Only You I Want (Chapter 4 & 5)

17
1
Deskripsi

Kelanjutan Only You I Want. Chapter 4 & 5. 

Jadwal Update Setiap Hari Selasa, Kamis dan Sabtu start 1 September 2021

Selamat mengikuti kisah Maya, Enjoy dan semoga suka. 

Terima kasih, 
Unaartika.

Chapter 4…

"Apa yang Kakak pikirkan? Serius sekali!"

Aku kaget saat Mesya menyentuh pundakku, "ya ampun bikin kaget aja sih, kamu!"

"Lah, lagian kakak, aneh deh dari pulang tadi melamun terus.. baru lihat setan tadi di jalan?"

"Mana ada setan ganteng gitu!" lirihku.

"Apa?" Tanya Mesya bingung, tak terlalu jelas dengar suaraku.

"Nggak. Udah makan yang benar. Jangan makan sambil bicara."

Mesya kembali diam, menikmati martabak pesanannya. Aku masih memikirkan pria tadi. Dan belum sempat aku menjawab praduganya, pria itu terima telepon. Terlihat penting, jadi dia buru-buru pergi tentunya setelah memastikan aku baik-baik saja dan bisa menyetir mobil sendiri. Tadinya dia memaksa akan mengantar, aku jelas menolak. Walau tampang meyakinkan, mirip pangeran bukan penjahat apalagi penjahat kelamin.. lupakan yang terakhir!

Hm.. Aku tetap saja harus waspada, apalagi dia punya magnet membuat perempuan mana pun ingin mendekat, dan aku takut lupa diri. Jadi, sebenarnya aku lebih tidak yakin pada diri sendiri bukan Pria baik tanpa nama itu.

Aku sekarang mengingatnya. Dia benar, kami pernah bertemu sebelumnya. Dua hari lalu di Restoran siap saji. Dia adalah pria dermawan itu, membawa anak-anak penjaja koran. Serta yang tak sengaja aku menabrak bahunya saat berjalan keluar resto..

"Astaga.. Dunia benaran sempit, ya?!" Gumamku kecil, ternyata Mesya sejak tadi dengan matanya memperhatikan yang aku lakukan.

"Kakak benaran udah nggak apa-apa? Nggak sebaiknya panggil Mbak Imah aja?"

Mbak Imah yang dimaksud Mesya adalah tukang urut langganan kami, rumahnya tidak jauh dari sini.

"Nggak usah, ini udah nggak sakit." Mesya tadi langsung sadar ada yang salah dengan cara jalan dan alas kaki yang kebesaran, jelas bukan punyaku.

"Orang yang bantu kakak, untung buru-buru kasih obat pereda nyeri.

"Apa?" Aku tak mendengar terlalu jelas.

"Yang bantu kakak, bagus langung kasih obat pereda nyeri. Ibu-ibu?" Tanya Mesya penasaran.

Aku malah tersenyum, "mas-mas ganteng."

Sial aku kelepasan!

"Ganteng? Lho yang bantu laki-laki.." Tanyanya terkejut

Aku mengangguk, buat apa di tutupi lagi.

"Pantes kayak kesambet gitu, maskap kak?"

"Menurut kamu?"

"Mana aku tahu, aku nggak lihat! Tapi, lihat kakak banyak melamun gini sih kayaknya memang maskap!"

"Maskap itu apa sih, Sya? Bahasa apa?"

Mesya mengedikan bahu "bahasa bencong, mas-mas kelas kakap" Katanya cuek.

Aku memutar bola mata dan berdecak.. Ya ampun! Yang benar saja!

"Itu sepatu kesayangan kakak, kan?" Mesya menunjuk sepatu Kitten Heels milikku yang haknya patah. Tergeletak naas dilantai dekat kaki meja

Menghela napas aku mengangguk lemas "Iya, sedih deh."

"Tinggal benarkan aja, minta orang Belakang, cuman hak patah gitu mah urusan kecil kali kak. Punya Brand sepatu sih bingung."

Oh iya, Mesya benar. Pekerja kami yang di belakang. Para ahli sepatu pasti bisa membenarkan ini.

"Iya yah, kok aku enggak ke pikiran." Aku mengelus puncak kepala Mesya "Tumben kamu pintar."

Mesya berdecak, menjauhkan tanganku.

"Baru tahu?" Aku terkekeh berhasil membuat Mesya yang cerewet ini kesal "Eh Kak, itu sandal yang di pakai punya laki-laki yang tolong kakak?" Tanya Mesya yang kini sudah berhenti makan martabak.

"Iya, punya laki-laki itu."

Entah aku salah jawab atau ada hal yang lucu, Mesya malah tertawa "Ya ampun, Kak!"

"Apa? Kenapa sih kamu!"

"Kayaknya dia benaran pangeran yang diturunkan langit buat kakak deh."

"Hah? Apa hubungannya sama sandal itu?" Tanyaku bingung, adikku ini wanita unik, saking uniknya isi yang ada di otaknya itu tidak bisa aku tebak. Terlalu absurd.

"Aku ingat Cinderella, sepatu kaca yang tertinggal, melalui itu dia dan pangeran bertemu lagi setelah terpisah. Berjodoh."

"Terus hubungannya sama Kakak?"

"Yah ada dong, lihat aja nanti. Melalui sandal milik orang itu, yang sangat kebesaran di kaki kakak. Hubungan kalian mulai terjalin."

Kan absurd? Memangnya Mesya siapa? Ibu peri? Ada-ada aja!

Aku bangkit, "ngaco kamu, memang kamu ibu peri, apa?"

Dari pada ikutan aneh, lama-lama aku bisa kayak Mesya mending aku rapi-rapi pekerjaan dulu. Merekap pengeluaran dan pendapatan Toko kami bulan ini.

"Fairy Godmother, It's me!" Aku menatap Mesya, menunggu apa yang akan dia lakukan, ternyata dia mengambil pensil kesayangan yang biasa buat gambar. Menunjukku dengan itu.

"Dengan sihir pensil kesayanganku, Jadilah Cinderella."

Hal absurd itu, yang di lakukan Mesya membuat kami tertawa bersama. Ada-ada aja tingkah Adikku ini. Tapi, begini cara kami menghibur satu sama lain. Hidup kami yang tinggal berdua tak terlalu sepi.

***

Aku menghentikan mobil di sebuah panti asuhan.

Melalui kaca mobil depan, kumenatap ke halaman panti tampaknya sedang menggelar acara karena di halamannya ramai dengan anak-anak.

Tidak biasanya, pikirku.

Aku turun dari mobil dan membuka pagar panti asuhan itu. Salah satu pengurus panti yang kebetulan melihat, langsung menyambut.

"Eh Mbak Maya, Ayo Masuk."

"Iya.. Pak, Saya bawa sesuatu buat anak-anak. Ada di mobil, tolong bantu ya.."

Pengurus tersebut mengangguk, "tentu, Mbak."

Kami berjalan kembali ke mobilku, buka bagasi belakang sambil mengambil plastik-plastik besar dan beberapa kardus, aku bertanya.

"Ini lagi ada acara, Ya pak?" Tanyaku melihat keramaian yang ada.

"Iya, sponsor terbesar panti kami hari ini datang, membawa banyak makanan dan hiburan sambil belajar untuk anak-anak" jelasnya

Kami dibantu salah seorang lain, membawa barang-barang yang aku bawa. Setelah memastikan bagasi mobil sudah kosong, tak ada yang tertinggal. Aku menutupnya, berjalan mengikuti mereka.

Aku bertemu pengurus utama panti, beliau menghampiriku. Kami bersalaman dan mengobrol seputar menanyakan kabarnya dan panti.

Dia sosok Ibu yang hangat, sangat menyayangi anak-anak panti. Hubungan kami juga sudah sangat akrab, aku sering ke sini selain menengok anak-anak pantiku, tidak jarang saat aku butuh seseorang pendengar, Ibu panti menjadi tempat curhatku, sudah seperti ibuku sendiri.

"Mesya apa kabar, Nak?"

"Alhamdulillah Sehat bu, Dia tadinya mau ikut. Cuman Karena lagi banyak pesanan, salah satu dari kami harus tetap stay di toko."

Kami duduk di teras panti, mataku tidak lepas dari anak-anak yang begitu bahagia, bernyanyi, berlari dan bermain di halaman sana.

Aku Menyerahkan amplop cokelat "Ini nggak ada rezeki buat bantu-bantu beli bumbu dan garam dapur panti." Ibu panti menerima sambil tersenyum lebar. Berapa dan apa pun yang aku bawa. Mau Banyak atau sedikit, beliau selalu terima dengan hangat.

"Alhamdulillah, diterima yah nak Maya. Semoga Gusti Allah ganti kebaikan kalian dengan yang lebih" ucapnya

"Amin, sama-sama Bu, kalau butuh bantuan jangan sungkan Telepon Maya atau Mesya."

"Tentu.. Nak."

Kami kembali memandang halaman panti, kali ini aku ikut tertawa saat beberapa anak mengelilingi dan menggoda badut yang mengenakan Kostum Beruang dengan Warna biru cerah.

"Ayo Nak, ikut gabung sama anak-anak!" Ajaknya tahu-tahu sudah berdiri.

"Nggak apa-apa, bu? Maya takut ganggu anak-anak."

Wanita paruh baya tersebut tersenyum, tangannya menarikku.

"Justru Anak-anak pasti senang, mereka selalu tanyakan kamu, kapan datang."

Kami berjalan menuju halaman panti yang luas.

"Anak-anakku, ini ada Kak Maya datang. Siapa yang mau main sama Kak Maya?"

Bu panti berteriak, membuat semua mata terpusat padaku. Beberapa anak langsung mengacungkan tangan dan mendekat. Aku langsung duduk bersila di atas rumput, dikelilingi anak-anak.

"Kak Maya, enggak datang sama Ibu Peri Mesya?" Tanya seorang anak perempuan, dia juga sama seperti Mesya. Punya keterbatasan, bedanya sejak lahir. Dan beranjak harus menggunakan tongkat karena kedua kakinya tidak bisa berjalan normal.

Adara, dipanggil dara. Dia anak Panti kesayangan Mesya, yang membuat Mesya bangkit dan percaya diri. Melihat Dara, bocah lima tahun yang memiliki kekurangan sejak lahir, dibuang orang tuanya namun tetap ceria dan semangat membuat Mesya Malu kalau harus mengeluh selalu.

"Aku nggak mau kalah dari Dara, Kak! Kalau Dara bisa aku pasti bisa" kata Mesya saat itu. Mereka sangat akrab, dan Dara punya panggilan khusus untuk Mesya. Ibu peri, aku juga tak tahu apa yang membuat Dara dan anak panti lain memanggil Mesya dengan sebutan itu.

Aku menarik Dara mendekat, mendudukkan di pangkuanku.

"Maaf Yah sayang, Kak Mesya-nya lagi Sibuk. Besok kalau udah ada waktu luang pasti main ke sini."

Dengan anggukan kecil, Dara terima penjelasanku "pasti Kak Mesya lagi jadi ibu Peri yah, kak?"

Aku mengangguk "Hm, kok Princess Dara bisa tahu?"

"Iya, Kerjaan Kak Mesya kan kayak Ibu Peri di Film Cinderella. Tangan Kak Mesya ajaib bisa buat sepatu secantik punya Cinderella. Katanya, aku juga bisa jadi Ibu peri Kayak Kak Mesya kalau besar nanti asal aku semangat dan rajin belajar!"

"Ya, Ka Mesya benar!"

"Kami tercipta Spesial. Tongkat ini." Dia menunjuk tongkat kayu yang di cat merah muda miliknya, yang dibeli dan dipilih oleh Mesya sendiri "lebih hebat dari tongkatnya Ibu Peri."

Aku tersenyum, mataku berkaca-kaca. Panti ini punya pelita, sebagai penerang harapan untuk gadis kecil ini, yang ada di pelukanku, gadis seceria dan secantik Dara, sesuai arti namanya Adara artinya Cantik.

Saat sedang bersama Dara, aku merasa seseorang sedang memerhatikan kami ditengah ramai anak-anak bermain. Aku terdiam, bertemu tatap dengan mata yang asing namun pernah bertemu denganku.

Chapter 5…

Aku selalu suka anak-anak, mulai dari tatapan mata, senyum, bicara, tawa, kepolosan dan keceriaan mereka bagai sebuah energi positif. Bagi sebagian orang bentuk healing perlu liburan, tapi bagiku di sini tempat terbaik untuk healing. Juga aku menemukan arti dari apa itu dunia bermain, dunia tanpa beban. 

Melihat anak-anak yang tumbuh di sini tanpa kasih sayang orang tua mereka, membuat aku terenyah. Aku tersentil mengingat aku yang hampir menyerah, mengeluh dan putus asa atas kepergian kedua orang tuaku. Seharusnya lebih bersyukur bahwa Tuhan memberi kesempatan, dari masa kecil hingga usia 25 tahun sudah dapat kasih sayang berlebih dari orang tua. Aku bisa makan apa pun yang aku mau. Bisa mengenyam pendidikan disekolah mana pun tanpa perlu memikirkan uang untuk biayanya. 

Hal yang seharusnya benar-benar aku syukuri setelah lihat anak-anak ini harus berbagi makanan setiap hari dengan saudaranya yang lain. Bukan hanya itu, mereka juga harus berbagi tempat tidur dan banyak hal lainnya. Meski terselip sedih, kecewa dan terluka yang kurasa saat lihat wajah polos anak-anak ini.

Kok bisa sih ada manusia yang jahat dan tega membuang mereka? Sebagian anak yang ada di sini, aku tahu kalau mereka tidak semua terlahir yatim-piatu tapi ada yang sengaja di buang orang tuanya. 

Aku berdoa, semoga esok dimasa depan, Tuhan akan ganti kehidupan mereka dengan takdir yang lebih baik dari masa kecil ini.

Satu jam tanpa terasa kuhabiskan waktu untuk bermain bersama anak-anak, barusan aku baru saja selesai membacakan satu buku dongeng. Mereka menularkan kebahagiaan melalui senyum tulus dan polos Mereka. 

Dikelilingi mereka bersama riuh tepuk tangan membuatku semangat, hal kecil yang kulakukan, di tempat ini sangat di hargai. Di tempat ini segala sesuatu tak dinilai dari harta, keberhasilan yang di punya. 

Aku memeluk erat tanpa menyakiti Dara, dia menoleh padaku. Bola mata indahnya berbinar, Aku menunduk mengecup rambut hitamnya yang harum, setelah puas aku menegakkan lagi wajahku dan saat itulah lagi-lagi mataku terpaku pada sosok laki-laki berkaus biru navy lengan panjang, juga ikut duduk tepat di belakang anak-anak. Aku menatap wajah yang sepertinya aku kenali, tepatnya akhir-akhir ini. 

Pria Itu. 

Ini hanya ilusiku saja atau apa? Aku tidak menyangka lagi-lagi bertemu dengannya, ini sudah ketiga kalinya? Kenapa bisa? Dia tersenyum padaku karena situasi yang belum kumengerti, aku malah memalingkan wajahku, ke mana pun asal tidak kembali menatapnya. Aku kembali berpikir, lalu kenapa aku harus menghindar? 

Sayangnya, ketika aku menatap ke tempat yang tadi. Pria itu sudah Berjalan masuk menuju pintu utama panti. 

Tadi baru bergabung di sini, firasatku seperti sedang diperhatikan memang benar-benar terjadi. Pria itu, lalu sebisa mungkin aku terlihat biasa dan pilih bermain dengan anak-anak. Sambil hatiku berpikir keras, coba mengingat. 

Pertemuan sampai tiga kali, kurasa bukan sesuatu kebetulan tak sengaja tanpa rencana semesta. Ah, tapi, aku tak mau berpikir terlalu jauh. Barang kali memang hanya kebetulan saja. 

"Ka Maya, aku lapar... ikut makan yuk!" Ajak Dara membuyarkan kesibukanku akan memikirkan pria tadi. 

Aku mengangguk, "ayo, Dara mau ka Maya suapi?" 

Dara menggeleng, "aku sudah besar." 

Aku gemas dan kembali mendekapnya, "ya kamu cepat sekali besarnya!" 

Ugh.. aku rasa-rasanya tidak mau pergi dari tempat ini. 

*** 

Setelah temui Bu panti untuk pamit pulang, Aku berpamitan juga pada anak-anak terutama Dara. Gadis cantik itu terlihat berat, aku berjanji akan datang dilain waktu bersama Mesya dan membawakan dia alat lukis karena Dara terobsesi bisa menggambar dan melukis seperti Mesya. 

Aku berjalan menuju mobilku yang terparkir di depan panti. Namun, langkahku terhenti, dadaku berdebar ketika melihat seseorang sudah berdiri dengan sedikit bersandar di depan mobilku. Tampak sengaja menungguku keluar, aku bukan percaya diri. Kalau bukan, apa tujuannya? 

"Hai" Sapanya ramah. 

Meski terkejut, aku berusaha menutupi tetap berekspresi biasa. 

"Hai" balasku "Hm, nggak menyangka ketemu lagi di sini" jujur benar-benar gugup saat ini. 

Terdengar kekehan kecil dari pria di depanku ini "aku juga terkejut, sama sepertimu."

Aku tersenyum tipis.

"Dalam Hidup ini nggak ada yang namanya kebetulan, Mbak" ada jeda, tepat saat itu sebuah daun jatuh antara kami. Dia menunduk mengambilnya tepat di dekat ujung sepatuku dan sepatunya. Daun itu sudah berada ditangan pria tanpa nama, dia menunjukkan padaku "termasuk selembar daun yang jatuh ini, nggak lepas dari kehendak semesta." 

Aku mengulas senyum kemudian melangkah mendekati. Namun, masih menyisakan dua langkah antara kami. 

"So.." aku mengulurkan tangan, "Maya" Aku mengenalkan namaku, hanya nama depanku Saja. 

"Tama." Dia menyambutnya. 

"Hanya Tama?" 

"Hanya Maya?" 

Aku menyadari dia ternyata membaca caraku berkenalan, mengikutiku, kami tersadar dan sama-sama tertawa. 

"Herza Pratama, cukup Tama saja." Dia mendahului, memperbaiki cara perkenalan yang seharusnya.

Sambil tersenyum tipis, aku pun mulai dengan benar "Maya Ayu Julianty." 

"Lahir dibulan Juli?" 

Aku meringis kecil, orang memang cukup gampang untuk tahu bulan apa aku lahir “mudah sekali menebaknya?”

Dia mengangguk kecil, "terlepas dari itu, nama yang indah sebab orang tua kita nggak mungkin memberi nama tanpa arti yang bermakna untuk mereka" 

Aku terlalu gampangan tidak sih, kalau aku tersipu hanya karena ucapannya barusan? Karena yang aku tangkap itu termasuk dalam pujian, kan? Dan caranya bicara sudah menggambarkan kalau pria di depanku punya pikiran yang luas, menyenangkan. 

"Mbak, juga sering datang ke sini?" 

"Maya saja, saya belum setua itu lho." Aku mengoreksi panggilannya, dia menyetujui. "Hm.. ya, sebulan sekali. Kalau Kamu?" 

"Baru beberapa bulan belakangan." Kata Tama. 

Lalu aku ingat ucapan pengurus panti tadi, kalau hari ini panti kedatangan Sponsor besar. Apa itu Tama?

"Menghibur anak-anak panti menjadi hiburan buat saya." Kata Tama sambil memandangku, sepertinya dia tipe Pria yang mudah baca pikiran lawan bicaranya atau memang aku seperti buku terbuka, mudah dia baca? Ada hal lain yang menggangguku yaitu tatapan mata Tama. Aku tak tahu arti tatapan matanya, namun tatapan matanya sudah pasti membuatku salah tingkah. 

"Suka kopi?" Tanya Tama. Aku mengerjap, tawaran kah itu? 

"Ya, lumayan.. Artinya?" Aku menyambut. 

Dia menegakkan tubuh, namun aku tak paham saat tangannya terulur, "saya nggak bawa mobil, kalau boleh?" 

Aku tersenyum simpul, namun tetap memberikan kunci mobilku, "boleh, saya harus mengantar kamu ke mana?" 

"Bukan ke rumah, hanya sampai ke tempat mengopi yang enak." Aku membiarkan dia menyetir, membawa mobil menuju tempat minum kopi pilihannya. Sepanjang perjalanan kami berbincang, kebanyakan tentang anak-anak panti. 

Sementara aku pintar-pintar melirik untuk melihat wajah Tama, aku berharap tidak harus sering bertemu atau berurusan langsung dengannya setelah hari ini. Karena yakin, aku akan naksir padanya, Dia jenis pria yang bagaikan keluar langsung dari pikiran dan impian para wanita sepertiku. Wajah rupawan, sikap gentleman dan isi kepala berisi pengalaman yang luas. Sudah pasti jadi karismatik tersendiri. 

Astaga, kok aku sok tahu? Sudah bisa nilai di pertemuan pertama kami?! Aku segera melupakan pikiran itu. 

Sebenarnya penilaianku wajar, sebab tiga kali pertemuan, aku bertemu dengan pria yang baik dan sopan. Pertama, dia bersama anak-anak penjaja koran sedang mentraktir tanpa sungkan. Kedua, dia menolongku saat insiden di basement Mall. Ketiga, hari ini ditempat yang mulia. Hanya orang-orang yang tergerak hatinya, yang datang ke tempat ini. Obrolan kami berlanjut dan untuk pertama kali aku membiarkan diriku beranggapan bahwa pertemuan kami ini mungkin memiliki arti yang istimewa.

TBC. 

Jangan lupa tap love dan komentar.. terima kasih 😊

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Kategori
Only You I Want
Selanjutnya Only You I Want (Chapter 6 & 7)
13
2
Kelanjutan Only You I Want. Chapter 6 & 7. Jadwal Update Setiap Hari Selasa, Kamis dan Sabtu start 1 September 2021. Mulai berbayar ya.Cara pembelian.  1. PerPOST/ Enceran.  2. PAKET Only You I Want secara keseluruhan Rp. 55.000 (lebih di sarankan) satu kali transaksi, kalian bisa baca sampai cerita tamat dan lebih hemat. Selamat mengikuti kisah Maya, Enjoy dan semoga suka.  Terima kasih,  Unaartika.
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan