
Baca part sebelumnya!!
“Aku milik kamu malam ini.”
Julian mungkin sudah tidak waras. Bagaimana bisa dirinya menikmati tiap sentuhan dari jari-jari Alvian pada tubuhnya dan juga membalas ciuman memabukkan dari sang mantan suami. Bahkan dengan tak tahu malunya, desahannya keluar penuh nikmat.
Alvian setengah mengukung tubuh Julian yang bersandar pada lengan sofa dengan mulut yang terus bergerak memakan bibir ranum Julian.
Tangan Julian meremas baju yang dikenakan oleh Alvian dengan erat ketika bibirnya dilumat dengan tak sabaran dan juga tangan besar Alvian yang menyelinap masuk di balik piyama tidurnya.
Julian berdebar dan napasnya terengah, kepalanya terasa berat ketika bayangan tentang masalalunya berputar secara cepat dan acak.
“Lo gak perlu ijin ke gue, terserah lo mau pergi kemana pun gue gak peduli,”
"Apa Pak Raka sama Bu Nara tau soal hubungan kita?"
"Dari awal harusnya Kak Benny gak nikahin lo dan gue gak bakal dipaksa buat gantiin posisi dia,"
"Apa maksud ibu? Dari awal gak begini perjanjiannya. Aku udah turutin ibu buat nikahin Julian selama beberapa tahun sampai aku bisa ngambil alih semua harta dia, sekarang ibu minta cucu? Buat apa? Ibu sengaja bikin aku terjebak selamanya sama dia?"
"Jadi, dia anak gue?"
"Berhenti bersikap seolah kita baik-baik saja, Al. Tak ada gunanya kamu mengkhawatirkanku saat ini. Kita sudah tidak memiliki hubungan apapun, jadi aku mohon jangan bersikap seolah kamu peduli sama aku. Dan bayi ini, dia anak aku."
"Gue tau, gue bukan suami yang baik buat lo. Tapi setidaknya ijinin gue jadi ayah yang baik buat calon anak kita. Gue gak mau apa yang terjadi ke gue, terjadi juga ke anak kita. Lo tau sendiri keluarga gue, Kak. Rasanya gak dianggap itu gak enak, gue bahkan lebih milih gak punya orangtua daripada harus hidup begini. Gue gak mau jadi kayak mereka, gue pengen anak gue bahagia punya orangtua yang sayang sama dia nantinya, meskipun ke dua orangtuanya udah bersama."
"Ibu tahu kalo lo lagi hamil anak gue."
Julian melingkarkan lengannya di leher Alvian dan semakin menariknya mendekat, balas mencium bibir Alvian dengan sama menggebunya. Peduli setan dengan status mereka atau dengan keadaan Alvian sedang mabuk, dia hanya ingin meluapkan semua emosinya saat ini dengan bersetubuh bersama Alvian, seseorang yang dia cinta.
Ini yang terakhir.
Ini kali terakhir dia menuruti isi hatinya.
Julian mendongak ketika bibir Alvian merambat menuruni rahang dan berakhir di lehernya. Mengecupi, menjilat dan menggigit kecil kulit leher Julian yang menguarkan aroma harum yang memabukkan.
Diremaskan rambut Alvian dengan kuat sembari melenguh pelan ketika jari-jari tangan Alvian mengusap dadanya yang semakin sensitif sejak dia hamil.
"Ibu tahu kalo lo lagi hamil anak gue."
Julian memejamkan matanya erat ketika bayangan buruk menghantuinya, tangannya pun mencakar punggung Alvin sebagai pelampiasan akibat pikiran buruknya sendiri.
Tak ada yang bisa mengambil anaknya.
Dia akan menjaganya dengan sekuat tenaga dan tak akan lemah kembali.
"Anghh … ka-ke kamar, Al~" rengek Julian ketika tubuhnya tidak merasa nyaman karena sofa yang kecil.
Alvian menurut, dia beranjak lalu membantu Julian bangun dari sofa. Tangannya segera menarik wajah Julian dan kembali menyambar bibir Julian yang terasa lembut dan manis sembari kakinya melangkah asal sesuai insting mereka berharap mereka mengambil langkah yang benar menuju kamar terdekat.
Beberapa kali mereka menyenggol sesuatu seperti meja nakas, tembok bahkan vas bunga. Beruntung mereka tak menjatuhkan apapun.
Setiap langkah, mereka mencoba untuk melepaskan satu persatu kain yang melekat pada tubuh hingga saat mereka tiba di depan pintu kamar Julian, mereka hanya menggunakan celana dalam. Alvian segera mendorong pintu kamarnya dengan tak sabaran sembari tangan satunya menahan kepala Julian. Begitu pintu terbuka lebar, Alvian menggendong tubuh Julian ala koala menuju ranjang.
Tautan mereka terlepas ketika Alvian membaringkan tubuh Julian di atas ranjang dengan dirinya berada di atasnya dan jarak wajah mereka yang begitu dekat. Nafas ke duanya saling bersahutan dengan cepat, debaran jantung mereka pun tak kalah ributnya saat ini.
Detik berikutnya mereka kembali berciuman, kali ini lebih lembut dan lebih penuh perasaan. Saling melumat, menghisap dengan intens.
Julian mendongak dan mendesah pelan saat Alvian membawa ciumannya menuju dadanya. Memberikan kecupan kupu-kupu pada ke dua dadanya secara bergantian sebelum fokus pada salah satu putingnya mencuat tegang. Julian menggigit bibirnya dengan tangan meremas sprei kuat, membusungkan dadanya ketika lidah panas Alvian memberikan jilatan pada putingnya.
"Anghhh! Al-hh …."
Lidah Alvian bergerak menggoda puting Julian sebelum menyesapnya pelan hingga membuat Julian merengek. Alvian suka sekali mendengarnya hingga dia semakin bersemangat menggoda tiap jengkal tubuh indah Julian.
“Malam ini begitu indah karena kamu, aku merasa menjadi laki-laki paling bahagia malam ini. Hik … aku cinta sama kamu,”
Alvian mengernyit ketika sebuah memori lama tiba-tiba melintas.
Cinta? Apa dia menyatakan cinta pada Julian?
Alvian memejamkan matanya dan terus melakukan apa yang dia lakukan pada tubuh Julian sembari mengingat memori terdahulu.
Dia tidak melewatkan sesuatu, kan?
“Bulan begitu cantik malam ini. Sayang sekali karena kehadirannya kita harus berpisah.”
Keningnya berkerut dengan tangan meremas kuat pinggang Julian.
“Aku mau kamu jadi milik aku. Aku mau kamu,”
“Aku cinta sama kamu, Daffa.”
"A-Al, sakit~." Alvian segera tersadar ketika Julian meremas kuat lengannya, dia segera melepaskan pinggang dan menjauhkan wajahnya dari dada Julian.
Alvian mendongak dan menatap wajah sayu Julian yang tampak begitu begitu lemah dan pasrah untuknya.
"Pelan-pelan, Al. Ada anak kita di perutku," ujar Julian.
Alvian menggelengkan kepalanya yang terasa berputar, kepalanya terasa berat ketika mengingat bayangan yang melintas di kepalanya.
Bagaimana bisa dia menyebut nama orang lain, ketika dia sedang bercinta dengan Julian? Dia merutuki dirinya sendiri sebelum mendekatkan wajahnya pada perut Julian yang tampak sedikit mengembung di bagian bawah.
Julian menggigit bibirnya, menatap kepala Alvian yang sedang mengecupi perutnya dengan lembut beberapa kali sembari mengusapnya. Perasaan hangat melingkupi hatinya yang terasa nyeri akibat pikirannya sendiri.
Ini kali terakhir, Nak.
Tolong jangan benci Papah karena memisahkanmu dengan ayah kelak.
Setelah puas menyapa calon anaknya, Alvian menatap selangkangan Julian yang mengembung di balik celana dalamnya. Dia menelan ludahnya gugup, ini kali ke dua dirinya akan bercinta.
"Kak, ijin lepasin celana dalamnya, ya?" ujar Alvian dan Julian hanya mengangguk sembari membuang wajahnya karena malu.
Alvian merasa semakin gugup ketika melihat kemaluan Julian, terutama bagian lubang surgawi merah yang berkedut tersebut. Tenggorokkannya terasa kering hingga dia terus menelan ludah berkali-kali. Julian berjengit kaget ketika jari Alvian menyentuh lubangnya, menggeseknya perlahan hingga membuat denyut jantungnya semakin cepat.
"Anghh … eunghhh."
Julian memasukkan satu jarinya, menerobos lubang anal Julian. Bergerak keluar-masuk, memutar, menggaruk seperti yang dia lihat dari video biru yang diberikan oleh Banu.
Julian menikmatinya, merasa nyaman dengan foreplay yang lembut. Alvian memicingkan matanya yang terasa pandangannya kian memburam, dia menggeram kesal hingga menggerakkan jarinya semakin cepat dan membuat lubang Julian semakin becek.
Dirasa cukup basah, Alvian selesai merangsang anal Julian dia menempatkan dirinya ditengah ke dua kaki Julian yang mengangkang lalu menurunkan celana dalamnya yang membalut penisnya yang tegang.
Alvian membungkuk, mengukung tubuh Julian yang lebih kecil darinya. Menatap intens wajah Julian yang kecil dan tampak begitu cantik dengan warna kulit yang merah dan berkeringat. Bibirnya mengukir senyum kecil sejenak sebelum dia kembali fokus pada kejantanannya yang sudah tak sabaran.
Julian tersentak saat kepala penis Alvian mulai menerobos rektumnya, tangannya meremas pinggiran bantal serta sprei dengan kuat saat merasakan sakit pada bagian bawahnya.
Alvian menggeram keenakan ketika penisnya terasa diremas kuat, menahan diri untuk tidak menghentak pinggangnya kuat. "Anghhh, Lian~"
Julian membuka matanya ketika mendengar suara Alvian yang sejak dan dalam menyebut namanya. Alvian tampak mendongak dengan mata terpejam dan raut keenakan, Julian mengulum senyumnya malu-malunya.
Ke duanya mendesah lega saat penis Alvian berhasil masuk seluruhnya dan Julian merasa dirinya begitu penuh di bawah sana.
Setelah beberapa saat diam untuk menyamankan diri masing-masing, perlahan Alvian menggerakkan pinggangnya. Menusuk lubang Julian dengan lembut beberapa saat hingga semakin lama temponya semakin cepat mengejar kepuasan masing-masing.
"Al … pelan-pelan! Ada baby di sana- akh!" Julian merengek ketika Alvian bergerak semakin cepat, tangannya meremas bahu Alvian dengan kuat berharap Alvian mau sedikit memelankan gerakannya.
Julian bernapas lega ketika Alvian memelankan hujamannya, dia pun menarik wajah Alvian untuk kembali berciuman. Melepaskan semua perasaan gelisahnya saat ini hingga ciumannya terasa berantakan, asal melumat bibir tipis Alvian yang masih menyisakan rasa alkohol. Dia tidak peduli jika terlihat seperti jalang, dia hanya ingin melakukan apa yang ingin dia lakukan.
Untuk kali terakhir.
Selang beberapa menit kemudian mereka akhirnya mengeluarkan klimaksnya, bernapas lega dengan kening saling menempel satu sama lain.
"Kak … gue baru sadar sekarang~ kalo lo ternyata cantik banget, hmm? Pantes aja Kak Benny cinta mati sama lo. Selain lo cantik, lo itu baik banget. Sempurna, Kak. Kenapa gue bodoh banget sampe bisa nyakitin lo segininya?" Racau Alvian dengan mata sendunya dan tangan yang setia mengusap pipi Julian dengan lembut.
"Beruntung banget Kak Benny bisa dicintai sama lo. Sama orang yang bakal dampingin lo di masa depan, dia juga beruntung~. Selain bisa milikin lo, dia juga bisa milikin calon angel baby kita?"
Julian terkejut ketika dia merasakan setetes air jatuh ke pipinya. Alvian menangis, tetapi bibirnya tersenyum kecil. "Seenggaknya jangan jauhin gue, Kak. Biarin gue tetep bisa ketemu kalian," pinta Alvian.
Julian menarik kepala Alvian untuk bersembunyi di ceruk lehernya, diusapnya punggung telanjang Alvian dengan lembut dan sesekali dia kecup sisi kepala Alvian.
Kalau begitu, aku harap kamu bisa menjadi orang beruntung itu, Al.
Itu hanya angannya.
Julian mengusap rambut Alvian yang kini tampak terlelap, dia menatap lurus pada foto pernikahan mereka yang terpajang di kamar dengan sendu. Banyak sekali kata andai dalam benaknya saat ini.
Andai dia bisa mempertahankan rasa cintanya untuk Benny.
Andai dia tidak menerima permintaan Marisa.
Dan andai dia berani mengungkapkan perasaannya pada Alvian secara langsung sebelum dia pergi.
***
"Temui ibu di rumah, jika tidak ingin Ibu menyakiti Julian kembali, Nak."
Alvian mengepalkan tangannya erat ketika sebuah ancaman keluar dari sang ibu di seberang sana, menahan diri untuk tidak mengumpat.
"Aku akan benar-benar menjadi anak durhaka jika ibu berani menyakiti Kak Lian," balasnya sebelum mematikan sambungan teleponnya dan dengan terburu-buru mengambil semua barangnya dan keluar dari kamar.
Dia bisa melihat Julian sedang menyiapkan makanan untuk sarapan mereka, tetapi dia tak punya banyak waktu hanya untuk menyantap sarapan. Dia bahkan bisa melihat wajah kecewa Julian ketika dia menolak untuk makan.
Dengan berlari di menuju halte terdekat, menaiki bus menuju rumah orangtuanya dengan perasaan was-was. Dia sudah merasa ada yang tidak beres ketika sang ibu meneleponnya tiba-tiba setelah beberapa bulan tak menghubunginya sejak pengusirannya.
Begitu sampai di rumah utama, dia menolak bersikap sopan dan mengabaikan lengan terbuka dari Marisa yang seakan sedang menyambutnya, meskipun dia ingin.
"Ada apa? Katakan segera, Bu. Aku tidak punya banyak waktu, aku harus berangkat kerja beberapa menit lagi," ujar Alvian penuh alasan.
Dia sudah tidak betah berdiam diri di dalam rumah tersebut. Rasanya begitu tidak nyaman dan terasa mencengkam. Marisa melipat ke duanya lengan dan senyum pada bibirnya yang merah perlahan hilang.
"Julian sedang hamil anakmu, kan?" ucap Marisa yang membuat tubuh Alvian menegang.
Dia bisa menangkap senyum licik di bibir sang ibu. Dia mencoba menetralkan raut wajahnya dan mendengus remeh.
"Aku bahkan tidak pernah menyentuhnya, Bu. Bagaimana mungkin Kak Lian hamil anakku?" balasnya.
Marisa berjalan mendekat, menepuk pelan pipi Alvian dengan senyum kecilnya. "Kamu tidak bisa membohongi ibu, Nak. Kamu pikir ibu membiarkan kalian begitu saja? Ibu jelas mematai kalian dari jauh untuk mengawasi kalian. Ibu juga mengkhawatirkan kalian," jelasnya.
Alvian mengetatkan rahangnya kuat. Mengetahui bahwa sang ibu melihat dirinya yang terpuruk dan membiarkannya begitu saja atau bahkan menertawakannya.
"Serahkan bayinya ke ibu setelah dia lahir."
Itu perintah. Alvian tahu itu.
"Dan kamu bisa tinggal di sini kembali bersama anakmu, hmm?"
Alvian tampak bergetar. Kembali? Bersama anaknya? Bagaimana dengan Julian? Apakah mereka diperbolehkan untuk kembali?
"Hanya kalian berdua. Ibu hanya butuh anak dan cucu ibu saja," lanjut Marisa ketika Alvian tampak berpikir keras.
Alvian menukikkan alisnya tajam. Apa itu artinya dia harus mengambil anaknya dari Julian? Yang benar saja.
"Bagaimana? Kamu pasti setuju dengan ibu, kan?" ujar Marisa.
Entahlah.
Satu sisi dia ingin bersama calon anaknya, tetapi dia juga tak mau memisahkan Julian dengan calon anak mereka. Dia akan benar-benar menjadi orang paling jahat jika melakukannya.
"Bukankah kalian kembali dekat? Apa kalian akan rujuk? Jika benar, ibu setuju. Itu lebih baik daripada ibu mengambil paksa calon cucu ibu, kan?" ucap Marisa.
Alvian terkekeh sarkas, dia tatap wajah ibunya dengan tajam. Dia tahu sekali bahwa ibunya hanya menawarkan sebuah kebohongan hanya agar dirinya setuju.
"Apa belum puas? Ibu sudah mendapatkan banyak hal dari Kak Lian, sekarang ibu menginginkan anak kami? Untuk apa?" desis Alvian.
Marisa mengangkat bahunya acuh dan tersenyum kecil yang tampak menjengkelkan. "Tentu saja untuk mengambil alih warisan dari Kakekmu, Nak." balas Marisa yang semakin membuat Alvian murka.
Dia bahkan tidak lebih berharga dari uang di mata sang ibu.
"Aku tidak akan melakukan keinginan ibu lagi. Sudah cukup sekali aku menurut dan hasilnya ibu membuangku. Aku tidak akan melakukannya untuk yang ke dua kali, Bu." balas Alvian.
Marisa tampak tenang, menatap Alvian dengan senyum kecil.
"Ibu akan memberikan kesempatan ke dua jika kamu berubah pikiran, Al. Datang ke rumah kapanpun kamu ingin," balas Marisa.
Tanpa menjawabnya Alvian pergi, meninggalkan Marisa yang menatap lurus kepergiannya.
Selepas dari menemui Marisa, Alvian pergi ke taman yang tak pernah dia kunjungi. Dia bahkan tak menyangka mampu berjalan kaki sepanjang beberapa kilo meter karena perasaan kesalnya hingga dia mulai merasakan kakinya yang terasa pegal juga perutnya yang berbunyi karena lapar.
"Gue gak boleh egois. Meskipun gue berhak atas anak yang ada di kandungan Kak Lian, tapi gue gak boleh ngelakuin apa yang diminta sama Ibu. Ibu juga belum tentu bisa ngerawat calon anak gue," gumamnya.
"Tenang, Al. Sekarang gue harus lebih waspada, ibu bisa aja lakuin hal buruk ke Kak Lian," ucapnya gusar lalu mengusak rambutnya dengan kasar.
Tak terasa hari sudah menjelang malam, Alvian bahkan tanpa sadar tertidur di kursi taman yang mulai sepi. Dengan kembali berjalan lunglai Alvian pergi ke tempat tongkrongan yang biasa dia kunjungi dengan Banu, membeli beberapa botol alkohol berniat untuk mabuk.
"Gue sendirian. Bisa-bisa gue ditelantarin sama pegawainya kalo mabuk sendirian," ujarnya.
Pada akhirnya langkahnya membawa dirinya ke rumah Julian.
***
Alvian mengerang ketika kepalanya terasa berputar ketika dia membuka matanya, dia mengernyit dan bisa dia lihat wajah Julian yang duduk di sisi ranjang sembari mengusap lengannya.
"Astaga! Gak perlu, Kak. Gue bisa bersihin sendiri," ucap Alvian sembari menarik lengannya.
Julian masih tersenyum, begitu cantik. Matanya berkedip cepat ketika tiba-tiba wajah Julian mendekat sebelum akhirnya mengecup bibirnya.
"K-kak?" Alvian gugup setengah mati dengan sikap Julian barusan.
Julian tersenyum malu-malu. "Aku boleh minta sesuatu ke kamu? Baby yang minta," ucapnya.
Alvian menelan ludahnya sebelum dia beranjak duduk dan mengangguk mengiakan. Julian tampak mengulum bibirnya dan menatapnya malu-malu hingga membuatnya tampak penasaran.
"I-itu ... a-aku mau selama beberapa hari ke depan, kita bersikap selayaknya sepasang suami. Kamu mau?" pinta Julian yang membuat Alvian membulatkan matanya terkejut.
Next spoiler
“Kenapa lo pasang foto pernikahan kita di kamar?”
“Al, kamu mau anak kita cewek atau cowok?”
“Aku akan turuti keinginan ibu, asal beritahu aku di mana Kak Lian sekarang. Ibu pasti tau dia di mana, kan? Ibu bilang selalu mengawasi kami."
“Kak Lian pergi, Daffa. Dia ninggalin gue."
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
