
Warning!! Area 21+
Cerita ini mengandung adegan dewasa.
Harap bijak memilih bacaan dan dilarang berkomentar toxic!
FWB : Between Love And Lust
Setelah lima tahun menetap di Milan, Satria pikir dia sudah bisa melupakan Syera, ternyata dia salah. Justru saat dia kembali ke tanah air dan berada di tempat-tempat yang dia kunjungi selalu mengingatkan Satria pada gadis itu yang membuatnya kesulitan untuk move on.
Sebuah kejadian di malam resepsi pernikahan Bima, Satria terlibat percintaan panas dengan seorang...
Bab 1. Welcome Home Satria
Siang itu seorang pria berjalan dengan langkah tegap sembari menyeret kopernya menuju pintu kedatangan di bandara internasional Soekarno-Hatta. Di balik kaca mata hitamnya, matanya mulai memindai ruangan luas yang saat ini dipenuhi oleh pengunjung yang datang untuk menjemput teman, kerabat, atau kekasihnya.
“Satria!”
Pria itu menoleh ke arah suara teriakan yang memanggil namanya. Sudut bibirnya terangkat naik membentuk sebuah senyuman tatkala dia melihat seorang yang sangat dikenalnya.
“Akhirnya lo balik juga!” seru pria yang tadi meneriakinya ketika mereka sudah berdiri saling berhadapan.
Keduanya pun saling berpelukan erat selama beberapa detik lalu mereka mengurai dekapan. Setelah lima tahun, dan akhirnya mereka bisa kembali bertemu, mungkin hubungan mereka saat ini sudah membaik dan tidak ada lagi gesekan yang memicu terjadinya pertengkaran atau pun kecemburuan di antara kakak beradik itu.
Satria melepas kaca mata hitamnya dan memindai sang adik dengan tatapan menyelidik.
“Gue gak nyangka kalau lo bakal nikah duluan, Bim,” ujarnya.
Bima tertawa tanpa suara. Dia sendiri pun tidak menyangka kalau harus melangkahi kakaknya untuk menikah lebih dulu.
“Sorry, semua terjadi karena kecelakaan,” katanya enteng disertai dengan tawa tertahan.
“Gue tahu lo bukan ahlinya!”
“Brengsek lo!” umpatnya pada sang kakak.
Satria tertawa lepas. Dia sangat mengenal Bima, kalau adiknya itu sangat berbeda dengan dirinya. Bima lebih pendiam dan tidak suka dengan dunia bebas. Oleh sebab itu, dia terkejut ketika satu bulan lalu adiknya mengabari akan segera menikah karena sang kekasih sudah kadung mengandung anaknya. Satria yang memang sudah berniat kembali ke Indonesia pun mengurus segala keperluannya untuk pulang dan menyelesaikan urusannya di sana.
Bima melajukan kendaraannya meninggalkan area parkir bandara menuju apartemen kakaknya. Satria sudah mengatakan sejak awal kepulangan kalau dia tidak akan kembali ke rumah orang tua mereka. Dia masih kesal dengan ibunya, dan belum ingin menemuinya meski telah lewat lima tahun lamanya. Kabar kepulangannya ke tanah air pun sudah diketahui oleh seluruh keluarganya. Akan tetapi Satria tetaplah Satria, pria yang sangat keras kepala dan pembangkang.
“Apa rencana lo setelah pulang?” tanya Bima melirik ke arah sang kakak yang tengah duduk memejamkan mata di kursi sebelahnya.
“Hm?” Satria bergumam. Dia sedikit mengalami jetlag setelah kurang lebih lima belas jam berada di pesawat.
Satria menggerakan tubuhnya menjadi tegak dan membuang napas panjang.
“Gue akan buka cafe and restoran baru,” katanya memberitahu dan membuat Bima terkejut.
“Cafe lama lo gimana?”
“Ya, gak gimana-gimana. Cafe itu bakal di urus sama Rio, dia udah lama jadi orang kepercayaan gue dan selama dia ambil alih semua berjalan lancar. Di tambah cafe itu juga ...”
Cafe yang sudah banyak meninggalkan kesan manis untuknya. Tentang Syera dan cinta mereka. Satria mengembuskan napas pendek mengingat semua itu.
“Move on, Sat. Dia udah bahagia, sekarang giliran lo yang cari kebahagiaan lo sendiri!”
Satria tidak menyahut ucapan Bima dan memilih menatap jalanan di depan mereka. Sampai mereka tiba di apartemen pria itu, tidak ada lagi pembahasan yang keluar dari bibir keduanya.
“Welcome home, Satria!” ucap Bima seraya membuka pintu apartemen kakaknya.
Selama Satria berada di Milan, Bima yang dengan baik hati menyewa cleaning service untuk mengurus apartemen ini. Dia bahkan sempat ingin menyewakan apartemen ini pada temannya, tetapi langsung mendapat larangan dari Satria. Entah apa alasannya.
“Thanks, Bim. Baiknya lo pulang gue mau tidur," usir pria itu pada adiknya.
Bima berdecak mendengar usiran kakaknya.
“Acaranya lusa, Sat, jangan sampe gue ingetin lagi," katanya mengingatkan.
“Oke!”
Bima pun berjalan ke arah pintu dan hendak keluar, kemudian dia ingat sesuatu.
“Sat, jangan lupa hubungi Mama dan papa, mereka sudah menunggu.”
“Ya!”
Sosok Bima pun menghilang dibalik pintu apartemennya yang tertutup. Satria membuka tirai jendela dan seketika cahaya siang menerobos masuk ke ruangan apartemen miliknya. Pria itu berjalan ke arah kamar dan memindai isi di dalamnya. Semua masih tampak sama, tidak ada yang berubah sama sekali.
Matanya menatap lama pada ranjang tidurnya. Bayangan lima tahun lalu di mana dia dan gadis itu menghabiskan malam bersama berbagi peluh di atas ranjang itu kembali menyergapnya. Suara erangan dan desahannya masih sangat terdengar merdu di telinganya. Satria memejamkan matanya.
“Brengsek!” umpatnya pada dirinya sendiri. Setelah lima tahun dan semua sia-sia.
Satria memilih melangkah ke dalam kamar mandi dan membersihkan dirinya.
***
“Abang sudah pulang, kenapa mama gak suruh ke sini?” tanya Meira yang saat ini sedang bersama ibunya menikmati tayangan televisi di depannya.
Karina menoleh ke arah putri bungsunya.
“Kenapa kamu gak tanya aja sama abang kamu sendiri," balas Karina dengan nada datar.
Meira memutar bola matanya malas. Kemudian dia mengeluarkan ponselnya dan menghubungi kakak sulungnya. Namun, panggilannya tidak tersambung. Meira pun memilih menghubungi Bima, kakak nomor duanya dan langsung tersambung.
“Abang, sudah jemput Bang Sat?” tanyanya pada sang kakak.
“Sudah, kenapa?”
“Gak ke rumah? Kenapa aku telepon gak tersambung ya?” tanyanya lagi.
“Dia belum beli nomor baru. Nanti Abang kirim ke sana.”
“Oh, oke.”
Meira mematikan panggilan teleponnya dan mendapat lirikan dari sang ibu.
“Apa kata Bima?” tanya Karina yang penasaran juga.
“Gak ada apa-apa, Bima cuma bilang kalau dia udah jemput Abang.”
Karina hanya memandang putri bungsunya dengan tatapan yang sangat berbeda.
“Udah, ah! Mei mau ke cafenya Abang, pasti dia ke sana nanti. Satu-satunya tempat yang akan dia datangi pertama kali!” tebak gadis itu yakin.
Meira sudah berdiri dari duduknya dan hendak meninggalkan ruangan itu.
“Mei!” panggil Karina.
Meira menoleh ke ibunya dan menaikan alis seolah bertanya.
“Ajak Abang mu pulang. Katakan Mama sangat merindukannya.”
Meira menghela napas pendek lalu mengangguk.
Setelah kepergian putri bungsunya, Karina membuka ponselnya dan menghubungi seseorang.
“Kau siap?” tanyanya begitu panggilannya tersambung.
“Ya!”
Karina mengembuskan napas panjang, lalu mematikan panggilan teleponnya.
***
Satria baru saja sampai di cafe miliknya, dia melangkah masuk ke dalam dan memindai ruangan yang sedikit berbeda. Sebelum melakukan renovasi ulang satu tahun yang lalu, Ario meminta izinnya terlebih dahulu, mengatakan mereka membuat beberapa perbaikan di ruangan. Dan, hasilnya dia sangat menyukainya. Membuat cafe ini lebih hidup.
“Satria!” Ario lantas keluar dari meja konter dan langsung berlari ke arahnya.
Keduanya saling berjabatan tangan ala pria. Beberapa pegawai lainnya pun ikut bersalaman dengan Satria menyadari kalau owner mereka sudah kembali setelah lima tahun menetap di luar negeri.
Satria memilih mengambil duduk di bar stool dan meminta di layani. Ario membuatkan pria itu minuman racikannya. Mereka mengobrol santai dan belum membahas tentang pekerjaan.
“Abang!”
Satria tidak menoleh ke arah belakangnya ketika mendengar suara teriakan itu. Dia sangat mengenal siapa pemilik suara tersebut.
“Adek lo, Sat!” tunjuk Ario ke arah belakangnya.
Satria hanya bergumam dan menyesap minumannya.
Pria itu merasakan punggung belakangnya ditubruk dan sepasang lengan melingkar pada tubuhnya.
“Kangen ...,” ucap suara itu dengan nada manja di balik punggungnya.
Satria hanya tersenyum mendapat perlakuan seperti itu dari adik bungsunya yang masih saja belum berubah sejak dulu bila sedang bersamanya.
Bab 2. Move On Satria!
Satria hanya mendengarkan celotehan adiknya tanpa berniat untuk membalasnya. Paling hanya menanggapinya dengan tertawa atau berdehem saja, dan hal itu membuat Meira kesal.
“Kenapa kamu sudah dua puluh delapan tahun masih seperti anak kecil, Mei?” tegur Satria yang disertai dengan kekehan.
“Kan sama Abang sendiri, kalau di depan teman atau di kantor, aku bisa dewasa, kok,” katanya jumawa.
Satria tertawa lagi.
“Kapan kamu nikah, hm?” tanya Satria.
“Ngapain Abang nanyain kapan aku nikah segala. Seharusnya aku yang tanya, kapan Abang nikah, inget umur Abang itu udah tua!” balas Meira telak.
Satria sedikit meringis mendengar ucapan adiknya yang membahas soal umur.
“Abang laki-laki, Mei. Jadi, gak ada batasan mau nikah kapan juga. Lah, kamu perempuan yang pastinya ada batasan usia sehingga bisa mempengaruhi reproduksi wanita.”
“Sejak kapan Abang jadi teliti begitu? Apa semenjak di sana, Abang suka ikut kelas biologi?” tanya Meira sinis.
Satria kembali tertawa. Bahkan, Ario yang tak sengaja mendengar percakapan antara Satria dan Meira pun ikut tertawa. Bahkan Ario pun mengatakan pada Satria kalau adiknya sering mengajak bertemu kekasihnya di cafe mereka.
“Really?” Satria langsung menoleh ke arah adiknya yang sudah memelototi Ario yang mengadu pada kakaknya.
“Sorry!” Ario pun menutup mulutnya dan menjauh dari kakak adik itu.
“Kamu udah punya pacar, Mei?” tanya Satria.
Meira tidak menjawab.
“Ajak ke sini, biar Abang kenal,” katanya lagi.
“Nanti, pas acara resepsi Bima, Mei akan ajak dia biar bisa kenalan sama Abang dan yang lainnya.”
Satria manggut-manggut saja.
“Oh, iya. Abang di suruh pulang sama Mama. Kasihan Mama tuh udah nungguin Abang dari kapan hari.”
Satria kembali tidak menjawab, lebih memilih berdehem menanggapi ucapan adiknya.
Meira lantas memutar tubuhnya menjadi menghadap sang kakak.
“Udah cukup Abang hukum mama seperti itu, Abang gak kasihan sama Mama? Tiap malam Mama curhat terus ke aku, nanyain Abang, aku tuh bingung mau balas apa, karena Abangnya juga begini," cerocos gadis itu panjang lebar.
Satria hanya terdiam. Dia mendengar ucapan Meira, hanya saja hatinya masih belum bisa memaafkan ibunya. Katakanlah dia egois hanya memikirkan dirinya sendiri, butuh sesuatu untuk membuatnya menerima kenyataan bahwa semua yang terjadi adalah kehendak takdir.
“Entahlah, Mei. Mungkin nanti saat Bima nikah,” katanya tidak yakin.
“Ini sudah lima tahun, Bang. Jahat kalau Abang masih dendam sama Mama.”
“Bukankah Mama juga masih sakit hati dengan keluarganya setelah empat tahun? Bahkan, Abang bisa menebak sampai saat ini Mama masih belum memaafkan keluarganya. Koreksi bila Abang salah.”
Satria yakin kalau Meira tau siapa yang dia maksud.
“Ya, ampun! Itu beda konsepnya, Bang. Mei gak ngerti lagi deh, sama sifat Abang yang kayak gini.”
Keesokan paginya, Satria sudah berada di jalanan protokol menuju ke suatu tempat. Mobilnya baru datang tadi malam setelah selama ini disimpan oleh Bima di rumahnya.
Jalanan pagi ini nampak ramai, Satria menepikan kendaraannya di sebelah taman yang berseberangan dengan bangunan sekolah Paud dan taman kanak-kanak bertaraf internasional. Dia hanya memperhatikan dari dalam mobilnya ketika yang dia tunggu akhirnya muncul.
Sudut bibirnya tertarik ke atas ketika dia melihat seorang bocah laki-laki yang sedang dituntun oleh wanita yang sangat dia kenal. Postur tubuh wanita itu tidak berubah dan malah semakin cantik. Satria malah membangun kembali kenangan mereka.
Sampai akhirnya dia melajukan kembali mobilnya meninggalkan tempat itu. Tidak terlalu sulit mengetahui kehidupan seseorang di zaman sekarang ini. Sudah sejak lama dia memiliki akun khusus yang dia gunakan untuk memantau seseorang di masa lalunya. Rasanya Satria sama sekali tidak ada niatan untuk move on, malah dia sengaja menjerumuskan dirinya sendiri ke dalam kenangan lama.
Satria tiba di rumahnya pagi menjelang siang. Setelah dia memikirkan ucapan Meira kemarin, akhirnya dia memutuskan pulang ke rumah untuk bertemu Ibunya. Ucapan adiknya benar, dia jahat karena telah menghukum ibunya selama ini.
Keadaan rumah terlihat sedikit sibuk hari ini, karena besok adalah hari pernikahan adiknya. Dia tahu kalau acara itu digelar di sebuah hotel berbintang dan sore ini akan digelar acara syukuran di kediaman mereka.
“Satria ... Kaukah itu?”
Satria yang berdiri di tengah ruangan menoleh ke arah datangnya suara itu. Keduanya berjalan bersama saling menghampiri.
“Maaf, Ma,” katanya sembari memeluk ibunya.
Karina memeluk erat tubuh putra sulungnya yang sudah lama dia rindukan. Wanita itu menangis menumpahkan segala emosinya dalam dekapan putranya.
Mereka kembali berbaikan, Karina sangat senang karena Satria mau pulang ke rumahnya setelah sekian lama.
“Senang melihatmu kembali,” ucap Karina sembari menangkup kedua pipi Satria.
Pria itu hanya tersenyum tipis.
“Satria ….”
Ibu dan anak itu menoleh ke arah suara yang memanggilnya. Satria lantas menghampiri Adji, ayahnya.
“Selamat datang di rumah,” sambutnya pada putra sulungnya yang baru kembali setelah mengasingkan diri selama lima tahun di negeri orang akibat patah hati. Itu yang sering dia katakan pada istri dan dua anaknya yang lain.
“Bagaimana kabar papa?” tanyanya.
“Tidak ada yang lebih baik dari hari ini.”
Saat ini mereka tengah duduk bersama di ruang keluarga. Hanya ada Karina, Adji, dan Satria, sedangkan Bima dan Meira sudah berangkat ke kantor.
“Bima masih berangkat ke kantor? Padahal besok dia akan menikah," ucap Satria merasa heran dengan adiknya itu.
“Nanti siang dia akan pulang, Meira juga.” Beritahu Karina.
Satria ber-oh ria.
“Setelah pernikahan Bima, Papa berencana untuk pensiun dini. Papa akan biarkan Bima dan Meira yang mengurus perusahaan," ucap Adji mengungkapkan.
Satria manggut-manggut. Sejak lama dia memang tidak terlalu suka bekerja di balik meja, walaupun ayahnya berharap penuh padanya. Tetap saja Satria lebih suka menjadi pemilik usaha di bidangnya.
“Kapan kamu akan menyusul Bima, Satria?”
Satria meringis mendapat pertanyaan yang menurutnya sangat sensitif itu.
“Entahlah, Pa. Aku masih ingin sendiri,” katanya sembari melirik ke arah sang ibu. Ibunya jelas tahu, dulu dia sangat tak sabaran ingin menikahi Syera. Setelah kejadian itu, dia jadi tidak bersemangat untuk mencari pendamping.
Adji berdecak mendengar ucapan putra sulungnya.
Malamnya usai menggelar acara selamatan di kediamannya, Satria masih bertahan di rumah. Adji menahan Satria untuk tetap di rumah agar besok pagi mereka bisa berangkat bersama untuk mengantar Bima ke rumah mempelai wanita.
Satria sedang menghisap nikotin di balkon seorang diri. Acaranya sudah selesai sekitar satu jam lalu, Bima menghampiri kakaknya.
“Senang akhirnya lo bisa balik ke rumah,” ujar Bima sembari mengembuskan asap nikotin ke udara.
“Demi lo," sahut Satria.
Bima terkekeh. Dia tau kalau kakaknya hanya bercanda dan tidak benar-benar pulang demi dirinya.
“Lo masih stalking dia?” tanya Bima akhirnya.
Satria tidak menjawab.
“Move on, Sat.”
Satria hanya bergumam. Dia sudah mencoba melupakan Syera, tetapi dia kesulitan. Wajah gadis itu selalu berputar-putar di kepalanya.
“Gue undang dia. Em, maksud gue lakinya," ucap Bima yang kemudian meralat ucapannya.
“Lo gak takut Mama marah?” tanya Satria.
“Gak yakin kalau mereka datang, soalnya waktu mereka nikah gue pun gak datang.”
Satria manggut-manggut.
“Kalau akhirnya mereka datang karena menghargai undangan, bagaimana?”
“Artinya lo beruntung bisa bertemu sama mantan terindah lo lagi!”
“Bangsat!” umpatnya kesal.
Keduanya sama-sama hening, sibuk dengan pikirannya masing-masing. Kemudian Bima mengingat sesuatu, dia memiliki niat untuk mengenalkan kakaknya itu dengan teman calon istrinya.
“Gak perlu, gue masih sanggup nyari cewek dengan muka ganteng gue,” katanya jumawa.
“Sialan!” Kali ini Bima yang mengumpat kesal.
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
