Bab 2: Langkah Pertama

1
0
Deskripsi

Hai, terima kasih sudah membaca cerita AKAD - di persimpangan jalan.

Pastikan kamu sudah Like dan berikan komentarmu, ya 🥰

Beberapa hari berlalu dalam rutinitas yang mulai terasa... normal, meskipun masih diselimuti kecanggungan. Rania memandangi kartu nama Adi, asisten Bima, yang tergeletak di meja kerjanya di sudut ruang tamu. Jantungnya berdebar sedikit lebih kencang dari biasanya. Setelah bertukar beberapa email profesional dengan kontak yang diberikan—seorang CEO muda bernama Dion dari startup teknologi pangan bernama 'Nusantara Bites'—hari ini ia dijadwalkan untuk video call perkenalan.

Ini dia. Langkah pertamaku, batin Rania sambil merapikan blazernya dan memastikan koneksi internet stabil. Ia melirik ke arah pintu kamar Bima yang tertutup rapat. Pria itu sudah berangkat ke kantor sejak pagi buta, seperti biasa. Mereka hanya sempat bersilangan di lorong, bertukar anggukan singkat. Sedikit interaksi saat Bima memberikan info pekerjaan itu belum mencairkan gunung es di antara mereka sepenuhnya, tapi setidaknya, Rania merasa ada celah kecil yang terbuka.

Panggilan video dengan Dion berjalan lancar, bahkan melebihi ekspektasi Rania. Dion tampak antusias dengan ide-ide awal Rania untuk rebranding Nusantara Bites. Ia menyukai pendekatan Rania yang ingin menonjolkan kearifan lokal dalam kemasan modern. Di akhir panggilan, Dion memintanya membuat proposal konsep awal dalam waktu seminggu.

"Yes!" Rania mengepalkan tangannya ke udara setelah panggilan berakhir. Ada perasaan hangat dan bersemangat yang sudah lama tidak ia rasakan mengalir di dadanya. Ia meraih ponselnya, ingin sekali berbagi kabar baik ini dengan Maya.

"Serius, Ran? Keren banget! Aku ikut senang!" seru Maya dari seberang telepon. "Tuh kan, apa kubilang? Peluang itu ada kalau dicari. Terus, gimana reaksi 'Sang Pangeran Es'?"

Rania tertawa kecil. "Belum cerita. Dia udah berangkat dari pagi. Nggak tahu juga sih, harus cerita atau nggak."

"Cerita aja! Siapa tahu dia ikut senang? Atau minimal, dia tahu kalau istrinya ini bukan cuma pajangan di apartemen mewahnya," saran Maya. "Tapi ingat, Ran, pelan-pelan saja. Jangan terlalu berharap reaksinya bakal kayak di novel romantis, oke?"

"Iya, iya, bawel," Rania tersenyum. Setidaknya, ia punya Maya yang selalu mendukungnya.

Sabtu pagi. Rania terbangun lebih awal dari biasanya. Entah kenapa, tidurnya lebih nyenyak semalam. Mungkin karena rasa lega dan semangat dari pekerjaan barunya. Ia memutuskan untuk membuat sarapan, sesuatu yang jarang ia lakukan di apartemen ini. Biasanya, asisten rumah tangga paruh waktu yang menyiapkan segalanya, atau mereka makan sendiri-sendiri.

Ia membuka kulkas, menemukan bahan-bahan nasi goreng sederhana. Aroma bawang putih dan terasi yang ditumis mulai memenuhi udara ketika Bima muncul di ambang pintu dapur, sudah rapi dengan kaos polo dan celana kasual. Sepertinya ia baru selesai berolahraga di gym apartemen.

"Pagi," sapa Bima, nadanya datar seperti biasa, tapi matanya sedikit menyipit saat mencium aroma masakan. "Nasi goreng?"

"Eh, iya, Mas. Pagi," Rania sedikit terkejut. "Cuma... iseng aja."

Bima berjalan mendekat, menuang air putih dari dispenser. "Sudah lama tidak sarapan nasi goreng buatan rumah."

Ada jeda sejenak. Rania melanjutkan mengaduk nasi di wajan, sedikit gugup karena kehadiran Bima yang mengamatinya dalam diam.

"Perlu bantuan?" tanya Bima tiba-tiba.

Rania hampir menjatuhkan spatulanya. "Eh? Nggak usah, Mas. Udah mau selesai, kok."

Bima tidak memaksa. Ia duduk di kursi meja makan kecil di dapur, membuka tabletnya. Tapi Rania merasa pria itu tidak benar-benar membaca. Beberapa menit kemudian, dua piring nasi goreng tersaji di meja. Rania meletakkan satu di depan Bima.

"Silakan, Mas," katanya pelan.

Bima menatap nasi goreng itu, lalu menatap Rania. "Terima kasih." Ia mengambil sendok dan mulai makan. Rania ikut duduk dan makan dalam diam, jantungnya masih sedikit berdebar.

"Enak," ucap Bima setelah beberapa suap.

Rania mengangkat wajahnya, kaget. Pujian singkat itu terasa aneh keluar dari mulut Bima. "Ah, biasa aja kok, Mas."

"Tidak. Bumbunya pas. Mengingatkanku pada..." Bima berhenti, tidak melanjutkan kalimatnya. Ia kembali fokus pada makanannya, tapi Rania melihat sedikit perubahan di raut wajahnya. Lebih lembut? Atau hanya imajinasinya?

Saat mereka sedang makan, ponsel Bima berdering nyaring. Nama 'Mama' tertera di layar. Ekspresi Bima langsung berubah, kembali menjadi kaku dan serius.

"Halo, Ma," sapanya. Ia mendengarkan sejenak. Rania hanya bisa mendengar suara samar dari seberang. "...Iya, Ma. Rania ada... Baik... Iya, nanti malam kami ke sana. Sampaikan salam untuk Oma juga... Iya, Ma. Sampai nanti."

Bima menutup telepon, raut wajahnya kembali dingin. Ia menatap Rania. "Mama minta kita makan malam di rumah malam ini. Sekalian ada Oma."

Jantung Rania mencelos. Makan malam di rumah keluarga Baskoro. Bertemu ibu mertua yang ia tahu sangat perfeksionis dan mungkin tidak sepenuhnya menyukainya karena merasa Rania tidak selevel dengan Bima. Ditambah kehadiran Oma Bima yang kabarnya sangat menjunjung tinggi tradisi.

"Baik, Mas," jawab Rania pelan, berusaha menyembunyikan kegugupannya. Semangat paginya karena proyek baru dan pujian kecil Bima tadi seakan menguap seketika.

Bima mengangguk singkat, lalu bangkit dari kursi. "Aku ada beberapa pekerjaan di ruang kerja." Ia berlalu begitu saja, meninggalkan Rania sendirian dengan sisa nasi gorengnya dan perasaan cemas menghadapi malam nanti.

Pintu yang tadi terasa sedikit terbuka, kini seolah tertutup kembali oleh bayangan kewajiban dan ekspektasi keluarga Baskoro. Langkah pertama Rania dalam meraih mimpinya terasa kontras dengan langkahnya memasuki lingkaran keluarga Bima yang terasa asing dan mengintimidasi.

(Bersambung)

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya Bab 3: Meja Makan Keluarga Baskoro
1
0
Hai, terima kasih sudah membaca cerita AKAD - di persimpangan jalan.Pastikan kamu sudah Like dan berikan komentarmu, ya 🥰
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan