mereka serupa dua orang petarung wanita yang siap untuk berlaga. Keduanya tampak sama-sama gigih.

“Kuyakin kita memang berbeda, Vione. Kau selalu menudingku sebagai wanita murahan karena menjadi selingkuhan Usher, tetapi aku mengakuinya. Setidaknya aku bukanlah pendusta sepertimu.”

“Untuk apa aku berdusta kalau aku memang tidak melakukannya?”

“Tipikal kriminal. Seorang penjahat tak akan pernah ada yang mengaku, begitu juga dengan dirimu.” Mireya berdecak samar seraya mengedarkan pandangan. Dilihatnya Usher dan Garth yang tampak kebingungan. Lalu ia tanyalah mereka. “Apa kalian juga menganggap kalau aku memfitnah Vione?”

Garth tak menjawab. Ia tak punya hak untuk turut bicara. Walau begitu diliriknya sang alpha, apa yang akan dilakukan oleh Usher?

Usher dilanda kebingungan. Agaknya ia butuh waktu lebih lama untuk mencerna kejadian kala itu. Jadilah ia bertanya pada Mireya.

“Apa maksud perkataanmu, Mireya? Vi-Vione?” tanya Usher sambil menunjuk Vione dengan ekspresi yang tampak ganjil. “Vione selingkuh?”

Mireya mengangguk. “Kau pasti tak menduganya bukan? Selama ini, ia selalu mengatai kita sebagai manusia tak berakhlak. Kita adalah manusia tak punya moral. Nyatanya? Dia selama ini melakukan hal yang sama. Vione telah menyelingkuhimu, Usher.”

“Tidak,” tampik Vione seraya menggeleng berulang kali. Diangkatnya tangan dan ia tunjuk Usher. “Kau boleh merendahkanku, Usher. Kau bisa melakukan apa pun sesuka hatimu, tetapi aku tidak akan pernah terima bila aku dituduh untuk hal yang tak pernah aku lakukan.”

Wajah Usher mengeras. Rahangnya berubah kaku. Ditatapnya Vione dengan tajam. “Benarkah begitu?”

“Kau tak percaya padaku, Usher?” Vione memejamkan mata dengan dramatis. Kepalanya terangkat, lalu tawa ironis berderai dengan menyedihkan. “Tentu saja. Kau tak pernah percaya padaku. Kau selalu mempercayai Mireya ketimbang aku.”

Usher menggeram. “Jawab pertanyaanku, Vione. Dengan siapa kau berselingkuh?”

“Aku tidak selingkuh, Usher! Aku tidak pernah berhubungan dengan pria mana pun setelah menjadi pasanganmu.”

“Dasar pendusta!”

“Aku tidak berbohong. Selingkuhanmu itu yang berbohong. Dia menuduhku—”

Mireya memamerkan sejumlah foto yang diambilnya dari dalam tas. Ditunjukkannya beberapa potret sehingga Vione jadi terdiam seketika. Semua kata-kata pembelaan langsung lenyap semua.

“Apa kau bisa menjelaskan apa ini?”

Vione membeku. Dilihatnya gambar itu walau tak lama. Usher merebut foto-foto tersebut dari tangan Mireya secepat kilat.

“Apa ini? Aku tidak mengerti.”

Mireya membuang napas dengan wajah pura-pura bersimpatik. “Itu adalah foto-foto yang kudapatkan dari rekaman kamera pengawas di lorong kamarmu. Kau bisa melihatnya sendiri bukan? Setiap malam, ada seorang pria yang selalu mendatangimu.”

“Tidak mungkin,” lirih Vione seraya beralih pada Usher. Dilihatnya mata Usher telah berubah berapi-api. “U-Usher.”

Geraman Usher terdengar makin memberat. Ia melihat satu persatu foto itu dengan emosi yang menggelegak. Lalu bentakan kemarahannya pun meledak.

“Vione!”

Usher membanting foto-foto itu ke lantai. Garth memungut beberapa dan ia tercengang tak percaya.

Foto-foto itu kebanyakan memotret kedatangan seorang pria ke kamar Vione. Penampilannya kasual dengan jaket dan masker. Tubuhnya tampak gagah dan perkasa. Ia menyiratkan kekuatan dan keanggunan dalam waktu bersamaan.

Sesaat, Garth tertegun. Ada perasaan janggal yang menjalari benak ketika dilihatnya foto-foto itu dengan saksama. Didapatinya perasaan tak asing, terkesan familier.

Garth kesampingkan hal tersebut. Hal lebih penting menarik perhatiannya. Disadarinya bahwa pria itu mendatangi kamar Vione tak hanya sekali atau dua kali, melainkan sering. Jadilah kejanggalan lain dirasakannya, bagaimana mungkin ia semudah itu keluar dan masuk ke Istana?

“Bisa-bisanya kau membawa selingkuhanmu ke Istana?!”

Bentakan Usher menghantam jiwa raga Vione. Jadilah ia terhenyak dengan tubuh dingin yang gemetaran. Langkah tersurut ke belakang, ia menggeleng berulang kali.

“Tidak, Usher. Aku sama sekali tidak selingkuh dan aku tidak pernah membawa siapa pun ke Istana. Aku bersumpah!”

Usher maju dan dicengkeramnya leher Vione. “Kau masih ingin membohongiku, Vione?”

“U-Usher,” lirih Vione terbata. Ia berusaha melepaskan cengkeraman Usher. “Le-lepaskan aku. A-aku tidak bisa bernapas.”

Sampai di sini, Garth tak punya pilihan lain. Ia berusaha untuk melepaskan Vione dari cengkeraman Usher.

“Alpha, tenangkan pikiranmu. Kau bisa menyakiti lunamu.”

Usher bergeming. Diperintahkannya Garth tanpa melirik sedikit pun. “Menyingkir, Garth.”

“Alpha, aku yakin ada kesalahpahaman di sini. Kita harus menyelidikinya dengan kepala dingin.”

“Garth.”

Suara Usher terdengar berbeda. Seumur hidup, Garth tak pernah mendengar Usher menyebut namanya seperti itu. Jadilah ia meneguk ludah, jelas menyadari peringatan yang tersirat di sana.

“Kubilang, menyingkir!”

Garth terpaksa mundur. Ia tak mungkin melawan perintah Usher, melawan perintah alpha adalah kesalahan tak termaafkan.

“Kau benar-benar berani, Vione. Aku tak pernah mengira kalau kau berani mengkhianatiku.”

Kemarahan Usher benar-benar tak terkendali. Tak dipedulikannya wajah Vione yang telah memerah dan tampak payah. Ia bersikukuh dengan emosi yang telah membutakan mata.

Vione terus mencoba membela diri. “Ti-tidak, Usher. A-aku tidak mengkhianatimu.”

“Kau berbohong padaku, Vione. Kau mengatakan cinta padaku, tetapi ini yang kau lakukan padaku?”

“Ti-tidak.”

“Kau selalu merendahkan Meriya, tetapi apa kau sadar kalau kau lebih rendah lagi? Setidaknya Meriya tidak pernah mengkhianati alphanya.”

Vione terus tersiksa sementara Meriya sebaliknya. Dinikmatinya kejadian itu tak ubah tengah menyaksikan pentas orkestra kelas dunia. Wajahnya menyunggingnya senyum yang amat semringah dan itu tak luput dari pengawasan sepasang mata Garth.

Sikap Meriya menimbulkan prasangka Garth. Diputuskannya untuk menyelidiki yang terjadi walau nanti. Sekarang ia perlu memutar otak untuk menyelamatkan Vione. Bila sampai hal buruk terjadi pada Vione maka bisa dipastikan kawanan akan geger.

Garth mengeluarkan ponsel. Satu-satunya harapan yang tersisa adalah Jemma. Siapa pun tahu betapa Usher menghormati sang ibu dan mungkin hanya itulah satu-satunya jalan yang bisa menjeda kekacauan malam itu.

“A-aku tak pernah mengkhianatimu, Usher. A-aku tidak menyelingkuhimu. Pr-pria itu, pria yang datang ke kamarku, itu adalah kau.”

Mata Garth membesar. Niatannya untuk menghubungi Jemma terjeda. Sekarang kalau dipikirnya kembali maka ia bisa merasakan sumber kejanggalan dan kesan tak asing yang dirasakannya tadi. Sosok itu persis Usher. Namun, mungkinkah?

“Apa kau bilang?” sentak Usher sambil mengangkat Vione hingga kakinya tak lagi menapak di lantai. “Kau bilang pria di foto itu aku?” Usher berang. Matanya memelotot dan cengkeraman semakin kuat. “Apa kau tidak bisa mencari pembelaan yang lebih masuk akal?!”

“K-kau jangan berpura-pura, Usher. Selama ini kau selalu mendatangiku di tengah malam. Kau tidur bersamaku dan pergi sebelum fajar datang.”

“Kau gila, Vione. Mustahil aku datang ke kamarmu dan tidur bersamamu! Jangan membuatku semakin muak! Apa kau benar-benar ingin melihat kemarahanku?!”

Vione meronta. Sekarang suara Usher tak ubah dengung di telinganya. Ia tak lagi bisa mendengar dengan jernih. Pandangannya pun mulai kabur. Semua mulai memudar seiring dengan harapannya yang pupus.

Pasrah hadir. Vione pejamkan mata dengan menabahkan hati. Mungkin inilah akhir hidupnya. Mungkin ia memang harus menghadapi kematian di tangan alphanya sendiri. Menyedihkan dan menyakitkan, tetapi ia tak pernah mengira bahwa hidupnya akan setragis ini.

“Alpha! Kau bisa membunuh Vione!”

Tubuh Vione terhempas dan mendarat di lantai dengan keras. Ia terbatuk sesaat, lalu ia pun menghirup udara dengan menggebu.

Sementara Usher yang mendapati Vione terlepas dari cengkeramannya langsung memandang murka pada Garth. Matanya memelotot besar, tampak berang. Dibentaknya sang beta dengan kemarahan yang membludak.

“Kau sadar dengan apa yang kau lakukan, Garth?”

Garth mengangguk. “Aku sadar, Alpha. Aku sedang menjalankan tugasku sebagai beta. Aku tidak ingin kau mengambil keputusan yang keliru. Kau bisa membunuh Vione dan itu pasti akan membuat kekacauan di Kawanan.”

Usher mengatupkan mulut rapat-rapat. Urat-urat di dahinya bertonjolan dan keringat mulai membanjiri wajah, bahkan tetesannya mulai jatuh ke lantai.

“Aku tidak ingin kau menyesali tindakanmu, Alpha.”

Setitik akal sehat Usher membenarkan perkataan dan tindakan Garth. Tak sepatutnya ia kelepasan emosi hingga mengancam nyawa Vione. Ia menyadari itu, tetapi bukan berarti emosinya bisa ditenangkan.

“Kau beruntung, Vione. Kau selamat hari ini.”

Usher berdecih saat melihat Vione yang kesusahan. Tangannya merayap di lantai, pundaknya turun naik karena terengah-engah. Keadaannya benar-benar memprihatinkan dan ia masih berusaha berusaha mengumpulkan kekuatan untuk bangkit.

“Selamat?” Vione resapi satu kata itu ketika pada akhirnya kakinya berhasil untuk berdiri lagi. Ditopangnya tubuh dengan berpegangan pada lutut untuk sejenak, lalu diangkatnya wajah. Ia tatap Usher dengan kepiluan. “Aku justru berharap mati, Usher. Mungkin dengan begitu aku bisa lepas dari semua ini.”

“Jangan membuatku menyesal karena tidak membunuhmu saat ini juga, Vione.”

Vione tersenyum tipis, mulanya. Lalu pelan-pelan senyum tipis itu berubah menjadi tawa perih. “Mengapa? Kalau kau mau membunuhku, bunuhlah. Aku tak akan melawan. Lagi pula aku sudah lelah dengan semua ini, Usher. Aku sudah tak sanggup lagi. Mengapa kau setega ini padaku? Mengapa kau terus menyakitiku? Mengapa kau menjadikanku pasanganmu kalau kau malah membuatku menderita? Mengapa?!”

“Jaga ucapanmu, Vione. Salah sedikit saja kau bicara maka aku bisa menganggap kalau kau ingin aku melepaskan ikatan perpasangan kita.”

“Melepaskan ikatan perpasangan kita?”

Garth menggeleng. Mireya berbinar-binar. Sementara Vione menatap Usher untuk sesaat seolah tengah meresapi makna kata-kata itu.

“Baiklah.” Satu kata terucap dan Vione rasakan panas mulai hadir di mata. Jadilah ia menarik napas dalam-dalam, lalu mengepalkan tangan dengan kuat. “Mari kita berpisah, Usher. Putuskanlah ikatan perpasangan kita.”

Garth maju selangkah, berusaha mencegah. “Vione.”

“Terima kasih untuk bantuanmu, Garth, tetapi aku sudah tak sanggup lagi. Aku tidak ingin menghabiskan waktuku dalam hidup yang menyedihkan seperti ini.”

Garth tak bisa berbuat apa-apa ketika Usher terlanjur menyambut permintaan Vione.

“Kuharap kau tak menyesal, Vione.”

Vione menggeleng. “Tidak akan. Lagi pula bukankah ini yang kau inginkan? Kau bisa menjadikan Mireya sebagai luna dan pasanganmu. Apalagi karena sekarang dia tengah mengandung bayimu.”

“Kau benar.” Usher menggangguk sembari tersenyum. “Kalau begitu, baiklah. Kupenuhi permintaanmu kali ini, Vione.”

Tak pernah dibayangkan oleh Vione sebelumnya bahwa hari itu akan tiba. Walau dirasanya memang wajar bila Usher tak mencintainya, tetapi ia tak mengira bahwa ia benar-benar akan mengalami takdir mengenaskan seperti ini. Cintanya pada Usher yang telah tumbuh sedari dulu harus musnah.

Vione menatap Usher. Ia berjanji di dalam hati bahwa itulah kali terakhir ia biarkan Usher untuk melihat pendaran cintanya dalam binar-binar. Ditabahkannya hati, lalu didengarnya Usher berkata.

“Aku, Alpha Usher Thorne, mengakhiri ikatan perpasangan denganmu, Vione Celestia Munest. Mulai hari ini kau bukan lagi luna dan pasanganku.”

Vione resapi kata demi kata yang diucapkan Usher. Tanpa ada paksaan, semua diucapkan Usher dengan penuh kesadaran. Usher benar-benar ingin menyudahi ikatan perpasangan di antara mereka dan untuk itu ada satu sesal yang hinggap di hatinya.

“Maafkan aku, Usher. Ternyata aku tidak bisa menjaga janji yang telah kubuat denganmu. Aku tidak bisa mempertahankan ikatan ini ketika kau sendiri yang meminta untuk mengakhirinya.”

Usher mengeryit. “Hah?! Kapan aku memintamu berjanji untuk mempertahankan ikatan ini? Sebaliknya, aku malah tak sudi terus terikat denganmu.” Satu kemungkinan melintas dengan cepat di benak Usher, lalu ia memelotot. “Jangan coba-coba untuk menarik rasa belas kasihanku, Vione. Itu tidak akan berhasil.”

Vione meringis. Tudingan Usher membuatnya mendengkus ironis. Tak disangkanya, Usher malah menuduh.

“Tidak, Usher. Aku sama sekali tidak sedang berusaha mengharapkan belas kasihmu.”

Dikuatkannya hati. Dilihatnya Garth dan Mireya. Vione abaikan isyarat permintaan Garth. Pun diacuhkannya senyum penuh kemenangan Mireya. Kali ini ia tak ingin memikirkan siapa-siapa. Satu yang dipikirkannya hanyalah diri sendiri.

Vione biarkan udara bergumul di dada. Dikepalkannya kedua tangan dengan seerat mungkin. Ia himpun serpihan-serpihan tenaga yang tersisa. Kemudian ia berkata.

“Aku, Vione Celestie Munest, menerima pemutusan ikatan denganmu sebagai luna dan pasangan, Alpha Usher Thorne.”

*

bersambung ….

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya Moonlit 1: The Clawless Luna Wants Rejection Bab 8-12 (Free)
1
0
Note: Cerita ini sudah tamat dengan total 37 bab yang dirangkum menjadi 7 bab besar di KaryaKarsa.Genre: Romantis, Manusia Serigala, Fantasi, Dewasa (18+)~“Semua itu bukti tidak langsung, Usher. Kumohon, selidiki lebih lanjut!” seru Vione seraya berusaha melepaskan diri. “Kedua orang tuaku tidak tahu apa-apa. Kumohon, ampuni mereka. Biarkan aku yang menanggung semuanya. Jangan mereka.”Sebaliknya, Addy dan Hilary memiliki pemikiran sendiri. Mereka saling pandang dan sama-sama menyadari kemungkinan lain. Agaknya ini adalah cara alpha untuk menghukum Vione. Usher ingin membuat Vione menderita, salah satunya melalui mereka.Jadilah Addy menggenggam tangan Hilary. Dikuatkannya hati dan Hilary tersenyum. Mereka telah mengambil keputusan. Apa pun boleh terjadi dan mereka siap menanggung semuanya, asalkan Vione selamat. Selagi Vione hidup maka semua baik-baik saja.“Aku, Addy Roberto Munest, menerima hukuman mati ini, Alpha Usher Thorne.”Rontaan Vione terhenti seketika. Selagi para guard tetap menahannya, ia pun berpaling ke belakang. Dilihatnya Addy dan Hilary, lalu ia menggeleng dalam permohonan.“Tidak.”Namun, Addy tidak goyah. Begitu juga dengan Hilary.“Aku, Hilary Russell, menerima hukuman mati ini, Alpha Usher Thorne.”Jiwa raga Vione pecah berderai. Air matanya tumpah tak terkira. Ia mengerang sakit dan tak bisa melakukan apa-apa ketika para guard mulai membawa Addy dan Hilary dari sana.“Jangan. Kumohon. Ampuni mereka, Usher. Kumohon. Hukum aku, Usher. Hukum aku sesuka hatimu, tetapi jangan mereka. Jangan orangtuaku. Aku mohon.”Permohonan Vione tak berarti apa-apa untuk Usher. Ketika tangannya diangkat dalam bentuk kepalan maka putusan pun telah disahkan. Addy dan Hilary akan menjalani hukuman mati hari itu juga.
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan