Turun Ranjang

3
0
Deskripsi

Part 16

Alvian menatap beberapa temannya yang sedang berfoto dengan keluarganya, mereka terlihat tampak begitu bahagia. Tidak seperti dirinya yang kini berwajah muram. Di hari kelulusannya ini, dia hanya memiliki Benny sebagai walinya. Ada rasa iri dalam hatinya melihat temannya yang lain, dia juga ingin orangtuanya hadir, berfoto bersama lalu setelah pulang dari acara mereka akan berkunjung ke tempat makan untuk merayakannya. Mereka ingin mendengar orangtuanya memuji dirinya atas keberhasilan dirinya yang lulus dengan nilai terbaik.

Cekrek

Alvian tersadar ketika bunyi tangkapan kamera terdengar, dia menoleh dan mendapati Benny yang tertawa sembari menatap layar ponselnya. "Astaga! Wajah kamu tidak mencerminkan sebagai siswa dengan nilai terbaik, Al. Lihat! Kamu lebih mirip dengan siswa yang tidak lulus sekolah," ledek Benny sembari menunjukkan hasil tangkapan gambar Alvian yang sedang melamun.

Alvian mencibir sebal pada sang Kakak, tetapi sedetik kemudian senyumnya muncul. Dia mengeluarkan ponselnya lalu menatap Benny dengan mata berbinar. "Ayo! Foto bersama, Kak!" ajaknya.

Benny tersenyum kecil, tangannya mengusak lembut rambut Alvian dengan sayang.

Benny berdiri di belakang tubuh Alvian lalu memeluk leher sang adik. Jari Alvian membentuk v-sign di samping kepala. Bibir mereka menguras sebuah senyum lebar, melampiaskan rasa bahagia mereka.

Satu dua tiga

Cekrek

Hanif menatap kembali hasil tangkapan gambar pada ponselnya, matanya lalu bergulir menatap berkas-berkas di atas meja kertas ayahnya yang baru saja di foto. Ditatapnya dengan lamat berkas-berkas tersebut sebelum bibirnya menyunggingkan senyum miringnya.

"Gotcha!"

***

Kembali di hari setelah sidang cerai Alvian dan Julian selesai. Raka dan Nara dengan panik membawa tubuh tak sadarkan diri Julian ke rumah sakit terdekat, menunggu dengan perasaan khawatir di luar ruangan di mana Julian sedang diperiksa. Tak lama dokter yang menangani Julian keluar dengan senyum ramahnya menatap Raka dan Nara bergantian.

"Keadaan pasien dan janinnnya baik-baik saja. Tolong perhatikan lagi pasien untuk tidak melakukan hal berat atau menjauhi hal-hal yang membuatnya stres. Itu bisa membahayakan janinnya, apalagi usia kandungannya masih sangat muda."

Penjelasan dari sang dokter membuat ke duanya terdiam dengan mulut terbuka. Mereka jelas terkejut. Saling tatap sejenak sebelum kembali menatap sang dokter, "Ma-maksud dokter, Julian ha-mil?" tanya Nara memastikan sembari menggerakan tangannya membentuk bulatan di depan perutnya.

Sang dokter mengangkat alisnya bingung. "Jadi, kalian tidak tahu mengenai kehamilan pasien? Ya, pasien sedang hamil."

Nara membungkam bibirnya, menahan jeritan dari rasa terkejutnya. Raka sendiri tampak lebih tenang, dia tersenyum kecil sebelum mengucapkan terimakasih banyak pada sang dokter. Setelah kepergian sang dokter, mereka pun masuk dan berdiri di sisi brangkar di mana Julian kini terbaring lemah dengan infus yang menempel di pergelangan tangan.

Wajahnya pucat sekali, suhu tubuhnya sudah sedikit menurun ketika Raka menyentuh keningnya yang berkeringat.

"Astaga! Kasihan sekali kamu, Lian. Kenapa harus mengetahuinya setelah kalian resmi bercerai?" ujar Nara dengan mengusap lengan Julian.

Raka mendengus sebal. "Apa akan ada perubahan jika hal ini diketahui sebelum mereka bercerai? Pada akhirnya, mereka ditakdirkan untuk bercerai dengan ada atau tidaknya bayi ini." balas Raka.

"Yak! Sepertinya kamu mendukung sekali mereka bercerai, ya? Aku tahu kamu menyukai Lian, tetapi setidaknya jangan buat diri kamu menjadi duri dalam rumah tangga orang. Kamu tahu, Lian bahkan sudah mencintai Alvian. Kamu bisa bayangkan betapa sakitnya Lian saat ini? Dua kali dia kehilangan orang yang dia cintai. Jika kamu memang menyukai Lian, lakukan dengan benar. Kamu bahkan mengajaknya berkencan saat dia masih menjadi suami orang," kesal Nara.

Raka mengepalkan tangannya erat, menahan diri untuk tidak emosi saat ini ketika mendengar Nara begitu menyudutkannya. "Setelah ini apalagi yang akan dilalui oleh Lian? Tidak cukupkah penderitaannya selama ini? Sepertinya Alvian harus tahu jika Lian hamil anaknya," gumam Nara.

"Tidak usah ikut campur. Biarkan Lian yang memutuskan," ucap Raka.

Di sisi lain Alvian yang sejak dalam perjalanan pulang hanya diam dan menatap jalanan tiba-tiba terkejut dengan jalan yang mereka lalui. "Ayah, kita mau kemana?" tanya Alvian.

Pasalnya, kini mobil yang dibawa oleh Rama melewati jalan menuju rumah Julian yang sudah diberikan untuk Alvian.

"Mengantarmu pulang."

Alvian tampak kebingungan mendengar ucapan Rama, dia menegakkan duduknya dan mencondongkan tubuhnya mendekat ke jok depan. Menatap Ayah dan ibunya dengan ketakutan.

"Berhubung Julian sudah memberikan kamu rumah, kamu tinggal di sana, ya? Tidak baik meninggalkan rumah dalam keadaan kosong begitu."

Alvian tercekat mendengar penuturan Marisa yang tampak enteng sekali. "Kalian tega membiarkan aku hidup sendiri di rumah itu?" ucap Alvian dengan menggertakan rahangnya.

Marisa memutar bola matanya malas, dia menoleh ke belakang dan menatap Alvian. "Kamu sudah besar, Al. Bahkan beberapa bulan lagi kamu akan lulus kuliah, lagipula kamu sudah pernah menikah. Jangan cengeng."

Alvian mengepalkan tangannya di atas paha, dia balas menatap Marisa dengan tajam.

"Jujur sama aku, sebenarnya aku ini siapa kalian? kenapa kalian selalu bersikap dingin padaku? Apa aku anak angkat? Apa aku anak haram ibu? Atau aku anak selingkuhan Ayah?"

Rama menekan pedal rem dengan tiba-tiba hingga tubuh mereka tersentak. Rama meremat stir mobilnya lalu menoleh pada Alvian yang duduk di belakang, tangannya menunjuk wajah Alvian yang sudah memerah menahan tangis. "Jaga bicara kamu, ya! Ini yang tidak Ayah suka dari kamu. Kamu itu selalu melawan perkataan Ayah dan Ibu, tidak seperti kakakmu yang penurut!" seru Rama dengan begitu emosi hingga urat lehernya menonjol.

Alvian berdecak sebal. "Aku bukan Kak Benny. Aku adalah aku. Jangan pernah samakan aku dengannya, jangan pernah suruh aku untuk melakukan apa yang dia lakukan. Karena sampai kapanpun, aku tidak akan pernah bisa menjadi dirinya."

Alvian segera keluar dari dalam mobil lalu menutup pintu mobilnya dengan keras hingga membuat Rama mengumpat. Marisa menatap punggung Alvian yang kini berjalan menjauh.

Beberapa menit kemudian Alvian sampai di rumah yang sama, tetapi dengan suasana yang jauh berbeda. Kini keadaan rumah begitu kosong, hampa dan sunyi. Tak ada sapaan dari Julian yang menyambutnya pulang dengan senyum meskipun tak pernah dia balas, tak ada yang menanyakan ingin makan atau mandi dan lain sebagainya.

Alvian merebahkan dirinya di sofa yang terasa dingin, dia meringkuk di sana dan memeluk dirinya sendiri. "Capek, ya? Mau aku buatin sesuatu?"

Alvian menutup telinganya dengan ke dua tangannya, menepuk-nepuknya dengan keras berusaha menghilangkan suara-suara Julian yang membuat hatinya merasa sesak.

"Pergi, bangsat! Pergi semua! Gue gak butuh siapapun!"

Suara Alvian menggema di setiap sudut ruangan, meracau dan menggerakkan tubuhnya asal hingga beberapa bantal sofa berjatuhan ke lantai.

Pada akhirnya Alvian kini menangis seorang diri.

***

Julian menggerakkan tangannya yang terasa kaku dan menempatkannya di atas perut, mencoba merasakan keberadaan calon bayinya di dalam sana. Dia baru saja siuman dan kembali dikejutkan dengan fakta bahwa dia sedang hamil. Julian bahkan tidak tahu bagaimana perasaannya saat ini, dia belum membuka mulutnya untuk membalas ucapan Nara yang memberitahukan fakta tentang kehamilannya.

"Lian, kamu baik-baik aja?" tanya Nara memastikan.

Julian tersadar dan menghembuskan nafasnya perlahan. "Iya, aku baik. Sangat baik." Raut wajahnya bahkan berbanding terbalik dengan ucapannya.

Detik berikutnya airmata menetes dan disusul dengan isak tangis yang menyedihkan. "Oh, Lian! Please, jangan nangis. Kasihan nanti baby kamu ikut sedih. Kata dokter kamu gak boleh mikirin hal yang berat dan berujung bikin stres, itu bisa bahaya buat janinnya, Lian."

Julian menutup matanya dan mengatur nafasnya perlahan, mencoba menenangkan diri. Bibirnya perlahan membentuk senyum, dia menunduk dan mengusap perutnya dengan lembut.

"Kamu gak sendirian sekarang. Kamu harus jaga baik-baik diri kamu dan juga bayi kamu, oke? Lupain semua masa lalu yang udah terjadi," ujar Raka.

Nara menggeleng keras, dia mengusap tangan Julian yang berada di atas perut. “Alvian harus tahu jika kamu sedang hamil anaknya, Lian.” sahutnya.

Raka mengerutkan keningnya mendengar ucapan Nara. "Untuk apa? Mereka bahkan sudah bercerai. Kamu pikir dengan memberitahu dia, dia akan berubah? Kamu pikir dengan memberitahu dia, dia akan balik mencintai Lian? Tidak, Nara."

Lian memijat pelipisnya mendengar pertengkaran ke dua sahabatnya itu, tiba-tiba perutnya bergejolak dan membuatnya mual. "Kalian bisa diam?! Jika tidak, tolong biarkan aku sendiri," ujar Julian.

Ke duanya pun menutup mulutnya seketika, menatap Julian dengan tak enak hati sebelum saling bertatapan dan memutuskan keluar untuk membiarkan Julian seorang diri.

"Hai, Sayang. Akhirnya kamu datang juga, hmm? Gak apa-apa kan kalo kita cuma berdua? Kamu gak akan kekurangan kasih sayang, kok. Sehat-sehat di dalam sana, ya? Papah bakal jagain kamu."

Julian menghela nafasnya berat. "Gak apa-apa kan, kalo aku gak kasih tahu Al soal kehamilan aku? Lagipula dia juga gak bakal peduli, dia gak menginginkan anak ini."

***

Alvian mengerang begitu dia bangun pandangannya terasa berputar, buram hingga kepalanya berdenyut sakit. Suhu tubuhnya tinggi hingga dia berkeringat, seluruh tubuhnya terasa sakit dan nafasnya terasa berat. Dia demam.

"Kak~. Kak Lian!" panggil Alvian dengan suara seraknya.

Tak mendapatkan respon dari panggilannya, Alvian membuka matanya perlahan. Memicingkan matanya dan memfokuskan pandangannya ke sekitar, dia baru sadar jika dia ada di ruang tengah.

"Sial! Kepala gue sakit banget, anjing! Kak Lian mana, sih?!" Alvian memijat kepalanya sejenak sebelum beranjak untuk duduk.

Menyandarkan dirinya sejenak pada kepala sofa sebelum dia berdiri dan berjalan tertatih menuju dapur. Dia tersenyum kecil melihat punggung kecil Julian yang sedang sibuk memasak di dapur.

"Ka-" ucapannya belum selesai ketika tiba-tiba sosok Julian hilang dari pandangannya.

"Kak?! Kak Lian?!" seru Alvian dan berjalan masuk ke area dapur, berdiri di tempat tadi dia melihat Julian.

Kosong.

Tak ada siapapun di sana. Hanya ada dirinya yang kini termenung ketika kejadian di pengadilan agama menyeruak masuk ke dalam kepalanya. Alvian mendengkus geli sebelum tertawa terbahak-bahak layaknya orang gila, merutuki dirinya yang sejak tadi berharap akan kehadiran Julian di sisinya. Tawanya mereda, Alvian mendongak dan mengusap airmatanya yang mengalir.

“Sial! Perut gue mual.”
 

Next spoiler

"Lepasin dia atau gue bakal sebar fakta ini."

"Kalo lo mau, ada kerjaan jadi OB di rumah sakit. Gajinya lumayan, sih."

"Sudah cukup ibu keluarin banyak uang buat sekolah kamu dari SD sampai SMA. Makanya jangan cerai, gak ada yang biayain hidup kamu kan akhirnya. Kerja sana!"

"Kenapa tiba-tiba gue pengen makan masakan Kak Lian, ya?"

“Aku bisa jelasin, please. Jangan putusin aku, ya?”

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya Full version
5
0
Full version
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan