Warung Si Bapak #CeritadanRasaIndomie

29
18
Deskripsi

Ini adalah sepenggal kenanganku padanya, lelaki tua yang tidak aku tahu namanya.

Ibu sering melarangku makan jenis makanan itu, katanya tidak sehat. Tapi, dengan uang yang kian menipis di perantauan ini, apa yang bisa aku lakukan?

Entah kali ke berapa, beliau tidak mau mengambil uangku, dia juga menggratiskan sepiring nasi sebagai teman mie goreng yang aku pesan, sedekah katanya.

“Biar lebih kenyang dan lebih kuat untuk berjalan.”

Aku bersikeras tidak mau, karena tahu warung kecilnya tidak begitu ramai. Aku jauh lebih muda dan bisa mendapat uang lebih banyak, alasanku. Sungguh sebenarnya kecuali harganya murah, aku memang ingin membantu beliau, kenapa dia yang jadi membantuku?

Beliau juga mahfum, aku pencari kerja yang sedang melempar lamaran kerja kesana kemari. Mampir di warungnya sembari numpang, meneliti persyaratan dari sebuah perusahaan atau kantor yang sedang aku lamar. Menyusun berkas itu dalam beberapa amplop untuk kemudian disebar lagi.

“Mie goreng buatan Bapak sangat enak.” Bau sedapnya menguar setiap si Bapak mengolahnya dengan sayuran, daun bawang, cabai dan telor ceplok. 

“Bapak menjualnya terlalu murah.” Aku berkata lagi. Alasan yang sama juga aku menjadi pelanggan tetap di sana.

“Tidak apa-apa, melihatmu memakannya dengan lahap, itu membahagiakan.” Matanya sedikit berkaca-kaca.

Kemudian si bapak bercerita, setiap melihatku, beliau teringat anaknya di kota lain itu, hatinya sentiasa khawatir dan cemas. Apa si anak juga sudah makan? Tidak kelaparan, tidak kesulitan? Dia hanya ingin mengetahui itu.

“Bapak cukup lega jika tahu dia makan dengan baik.” 

“Melihatmu kenyang, Bapak berharap dia juga kenyang.” Begitu alasannya juga selalu, beliau tahu aku tak enak hati menerima gratisan.

“Apa dia tak pernah mengabari, Pak?” Aku mengernyitkan kening. Bukankah zaman sekarang sudah ada ponsel.

“Bapak tak punya ponsel. Dulu dia sering mengabari lewat tetangga. Beberapa tahun ini tidak lagi.” Mata tua itu terlihat sedih.

“Semoga dia baik-baik saja ya, Pak,” kataku menghiburnya. Teringat orangtuaku. Apa mereka juga berpikir sama seperti bapak itu, mengkhawatirkan anak mereka yang sendirian mengadu nasib di kota lain.

Besoknya aku memesan tiket kereta api dan pulang, meninggalkan kota itu dengan mimpi-mimpi entah.

Telah tiga bulan lebih sedikit, sepertinya. Entah sudah berapa puluh lamaran aku masukan dalam instansi dan kantor, yang aku pikir cocok dengn skillku. Tapi belum ada kabar menggembirakan. Ponsel jadulku sepi dari panggilan kerja.

Aku tersenyum saat memasuki kereta, meninggalkan kota yang sempat kugantungkan harapan. Pulang dengan mimpi yang berganti. Bukankah di mana saja itu ada rezekinya masing-masing. Lamat-lamat seorang pengamen bernyanyi, mengantar sebagian penumpang yang lelah dalam mimpi mereka sendiri.

Jika kau lafas cintaa, pastikan hatimu jujur setia

Janganlah kau berdusta, Tuhan kan membalasnya ...

***

Kenangan yang sedih, selalu jadi nostalgia romantis setelahnya. Aku berhasil mendapat pekerjaan yang cukup bagus di kotaku sendiri. Masa-masa suram mencari kerja terlupakan begitu saja.

Dalam hari yang panjang dan penat, aku juga akrab dengan makanan praktis itu. Bahkan sering jadi makanan alternatif saat apapun. Tidak, aku tak lantas berubah jadi pecandu mie. Kau pasti paham apa yang aku maksud

Saat lelah, lembur atau menunggu hujan, kami pasti memasak Indomie sekedar pengganjal atau selingan. Aroma khasnya, seringkali membuatku terlempar pada perasaan lain. Perasaan sedih, rindu dan kenangan. Bahkan terasa ngilu. Itu kenangan yang sulit dilupakan, tentu saja.

Apa kabar si Bapak? Apa anaknya sudah mengabari beliau?

“Kau makan mie seolah tidak di kasih makan tiga hari.” Rahmi rekan kerjaku tertawa. Mataku yang berkaca-kaca pasti terlihat lagi olehnya.

“Kau tahu, mie instan Indonesia terutama Indomie dibilang terbaik di dunia.” Rahmi mengira pasti aku penggemar mie, jadi dia senang sekali bersikap tahu banyak hal.

“Oh, ya.”

Rahmi meraih ponsel dan memberinya padaku, menunjukkan sebuah artikel untuk meyakinkan. Aku mengamatinya sebentar sekedar menghargai usahanya membuatku senang.

“Kenapa? Apa kau pernah sangat miskin, hingga selalu terharu saat makan mie?”

Aku hanya tertawa, “Kau lama-lama mirip cenayang.”

“Tidak. Hal itu mudah ditebak, sebagian warga Indonesia yang pernah dibawah garis kemiskinan pasti punya kenangan sedih dengan Indomie dan teman-temannya. Jadi aku nggak butuh skill cenayang hanya untuk menebak apa yang kau pikirkan saat makan mie.”

“Tetapi, apa begitu menyedihkan, hingga matamu selalu berkaca-kaca.” Aku hanya tersenyum dan menggeleng. Jika yang dikatakan Rahmi benar, ceritaku bukan suatu hal yang luar biasa.

“Rahmi bener nggak nanti kita ada pelatihan di kota P?” Aku bertanya, mengalihkan pembicaraan.

“Yep. Kita akan mempelajari sistem baru. Pelatihan plus liburan. Aku tak sabar menikmati fasilitas dari perusahaan, menginap dan makan di hotel gratis.” Matanya berbinar-binar senang.

Aku juga senang. Kota yang sama, kenangan dengan si bapak. Niat ingin mengunjunginya sejak lama, akhirnya benar-benar bisa kulakukan. Siapa tahu melihatku bahagia dan sedikit sukses, dia akan berpikir sama, anaknya di kota lain itu juga bahagia sepertiku.

Waktu pelatihan seminggu tiba, hari-hari pertama pelatihan sampai malam. Di sela-sela waktu itu, kami berkenalan dengan teman dari daerah lain. Hingga waktu mengunjungi teman tua-ku itu, mesti ditunda dulu.

Menjelang waktu kepulangan, barulah kami punya waktu sendiri. Sebelumnya juga berbelanja sekedar oleh-oleh, tidak lupa membeli satu dus Indomie. Semoga beliau masih mengenaliku.

Namun, aku bingung, tempat itu sudah berbeda. Warung kecil itu sudah tak ada. Hanya ada jalan, yang sepertinya lebih lebar dari sebelumnya.

Lama aku mematung di sana sambil mengamati ibu-ibu yang sedang menyapu jalan.

“Oh Mamang Holidi. Beliau sudah lama meninggal, Dek. Sudah tiga tahun!” jawab si ibu saat aku bertanya.

Waktu yang sama ketika aku meninggalkan kota ini.

“Adik siapanya Mang Holidi?”

“Hanya seorang kenalan, Bu. Dulu beliau pernah menolongku.” Jawabku sambil tersenyum getir.

Aku meninggalkan oleh-oleh yang tadinya buat si bapak pada ibu-ibu itu. Menurut si ibu juga, istri beliau juga telah pulang ke kampung orangtuanya. Sementara anaknya masih belum ada kabar.

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya Sang Penulis
2
0
Pemenang 2 Awards April WR. Academy
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan