
Baca part sebelumnya
Ke duanya diam, saling tatap dengan binar berbeda di ke dua mata mereka. Julian dengan binar penuh harap dan Alvian dengan binar sendunya. Alvian sudah berjanji pada dirinya sendiri dan juga Julian, bahwa dia akan bertanggung jawab atas calon anak mereka, bertanggung jawab untuk melindungi mereka dan menuruti keinginan calon anak mereka apapun bentuknya.
Tetapi perasaan Alvian saat ini benar-benar campur aduk, mudah baginya untuknya mengiakan keinginan tersebut, tapi tidak mudah untuk perasaannya yang saat ini.
"Al?"
Panggilan lembut dari Julian menyadarkan Alvian dari lamunannya. Alvian menggeleng pelan untuk mengusir semua pikiran-pikiran buruk di kepalanya, dia tersenyum kecil sebelum mengangguk.
"Ya, gue mau. Seenggaknya, gue bisa turut andil kasih apa yang calon anak kita mau," ucap Alvian sembari menatap perut Julian dengan sayang.
Julian ikut tersenyum senang, dia meraih tangan Alvian dan meletakkannya di atas perutnya yang ditutupi oleh kaos yang dia kenakan.
"Baby pasti seneng karena ayahnya peduli sama dia," balas Julian.
Alvian mengamininya, dia berharap bisa terus berada di sisi ke duanya sampai calon anak mereka lahir ke dunia. Menjaga ke duanya dengan baik dan memastikan jika ke duanya selalu aman dan sehat.
"Al, kamu mau anak kita cewek atau cowok?" tanya Julian kembali ketika Alvian hanya diam sembari menatap perutnya dengan fokus.
Alvian mendongak dan balas menatap mata Julian, beberapa waktu Alvian larut ke dalam binar cantik mata Julian yang seolah memerangkapnya jauh di dalam sana. Alvian tiba-tiba teringat dengan kejadian panas semalam, bayangan abstrak yang muncul dan hilang dalam sekejap membuat detak jantungnya berdebar begitu keras.
Alvian mengulum bibirnya ketika bayangan saat mereka berciuman menguasai kepalanya, berganti cepat dengan saat dirinya menggeram keenakan saat kelaminnya dijepit kuat oleh rektum Julian.
Sialan!
Tatapan sayu Julian, wajah terangsangnya juga desahan lembut tergambar jelas dalam ingatannya. Tanpa dia sadari, tangannya menggenggam tangan Julian dengan erat. Julian menunduk dan menatap tautan tangan mereka dengan sendu.
Alvian kembali teringat dengan percakapannya bersama sang ibu, perasaan kesal dan juga takut membuatnya khawatir pada keselamatan Julian dan calon anak mereka. "Cewek atau cowok, gue bakal tetep sayang sama mereka." balasnya.
Julian menarik tangannya lepas dari genggaman Alvian untuk membawa ke dua tangannya memeluk tubuh sang mantan suami, menyandarkan kepalanya di dada Alvian yang tak berbalut busana. Alvian membawa lengannya untuk balas memeluk Julian, mengusap kepala Julian dengan lembut.
"Kak, maaf buat semalem. Gue udah dengan kurang ajarnya malah nyentuh lo di saat gue mabuk," ucap Alvian yang membuat Julian memejamkan matanya malu ketika teringat kejadian panas mereka.
"Ga-gak usah dibahas, Al. A-aku juga mau, kok. Kamu gak perlu minta maaf, karena aku juga secara sadar nerima sentuhan kamu," balas Julian sembari mengusak pipinya pada dada Alvian dan dia bisa merasakan detakan jantung Alvian yang berdebar cukup cepat.
Alvian berdehem pelan guna menetralkan detak jantungnya, dia pun menarik bahu Julian untuk menjauh dari badannya. Bukan karena dia tak suka, tetapi dia malu jika tubuhnya mengeluarkan bau tak sedap karena keringatnya.
"Gue mau mandi dulu."
Alvian segera beranjak dari ranjang dan meninggalkan Julian yang terdiam dalam duduknya.
Bukan tanpa alasan Julian meminta mereka untuk bersikap seperti pasangan suami. Jujur saja, selain karena dia ingin merasakan bagaimana indahnya keluarga kecil mereka saat bersama, dia juga ingin membuat kenangan bahagia untuk mereka sebelum dia pergi jauh.
Mendengar ucapan Alvian tentang Marisa yang sudah mengetahui jika dirinya hamil membuatnya takut. Dia tahu sekali bagaimana watak Marisa, dia pasti menginginkan anaknya kali ini. Dia tidak akan diam kali ini, dia tidak mau berurusan kembali dengan keluarga Dhananjaya.
"Maafin aku, Al. Aku gak bisa wujudin keinginan kamu buat terus menjaga calon anak kita sampai dia lahir ke dunia, aku takut. Aku takut jika aku tetap di sini, ibu kamu akan mengambil calon anak kita. Aku tidak mau kehilangannya," lirihnya sembari menahan tangis.
***
Alvian lupa kapan terakhir kali dia merasa bahagia. Yang pasti itu sudah sangat lama sekali sebelum kejadian mengerikan merenggut Benny. Alvian berusaha untuk menahan senyumnya ketika melihat Julian dengan telaten menyajikan makanan di meja- makanan kesukaannya.
Seharusnya dia berusaha menerima Julian sejak memutuskan menerima keinginan sang ibu, bukan malah menjauhinya. Karena nyatanya Julian lah korban di sini. Dia yang berniat menjaga Julian justru berbalik menyakitinya karena sikapnya yang kekanakan.
"Makan yang banyak. Aku udah siapin menu lain buat makan siang kamu di kampus, karena hari ini aku gak jadwal, jadi aku bawain langsung ke kamu, ya?"
Alvian tersadar ketika Julian mengajaknya berbicara. Dia mengangguk dan tersenyum. Hangat sekali rasanya, suasana di ruang makan terasa begitu tenang dan nyaman.
Seandainya mereka benar-benar sebuah keluarga …
"Kamu kelas sampai jam berapa? Mau makan malem pake menu apa? Biar nanti buatin," ujar Julian.
Alvian balas menatap Julian yang kini mulai makan dengan santai. Dia ingin sekali menolaknya karena dia tak mau merepotkan Julian dan juga perasaannya sendiri yang sejak tadi membuatnya bingung.
"Apa gak masalah kalo aku nginep di sini terus?" tanya Alvian.
Julian diam sejenak sebelum menjawabnya. "Yang mereka tau, aku ini lelaki bersuami. Mereka gak tau kalo sebenernya kita sudah bercerai, jadi aku rasa gak masalah." balasnya.
Alvian mendengkus geli dan tersenyum kecil. "Kalo lo gak merasa repot, masak apa aja. Pasti gue makan." Alvian berdehem pelan ketika teringat sesuatu. "Aku pulang agak malem sekitar jam 8, soalnya aku harus berangkat kerja."
Setelah berbincang kecil di sela sarapan, Alvian berpamitan untuk berangkat ke kampus. Dengan Julian yang mengantarnya sampai di teras rumah.
"Hati-hati, Ayah. Jangan ngebut," ucap Julian menirukan suara anak kecil yang membuat Alvian berkaca-kaca.
Pantaskah lelaki sepertinya menjadi seorang ayah? Ayah macam apa yang membuat pasangannya menderita seorang diri. Julian yang melihat pun panik, dia merangkum wajah Alvian dan mengusapnya lembut.
"Kamu kenapa?" tanyanya.
Alvian tersenyum dan balas menggenggam tangan Julian. "Gue cuma seneng aja. Gue gak sabar nunggu calon anak kita lahir dan beneran manggil gue Ayah," balas Alvian.
Julian tersenyum sendu saat melihat Alvian menahan tangisnya. Perasaan bersalah Julian rasakan saat ini karena keinginan Alvian mungkin tak akan pernah terjadi.
"Udah sana berangkat. Hati-hati di jalan, ya."
Alvian mengangguk, dia mendekatkan wajahnya untuk mengecup kening Julian cukup lama. Ke duanya memejamkan matanya erat sembari menikmati debaran jantung mereka yang bekerja cukup cepat.
***
Alvian tak pernah berhenti tersenyum sejak meninggalkan pekarangan rumah Julian, perasaannya berbunga-bunga seperti remaja yang sedang jatuh cinta.
Tunggu!
Jatuh cinta? Dia jatuh cinta?
Tidak! Dia hanya bahagia karena calon anak mereka.
Alvian mengerang kesal dan mengacak rambutnya.
Langkahnya terhenti ketika matanya menangkap sosok Daffa di depannya, berdiri dengan tatapan lurus padanya. Seketika rasa kesal, marah dan kecewa menguasai hati Alvian saat ini. Dia kembali teringat dengan ucapan merendahkan ibu Daffa padanya.
Orang tua sama saja. Hanya uang yang mereka pikirkan. Bahkan kebahagiaan anaknya terasa tak berguna untuk mereka.
"Yak! Alvian! Tunggu!" seru Daffa ketika melihat Alvian berbalik arah menghindarinya.
Alvian mendesis sebal dan terpaksa berhenti, menunggu Daffa mendekatinya dengan berlari lalu berhenti di depannya untuk berjaga-jaga agar dirinya tidak lari.
"Al, gue-"
"Daffa, sebelumnya gue minta maaf. Gue rasa, gue nyerah sama perasaan gue ke lo. Gue gak mau maksa lo lagi buat balik sama gue. Gue minta maaf juga karena udah bohongin lo selama ini. Dan juga, bayi yang dikandung sama Kak Lian itu anak gue. Maaf," jelas Alvian mendahului ucapan Daffa.
Daffa terdiam mencerna semuanya, dia tidak terkejut akan fakta yang diucapkan oleh Alvian. Karena dia sudah menduganya sejak awal, tetapi dia terkejut karena kejujuran Alvian padanya.
"Jadi, lo udah paham sama perasaan lo sendiri? Lo udah sadar bahwa lo cinta sama Pak Ian?" balas Daffa.
Alvian mengerutkan keningnya tidak mengerti. Dia terkekeh kecil. "Gue gak tau, Daffa. Gue cuma mau lo tau semuanya, gue harap lo ngerti. Mulai sekarang, lebih baik kita ngejauh, ya? Gue takut ibu lo makin marah karena anaknya masih berhubungan sama gue," balasnya yang membuat Daffa terdiam.
"Gue gak pernah nyesel sama perasaan gue ke lo. Gue seneng, seenggaknya kita pernah menjalin hubungan walaupun gak lama. Tapi gue nyesel karena karena kita harus berakhir kayak gini, Daffa. Semoga lo bisa dapetin yang lebih baik dari gue," ujar Alvian sembari menepuk pelan bahu Daffa dan tersenyum kecil.
Daffa mencebikkan bibirnya sedih, matanya berkaca-kaca karena ucapan dari Alvian. "Harus banget kita jauhan? Gak bisa kita temenan kayak dulu? Gue nyaman temenan sama lo, Al. Soal ucapan mamah, gue minta maaf," ujar Daffa yang mulai terisak.
Alvian segera menarik tubuh Daffa untuk dia peluk, menepuk punggung sempit Daffa dengan lembut.
"Gue gak mau bikin lo dimarahin sama ibu lo," balasnya.
Daffa menggeleng pelan di dada Alvian, tangannya meremas kuat kain jaket yang dikenakan oleh Alvian. Daffa kembali mengingat kejadian tempo hari, di mana saat Alvian pertama kali berkunjung ke rumah dan bertemu dengan ibunya.
Sepeninggal Alvian, Daffa dan Siska tampak lemas. Daffa menoleh dan menatap ibunya dengan kesal, membuat sang ibu menaikkan alisnya bingung.
"Kenapa malah bahas warisan, Mah? Gak sopan," kesal Daffa.
Siska mengusap lengannya dengan senyum kecil.
"Kan, biar total gitu loh aktingnya. Kamu sendiri yang suruh mamah jadi orangtua yang matre," balas Siska.
Daffa merengek sebal lalu menyandarkan punggungnya ke sofa. "Iya, tapi Alvian marah kayaknya. Ini bukan bikin dia sadar sama perasaannya, malah dia sakit hati karena ucapan mamah."
Siska menghembuskan napasnya perlahan. "Kenapa kamu ngotot sekali mau bikin dia sadar bahwa dia cinta sama mantan suaminya? Bukankah kamu juga cinta sama dia?" tanya Siska.
Daffa menegakkan punggungnya, memposisikan tubuhnya menghadap sang ibu. "Aku gak tahu, Mah. Tapi rasanya, aku bakal jahat kalo tetep nahan Alvian di sisi aku. Aku juga udah jadi jahat karena hadir di tengah hubungan mereka, meskipun aku gak tahu kalo ternyata mereka menikah. Mereka itu saling cinta, Mah. Daffa gak tau kenapa Alvian ngotot sama pendiriannya, bahwa dia gak cinta sama Pak Ian. Padahal dari sikap, tatapan matanya ke Pak Ian itu beda," ujar Daffa dengan helaan napas beratnya.
"Arghhh gak tahu! Pokoknya kalo sampai Alvian jauhin aku, ini semua salah mamah."
Daffa ingin berkata jujur, tetapi dia tak mau membuat Alvian semakin kecewa padanya. Jauh di belakang sana, Raka melihat ke duanya dalam diam setelah mengambil gambar mereka yang sedang berpelukan. "Kamu akan berurusan denganku jika membuat Lian kembali hancur, Alvian."
***
Rasa lelahnya mendadak kabur entah kemana ketika dia disambut oleh senyum manis Julian saat pintu terbuka. Dia membiarkan Julian memeluk tubuhnya sejenak sebelum merangkul lengannya dan menuntunnya ke meja makan. Ada berbagai macam makanan di meja makan yang membuat perutnya langsung bereaksi ketika melihatnya.
"Makasih buat makanannya, Kak." Ujar Alvian.
Julian hanya mengangguk sembari menuangkan beberapa makanan ke piring Alvian. "Setelah makan mandi, nanti aku siapin air hangat, ya?" ucap Julian.
"Gak usah, Kak. Gue bisa lakuin sendiri, lo pasti capek karena udah siapin masakan ini," ujar Alvian.
Mereka terlihat seperti sebuah keluarga bahagia dari jauh, tampak serasi dan penuh aura merah muda dengan binar bahagia terpancar di wajah mereka. "Gimana keseharian kamu? Semua lancar?" tanya Julian disela kunyahannya.
Alvian mengangguk, menelan makanannya sejenak sebelum membalas tatapan Julian. "Ya, berjalan lancar. Oh! Ada sedikit gangguan kecil, gue diomelin sama partner kerja gue karena kemarin bolos tanpa ijin," balas Alvian sembari terkekeh.
Julian ikut tersenyum, tak menyangka jika Alvian akan menceritakan hal tersebut. Dia merasa kembali ke masa dulu, di mana saat dia mencoba mendekat dengan Alvian tampak dingin dengan orang asing.
"Oh ya? Terus gimana bos kamu? Dia marah juga?"
Alvian mengangkat bahunya acuh. "Cuma ngomel, beruntung kakak Banu kerja di sana sebagai dokter. Jadi, gue aman." Julian tertawa kecil mendengarnya.
Julian berdehem perlahan. "Kalo kamu mau, aku bisa kembali jadi wali kamu, Al. Aku bisa urus semua biaya kehidupan kamu lagi," ucap Julian.
Alvian menggeleng. Dia memasang wajah begitu serius dan menatap Julian dengan tajam. "Gak perlu, Kak. Gue udah bukan siapa-siapa lo, gue bisa urus semuanya sendiri. Gue gak selemah itu," balasnya.
"Baby bangga sama kamu," ucap Julian yang membuat Alvian terdiam dengan dada bergemuruh. Tiap kali menyangkut calon anaknya, Alvian merasa lemah, dia merasa tak sabar ingin segera menimangnya dan melimpahkan semua rasa sayangnya pada sang anak.
"Kak, malam ini gue boleh tidur bareng sama lo?" pintanya.
Julian mengangguk mengiakan dan senyum manisnya.
***
Mereka berbaring berisisian, menatap langit-langit kamar Julian dalam diam sejak setengah jam lalu. Hanya detik jam yang menjadi pengisi suara di tengah kamar yang sedikit remang tersebut meskipun sang penghuni masih membuka matanya lebar.
Alvian menatap kembali foto pernikahan mereka yang terpajang apik di tembok, ada rasa hangat menyerang dadanya. "Kak, kenapa lo pasang foto pernikahan kita di kamar?" tanya Alvian penuh penasaran.
Julian menggigit bibirnya gugup, meremas selimut yang menutupi tubuhnya dengan kuat dan menggerakkan matanya gelisah. Dia terlihat kebingungan untuk menjawab, membuat Alvian menoleh dan mengubah posisi tubuhnya menjadi miring menghadap sang mantan suami.
Julian semakin gelisah ketika merasa ditatap begitu intens oleh Alvian. Dia menelan ludahnya gugup sebelum berdehem pelan. "Ka-kalo aku jujur, kamu jangan marah, ya?" ucap Julian sembari menurunkan tatapannya.
Alvian merasakan dadanya berdebar semakin kuat, entah mengapa dia merasa bisa menebak apa yang akan diucapkan oleh Julian padanya.
Tidak!
Jangan!
Dia belum siap dan takut.
"Ka-kalo kakak gak mau jawab, gak apa-apa. Aku ngerti," balas Alvian sembari kembali terlentang dan meremas selimutnya kuat. Lebih baik tidak mendengarnya sekarang, dia tidak tahu harus bereaksi seperti apa nantinya jika apa yang dia pikir menjadi kenyataan.
“Gak, Al. Aku rasa, aku harus jujur. Aku harap kamu gak marah dan gak benci sama aku … aku … aku cinta sama kamu, Al.”
Next spoiler
"Mau mulai dari awal, Kak?"
"Maaf aku gak bisa nepatin janjiku buat bertahan kembali."
"Buat apa kamu cariin Alvian? Dia pergi, karena dia muak sama kamu."
"Ibu tau keberadaan Julian, Al. Ibu akan beritahu kamu dengan satu syarat."
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
