RELOVE: The Days With My Exes (Bab 1-3)

7
4
Deskripsi

“Aku tau, Zi. Tapi, mungkin saja nggak ada yang terjadi di antara kita. Kan ... bisa saja kita berdua cuma tidur bareng.”

Perkataan Ben tidak membuat Elzi tenang. Alih-alih ia justru menggeram. Matanya yang sempat redup lantaran ketakutan, berubah. Meradang dan menyorotkan beragam kemarahan. Ben pun buru-buru menjernihkan perkataannya.

No no no. Tidur bareng maksud aku ya tidur. I mean, we fell asleep. Okey? Bukan ....” Ben meneguk ludah. “It's not like we had sex.”

Mata Elzi semakin...

1. The Fucking Reunion

Elzira Citrani merasa kegamangan yang membuat dirinya bagai terombang-ambing. Seolah ia yang tak lagi ditahan oleh gaya tarik bumi. Persis seperti seluruh isi antariksa tertarik ke dalam satu lobang hitam. Dengan amat tiba-tiba. Begitu mendadak. Mengisap. Terasa menyentak nyawa hingga membuat ia membuka mata dengan seketika. Terbangun dari tidur. Dan mendapati rasa sakit itu langsung hadir, memberikan denyutan-denyutan yang membuat ia mengerang.

“Astaga, Tuhan.”

Memijat dahi seraya melirih pelan, Elzi lantas merasakan kerongkongannya amat kesat. Kering. Menghadirkan rasa tak nyaman yang mendera. Namun, itu belum seberapa.

Beberapa saat kemudian Elzi mendapati rasa sakit yang menyelimuti tubuhnya. Pegal. Remuk. Dan entah kata apa lagi yang bisa ia gunakan untuk menggambarkan keadaannya saat itu. Semua terasa sungguh menyiksa.

Menarik napas dalam-dalam, Elzi berusaha untuk menenangkan diri. Mencoba untuk mengabaikan rasa sakit, ia mengerjap. Perlahan, demi berupaya menyesuaikan retina mata terhadap cahaya temaram di sekililingnya kala itu.

Ketika bola matanya mengitari keadaan, Elzi mencoba berpikir. Dahinya berkerut di saat ia memaksa otak untuk mengingat. Lantas berbagai kilasan kejadian beberapa saat yang lalu melintas di benaknya. Menampilkan wajah-wajah riang. Penuh canda. Tawa terbahak. Yang tentu saja dimeriahkan oleh makanan dan minuman. Tampak begitu bahagia.

Ah.

Mata Elzi membesar tatkala berhasil mengingat hal penting itu. Sesuatu yang harusnya tak akan mudah ia lupakan. Ehm ... apalagi kalau bukan reuni SMA?

Malam itu Elzi menghadiri acara reuni SMA yang diselenggarakan di rumah salah seorang temannya, Angela. Wanita cantik teman sebangkunya yang saat ini memilih untuk mengabdikan diri sebagai dokter di wilayah perbatasan.

Dan hal terakhir yang kemudian Elzi ingat adalah suara teman-teman yang riuh. Mungkin sedang mencemooh dirinya yang ternyata masih saja tak tahan dengan minuman beralkohol.

Elzi menghela napas panjang. Merutuk di dalam hati. Memangnya sejak kapan tidak bisa meminum alkohol menjadi hal yang memalukan?

Sekarang kalau diingat-ingat lagi, sangat wajar bila saat ini Elzi merasa pusing. Dan rasa pusing itu sudah pasti ditambah dengan rasa kesal mengingat beberapa orang temannya yang ternyata masih saja suka mengusilinya.

Dasar mereka! Minuman apa sih yang mereka campur ke gelas aku tadi?Argh. Ini wajar banget kalau aku merasa badan aku kayak kena timpuk gunung. Pasti gara-gara minuman itu.

Menahan geram, Elzi mengangkat tangan kiri. Hanya demi melihat jam yang melingkar di sana dan menimbang sejenak, apakah ia akan pulang atau memutuskan melanjutkan tidur malam itu.

Jam dua malam.

Sebenarnya Elzi bisa saja pulang, tapi agaknya tidur terdengar lebih tepat untuk dilakukan daripada pulang. Tubuhnya sedang berada di kondisi yang tidak bisa diajak bekerja sama dan walau ia hanya akan duduk santai di dalam taksimengingat mobilnya sedang berada di bengkel, Elzi tak ingin mengambil risiko pulang dini hari. Siapa yang bisa menjamin keselamatannya?

Menyingkirkan jauh-jauh rencana untuk pulang, Elzi berniat melanjutkan tidur. Diawali dengan mengangkat kedua tangannya sejenak demi sekadar merenggangkan otot tubuh yang terasa kaku.

Elzi menggeliat di balik selimut. Mencari posisi nyaman, berbaring menyamping. Lantas ia mengayunkan tangan dan kaki dengan dramatis secara bersamaan. Mendaratkannya di atas guling.

Namun, rasa nyaman yang Elzi rasakan dan khayalan yang ia dambakan, mendadak menghilang. Tergantikan oleh rasa bingung. Tepat ketika ia merasa guling itu membalas pelukannya. Dengan satu tangan yang terasa berat mendarat di atas tubuhnya!

Eh?

Mata Elzi yang semula sudah memejam, sontak membuka. Berusaha berpikir. Hanya untuk terkesiap.

“Eh?! Sejak kapan guling punya tangan?”

Dan kala itu, kalau mau dipikir-pikir lagi, Elzi baru menyadari keanehan lainnya. Sepertinya ia baru sadar bahwa yang berada di bawah kepalanya jelas bukanlah bantal yang biasa ia gunakan saat tidur. Bantal yang satu ini tidak empuk. Alih-alih, justru terasa ... keras dan memiliki bentuk yang aneh. Tepatnya bentuk seperti tangan.

Hah? Tangan lagi? Tu-tunggu dulu. Kenapa bantal-bantal di sini pada punya tangan? I-i-ini benaran tangan ... atau aku yang halu sih? A-a-apa gara-gara minuman itu? A-a-aku jadi semacam yang mabuk gitu?

Elzi mencoba tidak panik. Namun, semua semakin tak berguna ketika matanya menangkap kenyataan lain. Yaitu, bahwa bukanlah guling yang menjadi tempat ia menyurukkan wajah. Alih-alih dada bidang yang bergerak samar dalam alunan napas teratur. Nahas, dada bidang itu tak mengenakan sehelai benang pun! 

What?!

Berbantalkan lengan, menyuruk pada dada, dan satu tubuh memeluk tubuhnya? Tidak bisa tidak. Satu pertanyaan itu seketika timbul di benak Elzi.

Ini aku beneran mabuk atau .... Ini siapa?!

Dengan getar-getar ketakutan, Elzi memberanikan diri untuk mengangkat wajah. Demi mendapati satu wajah tampan yang terlelap tepat di depan matanya. Satu wajah yang paling tidak ia duga sebelumnya. 

Mata Elzi membesar pelan-pelan. Pun menyempatkan diri untuk mengucek terlebih dahulu matanya sebelum ia melotot dengan lebih lebar lagi. Berharap agar wajah di hadapannya bisa berubah. Menjadi bantal, guling, atau apa saja. Yang penting bukan wajah seseorang. Terutama kalau itu adalah ....

B-B-Ben? I-i-ini Ben? Ya Tuhan. B-B-Ben Yogaswara?

Tidak bisa tidak. Elzi tak mampu menahan jeritannya. 

“Ah!”

Panjang dan kuat, jeritan Elzi bahkan hanya butuh hitungan detik untuk memberikan dampak bagi cowok yang pulas itu. Membuat ia mau tak mau meringis seraya mengusap telinga. Pun terdengar bergumam. Reaksi alamiah semua orang tatkala merasa tidurnya diusik.

Perlahan, layaknya itu adalah adegan slow motion di film-film, Elzi melihat bulu mata cowok itu bergerak-gerak. Kelopaknya membuka. Tepat di depan mata Elzi. Tak bisa dihindari lagi, dua pasang mata langsung beradu dalam satu tatapan yang lurus.

Hening sejenak ....

Kedua pasang mata itu mengerjap sekali. Lalu saling menatap lagi. Seperti mereka berdua adalah sistem komputer yang sedang mengalami bug. Seolah masing-masing dari mereka perlu waktu sejenak untuk mencermati keadaan kala itu.

Elzi menahan napas. Layaknya ia yang tengah menunggu, kejadian mengejutkan apa lagi yang akan terjadi selanjutnya. Yang disertai oleh pengharapan. Mungkin saja ia benar-benar mabuk. Tapi ....

“Zizi.”

Tidak ada halusinasi. Tidak ada mabuk. Mungkin mata bisa ditipu, tapi suara itu jelas bukan suara bantal ataupun guling. Suara itu terdengar berat dan dalam. Lebih dari cukup untuk membuktikan pada Elzi bahwa bukan hanya dirinya yang berbaring di kasur itu. Alih-alih, ada seorang cowok yang bersamanya. Seseorang yang selalu memanggilnya dengan cirinya sendiri.

Untuk sekejap mata, seperti ada hantaman tak kasat mata yang menimpa Elzi. Atau seperti ada sentilan yang membuat jantungnya berdenyut dalam rasa yang tak nyaman. Lebih dari itu, dari semua kesan sesak yang ia rasakan, Elzi sama sekali tidak pernah mengira bahwa akan ada masa di mana ia mendengar panggilan itu kembali. Setelah sekian lamanya. Setelah bertahun-tahun.

Dan itu ... harus Elzi akui. Bahwa ia benci mendengar irama yang masih cowok itu lantunkan saat menyebut namanya. 

Elzi menyingkirkan semua hal dari benaknya. Teralihkan pada sorot kosong di tatapan cowok itu. Seolah ia belum sadar akan situasi yang terjadi pada mereka berdua. Dan seperti ingin mempertegas ketidaksadarannya, di detik selanjutnya, ia justru bertanya.

“Kamu kenapa ada di sini?”

Namun, Elzi tidak sempat menjawab. Lantaran mata Ben perlahan membesar. Tepat ketika ia melihat pada tangannya. Yang mendarat di atas bahu polos Elzi. Oke, tidak terlalu polos dengan fakta bahwa ada seuntai tali bra di sana.

What?! Tali bra?

Ben syok. Buru-buru melepaskan tubuh Elzi. Sekarang sorot kosong di matanya menghilang. Tergantikan oleh emosi keterkejutan yang Elzi tolak untuk ia percaya.

Wajah Ben memerah. Bangkit. Dan bertanya lagi dengan panik.

“Ka-ka-kamu. Kamu kenapa bisa ada di sini? Ya Tuhan. Kamu kenapa ada di sini?”

Turut bangkit, Elzi meradang mendapati justru dirinya yang dicerca pertanyaan oleh cowok itu. Bukankah seharusnya sebaliknya?

“Harusnya aku yang tanya gitu!” bentak Elzi murka. “Kamu kenapa ada di sini? Kenapa kamu ada di tempat aku tidur? Dasar bajingan sialan!”

Bersiap dengan semua kemungkinan yang bisa Ben katakan untuk membalas perkataannya, Elzi justru mengerutkan dahi dengan bingung ketika cowok itu justru diam. Nyaris tak bergerak. Bergeming. Bahkan matanya pun tampak tak berkedip.

Respon diam Ben membuat Elzi bingung. Mendorong dirinya untuk mengikuti arah tatap Ben. Menuju pada tempat yang menjadi penyebab diamnya Ben. Akhirnya Elzi paham mengapa Ben bergeming. Tak bergerak atau bahkan mungkin tidak bernapas!

Hanya ada bra. Hanya ada bra yang melekat di tubuh Elzi. Selain itu tidak ada apa-apa lagi yang menutupi tubuh polosnya.

Kembali, Elzi menjerit. Mengumpati dirinya sendiri lantaran lalai menahan selimut di tubuh. Jadi rasanya wajar kalau Ben sampai mematung. Memangnya cowok normal mana yang masih berkedip bila ada tampilan nyaris bugil seorang cewek di depan matanya?

“Dasar bajingan mesum!”

Membentak Ben, Ezli langsung menyambar selimut. Berusaha untuk menutupi tubuhnya sebisa mungkin walau tak ayal satu suara terdengar di benaknya. Mengejek.

Memang ngaruh ditutup lagi, Zi? Dengan keadaan kalian berdua yang kayak gini, dijamin Ben pasti sudah lihat semuanya. Bahkan dijamin. Pasti lebih dari lihat doang.

Meremas tepi selimut di depan dada sekuat tenaga, mata Elzi memejam. Hanya untuk menggeram dengan penuh kemarahan.

“Argh!”

Reaksi Ben untuk emosi Elzi itu, alamiah sekali. Ia gugup. Salah tingkah. Tapi, itu tidak membuat Elzi tenang. Malah sebaliknya.

Please, Zi. Nggak usah tertipu lagi sama tampang sok alim dia. Sekali kamu pikir dia sudah berubah, dijamin! Kamu bakal terjatuh lagi!

Elzi tidak bisa tenang. Alih-alih, ketakutan perlahan mulai memunculkan wujud di wajah cantik itu. Dengan satu pemikiran yang alamiah sekali.

Ya Tuhan. Dengan semua ini, gimana kehidupan aku selanjutnya? A-aku .... Gimana bisa aku terjebak dalam keadaan kayak gini?

Lantaran tampilan polos dada Ben yang bidang dan berikut lekukan maskulin di perutnya, teramat ampuh membuat kepanikan Ezli bertambah. Meningkat berkali-kali lipat dalam hitungan detik yang singkat.

“Zi.”

Lirihan pelan Ben membuat Elzi berpaling. Wajahnya tampak menakutkan seolah ia siap untuk menelan Ben bulat-bulat!

“Aku nggak tau kenapa kita bisa kayak gini.”

Tak ingin, tapi sungguh. Perkataan Ben yang terkesan sok polos membuat Elzi melongo. Disertai dengan mual-mual di perutnya.

“Hah? Nggak tau? Kamu bilang kamu nggak tau? Nggak tau? Ya ampun. Terus yang kamu tau apa? Hukum phytagoras kamu tau?!”

Ben salah tingkah. “Bukan gitu maksud aku. Tapi ....” Ia menghirup napas dalam-dalam. “Aku tadi kayaknya sedikit mabuk. Jujur aja, aku nggak ingat banyak,” lanjutnya sambil mengingat. “Dan ....”

Ben tak melanjutkan perkataannya. Lantaran Elzi kembali memejamkan mata. Seolah ia menolak untuk melihat kenyataan kala itu.

Dasar alkohol bajingan! Siapa sih pencetus minum alkohol?! Sudah cukuplah alkohol itu jadi bahan sterilisasi! Jangan dipakai buat minum-minum! Argh!

Rasa geram itu semakin menjadi-jadi. Bergemuruh dan bermuara pada kesedihan yang tak mampu Elzi tahan. Menimbulkan buliran air mata yang perlahan merembes di balik kelopak mata. Mendobrak pertahanan Elzi. Jatuh dalam bentuk tangisan yang membuat Ben membeku. 

“Zizi.”

Tak disangka Elzi dan bahkan mungkin oleh para setan di dunia, Ben meraih tubuh cewek itu. Menghadirkan syok di sepasang mata Elzi yang tengah berlinang. Ia ingin menarik diri, tapi Ben selalu memiliki kekuatan yang tak mampu untuk ia lawan.

Elzi mengerjap. Sedetik kemudian ia mendapati kepalanya mendarat di dada yang bidang Ben. Pun diikuti oleh tangan Ben yang lantas mengelus kepalanya.

“Aku minta maaf. Aku tau permintaan maaf aku nggak bakal mengubah keadaan. Tapi, aku serius. Aku minta maaf.”

Bisikan pelan Ben membuat Elzi terdiam. Ia tak mengatakan mengatakan apa-apa lantaran amarah Elzi perlahan berubah menjadi ketakutan. Yang menghadirkan rasa dingin dan mulai merambah ke seluruh saraf tubuhnya. Berikut dengan pertanyaan yang mengisi benak. 

Tuhan, apa salah aku? Kenapa aku harus terjebak lagi dengan cowok ini?

Sikap diam Elzi membuat Ben tak tenang. Ia mengangkat dagu Elzi dengan jari, membawa tatapannya untuk menuju pada mata bening itu. Ia membuang napas pelan dan membiarkan embusannya membelai wajah Elzi.

“Zi, tenang. Just relax,” kata Ben kemudian. “Mungkin yang kita pikirkan nggak terjadi.”

Elzi melongo. “Hah? Yang kita pikirkan?” tanyanya dramatis. “Memangnya kamu tau apa yang aku pikirkan?”

Tentu saja tidak sulit menebak arah pikiran Elzi. Berdasarkan keadaan mereka berdua yang tanpa pakaian, berada di kasur yang sama, di balik selimut yang sama, dan sambil berpelukan, tentu saja muara dugaan hanya tertuju pada satu hal. Yaitu, sadar atau tidak, mereka berdua sudah melakukan hubungan intim.

Namun, entah apa yang dipikirkan oleh Ben ketika ia justru berkata.

“Aku tau, Zi. Tapi, mungkin saja nggak ada yang terjadi di antara kita. Kan ... bisa saja kita berdua cuma tidur bareng.”

Perkataan Ben tidak membuat Elzi tenang. Alih-alih ia justru menggeram. Matanya yang sempat redup lantaran ketakutan, berubah. Meradang dan menyorotkan beragam kemarahan. Ben pun buru-buru menjernihkan perkataannya.

No no no. Tidur bareng maksud aku ya tidur. I mean, we fell asleep. Okey? Bukan ....” Ben meneguk ludah. “It's not like we had sex.”

Mata Elzi semakin melotot dan Ben dengan cepat kembali berkata.

“Mungkin kita nggak melakukan apa-apa. Ya kan? Bisa saja. Semua hal tetap ada peluangnya.”

“Oh, sekarang kita membahas soal peluang?”

Dramatis, Elzi memejamkan mata untuk beberapa saat. Berusaha menenangkan diri, alih-alih kembali menjerit histeris dengan lebih kuat lagi. 

“Jadi bisa kamu jelasi kenapa keadaan kita seperti ini kalau kita memang ...”

Elzi merasakan napasnya sesak. Suaranya rendah, tapi tajam mendesis ketika melanjutkan perkataannya.

“... did nothing? Dengan keadaan aku yang nyaris telanjang? Di atas kasur dengan kamu?! Dan kamu juga nggak pakai pakaian?!” Mata Elzi menghunjam. “Menurut kamu, kita kepanasan terus buka baju bareng biar nggak gerah gitu?! Terus kita main peluk-pelukan biar kayak yang akrab gitu?! Iya?! Kamu pikir kita Laa-Laa dan Tinky Winky yang hobinya berpelukan?!”

Ben menghela napas panjang. “Sabar, Zi.”

“Gimana aku bisa sabar kalau keadaannya kayak gini?! Aku bukan turunan Bunda Teresa yang bisa sabar! Aku cuma cewek biasa yang bersumpah akan bunuh kamu hidup-hidup dengan cara yang paling bar-bar!”

“Oke oke. Coba kita cek dulu. Kita lihat apa kita memang melakukannya atau kita memang cuma sekadar tidur bareng. Seharusnya ada sesuatu di kasur ini yang membuktikannya,” ujar Ben kemudian. “Nyaris naked dan berdua di atas kasur belum tentu menjadi bukti kalau kita berdua making love. Yaaah ... kemungkinan kita cuma gerah tetap ada peluang. Walau cuma 0,1%.”

“Nyaris naked? Making love?” tanya Elzi histeris. “There’s no love!”

Tanpa sadar, Elzi mengangkat tangan. Mengepalkannya dan mendaratkan tinju pelampian pada dada Ben.

Ben dengan sigap menangkap tinju Elzi yang tak seberapa. “Kita selesaikan dulu ini, Zi. Baru habis itu kalau kamu memang mau pukul aku ya ... pukul. Terserah.”

“Kalau memang terbukti, aku janji. Bukan pukulan yang bakal aku berikan ke kamu. Tapi, kematian!” ancam Elzi seraya bangkit dan tak lupa untuk mengumpat. “Dasar bajingan!”

Tak akan abai untuk yang kedua kali, Elzi memastikan ia mempertahankan selimut di dadanya bahkan ketika ia turun dari tempat tidur. Nahas, apa yang ia lakukan justru membuat selimut tertarik dan memperlihatkan satu pemandangan yang Ben sembunyikan dari tadi.

“Aaah!”

Elzi kaget. Syok. Namun, matanya melotot. Tertuju pada satu titik di antara dua kali Ben.

“Ada hidung Squidward!”

Ben pun ikut-ikutan melotot. Pun ikut-ikutan syok. Namun, jelas dengan penyebab yang berbeda.

 “A-a-apa?” tanya Ben gagap. “Hidung Squidward?”

Ben melihat ke bawah. Pada titik di mana Elzi melihat sebelum pada akhirnya ia menjerit histeris kembali.

“Wah! Kamu bilang ini hidung Squidward? Hah! Kamu nggak tau kalau yang kamu bilang hidung Squidward ini bisa berubah bentuk jadi tombak trisula Aquaman?”

Berusaha untuk tidak mendengar perkataan Ben, Elzi berupaya menutup telinga. Pun menutup mata. Di dalam hati ia berdoa agar tampilan polos Ben yang sukses masuk ke retinanya, bisa ia enyahkan dari dalam pikiran.

Astaga. Tampilan polos! Tentu saja. Lantaran hanya itulah satu-satunya alasan mengapa Elzi sampai bisa melihat hidung Squidward di sana.

Ya ampun.

“Di-di-diam kamu! Jangan ngomong yang aneh-aneh. Dasar prikopat mesum! Cabul!” geram Elzi dengan wajah yang terasa panas. “Dasar hidung Squidward.”

Kali ini Ben ikut-ikutan memejamkan mata. Dadanya mendadak terasa panas karena lagi-lagi mendengar istilah itu. Hidung Squidward? Ya ampun. Yang benar saja. Mana ada cowok yang mau organ intimnya disebut dengan istilah menggelikan seperti itu? Tentu tidak ada. Dan itu, jelas termasuk Ben di dalamnya. Jadi wajar saja bila pada akhirnya rasa sabar yang berusaha untuk ia pupuk sejak tadi, sirna. Lenyap tak berbekas sedikit pun.

“Hidung Squidward? Ehm ... kamu beneran mau lihat bukti kalau hidung Squidward ini bisa berubah bentuk jadi tombak trisula Aquaman? Iya? Hah! Aku bilangin ya. Tujuh samudra bakal badai tsunami kalau dia sudah berubah bentuk!”

“Aaah!” jerit Elzi. “Berenti! Dasar cabul! Mesum! Nggak otak nggak penampilan kamu, semuanya nggak ada yang beres! Berhenti ngomong yang aneh-aneh!”

Kembali, Ben tercengang dengan perkataan Elzi. Ia geleng-geleng kepala.

“Ternyata setelah sekian lama kita nggak ketemu, kamu memang nggak berubah. Mulut kamu itu memang ....” Ben tak mampu meneruskan perkataannya. “Ck. Dan tadi kamu ngomong apa? Penampilan aku nggak beres?”

“Memang! Otak dan penampilan kamu sama nggak beresnya!”

Ben tertawa satire. “Ha ha ha ha. Memangnya penampilan kamu sudah beres sampe ngomong penampilan aku nggak beres? Dengan selimut yang menutupi dada, sementara dua bokong kamu ke mana-mana? Itu menurut kamu beres? Aku bahkan bisa lihat ada tahi lalat di bokong kamu!”

What?

“Siapa sih yang nggak beres?”

Stop!”

Elzi meradang. Buru-buru memutar tubuh sembari kembali merutuki diri. Astaga! Mengapa ia melupakan bagian belakang tubuhnya dan hanya fokus pada bagian depan? Mengesalkan, entah sudah berapa lama Ben memanfaatkan hal tersebut.

Memastikan tubuhnya sudah tertutup, Elzi mendapati Ben berdiri di hadapannya. Terpisah oleh tempat tidur, Ben telah mengenakan celana dalamnya yang bertipe low-rise briefs.

Wajah Elzi jengah. Celana dalam itu membuat bagian intim Ben tampak menakutkan. Melihat reaksi itu, Ben menyeringai.

“Jangan sampe kamu ileran lihat hidung Squidward, Zi.”

Astaga!

Elzi membuang muka. Ia abaikan tatapan Ben dan teringat akan hal yang lebih penting ketimbang hidung Squidward.

Pandangan Elzi menyusuri tempat tidur demi menemukan sesuatu yang bisa menjadi indikasi untuk apa yang telah terjadi padanya dan Ben. Ia menemukannya. Berupa satu bercak merah yang tampak bersembunyi di balik motif bunga-bunga seprai.

Tak hanya Elzi, sejurus kemudian Ben turut melihat pada titik yang sama. Bertepatan dengan satu suara gedebuk yang membuat Ben segera beralih. Pada Elzi yang tiba-tiba jatuh terduduk di lantai. Seolah ia tak lagi mampu melawan gaya gravitasi.

Dingin. Elzi yakin bahwa rasa dingin itu bukan berasal dari lantai berkeramik mahal. Alih-alih berasal dari ketakutan yang membayang di benaknya.

Sekarang Elzi bukan hanya panik. Semua sarafnya seperti mati rasa. Jantungnya seolah tak berdetak lagi. Ia pikir kehidupannya sudah berakhir saat itu pula.

“Ya Tuhan. Ini ... ini ....”

Elzi tak tahu apa yang akan ia katakan. Ia hanya membiarkan sebulir air matanya jatuh.

Ben segera bertindak. Beranjak cepat. Meraih tubuh Elzi dan mengajaknya duduk di tempat tidur. 

“Zi.”

Untuk lirihan pelan yang Ben ucapkan, hanya ada tatapan kosong yang mampu Elzi berikan. Hal yang terang saja membuat Ben meneguk ludah dengan panik.

Ben menangkup pipi Elzi, menahan wajah cantik yang telah memucat itu tepat di depan wajahnya. Amat dekat. Bahkan saking dekatnya, Elzi bisa merasakan hangat embusan napas Ben. Pun sebaliknya dengan Ben. 

“Aku bakal bertanggungjawab,” lanjut Ben dengan serius. “Aku bakal nikahi kamu. Jadi ...” Ia menarik napas sekilas. “... kamu nggak perlu khawatir.”

Namun, Elzi tak merespon perkataan Ben layaknya ia yang memang sudah mati. Ia diam. Dengan satu suara sinis yang mendadak muncul di benak.

Bakal nikahi aku? Hah? Dia bilang dia bakal nikahi aku? Memangnya aku lupa kalau dia dulu juga pernah janji hal yang sama? Tapi, nyatanya? Dia hilang entah ke belahan dunia bagian mana. Hilang tanpa kabar sedikit pun!

Elzi menggeleng.

“Nggak. Nggak mungkin,” gumam Elzi dengan suara yang teramat samar. “Nggak mungkin aku nikah dengan kamu. Nggak. Pokoknya nggak.”

Dipenuhi oleh beragam bayangan di benaknya, Elzi menarik diri. Ia meremas selimut di tubuhnya dan bangkit lagi. Demi kembali melihat ke atas tempat tidur. Kali ini dengan lebih saksama.

“Minggir!”

Perubahan mendadak sikap Elzi membuat Ben bingung. Namun, ia tak membantah. Ia bergeser ketika Elzi kembali memeriksa kasur. Meraba seolah sedang mencari sesuatu.

“Kenapa, Zi?” tanya Ben bangkit. “Kamu cari apa?”

Tidak menemukan apa pun di kasur, Elzi meneguk ludah. Ia hampiri Ben dan tanpa sadar sadar meraih satu tangannya. Ia menengadah saat berusaha memaku tatapan Ben.

“Bilang ke aku kalau kamu pakai.”

Kali ini tak hanya bingung, dahi Ben pun langsung berkerut tak mengerti. “Pakai? Maksud kamu pakai apa?”

Elzi menggigit bibir bawah sekilas. Seolah merasa bimbang ketika didesak oleh pertanyaan itu. Ekspresinya tampak ngeri ketika ia menjawab setengah berbisik pada Ben.

“K-k-k ....”

Belum mengerti, Ben kembali bertanya. “K-k-k apa?”

Memejamkan mata, Elzi menjawab. “Kondom!”

“Uhuk!”

Ben sontak terbatuk-batuk sementara Elzi melotot lebar. Menyiratkan emosi yang benar-benar tak terbendung lagi. Tak peduli dengan wajah Ben yang berubah merah atau batuk-batuk salah tingkahnya, Elzi menodong Ben dengan pertanyaan bernada harapan itu.

“Kamu pakai kan? Terus bekasnya sudah kamu buang? Ke mana? Tong sampah? Kloset? Atau ....”

Lantaran itulah adalah satu-satunya harapan yang tersisa untuk Elzi. Ia mungkin melakukan kesalahan tanpa disengaja bersama Ben. Namun, bukan berarti ia harus terperangkap dalam pernikahan bersama cowok itu kan? 

Nahasnya, harapan terakhir Elzi perlahan sirna ketika Ben menarik napas dalam-dalam. Membiaskan ekspresi yang tidak Elzi harapkan. Cowok itu kemudian menggeleng.

Elzi tertegun untuk beberapa detik. “Ka-kamu nggak pakai? Kamu nggak pakai kondom? Serius? Kamu nggak pakai?”

Kembali, Ben menggeleng. “Aku nggak pakai kondom.”

Bersamaan dengan lenyapnya harapan terakhir, kesedihan dan ketakutan Elzi berubah seketika. Bertukar menjadi kemarahan yang siap untuk meluap.

“Kamu nggak pakai kondom?! Kenapa bisa kamu nggak pakai kondom?!” tanya Elzi histeris. “Astaga. Umur kamu udah berapa sih? Gimana bisa kamu jadi cowok dewasa yang benar-benar nggak beretika kayak gini?! Serius? Kamu nggak pakai?!”

Elzi melayangkan satu tangannya yang bebas. Dalam bentuk pukulan yang bertubi-tubi mendarat di dada Ben. 

Ben tidak melakukan apa pun untuk menyelamatkan diri. Seperti dirinya yang pasrah saja menerima hukuman itu.

“Sudah ambil keperawanan orang, eh ... malah nggak pakai kondom lagi! Kamu hidup di abad berapa?! Argh!”

Tinju yang bertubi-tubi dan diiringi oleh berbagai umpatan yang ia layangkan, napas Elzi terdengar begitu kasar menderu. Dan Ben beruntung karena Elzi tidak memiliki ikatan kekeluargaan dengan spesies naga mana pun. Kalau tidak, Ben yakin. Saat ini sudah pasti ada api yang menyembur dari kedua lubang hidung Elzi!

“Harusnya kamu pakai! Gimana bisa kamu lupa hal sepenting itu? Argh! Harusnya kamu ingat buat pakai!”

“Zi, aku mabuk. Gimana bisa aku ingat dengan segala macam kondom di saat aku mabuk?”

“Harusnya kamu ingat! Bahkan untuk lepas celana dalam kamu saja kamu ingat! Kenapa buat masang kondom kamu nggak ingat?!”

Didesak oleh rentetan kata-kata yang Elzi ucapkan, Ben nyaris merasa kepalanya pusing. Tanpa sadar membuat ia menukas seperti ini.

“Kalau aku ingat buat pakai kondom, itu artinya aku nggak mabuk.”

Elzi semakin meradang. “Dasar penjahat kelamin.”

What? Penjahat kelamin kamu bilang?” Bola mata Ben berputar dramatis. “I can make you sure that you are the first. Belum ada kelamin siapa pun yang aku jahati sampai detik ini”

Elzi melotot. “Pertama aja sudah lihai ya, Bun?” sindirnya sinis. “Dan mau aku yang pertama atau yang terakhir, memangnya itu penting? Menurut kamu, aku bakal bangga gitu?!” Jari telunjuk Elzi menuding. “Dan ingat! Ada kelamin aku yang kamu jahati barusan ini!”

Ben yakin. Melihat dari histeris dan menggebunya Elzi, situasi akan semakin kacau kalau dirinya tidak bisa berpikir dengan jernih. Ia menarik napas dalam-dalam. Mengultimatum diri sendiri agar menjadi orang waras di situasi genting saat itu. Jangan sampai terpancing dan justru membalas perkataan emosional Elzi dengan sama emosionalnya. Itu akan membuat semuanya semakin kacau.

“Zi.”

Lirih memanggil seraya berusaha meraih cewek itu, Ben mendapati Elzi menepis tangannya. Ia memilih untuk duduk kembali di tempat tidur, alih-alih membiarkan Ben menenangkannya. Mengembuskan napas dengan kasar sementara satu tangannya meremas rambut. Frustrasi.

“Ya Tuhan. Kalaupun aku harus kehilangan keperawanan, itu bukan berarti aku bakal hamil kan? Jangan, Tuhan. Please, jangan buat aku hamil.”

Elzi kian panik. Ia menarik napas dan berusaha untuk tetap logis.

“Peluang terjadi kehamilan di hubungan pertama nggak besar, Zi. Tenang. Hamil nggak semudah itu. Orang yang sudah nikah saja bisa bertahun-tahun baru bisa punya anak. Nggak mungkin banget kan ya kamu sekali kejadian justru langsung hamil?”

Namun, sejurus kemudian Elzi malah meringis. Memohon dan mengiba dalam pengharapan.

“Aku mohon, Tuhan. Kalaupun ada rencana buat aku hamil, please diralat. Kasih saja kehamilan ini ke pasangan lain yang sudah nunggu-nunggu. Aku ikhlas lahir dan batin.”

Ben hanya bisa diam melihat Elzi meracau seolah sedang tak sadar diri. Menyaksikan dengan saksama bagaimana Elzi yang kemudian memejamkan mata. Bibirnya bergetar, bertanya pada diri sendiri.

“Ka-kapan masa subur aku? Kapan? Besok? Lusa? Minggu depan? Atau udah lewat?”

Berusaha mengingat, tapi Elzi mendapati kepalanya seperti kosong. Sial! Tapi, manusiawi sekali. Memangnya otak cewek mana yang masih bisa berpikir di saat seperti itu?

“Zi.”

“Sial!” umpat Elzi dengan napas terengah-engah. “Kemungkinan tetap ada, Zi. Walau peluangnya kecil, tetap saja ada. Ya Tuhan. Bahkan korban pemerkosaan aja sering hamil. Dan gimana kalau kecelakaan ini buat aku hamil? Astaga. Bukannya sudah jadi misteri umum ya kalau hubungan kecelakaan memiliki peluang hamil yang tinggi?”

Ben meneguk ludah melihat Elzi yang tetap meracau seolah dirinya tak ada di sana. Ia pun kembali memanggil nama cewek itu.

“Zi.”

Meradang, Elzi menoleh pada Ben. “Bisa berhenti manggil Za Zi Za Zi nggak sih?!” bentaknya. “Kamu nggak tau kalau aku panik?!”

Ben memejamkan mata dramatis. Geleng-geleng seraya mengembuskan napas panjang. Memilih untuk membiarkan Elzi kembali meracau panjang lebar karena kepanikannya.

“Kenapa ini harus terjadi ke aku? Gimana kalau aku hamil?” Mata Elzi bergerak-gerak gelisah, sedangkan jantungnya berdentum dengan begitu parah. “Hamil di luar nikah?”

Kenyataan itu menghadirkan ketakutan yang tak terkira. Perut Elzi langsung merasa mual. Seperti isi di dalam sana sedang diaduk-aduk.

“Ya Tuhan. Kalau aku beneran hamil di luar nikah, gimana? Hukuman apa yang bakal aku terima dari Mama dan Papa? Diusir dari rumah? Digantung hidup-hidup? Atau ....”

Namun, racauan kepanikan Elzi hilang sesaat kemudian. Tergantikan oleh kesedihan.

“Kenapa aku bisa sebodoh ini? Kenapa aku nggak bisa jaga diri sendiri?” Mata Elzi memejam. “Belum bisa jaga diri sendiri dan sekarang? Gimana kalau aku hamil? Gimana bisa aku menjaga anak aku? Ya Tuhan. Aku nggak sanggup hamil sekarang. Please, Tuhan. Jangan biarkan ada anak nggak berdosa harus dapat ibu yang belum bisa apa-apa kayak aku. Kasihan dia ntar, Tuhan.”

Ben meraih tangan Elzi. Pelan-pelan menyelamatkan rambut cewek itu dari kemungkinan rontok dalam waktu dekat. Sungguh, Elzi tidak tanggung-tanggung ketika melampiaskan emosinya.

Tidak memberikan Elzi kesempatan demi menggunakan tangannya untuk hal lain, Ben justru menggenggamnya. Dengan erat dan anehnya ampuh membuat Elzi menghentikan racauan. 

Ben memaku tatapan Elzi. “Hamil atau nggak, bukan itu masalah di sini.”

Menjeda sejenak ucapannya, Ben mengingatkan diri sendiri untuk berbicara selembut mungkin. Jangan sampai perkataannya justru memancing emosi Elzi yang memang sudah terpancing sejak tadi. Itu bisa gawat!

Beberapa detik berlalu. Ben tidak mendapati reaksi apa pun dari Elzi. Alhasil ia pun melanjutkan perkataannya dengan teramat berhati-hati. Berharap agar tidak sampai salah memilih kata-kata.

“Terlepas dari kamu hamil atau nggak,” lanjut Ben kemudian. “Aku bakal tetap bertanggungjawab. Aku serius. Aku beneran bakal nikahi kamu. Dan kalaupun nanti kamu hamil, kamu nggak perlu khawatir. Kamu nggak perlu takut.”

Tanpa kedip, Ben menatap Elzi. Lurus dan menyiratkan keteguhan yang tak perlu diragukan.

“Ada aku yang bakal jaga kalian berdua. Kita bisa pelan-pelan belajar jadi orang tua.”

Ka-kalian berdua? Pelan-pelan jadi orang tua?

Demi dua hal itu, Elzi langsung membeku. Kepalanya terasa kosong. Melenyapkan emosi yang mengisi sepasang bola mata bening itu. Layaknya perkataan Ben sudah membawa Elzi terpental ke awang-awang. Dunia tanpa kepastian.

“Menurut kamu?” tanya Elzi meringis. Entah sadar atau tidak, ia menarik tangan dari genggaman Ben. Untuk kemudian, ia memegang perutnya sendiri. “Apa sekarang sperma kamu sudah berenang-renang di rahim aku? Apa sperma kamu sudah berhasil ketemu sama ovum aku? Apa mereka sudah melebur jadi satu?”

Ben sesak napas. Tidak tahu apakah itu pertanyaan yang perlu mendapat jawaban atau tidak. Namun, Elzi justru menggeram ketika mendapati Ben yang diam. 

“Argh! Nikah sama kamu? Ya Tuhan. Aku nggak mungkin nikah sama kamu. Astaga. Kenapa harus aku sih yang mengalami ini? Aku ada dosa apa, Tuhan? Masa aku dihukum kayak gini sih?”

Tak akan membiarkan perdebatan itu menjadi hal yang berputar-putar, Ben meraih kedua lengan atas Elzi. Menahannya. Tidak memberikan celah sedikit pun untuk Elzi bisa bergerak barang seinchi juga.

“Zi,” kata Ben dengan penuh penekanan. “Aku nggak main-main. Aku bakal nikahi kamu. Jadi, please. Berhenti panik. Berhenti salahi takdir. Kita berdua bisa jalani ini semua. Kita sama-sama cari jalan keluarnya. Dan itu adalah dengan menikah.”

Elzi diam menatap pada mata gelap itu. Di sana, Ben mampu menangkap berbagai ketakutan dan kepanikan yang berkecamuk lewat sorot bening manik Elzi.

Apa aku bisa percaya dengan omongan kamu? Sekarang kamu ngomong gitu, lusa? Mungkin saja kamu ngomong hal yang lainnya. Kita sama tau kamu itu kayak gimana. Aku nggak pernah mau jatuh di lobang yang sama untuk ketiga kalinya!

Elzi bimbang. Ben tahu dengan pasti hal itu. Manusiawi sekali bila saat itu Elzi tidak tahu apa yang harus ia lakukan.

Namun, Ben memutuskan untuk tidak membiarkan Elzi larut dalam kebimbangannya. Ia langsung mengambil tindakan, alih-alih menunggu.

Ben menarik wajah Elzi tanpa ada peringatan sama sekali. Membawa bibir Elzi untuk mendarat di bibirnya tanpa ada silap sedikit pun.

Mata Elzi membelalak. Menyadari bahwa dalam hitungan detik yang teramat cepat detik yang tak mampu untuk ia elak, bibirnya telah lenyap dalam satu pagutan dalam.

Syok akan keadaan yang memerangkap dirinya dan kebingungan akan masa depannya, membuat Elzi linglung. Ia tak mampu memberikan penolakan sedikit pun ketika Ben menciumnya.

Dalam dan kuat. Suara berdecak timbul mengiringi pergerakan sensual yang bibir Ben lakukan pada Elzi. Untuk kemudian, sekilas usapan diberikan oleh ujung lidah Ben. Tepat sebelum ia menarik ciumannya.

“Kita nikah, Zi,” tegas Ben tanpa kompromi. “Ini bukan pertanyaan. Ini pernyataan!”

*

 

 


 

2. Apa Yang Harus Aku lakukan?

“Ssst.”

Sedari tadi Ben menenangkan Elzi seraya mengusap puncak kepalanya perlahan, berulang kali. Ia tak melonggarkan rengkuhannya sedikit pun. Juga tak berhenti mengucapkan beberapa kata pembujuk agar Elzi menghentikan isakannya.

Namun, itu percuma. Elzi justru meradang. Ironis, tapi Elzi yakin bahwa seharusnya bujukan Ben pasti akan berhasil seandainya yang ia bujuk adalah anak kecil yang baru saja kehilangan permen. Bukannya seorang cewek berusia dua puluh sembilan tahun yang baru saja kehilangan keperawanannya!

“Sudah, Zi. Kamu nggak perlu nangis begini.”

Sepintas itu adalah kalimat penenang yang terkesan … lumayan. Namun, tunggu hingga Ben menutupnya seperti ini.

“Cup cup cup!”

Tak ayal, kepalan Elzi melayang dan mendarat di dada Ben. “Kamu pikir ini semacam iklan penyedap rasa? Ya Tuhan. Cup cup cup? Yang benar saja!”

Ben menahan keinginan untuk berdecak. Jangan sampai, itu tentu akan menyulut Elzi.

“Menurut kamu saja deh. Bagaimana bisa aku nggak nangis? Untuk semua yang sudah terjadi malam ini di antara kita, apa menurut kamu harusnya aku ketawa? Iya?”

Mata Ben terpejam dramatis. “Maksud aku tangisan kamu nggak berguna sama sekali. Tangisan kamu nggak bakal bisa mengubah apa yang sudah terjadi. Karena kalau seandainya tangisan emang bisa ngubah kejadian malam ini,  aku jamin. Aku akan ikutan nangis bareng kamu.”

Elzi mengatupkan mulut rapat-rapat. Berusaha menyingkirkan keinginan untuk berteriak di depan wajah cowok itu dan menarik perhatian semua teman-teman yang kemungkinan juga menginap malam itu.

“Aku tau!” tukas Elzi penuh emosi. “Semua nggak bakal berubah. Toh kita nggak punya kantong ajaib Doraemon untuk balik ke masa lalu.”

“Nah, itu kamu tau,” tukas Ben. “Jadi untuk apa lagi kamu menangisi hal yang sudah terjadi? Percuma. Don't cry over spilt milk, okey? Buat capek badan dan nggak ada hasil.”

Elzi terdiam. Alih-alih merespon perkataan Ben, ia justru menggigit bibir bawah. Membiarkan air mata yang membasahi pipinya, perlahan mengering.

Ben menarik napas sekilas. Mendapati Elzi yang membisu, ia pun kembali bicara.

“Aku bakal nikahi kamu, Zi. Aku janji. Kamu nggak perlu khawatir. Kamu bisa pegang kata-kata aku. Kali ini percaya, aku bener-bener bakal nikahi kamu.”

Masih tak mengatakan apa pun, mau tak mau Elzi tetap mendengarkan tiap kata yang terucap dari bibir Ben. Namun, ia tetap tidak bicara. Seolah tengah berperang di dalam pikiran, ia terus membisu.

Ben menyerah. Ia memutuskan untuk mengikuti alur Elzi. Bila cewek itu ingin mereka terus menerus diam sepanjang malam maka itu yang akan ia lakukan.

“Aku sudah bertunangan, Ben.”

Samar dan lirih, akhirnya Elzi bicara lagi. Bahkan tanpa sadar ia pun akhirnya menyebut nama cowok itu untuk pertama kali.

Sekali, Ben mengerjap. Nyatanya setelah Elzi bicara malah dirinya yang terdiam.

“Aku sudah bertunangan dan kami berencana untuk menikah awal tahun depan,” lanjut Elzi seraya memejamkan mata dramatis. “Tinggal beberapa bulan lagi, tapi ….”

Elzi tak mampu meneruskan ucapannya. Alih-alih ia justru meneteskan kembali air mata hingga jatuh di lengan koko Ben.

Bagaimana bisa kecelakaan ini terjadi di saat aku sudah bertunangan? Ketika aku sudah siap nikah? Bahkan tanpa drama pertunangan pun kecelakaan ini jelas menjadi masalah. Apalagi dengan status pertunangan dan rencana pernikahan yang sudah di depan mata? Ya Tuhan.

Pertunangan yang sudah mengikat dirinya membuat Elzi semakin pening. Ironis, tapi kalau bisa memilih tentu saja ia berharap mendapat musibah itu sebelum ia bertunangan.

“Kita nggak tau apa yang akan terjadi ke kamu beberapa bulan ke depan, Zi,” lirih Ben kemudian. “Bagaimana kalau kecelakaan malam ini justru buat kamu ….”

Kali ini Ben yang tidak meneruskan perkataannya. Ia hanya menarik napas dan mengembuskannya perlahan.

“Ini semua keputusanmu. Apa yang ingin kamu lakukan, itu hak kamu. Aku kasih kamu waktu untuk mikir ini semua, Zi.” 

Elzi mengangkat wajah. Bermaksud untuk membalas perkataan itu, tapi dirinya justru terhenyak tatkala mendapati Ben yang langsung mengecup dahinya. Sekilas. 

“Pikirkan dengan baik. Aku akan menikahi kamu kalau kamu menginginkannya,” ujar Ben seraya menghela napas. “Dan kalaupun kamu tetap memilih untuk menikah dengan tunangan kamu itu, ya ... aku nggak akan berbuat apa-apa.”

Elzi mengangguk pelan. Agaknya sedikit akal sehat yang masih tersisa membuat ia sependapat dengan Ben. Tubuhnya lelah dan ia harus memikirkan semuanya dengan lebih tenang. Jangan sampai ia gegabah dalam mengambil jalan keluar.

Ben melepaskan tubuh Elzi. Ia bangkit.

“Kita siap-siap. Biar aku antar kamu pulang,” ucap Ben seraya menatap Elzi dengan sorot ragu di matanya. “Ehm kamu bawa mobil atau ....”

Elzi menggeleng. “Mobil aku lagi di bengkel. Tadi aku ke sini naik taksi.”

“Oke,” angguk Ben dengan ekspresi lega di wajahnya. “Kalau begitu bagus. Biar aku antar kamu balik sekarang juga. Dengan semua kekacauan ini, rasanya bukan ide yang menyenangkan kalau sampai ada teman-teman kita yang melihat kita dalam keadaan begini.”

Elzi mengangguk, turut berdiri selimut yang masih bertahan di depan dada. Ia memandang sekitar dan mendapati hanya ada pakaian Ben yang berserakan serta kimono handuk di atas kursi.

Tak menemukan apa yang ia cari, Elzi bertanya. “Ke mana baju aku, Ben? Kok nggak ada?”

Pertanyaan itu membuat Ben turut memandang sekitar. Namun, enteng sekali ia mengangkat bahu dan menjawab.

“Aku nggak ingat, Zi. Tadi itu kan aku mabuk.”

Mata Elzi memejam dramatis. “Mabuk! Mabuk! Mabuk!” geramnya dengan sangat frustrasi. Terutama dengan satu pemikiran menakutkan yang lantas melintas di benaknya. 

Kalau nggak ada baju, terus bagaimana aku balik? Nggak mungkin cuma pakai bra kan? Oh, please! Aku ini bukan semacam orang gila nyasar!

Sementara Elzi menarik napas dalam-dalam demi mendamaikan emosi yang mulai kembali bergejolak, di seberang sana Ben meraih celana jin dan mengenakannya. Bola mata Elzi melotot, lalu ia buru-buru memalingkan wajah. Dalam hati ia merutuk lantaran menyadari betapa mudahnya bagi cowok untuk berpakaian tanpa perlu merasa malu.

“Ben, aku nggak mungkin balik kayak gini. Baju aku kamu letakin di mana sih?! Argh! Masa aku balik cuma pakai bra?!”

Tak menjawab pertanyaan itu, Ben justru meraih kausnya. Meloloskan pakaian itu melewati kepala. Lalu ia meraih blazernya, menghampiri Elzi, dan menyodorkannya pada cewek itu.

Elzi melongo. “Hah?”

“Lebih baik kamu pakai itu ketimbang kamu balik cuma pakai bra,” ujar Ben santai. “Iya kan?”

Elzi pikir malam itu tidak akan menjadi lebih buruk lagi, tapi ia salah. Tidak hanya tragedi kecelakaan dengan Ben yang menjadi ujian kesabarannya, alih-alih pakaiannya pun seolah ingin turut memperkeruh suasana.

Memiliki tubuh yang tinggi dan besar, tentu saja pakaian Ben berukuran besar pula. Alhasil tak aneh bila blazer itu dengan ajaib mampu menutupi tubuh polos Elzi hingga pertengahan pahanya. Membuat ia bisa berdiri tanpa memerlukan selimut lagi.

Elzi menurunkan pandangan. Melihat pada kakinya yang polos dan ia menggeleng. Itu bukan ide yang bagus.

Aku nggak mungkin pulang begini. Kalau orang rumah sampai lihat, aku jamin. Mereka akan kena serangan jantung berjamaah.

Elzi bisa membayangkannya. Kedua orang tua dan adiknya akan kelonjotan seraya memegang dada kiri masing-masing. 

Sudah cukup aku kehilangan keperawanan malam ini. Aku nggak mau kehilangan keluarga juga.

Kebingungan Elzi tak luput dari perhatian Ben. Agaknya tak sulit bagi dirinya untuk menerka arah pikiran Elzi. Ia beranjak mendekati Elzi dan menawarkan solusi.

“Bagaimana kalau begini? Kita ke rumah aku dulu. Aku bisa ambil celana atau rok Mbak Refta. Kamu bisa pakai itu untuk balik. Ide bagus kan?” tanya Ben. “Lagi pula kamu nggak mungkin banguni Angel dan bilang butuh baju buat pulang karena kita berdua lupa di mana keberadaan baju kamu.”

Setidaknya Ben bisa memberikan solusi yang lebih baik saat itu. Elzi mengangguk dan menerima tawaran Ben.

Elzi dan Ben memastikan tidak ada barang yang tertinggal. Termasuk ponsel mereka yang tergeletak di atas nakas.

Ben mengambil ponselnya, lantas menyodorkan milik Elzi. Sekilas, Ben bisa melihat Elzi yang tertegun menatap pada layar ponselnya. Di mana tertera simbol panggilan tak terjawab dengan angka dua puluh delapan di depannya.

Elzi mengembuskan napas. Memutuskan untuk tidak menghiraukan dulu masalah panggilan dari tunangannya. Alih-alih, ia justru membiarkan Ben meraih tangannya. Berkata.

“Ayo. Kita harus kabur dulu dari sini.”

*

Senin pagi Elzi mendapati wajahnya berada dalam keadaan yang mengerikan. Walaupun ia sukses menyamarkan matanya yang membengkak dengan bantuan make up, namun itu tidak mampu menutupi fakta bahwa raut di sana tampak begitu kusut. Jelas sekali itu menunjukkan kalau dirinya sedang dalam kondisi tertekan. Dan penyebabnya adalah tawaran Ben untuk bertemu siang itu di luar, tepat ketika jam istirahat kantor.

Menghela napas panjang, Elzi masih menimbang. Akan menerima atau justru menolak. Hingga kemudian, ia mendapati ada pesan Ben yang masuk ke ponselnya.

 

[ Ben ]

[ Aku tunggu siang ini di CC Corner, Zi. ]

[ Kita harus bicara. ]

[ Kamu tau itu. ]

 

Merenungi tiap kata di pesan itu, Elzi merasakan tubuhnya seperti merinding. Persis seperti kalau ia pulang malam dan melewati pohon beringin tua di depan portal perumahannya. Iiih, menakutkan.

Berbagai kemungkinan buruk, melintas di benak Elzi. Hingga ia pun pasrah saja ketika mendapati dirinya yang tak mampu berkonsentrasi dengan pekerjaannya kala itu. Terutama ketika ia kembali teringat peristiwa tersebut, maka gejolak emosi pun terasa berkecamuk di dalam dadanya.

Malam itu sebelum Ben mengantarkany pulang, keduanya memang pergi ke rumah cowok itu terlebih dahulu. Sementara Elzi menunggu di dalam mobil, Ben bergegas masuk ke rumahnya. Dan tak butuh waktu lama untuk cowok itu kembali datang dengan sehelai rok di tangannya. Sedikit banyak, jelas saja itu membuat Elzi bingung. Bagaimana bisa Ben mendapatkan rok itu. Memintanya dari sang kakak? Ehm ... Elzi meragukannya.

Namun, ketika Elzi sampai di rumah, pada akhirnya rasa penasaran cewek itu terjawab pula. Rok itu Ben ambil dari jemuran. Itu adalah fakta tak terbantahkan ketika kusut bekas perasan masih terpampang nyata di kain lembut itu. Dan sebagai pelengkap, Elzi sukses menjelma menjadi orang bodoh yang mengenakan rok tersebut di dalam mobil!

“Aaah ....”

Melirih pelan, Elzi mengusap wajahnya berulang kali. Sungguh. Ia tidak akan pernah ingin mengignat bagaimana rasanya memakai rok tanpa celana dalam! Beruntung mereka kemaren naik mobil. Kalau naik motor? Apa tidak semriwing-semriwing itu lembah surga dunia di dalam sana?

“Dasar cowok mesum kurang ajar,” desis Elzi kemudian dengan sarat penuh emosi. “Bisa-bisanya dia bahkan lupa di mana ngebuang pakaian aku?”

Aaargh!

Rasa-rasanya Elzi ingin meremas rambutnya andaikan ia tidak ingat kalau ada sanggul ala kantor di kepalanya. Karena jelas, satu fakta membuat ia semakin meradang.

Padahal gaun yang aku pakai ke acara reuni itu baru aja aku beli.

Mana ngabisin hampir setengah dari gaji aku coba!

Sekarang?

Uang lenyap, gaun pun nggak tau ke mana!

Makin lama Elzi menyadari bahwa kekesalan yang ia rasakan terhadap Ben semakin menjadi-jadi. Nyaris membuat ia gelap mata dan memutuskan untuk tidak menerima ajakan Ben. Tapi, Elzi pada akhirnya sadar. Tak ada yang bisa menjamin kalau kejadian malam itu tidak membuat dirinya hamil.

Hingga dengan berat hati, Elzi pun membalas pesan itu. Hanya dengan satu kata.

 

[ Ben ]

[ Oke. ]

 

Lantaran jam istirahat siang cenderung berimbas pada padatnya jalanan, maka walaupun Elzi membawa mobilnya ke kantor hari itu, pada akhirnya ia tetap memesan ojol. Terjebak macet di dalam mobil adalah pilihan yang paling ia benci. Terutama dengan tidak stabilnya emosi ia hari itu. Siapa yang menjamin kalau setelah bertemu Ben, cewek itu tidak mendadak gila? Kalau ia justru menabrak trotoar bagaimana?

Lagipula, setidaknya ketika ojol mulai meliuk-liuk di jalanan dengan lincah, mencoba untuk menyelip di antara kendaraan lainnya, Elzi bisa berpikir. Merenungkan kemungkinan yang harus ia ambil. Karena sekarang, menurut Elzi pilihan apa pun yang ia ambil, akan ada risikonya masing-masing.

Pilihan pertama, menikah dengan Ben. Itu tentu saja bisa ia lakukan bila ia membatalkan pertunangannya. Dan hal tersebut pasti bukan hal yang mudah. Orang pacaran saja terkadang menciptakan tragedi tujuh hari tujuh malam ketika putus, apalagi dengan status tunangan? Apa Elzi tidak akan dicerca dua keluarga nantinya?

Pilihan kedua, menolak menikah dengan Ben. Hal yang menggiurkan, namun juga ada risikonya. Bagaimana kalau ia menolak dan justru hamil? Apa itu artinya dirinya tidak akan mendapat malu berlipat-lipat? Malu lantaran harus membatalkan pertunangan. Dan malu lantaran ternyata telah hamil di luar nikah?

Dua pilihan yang sama besar risikonya. Sesuatu yang harus Elzi pikirkan dengan amat saksama. Salah mengambil keputusan, nyawa dan masa depannya yang menjadi taruhan.

Turun dari ojol tepat ketika motor yang membawanya itu berhenti di CC Corner, Elzi segera menyerahkan helm sebelum pada akhirnya beranjak memasuki kafe tersebut. Setelah melakukan pengamatan sekilas tentunya. Hanya untuk meneliti suasana di sana. Dan lantas ia menyadari bahwa setelah sekian lama tidak bertemu, ternyata Ben tidak berubah.

Tipikal tempat nongkrong kesukaan Ben banget.

Selalu suka dengan tempat yang terkesan homey.

Membalas singkat sapaan petugas kafe ketika ia masuk, Elzi menghentikan langkah kakinya. Mengedarkan pandangan dan dalam waktu singkat mendapati keberadaan cowok itu. Ben sudah tiba. Duduk dan menunggunya di satu meja yang terletak di pojok ruangan. Tak membuang waktu, Elzi pun segera menghampirinya.

Menyadari kedatangan seseorang, Ben mengangkat wajahnya dari buku menu. Dengan ekspresi yang tak terbaca, ia menyambut kedatangan cewek itu. Dan tepat ketika Elzi sudah duduk, ia pun menyodorkan buku menu. Bertanya.

“Kamu mau makan apa?”

Tak benar-benar melihat pada menu yang ditawarkan, Elzi pun menunjuk satu gambar dengan asal. “Ini.”

“Minum?” tanya Ben, hanya untuk menggeleng di detik selanjutnya. “Aku tau. Jus alpukat.”

Tak mengatakan apa-apa, Elzi pun acuh tak acuh ketika Ben mengangkat satu tangannya. Memanggil pelayan dan memberikan pesanan mereka kala itu. Dan setelah sang pelayan pergi, keheninganlah yang tercipta di sana. Baik Elzi maupun Ben, sama-sama tak ada yang bersuara. Seperti mereka yang tengah sibuk dengan alam pikiran masing-masing.

Selang beberapa waktu kemudian, pesanan mereka pun datang. Pelayan memberikan makanan dan minuman dengan cekatan dan rapi di atas meja, menyajikannya. Lantas langsung meninggalkan keduanya.

Tak langsung menyantap hidangan yang tersaji, Elzi justru terheran-heran melihat pada piring di hadapannya. Dahinya seketika berkerut.

Emangnya tadi itu aku mesan spaghetti ya?

Alih-alih langsung menyantap makanan lezat itu, Elzi justru beralih pada gelas jus alpukatnya. Menikmati satu tegukan yang tak seberapa untuk kemudian meraih garpunya. Mencoba mencicipi makanan itu.

Rasanya lezat. Gurihnya terasa pas di lidah Elzi. Hanya saja mungkin karena suasana hati cewek itu yang sedang dalam keadaan tidak enak. Sehingga pada akhirnya ia tak begitu bernafsu menyantap makanan tersebut. Pada akhirnya membuat ia menaruh kembali garpu itu di piringnya. Dan hal tersebut, tertangkap oleh sepasang mata elang Ben.

“Loh? Nggak kamu makan? Kenapa? Nggak enak? Nggak nafsu?”

Mengembuskan napas lelahnya, Elzi sedikit mengangkat wajah. Menatap tanpa minat pada Ben. Hanya untuk mendengarkan lanjutan pertanyaan cowok itu.

“Atau ... kamu udah mulai ngerasain gejalanya?”

Nah, kali ini barulah Elzi tampak merespon pertanyaan Ben. Karena sedetik setelah pertanyaan itu hinggap di indra pendengarannya, ia mengerutkan dahinya. Bingung.

“Gejala apa?”

“Demam, nggak nafsu makan, mual-mual. Ehm ....” Ben menatap Elzi dengan sorot serius. “Itu yang dikatakan Mbak Refta waktu awal-awal kehamilannya.”

Spontan saja, Elzi mengulurkan tangannya untuk mencubit lengan Ben yang beristirahat di atas menja. Matanya seketika mendelik dengan pipi yang memerah,

“Kamu pikir cewek hamil itu kayak ngerebus mi instan? Yang dikasih air panas dikit langsung melar?”

Ben tersedak. Mengabaikan rasa sakit yang tak seberapa lantaran cubitan Elzi, cowok itu justru melayangkan pertanyaan yang makin membuat Elzi meradang.

“Ehm ... apa kemaren itu rasanya panas, Zi?”

“Hah?! Panas? ” kesiap Elzi tak percaya. “Dengkulmu itu yang panas!”

Sorry. Aku cuma nanya.”

“Itu bukan pertanyaan yang tepat, dasar psikopat!” umpat Elzi melotot. “Kehamilan nggak terjadi secepat itu! Butuh waktu. Paling nggak ya sekitar sebulan.”

Lantas, Elzi justru tertegun ketika mendengar perkataannya sendiri. Dengan satu pemikiran yang langsung melintas di benaknya.

Apa aku harus nunggu selama itu?

Ya Tuhan.

Elzi mengusap wajahnya. Menarik napas dalam-dalam, berusaha untuk menenangkan diri sementara di hadapannya tampak Ben yang nikmat sekali menyantap makan siangnya. Lalu mendadak saja bayangan pernikahan antara dirinya dan Ben muncul. Membuat ia merinding.

Aku nggak mungkin banget tiba-tiba nikah dengan Ben.

Ya kali kalau aku benar-benar hamil, terus aku masang tampang sok polos di depan keluarga. 

Buat ngomong: Aku mau nikah sama yang ini aja ya? Soalnya segel aku udah dibuka sama dia. Dan calon penduduk Indonesia yang baru udah ada di perut aku.

Astaga!

Elzi memejamkan matanya dengan dramatis. Imajinasi itu berhasil membuat bulu kuduknya meremang kompak walau tanpa ada komando. Karena jelas sekali, bila Elzi mengatakan itu pada orang tuanya, tentu saja mereka akan murka. Dengan ledakan kemarahan yang kira-kira seperti ini.

Kamu mau disantet atau dimutilasi, wahai Elzira Citrani?

Kalau kamu emang mau meneruskan kelangsungan makhluk hidup dengan yang ini, terus kenapa sampe mau tunangan dengan yang itu?

Kamu mau buat orang tua malu atau kamu emang udah nggak tau malu?

Ah, sudah bisa Elzi bayangkan. Itu tentu saja tidak akan menjadi hal yang mudah. Orang tuanya pasti akan sangat murka kalau dirinya sampai-sampai membatalkan pertunangannya. Terutama karena keluarganya memang sudah sangat menerima cowok itu. Tapi ....

“Pilihan apa yang harus aku ambil?”

Tanpa sadar, terbawa oleh alam pikirannya, pertanyaan itu meluncur begitu saja dari bibir Elzi yang berpulaskan lispstik bewarna merah. Hal yang anehnya, ternyata mampu membuat Ben langsung tertegun. Hingga kemudian, cowok itu menaruh sendok supnya di pinggiran mangkuk.

Meraih gelas minumnya, Ben meneguk isinya beberapa kali. Untuk kemudian, ia mendeham pelan.

“Kamu harus ngambil keputusan secepatnya, Zi.”

Elzi menatap Ben tak percaya. “Bisa-bisanya ya kamu malah ngompori aku,” dengkusnya. “Aku tau aku aku harus ngambil keputusan. Tapi, ini nggak mudah, Ben. Paling nggak, nggak semudah kayak kamu yang ngelepas pakaian aku malam itu!”

“Uhuk!”

Ben buru-buru melegakan tenggorokannya dengan kembali meneguk minumnya. Ia menarik napas panjang, sebelum berkata.

“Kayak yang aku omong malam itu, aku bakal nikahi kamu. Tapi, ya semua itu nggak mungkin mendadak. Kita harus mempersiapkan banyak hal.”

“Aku tau.”

“Jadi,” ujar Ben dengan sedikit memberikan jeda di ucapannya. Seperti ia yang ingin memberikan efek dramatis di kalimat selanjutnya. “Putuskan sekarang. Apa kita harus nunggu sebulan dulu sampai gejala itu muncul baru kita persiapkan pernikahan kita?”

Pernikahan kita?

Ya ampun.

Seketika saja Elzi merasa perutnya mual-mual.

Astaga.

Ini bukan gejala kehamilan yang datang dengan amat sangat cepat kan?

Ya kali semacam pakait same day!

“Itu nggak bisa, Zi. Kalau memang kita harus nikah, ya lebih cepat lebih baik. Emangnya kamu mau kita nikah ntar pas perut kamu udah gede?”

Astaga. Sorot mata Elzi seketika horor melihat pada Ben. Kengerian langsung membayang di sana.

“Lagian banyak yang harus dipersiapkan untuk pernikahan,” lanjut Ben lagi. “Kamu pikir nikah itu kayak kita yang mau ujian sekolah apa? Yang besok pagi mau ujian malamnya baru belajar?”

“Huh! Jangan samakan aku dan kamu, Ben.” Elzi menukas seraya melipat kedua tangannya di depan dada. Tampak sinis ketika lanjut bicara. “Aku belajar untuk ujian sebulan sebelum jadwal ujian ditempel. Emangnya kayak kamu? Yang pagi ujian, eh ... subuhnya  baru belajar?”

Santai, Ben menjawab seraya memamerkan seringainya. “Yang penting nilai ujian aku selalu lebih bagus ketimbang kamu. Bahkan selalu lebih bagus ketimbang satu sekolah.”

Elzi menggeram. Tapi, Ben kembali berkata demi meluruskan topik mereka.

“Lagipula bukan itu masalahnya sekarang. Ya ampun, Zi. Kamu emang persis kayak dulu,” ujar Ben seraya geleng-geleng kepala. “Kapan sih kamu bakal berubah?”

“Berubah? Jadi power ranger? Wonder woman?” tanya Elzi dengan menyindir. “Atau cat woman?”

Kedua bahu Ben naik sekilas dengan cuek. “Aku sih lebih milih kostum cat woman,” jawabnya dengan enteng. “Lagipula ... aku emang lebih suka tipikal cewek hobi ngigit dan nyakar. Ehm ... lebih menantang. Lebih menggairahkan.”

“Pletaaakkk!!!”

Cepat sekali tangan Elzi bergerak. Hingga Ben tidak melihat kapan buku menu itu melayang. Yang pasti, hanya rasa sakit dan kaget yang membuat ia sadar bahwa Elzi telah memukulnya. Dengan amat sempurna di kepalanya.

“Kamu bisa serius dikit nggak sih?!”

Ben balas mendelik. Menyugar sedikit rambutnya di tempat yang dipukul Elzi.

“Kamu yang ngelantur ke mana-mana. Aku dari tadi udah nanya serius. Kamu aja yang belum jawab-jawab,” ujar Ben membela diri. “Coba aku tanyain lagi. Jadi, gimana keputusan kamu? Kamu beneran mau nunggu sebulan dulu baru ngambil keputusan? Nunggu kamu hamil dulu?”

Wajah Ben tampak frustrasi. Benar-benar frustrasi hingga ia tanpa sadar justru mengacak-acak rambutnya yang baru saja ia rapikan lima detik yang lalu. Ck.

“Aku ini udah kelewat baik jadi cowok, Zi. Coba kamu tanya di luaran sana. Mana ada cowok yang mau tanggung jawab kalau bukan ceweknya keburu hamil duluan? Mana coba? Yakin aku nggak bakal ada.”

“Aku nggak mengharapkan kebaikan psikopat kayak kamu!”

“Oh ... jadi kamu mutusin untuk tetap nikah dengan tunangan kamu itu?” tanya Ben. “Walaupun dengan kemungkinan kamu bakal hamil anak aku? Ehm ... kamu bisa bayangkan gimana perasaan dia kalau tau pas kalian nikah, ternyata kamu hamil anak orang lain?”

Jleb!

Rasanya seperti ada satu gunung yang langsung jatuh menimpa Elzi. Yang dikatakan Ben, benar-benar membuat ia melongo. Dan itu dimanfaatkan Ben untuk kembali bertanya.

“Jadi gimana? Mau nikah dengan aku atau dengan ....” Ben menggantung ucapannya. Tampak berpikir sejenak. “Siapa nama tunangan kamu itu?”

“Mario,” jawab Elzi lesu. “Mario Rakasandi.”

Ben mengangguk sekali, lantas melanjutkan ucapannya tadi. “Atau dengan Mario?”

Mengembuskan napas panjang, Elzi tak yakin harus menjawab apa. Di satu sisi ia ingin melanjutkan hubungannya dengan sang tunangan. Di sisi lain ia tidak ingin mengambil risiko. Hingga pada akhirnya kebimbangan itu membuat Elzi justru meraih tas kerjanya. Mengeluarkan ponsel dari dalam sana.

“Ntar aku pikirin lagi. Sekarang aku mau balik ke kantor.”

Ben melirik sekilas pada ponsel Elzi. Melihat bagaimana ibu jari sang cewek berselancar di layar sentuhnya. Lalu menyasar pada aplikasi ojol.

“Ojol?”

Belum meneruskan pemesanannya, Elzi mengangkat wajah. Melihat pada Ben dengan sorot lesu. 

“Coba kamu pikir dengan dengkulmu itu, Ben. Kamu pikir ini kafe dekat dari kantor aku?  Kalau nggak pakai ojol, gimana bisa coba aku selamat dari kemacetan? Aku tuh nggak bodoh banget sampe mau mendekam di mobil gara-gara macet. Dan lagipula, isi kepala aku sekarang penuh. Kamu mau tanggung jawab kalau aku mendadak nabrak orang di jalan?”

“Oh, sorry,” kata Ben. Lalu seraya ia mengangkat tangan memanggil pelayan, ia berkata lagi. “Biar aku antar kamu balik ke kantor.”

Pada pelayan yang datang, Ben terlihat mengeluarkan beberapa lembar uang bewarna merah. Dengan gambar Sang Proklamator di sana. Setelah mereka kembali berdua dan bersiap untuk beranjak dari sana, Elzi tampak mengibaskan poni panjang di sisi wajahnya. Berkata dengan sinis.

“Ngebayar makan siang. Terus ngantar aku ke kantor. Ehm ... bagus. Kayaknya kamu udah mulai bisa merasakan sindiran-sindiran kecil sekarang. Yah ... anggap aja itu cicilan untuk gaun baru aku yang kamu lenyapkan entah ke mana!”

Tak menggubris perkaaan itu, Ben justru merapikan jasnya dan lalu beranjak dari sana. Dengan diikuti oleh Elzi. Menuju ke parkiran.

Masuk ke dalam mobil mewah nan berkilau itu, Elzi menyamankan dirinya. Tanpa ada ucapan basa-basi atau segala macam yang menyertainya. Bahkan ketika pada akhirnya mobil itu mulai bergerak, pelan-pelan keluar dari kawasan kafe, dan membaur di jalanan, tak ada suara yang terdengar di antara dua anak manusia itu. Hanya senandung musiklah yang menjadi satu-satunya pertanda bahwa masih ada kehidupan di dalam sana.

Melayangkan pandangannya ke luar, menikmati pemandangan pohon-pohon rindang yang mereka lewati sepanjang jalan, mendadak saja Elzi menyadari sesuatu. Ia lantas menoleh pada Ben. Dengan tangan terangkat satu, tampak jari telunjuknya menunjuk. Entah ke mana.

“Kamu tau kantor aku di mana?”

Tak acuh, Ben menjawab. “Kayaknya kemaren malam kamu ngoceh panjang lebar lebih dari apa yang bisa manusia biasa bayangkan.”

Mata Elzi mengerjap. 

Apa aku semabuk itu sampe-sampe nggak sadar udah ngoceh banyak hal ke cowok ini?

Bahkan sampe kantor tempat aku bekerja pun aku omongin?

Ehm ... ckckck.

Ya ... kayaknya nggak heran juga sih.

Orang buktinya aku aja nggak sadar kalau pakaian aku udah dilepas semua sama dia.

Eh?

Beruntung arus jalanan tidak sepadat ketika Elzi keluar dari kantornya tadi. Hingga lebih cepat dari perkiraannya semula, mereka pun tiba di depan kantor Elzi. Dengan sengaja cewek itu meminta untuk menurunkannya di depan trotoar selang beberapa meter dari gerbang kantor. Dengan harapan agar tidak ada orang yang melihat dirinya bersama dengan Ben.

Semula, Elzi berniat akan segera turun dari mobil itu. Tanpa mengucapkan apa-apa pada Ben –bahkan ucapan terima kasih untuk tumpangan itu. Tapi, suara Ben menghentikannya.

“Sebelum kamu turun, kamu nggak ada ngomong sesuatu gitu ke aku?”

Refleks, Elzi menoleh. Seraya melepaskan sabuk pengamannya. “Ngomong sesuatu? Ehm ...,” dehamnya untuk beberapa saat. “Sebenarnya nggak ada. Tapi, kalaupun memang ada yang harus aku bilangin ke kamu, itu pasti cuma satu.”

“Apa?”

“Sebisa mungkin aku bakal berusaha untuk nggak memilih keputusan buat nikah dengan kamu, Ben,” jawab Elzi jujur seraya mengembuskan napas panjangnya. “Kita pernah mencobanya.” Mata Elzi seketika memejam dramatis, untuk kemudian langsung membuka kembali. “Sorry. Maksud aku, aku pernah mencobanya ....”

Ben merasakan panas seketika hadir di pipinya lantaran perkataan itu.

“Tapi, nggak berhasil,” lanjut Elzi. “Kamu ... adalah cowok terakhir yang muncul di pikiran aku untuk jadi suami aku.”

Untuk hal itu, Ben memilih untuk diam.

“Sebisa mungkin aku bakal berusaha untuk mempertahankan pertunangan aku dengan Mario.”

Kali ini, Ben menunjukkan sedikit reaksinya. Hingga mata elang cowok itu memberikan tatapan lamat-lamat pada manik Elzi. Layaknya ia yang sedang berpikir, tepat sebelum pada akhirnya ia berkata.

“Itu keputusan kamu. Aku cuma nyoba untuk bertanggungjawab untuk tindakan aku malam itu. Dikit banyak menghargai hubungan baik kita di masa lalu.”

What?

Hubungan baik?

Hubungan baik mana yang dia maksud heh?

Ben mengembuskan napas panjang, lalu tersenyum dengan ekspresi yang membuat Elzi mengerutkan dahi. Tampak waspada.

“Dan kalau kamu nggak mau, ya ... sudah. Toh kalau mau aku pikir-pikir, aku juga nggak rugi kok kalau kamu nggak mau pertanggungjawaban aku. Malah sebaliknya kan? Cowok nggak pernah jadi pihak yang dirugikan. Jadi kalau kamu nolak tawaran aku ...,” ujar Ben seraya manggut-manggut, dengan jemari yang mengusap dagunya. “... ya ngapain juga aku harus maksa? Justru aku harusnya senang kan ya?”

Tak percaya dengan apa yang telinganya dengar, Elzi melongo. Bahkan mulutnya menganga. 

“Kamu ....”

Elzi tak tau harus mengatakan apa dengan rasa syok yang ia dapat lantaran perkataan Ben. Jantungnya terasa berdenyut dengan rasa yang tak nyaman. 

“Aku menghargai hubungan kita di masa lalu. Dan jujur, aku ngerasa sedikit kasihan kalau kamu mendadak hamil sendirian. Tapi, kalau kamu emang nggak mau pertanggungjawaban aku, ya udah. Aku nggak bakal nikahi kamu. Lagipula ... aku nggak rugi kok. Malah sebenarnya aku untung. Iya kan?”

Tangan Elzi seketika mengepal dengan kuat. “Bajingan keparat. Dasar rubah ekor sembilan. Yokai. Kuyang. Hidung Squidward,” desisnya dengan penuh emosi. “Jangan-jangan malam itu kamu nggak mabuk? Kamu emang sengaja mau nidurin aku?”

“Menurut kamu?” tanya Ben dengan seringai di wajahnya. Lalu, ia perlahan mendekati Elzi. Hingga mata mereka bertemu. “Walau jelas harus jujur aku katakan.” Ia menatap Elzi dengan lekat. “Malam itu lumayan indah walau ... sedikit susah.”

“A-a-apa?”

“Tapi, percaya aku. Suatu hari nanti, aku bakal dengan senang hati mengenangnya kembali.”

Elzi membeku. Tubuhnya sontak terasa dingin.

“Jadi, karena kamu udah nolak pertanggungjawaban aku, sekarang rasanya aku nggak bakal maksa lagi. Mau kamu hamil atau nggak, terserah kamu. Mau kamu nikah sama Mario atau sama siapa, terserah kamu. Mau kamu nikah dengan tunangan kamu sementara kamu hamil anak mantan pacar kamu, juga terserah kamu. Aku udah nyoba melakukan apa yang seharusnya aku lakukan layaknya cowok sejati. Tapi, kamu nolak,” ujar Ben panjang lebar. “Ya ..., tapi seenggaknya. Aku udah menikmatinya.”

Sudah tak terkira lagi bagaimana warna wajah Elzi saat itu. Sungguh! Ia tak pernah menduga bahwa Ben akan mengatakan hal tersebut padanya. Tapi, siapa yang bisa menduga?

“Kamu ---”

Gejolak emosi lantaran kata-kata yang Ben ucapkan, sontak membuat rentetan umpatan mengantri di ujung lidah Elzi. Berniat untuk mengumpati cowok itu, Elzi justru terhenyak ketika justru mendapati bagaimana bibirnya yang tak mampu bergerak lagi. Lantaran satu ciuman yang teramat tiba-tiba langsung membungkamnya.

“Euuumph ....”

Tak hanya ciuman yang merampas bibir Elzi, namun ada juga satu tangan yang terasa kokoh menarik pinggangnya. Membuat tubuh Elzi tanpa daya mendarat pada tubuh Ben. Sontak membuat kedua tangannya terangkat. Menahan dada cowok itu, berusaha untuk mendorongnya. Tapi, jangankan melepaskan diri. Bahkan sekadar membuat tubuh Ben untuk bergeser pun tidak bisa. Layaknya saat itu Elzi bukannya sedang mendorong manusia, alih-alih tembok besar China.

Cowok sialan!

Ingin menghardikkan kalimat itu, nyatanya tentu saja tak mampu Elzi lakukan. Dengan fakta bahwa bibir Ben melumat bibirnya? Oh, dan belum lagi ditambah ketika di detik selanjutnya cowok itu justru mengisap lidahnya!

Elzi memejamkan mata. Seperti tidak ingin melihat kenyataan di mana Ben menikmati bibirnya sesuka hati. Memanggutnya dengan dalam. Memberikan suara berdecak yang terdengar sensual. Hingga melumat lidahnya dengan buaian yang menggetarkan. Untuk kemudian, ciuman itu disudahi Ben dengan satu gigitan kecil di bibir bawahnya. Lantas menarik diri dan mendapati napas Elzi yang seketika menjadi tak beraturan.

Terengah-engah dengan wajah yang teramat merah, Elzi langsung mengelap bibirnya yang terasa basah. Sungguh, ia tidak akan heran sama sekali kalau lipstik yang ia kenakan menjadi berantakan.

“Kamu psikopat paling mesum di seluruh antariksa!”

Selesai mengumpati itu, Elzi segera keluar dan membanting pintu mobil Ben dengan sekuat tenaga. Lalu ia berlari, memasuki kantor tanpa sekali pun menoleh ke belakang.

Nikah dengan cowok mesum cabul nggak berperasaan kayak gitu?

Yang benar aja.

Tuhan udah berbaik hati untuk ngebuat hubungan aku putus dengan dia.

Kenapa sekarang aku malah mikir buat nikah sama dia?

Nggak bakal!

*


 

3. Masalah Demi Masalah?

Mengira bahwa bertemu dengan Ben bisa menjernihkan masalah yang ada, tentulah satu-satunya alasan mengapa Elzi menerima ajakan cowok itu. Tapi, sepertinya Elzi kecele. Karena alih-alih menyelesaikan masalah, yang terjadi justru sebaliknya. Hanya memberikan Elzi satu keyakinan baru.

Kayaknya aku lupa sesuatu deh ya.

Nyelesaikan masalah dengan Ben itu bukan nyelesaikan masalah.

Yang ada justru menimbulkan masalah yang baru.

Harusnya aku ingat!

Semua masalah yang melibatkan itu cowok nggak bakal selesai sebelum peradaban di Bumi ini tergantikan oleh pasukan robot!

Dengan Ben, selalu menjadi nyelesaikan masalah dengan masalah.

Menepuk dahinya sekilas, demi menyalurkan rasa kesal yang mendera dirinya sepanjang perjalanan pulang sore itu, Elzi lantas turun dari mobil. Masuk ke rumah sembari menyadari kekeliruan yang sudah ia lakukan hari ini.

Ya ampun, Zi.

Kenapa sih kamu nggak bisa belajar dari masa lalu?

Jangan berharap dengan Ben.

Cuma Ben satu-satunya hal di dunia ini yang nggak bakal bisa diubah waktu.

Entah mau selama apa pun itu.

Dan mungkin akan banyak rutukan lainnya yang menggema di benak Elzi, andaikan satu suara itu tidak menyapa indra pendengarannya. Hal yang lantas membuat langkah kakinya terhenti tepat sebelum ia menaiki tangga.

“Mbak, kok keliatan suntuk banget? Lagi ada masalah?”

Elzi menoleh. Melihat ke sumber suara dan mendapati ada adiknya yang sedang memegang stik dengan kedua tangannya, Razen.

Tak langsung menjawab pertanyaan itu, Elzi justru mengembuskan napas panjang. Lagi-lagi, benaknya merutuk.

Harus ya aku langsung berhadapan dengan spesies yang paling suka ngomong pas baru balik kerja?

Udahlah pusing dengan urusan Ben, capek abis macet-macetan, eh sekarang malah ada Razen?

Oh, Tuhan.

Kenapa cobaan ini makin nambah?

Atau ... jangan-jangan, sebentar lagi aku bakal dapat cobaan lainnya?

Hiks.

Bingung, mengerutkan dahi ketika ia tak langsung mendapati jawaban dari sang kakak, Razen pun kembali bertanya.

“Mbak belum dipecat kan ya? Atau ...” 

Wajah Razen tampak syok. Stik pun terlepas dari tangannya ketika ia menangkup kedua pipinya, menampilkan ekspresi iba yang terlihat begitu dibuat-buat. 

“... baru aja dipecat? Ya Tuhan. Aku turut berduka cita, Mbak.”

Menghela napas panjang, Elzi tampak berusaha menahan diri. “Untuk saat ini,” jawabnya pelan. “Aku belum dipecat. Percaya aku, Zen. Aku benar-benar nggak mau jadi pengangguran kayak seseorang. Nolep banget nggak sih?”

Dooong!

Seketika saja wajah Razen berubah. Ekspresi menggoda di wajahnya tadi, sontak berganti. Dan ia bangkit dari duduknya. Beranjak menghampiri Elzi.

“Ngomong-ngomong soal pengangguran,” kata Razen dengan sorot memelas. Kali ini tanpa ada kepura-puraan. “Weekend ini Mbak ada acara? Ikut aku ke Bengkulu yuk.”

Dahi Elzi berkerut dengan pembelokkan topik yang terlalu mendadak itu. “Ngapain ke sana? Festival Tabot udah lewat.”

“Ih. Yang mau nonton festival Tabot siapa?” gerutu Razen. “Aku tuh bukannya mau happy-happy-an pergi ke sana. Tapi, Papa nyuruh aku buat ngecek kebun, Mbak. Rasanya males banget aku mau pergi lihat kopi-kopi itu. Temenin aku ya?”

Elzi meringis. Berat hati, namun ia tau keadaannya tak mendukung. Maka ia pun menggeleng.

“Suasana hati aku saat ini lagi kacau, Zen. Maaf. Tapi, aku benar-benar lagi nggak mau diganggu. Lagipula ... anggap aja itu konsekuensi buat keadaan kamu. Coba aja kalau kamu udah ada kerjaan. Papa nggak bakalan mungkin nyuruh kamu buat ngurusin kebun kopi di sana.”

“Sekarang aku tuh lagi butuh dorongan moril, Mbak. Bukannya malah makin dipojokkan,” gerutu Razen dengan wajah kesal. “Bukan kemauan aku juga kalau sampe sekarang belum dapat kerjaan. Aku tuh udah nyoba, tapi nggak ada yang nerima. Terus aku harus gimana coba? Ngerengek di depan kantor-kantor itu?” Razen mencibir. “Kan nggak mungkin.”

Elzi menarik napas dalam-dalam. Mendadak merasa bersalah karena perkataannya. Tentu, masalah pekerjaan adalah hal yang cenderung sensitif. Tapi, ketika Elzi baru akan mengatakan satu dua patah kata untuk menenangkan adiknya itu, Razen justru berkata.

“Atau aku emang harus ngubah strategi aku? Ehm ... kalau ngelamar kerjaan ditolak, apa itu artinya kalau aku ngelamar anak gadis orang justru bakal diterima?

Elzi melongo. Menyadari kesalahannya dalam bersimpatik pada adiknya itu. Ckckck. Bukan tempanya.

“Ya ... bisa jadi sih. Kayaknya nggak ada orang tua yang bakal melewatkan calon mantu berkualitas kayak aku,” ujar Razen manggut-manggut. “Atau paling nggak, mungkin ini waktunya buat aku nerima tawaran Endra. Masuk ke dunia modelling. Kayaknya aku emang harus mulai memanfaatkan wajah tampan ini. Ehm ... nasib-nasib.”

Rasa-rasanya Elzi kembali merasa mual-mual. Terutama ketika dilihatnya, bagaimana adiknya itu terlihat geleng-geleng kepala dengan sok frustrasi. Padahal jelas sekali, matanya memamerkan sorot geli.

Elzi memutuskan untuk tidak meladeni ocehan Razen. Sebelum ia benar-benar muntah di sana.

“Tampan, dengkulmu itu yang tampan!”

Razen menyeringai mendengar tukasan sang kakak. Membiarkan Elzi beranjak sementara ia yang langsung kembali pada stiknya. Melanjutkan permainannya.

Sekilas, ketika Elzi menaiki satu demi satu anak tangga, ia mendapati pemandangan ibunya yang sedang menyiram tanaman di taman samping rumah. Hingga kemudian sosok itu lepas dari pandangannya tatkala ia sudah berada di lantai atas.

Menuju langsung ke kamarnya, Elzi pun lantas langsung ambruk di atas tempat tidur. Membawa kedua matanya untuk menatap kosong pada langit-langit kamar. Lalu desahan putus asa terdengar sedetik kemudian.

Untuk beberapa saat, Elzi seperti berada di alam tanpa pikiran. Kosong. Otaknya serasa tidak memiliki apa-apa di dalam sana. Hingga pada akhirnya, entah bagaimana asalnya, mendadak saja wajah Ben muncul. Dan tanpa mampu ditahan, emosi itu muncul kembali ke permukaan.

“Dasar!” geram Elzi. “Cowok kurang asam. Bajingan. Psikopat. Hidung Squidward otak mesum. Cabul.”

Entah, umpatan apa saja yang meluncur dari mulut Elzi saat itu. Tepat ketika otaknya mempertontonkan fakta bagaimana Ben yang berani-beraninya mencium dirinya.

Dua kali ciuman dalam dua pertemuan?

Luar biasa.

Daebak!

Hingga tidak menjadi hal aneh bila pada akhirnya Elzi meraih ponselnya. Langsung menyasar pada kontak dan menemukan nama Ben di sana. Untuk kemudian, tanpa berpikir dua kali, ia langsung menghapusnya.

Sampe kiamat, sampe manusia dibangkitkan kembali, bahkan sampe kapan pun juga, aku nggak bakal pernah ngubungi dia lagi.

Aku nggak bakal ketemu dia lagi.

Titik.

Lupakan soal Ben mulai saat ini!

Tak hanya itu, di dalam hati Elzi pun berjanji. Bahkan ia juga akan melupakan Ben untuk selama-lamanya. Benar-benar tidak ingin berhubungan dengan cowok itu, walau hanya sekadar di dalam pikirannya.

Dan ketika itu, seperti alam yang ingin membantu keputusan Elzi, ponsel di tangannya berdering. Menampilkan satu kontak lainnya yang membuat ia mengembuskan napas panjang. Pelan-pelan, senyumnya pun menampakkan wujud. Pada nama yang bertuliskan My Sweetheart.

Mario menghubunginya.

Maka dengan semringah, Elzi pun langsung menggeser simbol telepon yang bewarna hijau. Pun segera menaruh benda itu di telinganya. Menyapanya.

“Halo, Sayang.”

Elzi merasakan suaranya berubah seketika saat ia menyapa Mario di seberang sana. Hingga tanpa sadar, wajah Ben yang semula ada di benaknya, tergantikan. Oleh paras Mario. Yang tentu saja, tampan rupawan. Lengkap dengan pakaian kerjanya yang rapi serta pembawaannya yang hangat pada siapa pun.

Oh Tuhan.

Ketimbang nikah sama Ben, aku jelas berkali-kali lipat mau nikah sama Mario.

Dan ketika sapaannya mendapatkan balasan, Elzi benar-benar yakin. Bahwa Mario memang adalah pilihan paling tepat untuk dirinya.

“Halo juga, Sayang. Udah balik?”

Mengembuskan napasnya sekilas, Elzi menjawab. “Udah. Ya ... paling baru sekitar 10 menit sih aku sampe rumah. Kenapa?”

“Weekend besok kamu ada waktu nggak?” tanya Mario lagi. “Kita jalan? Ehm ... hitung-hitung buat ganti rugi kemaren. Ckckck. Saking serunya kamu ngadirin acara reuni, kamu bahkan nggak sempat ngangkat telepon aku.”

Sontak saja, wajah semringah dan senyum Elzi menghilang. Alih-alih, sekarang tergantikan oleh ketakutan yang membuat jantungnya berdebar-debar. Beruntung. Saat Mario membahas soal reuni itu, posisi mereka sedang berhubungan via telepon. Ugh! Elzi tidak bisa membayangkan bila mereka sedang bertatap muka. Bisa dipastikan Mario akan mampu mendeteksi perubahan ekspresinya. Bahkan ... mungkin lebih dari itu.

Elzi menarik napas dalam-dalam. Berusaha menenangkan diri. Dan menyadari bahwa sebenarnya ajakan Mario adalah keberuntungan untuknya. Bukankah cowok itu semacam memiliki indra keenam? Yang seolah tau kalau dirinya sedang dalam keadaan gundah dan langsung memberikan tawaran yang menggiurkan? 

Dan tentu saja. Ajakan Mario seketika membuat Elzi teringat pula pada Razen. Setidaknya ini bisa menjadi alasan untuk dirinya menolak permintaan adiknya itu.

“Mau mau mau.”

Elzi pun menjawab ajakan Mario dengan antusias. Teramat sangat malah. Hingga ia pun bisa merasakan bagaimana semangat mendadak saja kembali mengisi tubuhnya yang tadi sempat lesu.

Di seberang sana, tawa Mario terdengar ketika mendengar jawaban Elzi. “Oke. Sabtu besok aku jemput. Jam lima?”

“Jam lima.”

*

Sore itu Elzi memilih menggunakan gaun berbahan sifon dengan sehelai tali yang bertahan di pundak. Dasarnya yang halus dan lembut, jatuh lemas dengan begitu indah di tubuhnya. Samar-samar mengikuti lekuk tubuhnya yang ramping.

Memiliki tubuh yang tingginya memang tidak mencapai angka 160 sentimeter, Elzi sebenarnya memiliki berat yang proporsional. Ya ... walau beberapa orang mengatakan bahwa ia cenderung kurus sih. Tapi, Elzi menganggap bahwa dirinya adalah refleksi idol Korea yang kebetulan tinggal di Indonesia. Hihihihi.

Elzi memang merupakan salah seorang cewek yang dengan pikiran positifnya menyukai keadaan dirinya, terlepas dari apa pun anggapan orang. Walau mungkin beberapa kali ia sempat minder dengan tubuhnya yang tidak terlalu tinggi. Tapi, sekarang Elzi justru menganggap itu keberuntungan. Setidaknya ia terlihat anggun ketika mengenakan sepatu berhak atau terlihat manis ketika mengenakan sepatu tanpa hak. Memungkinkan ia untuk mengenakan berbagai jenis sepatu.

Dan kali ini, berbicara mengenai sepatu. Adalah sepasang sepatu bewarna merah muda yang menjadi pilihan Elzi. Baru tiba seminggu yang lalu setelah tertahan beberapa hari di bea cukai, benda itu adalah salah satu pencapaian belanja Elzi dalam bulan ini. Ehm ... termasuk dengan gaunnya yang hilang saat malam reuni. Hiks.

Berusaha untuk tidak kembali teringat akan peristiwa kala itu, Elzi memutar tubuhnya di depan cermin. Meneliti penampilannya. Dan wanita itu tersenyum puas. Terutama dengan tatanan rambut yang ia pilih.

Memiliki panjang sepunggung, rambutnya yang bewarna hitam kecoklatan, dengan sengaja ia urai. Hanya ada satu jepit pemanis di belahan kanan rambutnya. Terlihat natural, namun juga cantik.

Dan sebagai pelengkap, ada sebuah tas tangan bewarna pastel yang telah berada di dalam genggamannya. Sangat serasi dengan gaun yang ia kenakan.

Tepat di jam lima sore, seperti yang telah mereka janjikan, Mario datang menjemput Elzi. Setelah sedikit berbasa-basi dengan kedua orang tua Elzi, mereka pun pergi.

Membawa mobilnya membaur bersama dengan kendaraan lainnya, Mario yang memegang kemudi di satu tangannya, tampak sesekali melirik ke samping. Pada Elzi yang terlihat nyaman duduk di kursi penumpang. Mata cowok itu jelas sedang menikmati wajah cerah sang tunangan.

“Kamu keliatan cantik banget sore ini.”

Itu adalah kalimat pertama yang Mario ucapkan tatkala mobilnya melaju. Kalimat pertama bernada pujian yang seketika membuat Elzi tersipu. Ehm ... dalam hati membuat cewek itu berharap.

Semoga aja blush on yang aku pakai nggak tambah merah.

Hihihihi.

Dan layaknya cewek pada umumnya, maka ketika dipuji seperti itu Elzi pun merespon dengan ekspresi wajahnya yang tampak malu-malu.

“Makasih,” ujar Elzi seraya melayangkan lirikannya. Pun membalas hal yang serupa. “Dan kamu ... seperti biasa. Nggak pernah jelek.” Ia tersenyum lebar. “Di mata aku.”

Bukan bermaksud berlebihan, tapi Elzi menyadari bahwa Mario memang selalu tampan. Mungkin karena cowok itu terbiasa berhubungan dengan banyak orang. Entah karena keluarganya atau karena pekerjaannya. Sehingga tak aneh bila Mario selalu memperhatikan penampilannya.

Seperti sore itu, mengenakan celana denim bewarna biru dongker, Mario memadukannya dengan sehelai kemeja bewarna putih tulang. Dan melengkapinya dengan satu vest bewarna krem. Terlihat sangat padu dengan bola matanya yang coklat gelap.

“Sore ini kamu mau ke mana? Ada tempat yang mau kamu datangi?”

Elzi mendeham sejenak. Berpikir di benaknya. “Sebenarnya aku udah lama nggak nonton sih,” jawabnya kemudian. “Gimana kalau kita pergi nonton? Kayaknya sih banyak film-film baru.”

“Ehm ... boleh juga. Dan kamu mau makan di mana? Atau ... kita nonton dulu baru makan?”

“Menurut kamu?”

Mario menggerling. “Atau aku punya opsi ketiga,” katanya tersenyum. “Kita nonton dulu dan setelah itu kita belanja dikit. Dengan segala kehormatan, aku bakal mempersilakan waktu dan tempat untuk kamu masak di unit aku.”

Jawaban yang tentu saja membuat Elzi tertawa. Hingga matanya memejam dan wajahnya terangkat. Merasa geli. Dan begitu juga dengan Mario, yang turut tertawa bersamanya. Tentu ... dengan pembelaan diri setelahnya.

“Ya ... mau gimana lagi. Aku udah lama nggak makan masakan kamu, Zi. Dan kayak yang diketahui seluruh dunia ...,” ujar Mario tersenyum geli. “... masakan kamu itu candu.”

“Hahahahaha.”

“Lagipula ... sebenarnya aku juga mau nunjukin beberapa design undangan yang udah aku pilih.”

Nah, kali ini tawa Elzi berhenti. Alih-alih terus merasa geli, ia justru menatap Mario. “Undangan?”

Mario mengangguk sekali. Satu tangannya bergerak, tepat ketika mobil harus berhenti lantaran lampu lalu lintas yang berubah merah. Di saat itu, ia pun meraih tangan Elzi. Meremasnya dengan lembut.

“Bentar lagi kita bakal nikah. Banyak hal yang harus dipersiapkan dari sekarang.”

Menikah ....

Ya Tuhan.

Entah kenapa sekarang jantung aku rasanya berdebar nggak nyaman kalau ketemu satu kata itu.

Tapi ...

Elzi mengangguk. Menyadari keadaan dirinya yang memang sebentar lagi akan melangsungkan pernikahan bersama dengan Mario.

“Oke,” kata Elzi. “Opsi ketiga.”

Adalah film aksi yang dipilih oleh Elzi dan Mario kala itu. Menampilkan adegan yang cenderung berutal ketika terjadi perkelahian, keduanya tampak begitu menikmati film tersebut. Walau entah mengapa, di saat beberapa adegan perkelahian itu muncul, mendadak saja batin Elzi merutuki sumpahnya.

Kalau sampe Ben muncul lagi di hadapan aku, bakal aku hajar dia kayak yang di film itu.

Ehm ... mungkin sedikit banyak Elzi masih kesal lantaran dua ciuman yang dirampas oleh Ben? Bisa jadi.

Sekitar dua jam kemudian, Elzi dan Mario keluar dari kawasan mall. Dengan beberapa kantung plastik belanjaan yang telah mereka beli selepas menonton tadi. Aneka sayur dan hewan laut adalah dua hal penting yang tidak akan mereka lewatkan.

Terletak di kawasan yang mendapatkan julukan Segitiga Emas Jakarta, Mario menuju pada satu gedung apartemen mewah di sana. Dengan lokasinya yang amat strategis, berpusat di kawasan sentral bisnis, dan memiliki sejumlah fasilitas yang setara dengan hotel bintang lima, sekilas semua orang bisa mengetahui dengan jelas betapa hunian cowok itu termasuk ke dalam kelas elit. Tentu saja, tidak sembarangan orang bisa mendapatkan tempat tinggal di daerah sana. Lantaran harganya yang tinggi dan juga keterbatasan unit yang ditawarkan. Hal itu lebih dari cukup untuk membuktikan betapa mapannya Mario.

Mobil Mario melaju. Melewati portal keamanan dan langsung menuju pada area parkir yang tersedia. Dan ketika keduanya turun, cowok itu dengan sigap membawa semua barang belanjaan mereka.

“Silakan masuk,” kata Elzi ketika membuka pintu unit apartemen itu. Layaknya ialah pemilik tempat tersebut, ia menggoda. “Anggap rumah sendiri.”

Mario tertawa melihat keusilan Elzi. Seraya tetap berjalan sementara Elzi menutup pintu itu di belakangnya.

Di dapur, Elzi membantu Mario mengeluarkan semua barang belanjaannya. Ketika itu, ia berkata sembari menggelung asal rambutnya. Beberapa anak rambutnya yang nakal, tampak lolos berjatuhan di kedua sisi wajah cewek itu.

“Kamu tunggu di depan aja. Biar aku ngurus ini. Ntar kalau udah beres, aku panggil.”

Mengabaikan Mario yang beranjak dari sana, Elzi meraih sayuran dan mulai mencucinya di wastafel. Dengan cekatan mempersiapkan semua bahan yang ia butuhkan untuk mulai memasak.

Yang mana, dengan keterbatasan waktu yang ia miliki, Elzi memutuskan untuk memasak capcay. Sederhana, namun tetap saja lezat. Rasa-rasanya tidak akan ada orang yang bisa menolak pesona aneka sayuran yang berpadu dengan daging dan baso di dalamnya. Terutama kalau ditambah potongan cumi.

Sekitar dua puluh menit kemudian, potongan wortel, kol, dan sawi putih, juga menghiasi wajah yang Elzi gunakan. Dengan lincah, tangannya menggerakkan sutil di sana. Mencampur semua bahan itu hingga padu. Lantas menguarkan aroma lezatnya ke seluruh penjuru ruangan.

Pada saa itu, Elzi masih memegang telinga wajan dan sutil di kedua tangannya, tatkala tubuhnya bereaksi pada pada sepasang tangan yang mendarat di perutnya. Diikuti oleh satu kecupan lembut yang hinggap di pundaknya yang polos. Ehm ... sehelai tali di sana benar-benar tidak bisa berperan banyak untuk menutupi pundaknya yang halus.

Acuh tak acuh, menarik napas dalam rasa aneh yang mendadak membuat ia mengernyitkan dahi, Elzi melirih pelan.

“Sabar, Rio. Bentar lagi juga ini bakal masak.”

Suara kekehan seketika terdengar di telinga Elzi, sebagai bentuk respon Mario untuk perkataan yang cewek itu ucapkan.

“Sebenarnya, bukan makan malam yang benar-benar aku tunggu, Zi.”

Elzi tersenyum, memadamkan kompor, dan menaruh sutil di pinggir wajan. Untuk kemudian, ia meraba kedua tangan Mario di perutnya. Lalu ia melepaskannya. Seraya memutar tubuh.

“Terus ... apa?”

Menengadahkan wajahnya demi bisa melihat pada mata sang kekasih, Elzi mendapati bagaimana Mario menatapnya dengan sorot yang tak mampu ia artikan. Terutama dengan senyum yang kemudian perlahan menyungging di wajahnya yang tampan. Lantas, ia menjawab hanya dengan satu kata.

“Kamu.”

Deg!

Entah mengapa, untuk beberapa alasan yang tidak mampu Elzi jelaskan, ia justru merasakan satu kata itu membuat tubuhnya bergetar seketika. Membuat bulu kuduknya sebelumnya aman tenteram, sontak berdiri dengan kompak dalam waktu yang singkat. Terutama ketika Elzi mendapati bagaiman Mario yang kemudian menundukkan wajahnya, hanya untuk melabuhkan satu kecupan lainnya di tempat yang serupa. Dan itu membuat jantungnya pun langsung berdegup dengan kencang.

Sedetik, Elzi hanya mampu menahan napas. Merasa gamang ketika kecupan-kecupan lainnya kembali hinggap. Bahkan kali ini, ciuman itu semakin menjelajah. Memaksa Elzi untuk mengangkat wajahnya ketika Mario menyasar pada lehernya.

Lalu, mata Elzi mengerjap. Tangannya sontak naik. Mendarat di dada Mario, menahannya. Mendorongnya. Memutus sentuhan yang cowok itu lakukan.

“Rio ....”

Astaga. Elzi buru-buru menggigit bibir bawahnya ketika mendengar suaranya sendiri. Dan hal itu membuat Mario tersenyum. Membawa tangannya bergerak. Menyibak anak rambut Elzi yang berjatuhan di sisi wajahnya. Untuk kemudian, jemarinya berpindah pada dagunya. Perlahan mengangkatnya.

Mata Elzi membesar. Melihat bagaimana pelan-pelan Mario kembali menundukkan wajahnya. Dengan fokus mata yang membidik pada satu tempat. Bibir Elzi.

Elzi menahan napas. Tapi, sedetik sebelum pada akhirnya bibir Mario mendarat, tangan Elzi meremas dada Mario. Mendorongnya dengan ekspresi seperti orang kebingungan.

“Rio ...,” lirih Elzi lagi dengan putus asa. “Ka-ka-kayaknya kita makan aja deh. Keburu capcaynya dingin. Ntar nggak enak lagi.”

Elzi berencana untuk beranjak setelah mengatakan itu. Tapi, tangan Mario menahan pinggangnya. Tak memberikan celah untuk cewek itu pergi.

“Elzi ....”

Suara Mario terdengar berat. Parau. Serak. Dan seperti mengirimkan getaran yang membuat sekujur tubuh Elzi meremang.

“Kamu cinta aku nggak sih?”

Dari sekian banyak hal yang mungkin dikatakan oleh Mario, Elzi tak mengira bahwa pertanyaan itu yang akan ia lontarkan. Sontak membuat ia mengerutkan dahi. Bingung.

“Kok kamu nanya gitu?” balik bertanya Elzi. “Ya ... aku cinta kamu.”

Jawaban itu membuat Mario tersenyum. Hingga ia pun lantas kembali menundukkan wajahnya. Kembali berusaha untuk mencapai bibir Elzi, namun ia justru mendapati cewek itu berpaling. 

Mario tertegun sejenak. Hingga kemudian ia memalingkan wajahnya. Berusaha untuk mencium Elzi dari sisi yang berbeda. Tapi, Elzi kembali menahannya.

“Kenapa?” tanya Mario. “Apa calon suami nggak boleh nyium tunangannya sendiri?”

Elzi meneguk ludah. “Bu-bu-bukan seperti itu, Rio. Tapi---”

Tak mampu meneruskan perkataannya, Elzi mendapati bagaimana dengan Mario menyambar bibirnya. Membungkam dalam satu ciuman yang membuat matanya membelalak seketika. Dan tak hanya itu, dengan penuh kesengajaan, Mario pun menahan pinggang Elzi. Untuk kemudian mendorongnya. Terburu-buru menuntunnya mundur. Hanya agar tertahan pada satu meja makan yang tersedia di sana.

Merasakan bagaimana tubuhnya didorong, mau tak mau Elzi melepaskan dada Mario. Demi untuk berpegang pada sisi meja makan. Berusaha untuk tidak benar-benar berbaring di sana.

What?!

Mata Elzi membelalak.

Berbaring?

Mengambil risiko, Elzi pun mengangkat satu tangannya. Kali ini, ia benar-benar mendorong Mario. Hingga pada akhirnya ciuman itu pun terurai. Mata Elzi melotot.

“Kamu ngapain sih?” tanya Elzi dengan napas menggebu. “Kalau mau makan, itu. Aku udah selesai masak. Ngapain juga malah aku yang dibawa ke meja makan?”

Mario terkekeh. Tampak mata berkilat melihat pada bibir Elzi yang tampak basah. Hingga jakunnya terlihat naik turun.

“Emang,” jawab Mario kemudian. “Rasa-rasanya ... aku emang mau makan kamu, Zi.”

Eh?

Elzi melongo. Dengan matanya yang semakin membesar.

“Kita udah mau nikah, Zi,” ujar Mario seraya tersenyum, dengan satu jarinya yang membelai wajah cewek itu. “Dan ... ya ampun. Kamu cantik banget malam ini.”

Elzi mengatupkan bibirnya dengan kuat. Lalu menepis tangan Mario dari wajahnya. Ia mendelik.

“Ya kali. Aku tau aku cantik, tapi kamu malam ini kenapa sih?”

Meringis, seperti menahan desakan yang tak lagi mampu ia tahan, Mario menarik napas dalam-dalam.

“Kita udah bukan anak kecil lagi, Zi. Dan ya ampun ....” Mario tersenyum aneh. “Bahkan untuk satu ciuman pun aku harus bersusah payah?”

Mata Elzi sontak memejam. Tampak frustrasi. “Sorry, Rio. Tapi, aku bener-bener ....” Ia mengembuskan napas, tak menemukan kata-kata yang tepat untuk ia katakan. Demi mewakili rasa tak nyaman yang ia rasakan. “Lebih baik kita makan aja sekarang.”

Selesai mengatakan itu, Elzi beranjak. Mengabaikan bagaimana Mario yang tampak tertegun di tempatnya berdiri. Hingga ia bertanya.

“Kamu beneran cinta aku? Atau sebenarnya ada cowok lain yang kamu cinta?”

Deg!

Sontak saja langkah kaki Elzi terhenti. Bahkan tanpa sadar, ia memutar tubuh. Berpaling pada Mario yang sedang menatapnya dengan sorot yang tampak asing di mata Elzi.

“Rio, ya ampun. Aku cinta kamu. Nggak ada cowok lain.”

Mario mendengkus. “Kalau gitu,” katanya kemudian. “Apa kamu mau ngebuktiin cinta kamu sama aku malam ini?”

Dan Elzi sudah dewasa. Teramat dewasa untuk mampu menerka ujung dari perkataan Mario itu apa. Satu hal yang membuat ia meneguk ludah.

Di-di-dia nggak mungkin ....

Hanya saja, kemungkinan itu membuat Elzi meremang. Lantaran kejadian seminggu lalu. Satu kesalahan fatal yang tak pernah ia rencanakan sebelumnya.

Dan sekarang? Mario justru ....

Di saat aku lagi berusaha ngelupain kejadian malam itu, Mario justru meminta hal yang sama?

Elzi merasakan tenggorokannya seperti tercekat. Napasnya terasa sesak seketika.

Ini kenapa semua cowok sama aja sih?

Kenapa yang mereka pikirin cuma soal itu?

Maka, menarik napas dalam-dalam, entah mengapa Elzi merasakan satu rasa sakit membuat jantungnya menjerit. Untuk kemudian, Elzi pun menggeleng.

“Jangan sekarang, Rio,” tolak Elzi pelan. “Kayak yang kamu omong, kita bakal nikah bentar lagi. Itu sudah lebih dari cukup untuk jadi bukti kalau aku cinta kamu.”

Selesai mengatakan itu, Elzi kembali ingin melangkahkan kakinya. Tapi, satu cekalan di tangannya membuat ia berhenti. Di saat itu, Elzi tak melakukan apa-apa. Seperti ia yang sedang menunggu apa yang akan Mario katakan selanjutnya. Karena kalau menurut riwayat hubungan mereka, Elzi bisa memastikan bahwa Mario akan meminta maaf dan---

“Karena kita bakal nikah bentar lagi, kamu pun tau kalau aku bakal bertanggungjawab untuk semua risiko yang bakal terjadi.”

Dingin. Seperti dirinya yang sedang berada di ruangan bersuhu rendah. Itulah yang sedang Elzi rasakan kala itu. Tepat ketika pada akhirnya ia merasakan tangannya yang dicekal, ditarik oleh Mario. Membuat tubuhnya melayang. Mendarat ke dalam pelukannya.

Mario merengkuh pinggang Elzi. Dengan erat. Mengenyahkan semua kemungkinan untuk cewek itu bisa melepaskan diri. Dan berkata.

“Aku menginginkan kamu, Sayang. Dan kamu ... nggak bakal nolak.”

*

bersambung ….

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya RELOVE: The Days With My Exes (Bab 4-6)
3
0
“Jadi dia yang namanya Mario?” tanya Ben pelan seakan ingin meyakinkan. “Tunangan kamu?”Tak mengatakan apa-apa, Elzi hanya memberikan jawaban berupa satu anggukan samar.“Jadi, apa yang terjadi di antara kalian?” Ben kembali bertanya, kali ini suaranya menyiratkan rasa bingung. “Bukannya udah biasa ya kalau pasangan sering having sex? Ehm ... apalagi kalian bentar lagi udah mau nikah.” Dahi Ben berkerut sekilas. “Pemerkosaan? Ehm ....”Pundak Elzi naik ketika ia berusaha menghirup udara dalam-dalam. Lantaran menangkap sorot menggoda di mata Ben. Tepat di saat ia melanjutkan perkataannya.“Atau ... dia terlalu kasar? Ehm ... nggak pakai foreplay yang seharusnya? Ck.” Ben geleng-geleng kepala. “Dia benar-benar nggak tau cara merayu cewek.”
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan