Bab 3: Meja Makan Keluarga Baskoro

1
0
Deskripsi

Hai, terima kasih sudah membaca cerita AKAD - di persimpangan jalan.

Pastikan kamu sudah Like dan berikan komentarmu, ya 🥰

Perjalanan menuju kediaman utama keluarga Baskoro terasa lebih lama dari seharusnya. Keheningan di dalam mobil mewah Bima begitu pekat, hanya dipecah oleh deru halus mesin dan suara klakson samar dari luar. Rania meremas jemarinya di pangkuan, gaun semi-formal berwarna navy yang dipilihnya dengan hati-hati kini terasa sedikit mencekik. Di sampingnya, Bima duduk tegak, menatap lurus ke depan, wajahnya kembali menjadi topeng tanpa ekspresi yang Rania lihat di awal pertemuan mereka. Kehangatan singkat saat sarapan pagi tadi terasa seperti mimpi yang jauh.

Gerbang hitam menjulang tinggi terbuka otomatis, memperlihatkan halaman luas dan rumah megah bergaya klasik modern yang lebih mirip istana kecil daripada rumah tinggal. Rania menelan ludah. Ini adalah dunia Bima yang sesungguhnya, dunia yang terasa begitu jauh dari kehidupannya.

Seorang pelayan membukakan pintu mobil. Bima keluar lebih dulu, lalu menunggu Rania dengan sikap formalitas yang kaku. Saat Rania melangkah keluar, Bima hanya memberinya anggukan singkat sebelum berjalan menuju pintu utama yang sudah terbuka.

Di ruang tamu yang luas dan didominasi warna krem serta emas, dua wanita menunggu. Yang satu, Ibu Livia Baskoro, ibu Bima, tampak anggun dalam balutan blus sutra dan rok pensil, rambut disanggul modern, senyumnya tipis namun tatapan matanya tajam menilai Rania dari ujung rambut hingga ujung kaki. Di sebelahnya, duduk seorang wanita tua bertubuh kecil namun sorot matanya tak kalah tajam, rambut putihnya disanggul rapi—Oma Halimah.

"Selamat malam, Ma, Oma," sapa Bima, mencium punggung tangan keduanya bergantian.

"Bima, akhirnya kalian sampai," suara Ibu Livia terdengar halus namun dingin. Ia mengalihkan perhatian pada Rania. "Rania, selamat datang."

"Selamat malam, Ibu. Oma," sapa Rania sopan, mencoba tersenyum tulus meski jantungnya berdebar kencang.

"Duduklah," kata Oma Halimah singkat, menunjuk sofa di seberang mereka.

Percakapan dimulai dengan basa-basi yang canggung. Ibu Livia bertanya tentang kabar orang tua Rania, sementara Oma lebih banyak diam mengamati. Suasana terasa formal dan mengintimidasi. Rania merasa seperti sedang diinterogasi secara halus.

Saat makan malam di ruang makan yang tak kalah megah, suasana tak kunjung cair. Denting perak beradu dengan piring porselen menjadi musik latar utama.

"Jadi, Rania," Ibu Livia memulai setelah beberapa saat hening, meletakkan garpunya dengan anggun. "Apa saja kesibukanmu sekarang? Selain... yah, menyesuaikan diri dengan kehidupan barumu, tentu saja."

Pertanyaan itu terdengar biasa, tapi Rania bisa merasakan nada meremehkan di baliknya. "Saya sedang mencoba merintis kembali karir saya di bidang desain grafis, Bu," jawab Rania hati-hati. "Kebetulan ada proyek freelance untuk rebranding sebuah startup."

Ibu Livia mengangkat alisnya sedikit. "Oh ya? Startup apa?"

"Nusantara Bites, Bu. Bergerak di bidang teknologi pangan," jawab Rania.

"Ah, desain grafis," Ibu Livia tersenyum tipis, senyum yang tidak mencapai matanya. "Hobi yang manis sekali. Mengingatkan Ibu pada almarhum Papa Bima, beliau suka sekali melukis dulu." Ia berhenti sejenak, lalu melanjutkan dengan nada yang lebih tajam, seolah baru teringat. "Tapi tentu saja, Bima butuh pendamping yang bisa fokus mendukungnya. Dulu... Bima itu hampir bertunangan dengan Seraphina. Anak kolega bisnis almarhum suami saya. Cantik, pintar, aktif di kegiatan sosial, dan sangat mengerti dunia bisnis. Dia bisa mengimbangi Bima, sangat cocok."

DEG!

Dunia Rania seakan berhenti berputar. Seraphina. Nama itu disebut dengan penekanan khusus oleh Ibu Livia, lengkap dengan perbandingan yang jelas menyudutkan Rania. Rasa sakit yang tajam menusuk ulu hatinya. Ia melirik Bima, mencari reaksi. Wajah Bima mengeras, rahangnya terkatup rapat, tapi ia tidak mengatakan apa-apa. Hanya ada kilat dingin di matanya saat ia menatap ibunya sekilas.

"Setiap orang punya jalan hidupnya masing-masing, Livia," suara Oma Halimah tiba-tiba memecah keheningan yang menyesakkan. Nadanya datar, tapi ada teguran tersirat di dalamnya. "Rania menantu kita sekarang."

Ibu Livia tampak sedikit terkejut ditegur ibunya sendiri, tapi ia cepat menguasai diri. "Tentu saja, Ma. Saya hanya... bernostalgia." Ia kembali tersenyum pada Rania, senyum yang kini terasa seperti racun manis.

Sisa makan malam berlalu dalam suasana yang lebih dingin dari sebelumnya. Rania kehilangan selera makannya, pikirannya terus berputar pada nama 'Seraphina' dan tatapan Bima yang tak terbaca. Bima sendiri lebih banyak diam, hanya menjawab jika ditanya langsung oleh Oma atau Ibunya.

Dalam perjalanan pulang, keheningan kembali menyelimuti mobil. Kali ini terasa lebih berat, sarat dengan hal-hal yang tak terucapkan. Rania memberanikan diri melirik Bima. Pria itu sedang mengetik sesuatu di ponselnya dengan cepat.

"Mas..." Rania memulai ragu.

Bima tidak menoleh. "Hm?"

"Tentang... Seraphina..."

"Lupakan saja," potong Bima cepat, nadanya tajam. "Ibuku hanya..." ia tidak melanjutkan, seolah mencari kata yang tepat. "...punya caranya sendiri dalam melihat sesuatu."

Jawaban itu tidak memuaskan Rania, tapi ia tidak berani mendesak lebih jauh. Ia memilih diam, menatap lampu-lampu kota Jakarta yang berlarian di luar jendela.

Tiba-tiba, Bima mengakhiri ketikannya dan bergumam pelan, lebih pada dirinya sendiri namun cukup terdengar oleh Rania. "Investasi di sektor food tech itu harus segera difinalisasi minggu depan, Di," gumamnya, seolah sedang mendikte pesan atau mengingatkan diri sendiri. Ia lalu menyimpan ponselnya.

Food tech? Teknologi pangan? Batin Rania bergejolak. Nusantara Bites, startup yang sedang ia tangani, bergerak di bidang itu. Apakah Bima atau Baskoro Corp punya kepentingan di sektor yang sama? Apakah info pekerjaan yang diberikan Bima melalui Adi beberapa hari lalu... punya motif tersembunyi? Apakah Bima hanya memanfaatkannya untuk mendapatkan informasi tentang potensi pesaing?

Benih keraguan kini tertanam di hati Rania, bercampur dengan rasa sakit hati karena perbandingan dengan Seraphina. Pria di sampingnya ini terasa semakin jauh dan penuh misteri. Kehangatan singkat pagi tadi kini terasa seperti ilusi.

Malam itu, Rania kembali ke apartemen mewah itu dengan perasaan yang lebih campur aduk dari sebelumnya. Bayangan Seraphina menghantuinya, dan keraguan terhadap ketulusan Bima mulai menggerogoti pikirannya. Persimpangan jalan di hidupnya terasa semakin rumit dan penuh kabut.

(Bersambung)

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya Bab 4: Di Bawah Lensa Curiga
0
0
Hai, terima kasih sudah membaca cerita AKAD - di persimpangan jalan.Pastikan kamu sudah Like dan berikan komentarmu, ya 🥰
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan