
#4 SUSUK TERATAI PUTIH (TAMAT)
— UMMA LAILA
SUMIRAH perempuan cantik pribumi yang lahir di era penjajahan Belanda mengalami pelecehan seksual oleh pria-pria di desa tempat dia tinggal.
Ironisnya hal itu terjadi setelah mendapati suaminya yang suka main tangan berselingkuh dengan seorang penari.
Dendam membawanya pada ritual mengerikan yang menjanjikan kecantikan abadi.
Ikuti kisah Sumirah dalam cerita " SUSUK TERATAI PUTIH"
( BAB 1,2,3,4,dan 5)
SUSUK TERATAI PUTIH
Sumirah, gadis cantik yang lahir di era penjajahan Belanda.
Jiwanya tergadai demi bisa membalaskan dendam dan amarahnya kepada sang suami suami yang berselingkuh dengan seorang penari.
Iblis menawarkan kecantikan yang tiada tara dan abadi.
Akankah balas dendamnya berhasil.
*****
Bab-1
RAWA IRENG
Tahun 1821...
Srekkk..srek...sreeek..
Tiga pria dewasa menerobos hutan dengan hanya menggunakan penerangan dari obor. Langkah mereka tampak terburu-buru seolah mengejar binatang buruan.
" Cepetan Jo, nanti dia kabur.!"
Pria yang dipanggil Paijo lalu melebarkan langkah kakinya, kakinya terus melebar.
Kreteeeekkk..kreteeeek... Suara ranting kayu yang terinjak menghiasi malam itu.
" Kampret, dimana cah ayu itu. Hampir tak sikep awak e malah ngilang ( hampir saya peluk tubuhnya tapi menghilang.), cari terus man..!"
" Wokey bos...!"
Pria yang bernama Maman, pria berbaju lurik itu menanggapi lelaki yang dia panggil bos.
Lelaki dengan perawakan tinggi besar dengan luka goresan diwajah sehingga menampakkan kesan sangar pada dirinya.
Lelaki itu dikenal sebagai bos jarwo, antek menir Belanda di daerahnya.
" Wadoooooh... Apa-apaan kamu Man, berhenti kok dadakan."
Bos Jarwo menabrak tubuh Maman yang tiba-tiba menghentikan langkahnya.
" Bbbooooossss, kkkiiittta ppulllaaang ssajjjja bosss, iittttuuuu...!"
" Heh kampret, ngomong apa kamu? Nggak jelas. Ngomong opo koe Man..! " ( bicara apa kamu man?")
" Rawwwaa irreeeeng bbbosss, aakkkuu nggaaak beranniii masuk kessana boss.."
" Heleeeeh, penakut kamu Man...!"
Kaki Maman bergetar hebat, perlahan celana panjangnya basah dan tercium bau khas orang buang air kecil.
" Ngompol kamu Man, laah kamprreeeet kamu Man!"
Bos Jarwo mengumpat Maman anak buahnya yang sudah ketakutan tersebut.
" Mmmaaaf bosss saya nggaaak braaniiiiiiii"
Maman mengambil langkah seribu, memutar kembali langkahnya agar dapat segera meninggalkan tempat tersebut, orang-orang menyebutnya Rawa Ireng alias Rawa Hitam.
Orang pribumi percaya jika rawa ireng adalah tempat paling sakral seantero pulau jawa. Dinamakan rawa ireng karena tempat tersebut memanglah hanya hamparan rawa-rawa yang jika ada orang yang kaki terjebak dirawa maka akan terhisap dan tak akan bisa keluar lagi. Selain karena daerah yang berupa rawa, disebut rawa ireng karena air rawa yang hitam seperti oli bekas serta aromanya yang busuk, begitu busuknya lalat pun sampai mati jika berada ditempat tersebut. Warga percaya tempat itu adalah istanannya lelembut, tempat para orang pinter cari wangsit dan tidak sembarangan orang bisa melangkahkan kakinya ke rawa ireng. Jika hatinya buruk maka orang itu akan terseret masuk kedalam gelapnya rawa ireng dan takkan bisa kembali. Orang dengan hati busuk akan terhisap, bangkainya akan masuk kedalam rawa dan tak dapat ditemukan lagi, yang tersisa hanya bau busuknya saja.
Konon begitu banyaknya jasad-jasad yang tertelan rawa ireng hingga aromanya sangat busuk menyengat.
" Woy Man.. Malah minggat koe...!" ( malah kabur kamu!!")
Bos Jarwo berteriak memanggil anak buahnya tersebut, tapi sia-sia, Maman tak terlihat punggungnya.
" Yowes Jo, tinggal kamu sama aku Paijo, ayo kita kejar Sumirah, keburu kabur dia."
Paijo tersenyum, lalu kemudian menangkupkan kedua telapak tangannya didepat dadanya sambil menunduk.
" Ngapunten juragan saya juga takuuuuuuuuuuut!! ( maaf juragan, saya juga takut).
Paijo menyusul rekannya dan kabur karena takut dengan rawa ireng.
" Dasar kurang ajar, tak ambil istri kalian semua nanti...!"
Bos Jarwo mengumpat karena ditinggal pergi oleh anak buahnya, sebenarnya dirinya juga takut dengan rawa ireng. Tapi hasrat dirinya terhadap Sumirah, wanita yang baru saja diusir suaminya itu membuat akal sehat Jarwo hilang. Kecantikan Sumirah membuatnya ingin segera menikmati molek tubuhnya.
" siiallll...!"
Bos Jarwo mengumpat, langkah kakinya seakan ragu untuk terus melangkah.
Tapi tiba-tiba sekelebat bayangan perempuat tertangkap oleh pengelihatannya.
Bos Jarwo menyipitkan matanya berusaha memperjelas lagi siapa sosok yang dia lihat barusan.
" Sumiraaaah.. "
Bos Jarwo tersenyum lebar, kakinya tanpa sadar mengikuti sosok tersebut. Tubuhnya semakin dalam masuk ke rawa ireng. Terus dan terus bos Jarwo mengejar sosok yang dia panggil Sumirah.
Nafas bos Jarwo terputus-putus, Sumirah menghilang. Dia putus asa dan hendak memutar kakinya untuk pulang saja kerumah. Hasratnya terhadap Sumirah hilang bersamaan dengan tenaganya yang habis.
" Hah...!!! Opo kie..!" ( apa ini?")
Kaki bos Jarwo tak bisa diangkat seolah ada tangan yang mencekal kakinya. Bos Jarwo dengan sisa-sisa tenaganya berusaha menarik kakinya.
Akhirnya kaki bisa terlepas dari cengkraman lumpur rawa, tapi tiba-tiba aroma menjadi berbau busuk. Bos Jarwo langsung kabur, dia terkencing-kencing kabur dari tempat mengeritan tersebut. Sepasang mata menatapnya tajam dan terdengar suara mendesis.
" MANGAAAN.".( makan).
Lagi-lagi kaki bos Jarwo tersangkut dan kini dengan cepat menyeretnya kedalam rawa.
" Paijooooo...! Mamaaan toloooong!"
Bos Jarwo berusaha memanggil anak buahnya agar menolongnya tapi sia-sia. Tubunya semakin tenggelam dan kini sampai kelehernya.
" Uwaaaaaaaaaaaaaaaaaa...........!!!!!!"
Jeritan terakhir bos Jarwo menghiasi malam di rawa ireng.
.............................................................
CATATAN TAMBAHAN : Tempat kejadian, tanggal dan cerita hanya fiksi dan tidak ada peristiwa sejarah didalamnya.
BAB.2
CAH AYU
huh...huh...huh...
" Aku harus lari, jangan sampai bos Jarwo yang mata keranjang itu menangkapku lagi..!"
Seorang perempuan berlari menembus rimbunnya hutan, gelap, hanya cahaya rembulan yang menjadi penerang langkahnya.
Kain jariknya sobek hingga terlihat paha mulusnya, baju kebayanya sobek di bagian dada. Telapak kakinya terluka karena menginjak ranting-ranting kering yang tajam.
Nafasnya terputus-putus, tapi sekuat tenaga tetap dia pacu dengan menarik nafas sekuat-kuatnya berharap tenaganya takkan hilang.
Wanita itu adalah Sumirah, perempuan tercantik di kampungnya, kampung Kalimas.
"Sumiraaaaah...Sumiraaaah... Jangan kabuur kamu...!"
"Itu suara bos Jarwo, tidaak. Suaranya semakin dekat. Aku harus terus berlari, tidak sudi aku menjadi gundiknya...!"
Gedebukkk... "Aaaaargghhh....!!"
Sumirah terjatuh, kakinya tersangkut pohon gadung, durinya menancap dan menyisahkan luka berdarah.
" Arrrghht...."
Sumirah kembali berdiri dan berusaha terus berlari walau kakinya harus berjalan dengan terpincang-pincang.
Dia terus berlari sambil menangis, hatinya sakit, jiwanya rapuh, raganya tercabik-cabik harga dirinya terinjak-injak dengan mengenaskan.
" kang Permana, ini semua salahmu...!"
Sumirah terus melanjutkan larinya, tangisnya kini benar-benar pecah. Bayangan suaminya tadi siang sungguh menancapkan amarah di sukmanya.
" kangmas...!! Apa yang kamu lakukan mas, kenapa tega kamu melakukan ini kepadaku kangmas, apa salahku..."
Sumirah yang baru saja pulang dari rumah uwaknya terkejut mendapati suaminya, Permana tengah bergumul dengan perempuan yang tidak halal baginya.
Perempuan itu adalah Gendis, seorang penari yang sangat terkenal diseluruh kampung. Penari yang dikenal dengan kemolekan tubuhnya yang sintal berisi, buah dada yang menantang setiap mata lelaki. Lenggokan tubuhnya saat menari mampu menghentikan laju angin seolah berhenti hanya untuk melihat dirinya menari.
Sebenarnya untuk kecantikan, Sumirah jauh lebih menawan dibandingkan Gendis. Sumirah dengan aura keibuan serta kelemah-lembutan tutur katanya yang menjadikannya primadona saat dirinya masih gadis dulu, sementara Gendis hanya bermodalkan pesona senyum genit serta suara yang dia buat mendayu-dayu memanja dan tubuhnya saja.
Mata Sumirah melotot melihat pemandangan menjijikan itu, Gendis tersenyum sinis saat melihat Sumirah memergoki suaminya tengah mencumbu dirinya dengan sangat liar. Sementara Permana suami Sumirah tampak acuh dan tetap melanjutkan kegiatannya, dia tak peduli dengan amukkan dan tangisan sang istri. Baginya Gendis lebih memberikannya kepuasan daripada Sumirah, dirinya sudah bosan dengan perempuan yang sudah dia nikahi selama 4 tahun itu.
Braaaak....
Sumirah membanting pintu dengan kasar, matanya tak kuasa melihat hal yang menjijikan itu, terlebih kedua iblis itu sengaja membuatnya mendengar suara desahan serta rintihan kenikmatan dari mulut mereka.
Entah kenapa Sumirah tak mampu menggerakkan badannya, padahal sungguh dirinya ingin mencincang tubuh kedua manusia laknat tersebut. Tapi jangankan mencincang mendekati mereka saja kakinya mendadak terpaku, hingga akhirnya dia memilih keluar dan terduduk lemas diruang tamunya.
Pendengarannya masih dengan jelas mendengar lenguhan demi lenguhan suara yang baginya sangat menjijikkan, Sumirah hanya bisa menangis, hingga akhirnya suara itu berhenti.
Pintu kamar terbuka lebar, Sumirah mengangkat kepalanya dan melihat suaminya memakai kembali pakaiannya, sementara wajah kelelahan milik Gendis menyunggingkan senyum sinisnya, dia membiarkan tubuh polosnya tetap seperti saat Permana menikmatinya tidak dia selimuti, sengaja seolah memberi tahu bahwa Permana adalah miliknya.
Permana melangkahkan kakinya kearah Sumirah yang terduduk dilantai sambil menangis, tangannya dia letakkan dipinggang, matanya menatap bengis Sumirah, hingga detik kemudian.
" Plaaaaak.....!!"
Permana menampar wajah ayu Sumirah hingga tubuhnya tersungkur, bibir Sumirah mengeluarkan darah segar.
Gedebug...
"Aaarrrrrgghht...."
Permana menendang tubuh istrinya hingga terjengkal, tangan kanannya menarik rambut Sumirah hingga gelungannya terlepas.
Tangan Permana dengan kasar menarik rambut Sumirah hingga kepalanya mendongak keatas.
" Cuiiiih....!!"
Permana meludahi wajah sumirah yang telah basah dengan airmata.
Gendis keluar dari kamar ingin melihat Sumirah yang terinjak harga dirinya itu. Pakaian telah dia kenakan. Gendis duduk dengan jumawa menghadap Sumirah yang tengah disiksa suaminya.
" Aaah... Sakit kangmas...!!"
Sumirah merintih tatkata Permana menarik rambutnya. Perih rasanya tapi sakit dihatinya seribu kali lebih perih.
Gendis mendekatkan wajahnya dengan kepala Sumirah yang tengah ditarik rambutnya oleh Permana.
" Cuiiih...!"
Gendis meludahi wajah Sumirah, bagai luka yang masih meneteskan darahnya sengaja dia siram dengan cuka. Perih tak terkira.
" Aaaargggthht...."
Lagi-lagi Sumirah memekik, Permana menjambak rambut Sumirah dengan kasar hingga banyak helaian rambut yang tersangkut ditangannya.
Rambut Sumirah tergerai berantakan.
" Heh mandul...!!! Pergi kau dari sini, mulai saat ini kau ku cerai. Wanita mandul sepertimu tak pantas dipertahankan."
Suara Permana menggelegar, meremukkan hati Sumirah.
" Tapi aku harus pergi kemana kangmas? Ini sudah malam. Lagipula rumah ini milikku, warisan dari ramaku, kamu yang harusnya pergi bukan aku...!"
" Aaaarrrrrgght..."
Suara Sumirah terdengar sangat pilu, Permana menyeret paksa tangan Sumirah lalu melemparkannya keluar pintu bagai anjing buduk.
" Ini rumahku, terserah kau mau kemana. Rama mu sudah mati. Jadi harta beserta rumah ini milikku."
Rama Sumirah adalah juragan tanah yang sangat kaya raya, tapi entah kenapa sangat menyayangi Permana yang seorang pemabuk dan Pemalas hingga akhirnya mengangkatnya sebagai menantunya, suami Sumirah. Tapi hanya berhitung bulan tiba-tiba rama Sumirah meninggal tiba-tiba, padahal tidak pernah sakit. Hingga akhirnya semua hartanya jatuh ketangan Sumirah yang secara otomatis menjadi milik Permana.
Warga kampung berkumpul melihat apa yang tengah terjadi, mereka iba dengan Sumirah tapi tak bisa berbuat apa-apa. Seluruh warga kampung sangat takut dengan Permana, karena mereka mempunyai hutang yang sangat banyak. Jika ada yang berani membantu Sumirah, maka dapat dipastikan orang itu akan kehilangan rumahnya karena disita Permana si lintah darat.
Sumirah berdiri terhuyung-huyung. Dia diusir tanpa boleh membawa seperserpun uang, harta satu-satunya hanya pakaian yang melekat ditubuhnya. Sumirah berjalan pelan meninggalkan rumah yang sudah dia tempati sedari kecil itu.
Gendis tertawa penuh kemenangan melihat Sumirah pergi, Permana menggandeng Gendis agar masuk kerumah lalu menutup pintu dengan keras.
Sumirah berjalan menyusuri pinggir hutan, dia akan kembali kerumah uwaknya, hanya itu satu-satunya tempat dia kembali.
Tapi tiba-tiba dirinya dihadang bos Jarwo, Maman dan Paijo. Mereka menyeret Sumirah ketengah hutan dan melemparkan paksa Sumirah kedalam gubuk tua.
" Jo, Man, kalian jaga diluar, aku mau bersenang-senang."
" wokey bos...."
Sumirah ketakutan, dia tak sudi tubunya disentuh oleh bos Jarwo. Sumirah berlari tetapi tubuhnya dengan mudah ditangkap bos Jarwo.
Dengan beringas bos Jarwo membuka paksa kancing kebaya Sumirah dengan susah hingga sobek karena ditahan tangan Sumirah.
"wadoooooh...."
Sumirah menggigit tangan bos Jarwo, sehingga dapat berdiri dari posisi yang ditimpa tubuh besar bos Jarwo.
Prepeeeeeeet....
Bos Jarwo menarik paksa jarik yang digunakan oleh Sumirah hingga sobek.
Sumirah pun bingung, hingga akhirnya mendendang keras pusaka bos Jarwo dan kabur melalu pintu belakang gubug.
Sumirah terus berlari hingga dirinya sampai dirawa ireng. Dia menyadari bahwa rawa ireng adalah tempat keramat yang dijauhi semua orang, yang konon katanya orang yang masuk tak dapat lagi keluar.
Sumirah tak peduli, dia lebih memilih mati di rawa ireng daripada dinodai oleh bos Jarwo.
Sumirah menangis tersedu, kini dia berada dipusat rawa ireng. Dirinya sudah tidak mendengar lagi suara langkah kaki mengejarnya. Sumirah berfikir jika bos Jarwo dan anak buahnya tak berani mengikuti dirinya hingga ke rawa ireng.
Sumirah terduduk di rawa yang lembab dan basah.
" Aaaarhhhhh.....aaaaaaaaaaaaaaaah....aaaaaaaaaahhhhh.....!"
Sumirah berteriak kencang sambil memukul-mukul keras dadanya.
Buk..buk...buk..
Sumirah terus memukul-mukul dadanya berharap sesak didadanya bisa keluar, berharap rasa sakit didadanya bisa berkurang.
Tapi nyatanya sia-sia.
" Aaaaaaaaaaaah.....aaaaaahh...aaaahh..."
Sumirah terus berteriak dengan putus asa, dia tak peduli lagi jika para penghuni rawa ireng akan marah karena terganggu dengan teriakan dan tangisnya. Baginya rasa sakit dihatinya sangat besar, dia tak peduli jika dia harus mati di rawa ireng.
Tiba-tiba bau bangkai tercium dengan pekat, bukan tak menyadari hal ini tapi Sumirah sudah tidak peduli.
Buk....buk...buk..
Dirinya kembali memukul-mukul dadanya dengan keras, tangisnya kembali pecah dan terdengar sangat menyayat. Dia mengeluarkan semua air matanya, biarlah kering asal perasaannya membaik.
Tapi sebanyak apapun air matanya keluar, justru rasa sakit di hatinya semakin terasa. Dia merasa menjadi wanita bodoh dan lemah karena tak mampu melawan Permana, suaminya manusia berhati iblis itu.
Tiba-tiba bau busuk itu menghilang dan berubah menjadi wangi aroma kenanga.
" Mungkin ini akhir dari hidupku"
Sumirah berkata dalam hati sambil terus menangis dan memukul dadanya dengan keras.
Sumirah sudah siap mati dimakan lelembut rawa ireng.
Mata Sumirah terpejam, bersiap-siap menghadapi murka para penghuni rawa ireng.
Aroma bunga kenanga semakin tercium pekat, Sumirah lemas dan pasrah.
Namun apa yang Sumirah pikirkan tidak terjadi, tidak ada hal buruk yang menimpa dirinya.
Justru dia mendengar suara halus perempuan memanggil dirinya.
" Cah Ayu....!"
SUSUK TERATAI PUTIH
BAB.3
NYAI MUTIK
"Cah Ayu...."
Sumirah mendengar suara halus perempuan memanggil dirinya, tengkuknya meremang matanya semakin dia tutup rapat. Suaranya masih tetap menangis sesenggukkan. Sumirah sudah pasrah dengan apa yang terjadi pada dirinya.
" Cah ayu, ojo nangis, menengo...!" ( Anak cantik, jangan menangis. Diamlah...!"
Sumirah menghentikan tangisnya.
" Cah ayu, bukak o mripat mu." ( Anak cantik, bukalah matamu.)
Sumirah membuka pelan matanya, detik kemudian matanya terbuka lebar, bola matanya membulat sempurna melihat apa yang ada di depannya.
Seekor ular kobra sebesar pohon jati yang berusia ratusan tahun tengah menatap wajahnya, sisiknya yang berwarna putih susu berkilau memantulkan cahaya rembulan. Matanya merah bagaikan batu delima, gigi taringnya tajam bagai sebilah pedang. Ular itu tapi tak beraroma amis khas hewan melata, melainkan ber-aromakan wangi bunga kantil.
Perlahan kepala ular semakin mendekati wajah sumirah, dekat dan semakin dekat hingga sang ular hanya berjarak beberala senti dari wajah Sumirah.
Mata sang ular yang merah memantulkan wajah Sumirah yang seolah ditelan olehnya.
Bruuuk...
Sumirah pingsan, sang ular kobra berputar mengelilingi tubuh tak berdaya milik Sumirah, kepalanya berdiri menatap tajam Sumirah yang tengah pingsan.
Dari kejahuan tampak sinar obor yang perlahan mendekat kearah sang ular.
Perempuan dengan kemben warna emas dan kain jarik lurik yang senada, rambut hitam lurus sepinggang miliknya ia biarkan tergerai. Perempuan tersebut merapatkan kedua telapak tangannya lalu dia tempelkan didada dan menunduk khidmat.
" Sugeng dalu ratu, wonten punapa memanggilipun kawula.?" ( selamat malam ratu, ada apa sehingga memanggil saya).
Ssssssst......ssssst....
sssst...
" Bawa perempuan ini kepondokmu Mutik, lalu sembuhkanlah dia, aku menyukainya, tapi aku tidak bisa membawanya ke istanaku selagi bukan dari keinginan hatinya sendiri. Aku hanya bisa membawa mereka-mereka yang berhati busuk, atau mereka yang membutuhkan bantuan dariku. Tapi sayangnya perempuan ini datang kesini bukan untuk meminta bantuanku, juga hatinya masih bersih. Setelah dia sadar tanyakanlah kenapa dia sampai ingin mati di rawa ireng, jika dia butuh bantuan akan aku bantu."
"Siap nampi dhawuh gusti ratu."
Sssst...ssst...ssst...
Sang ratu pergi meninggalkan Sumirah dan Mutik.
Mutik menatap tubuh Sumirah lalu menggeleng-gelengkan kepalanya.
" pantas saja gusti ratu tertarik dengan perempuan ini, auranya sama dengan warna sisik sang ratu, tapi sayangnya aku tak mungkin membopongmu hingga ke pondokku.!"
Mutik memejamkan mata lalu mulutnya komat-kamit, tak lama kemudian muncul lagi ular hitam bertanduk emas sebesar pohon kelapa mendekatinya.
"sssssssssssttt Panganan...!!" ( Makanan....!")
Ular itu berdesis sambil menjulurkan lidahnya kearah tubuh Sumirah.
" Pangan o nek sampeyan pingin mati..!" ( Makan saja kalau kamu ingin mati)
Sssst...ular hitam itu kembali menarik lidahnya.
" Wangi ne enak banget, nggawe luwe. Iki sopo Mutik ?" ( Aromanya sangat enak, bikin lapar. Perempuan ini siapa?)
" Lapar? Bukannya kamu baru saja makan manusia yang mengejar perempuan ini?"
" Kae Ora enak, mambu bacin. Nek iki wangi ne enak. Iki sopo Mutik? Kok ora koe jawab pitakonku ket mau." ( dia tidak enak, baunya busuk. Kalau perempuan ini baunya enak . Dia siapa Mutik? Dari tadi tidak kau jawab pertanyaanku.)
" aku yo gak ngerti sopo, pokok e ojo koe pangan. Perintah gusti ratu, koe gendong wedokan iki, terus gowo ning pondokku. Eling, ojo koe pangan. Wani mangan siap- siap mati koe." ( Aku juga tidak tahu, jangan kamu makan, ini perintah gusti ratu, kamu gendong dia lalu antar ke pondokku. Ingat, jangan kamu makan. Kalau nekat siap-siap kamu mati."
Wuuuuushh..ular hitam bertanduk emas itu merubah wujudnya menjadi seorang pria tampan.
" Ngopo berubah dadi menungso, koe gowo wae pakek buntut mu." ( Ngapain berubah jadi manusia? Kamu bawa saja dia pakai ekormu!")
" Wedokan iki ayune pol Mutik, man eman ndak awakke mambu...!" (Perempuan ini cantik sekali Mutik, sayang nanti badannya bau.
" Heleeh, kakean lakon koe, wis gowo meng pondokku." ( Heleh, banyak gaya kamu,sudah cepat bawa dia kerumahku)
Sinar mentari pagi masuk kepondok yang bergaya kuno akan tetapi masih sangat kokoh. Cahayanya menembus jendela hingga membuat Sumirah yang sejak semalam pingsan terbangun.
" Sudah sadar nduk?"
Sumirah bangun perlahan dari dipan, kepalanya masih sedikit pusing. Dia mengarahkan pandangannya kepenjuru pondok.
" Minumlah..."
Mutik memberikan secangkir teh hangat untuk Sumirah, sementara yang diberi minuman menerimanya dengan tangan gemetar.
" Apakah aku sudah mati? Kenapa ada wanita yang sangat cantik dihadapanku? Apa dia bidadari?" Sumirah hanya membatin tanpa berani bertanya.
" Minumlah, setelah itu kau boleh menanyakan semua yang ingin kau tanyakan dan akan aku jawab"
Sumirah mengangguk lalu perlahan menyesap teh hangat yang sangat wangi tersebut hingga. Pandangannya perlahan kembali jelas, sakit kepalanya hilang. Tenaganya terisi kembali, Sumirah memeriksa seluruh tubuhnya, bersih tanpa ada sedikitpun luka. Padahal tubuhnya sangat kotor dan penuh luka. Ajaib batin Sumirah.
" Kalau boleh tahu anda siapa? Saya dimana? dan kenapa menolong saya?"
Mutik tersenyum, ternyata suara perempuan yang telah ditolongnya sangat halus, cocok dengan wajahnya yang ayu.
" Sebelum saya jawab pertanyaanmu, saya ingin tahu siapa namamu dan kenapa kamu bisa sampai di rawa ireng."
Sumirah bergetar, dia teringat dengan ular putih yang sangat besar itu. Keringat dingin membasahi tubuhnya.
Mutik menggenggam perlahan tangan Sumirah.
" Tenanglah cah ayu, ceritakanlah perlahan."
Entah kenapa tiba-tiba Sumirah merasa tenang setelah tangannya disentuh oleh Mutik.
" Nama saya Sumirah nyai,..hiks...hikss... Saya tidak sengaja sampai ke rawa ireng saat dikejar-kejar orang yang mau menodai saya"
Sumirah pun menceritakan semua peristiwa yang dia alami sebelum dirinya sampai dirawa ireng. Sesekali air mata membasahi wajahnya. Mutik yang mendengarkan cerita Sumirah manggut-manggut sambil sesekali mengepalkan tangannya dengan kuat, nyai Mutik tidak menyela sedikitpun perkataan Sumirah. Dia biarkan Sumirah menceritakan semua himpitan dihatinya hingga selesai.
"Sudah selesai ceritanya?"
Sumirah mengangguk sambil mengusap air mata dengan punggung tangannya.
" Kamu tau Sumirah, lelaki yang mengejarmu sudah mati di rawa ireng, dia mati karena hatinya busuk."
" Bos Jarwo...!"
Sumirah bergumam pelan, tak menyangka antek Menir yang terkenal bengis itu mati mengenaskan di rawa ireng.
" dan namaku Mutik Sumirah, orang-orang memanggilku nyai Mutik"
"Nnyyyyaaaai Mmmmuuitiiiiik..."
Nyai Mutik terkekeh melihat ekspresi Sumirah.
Sementara itu Sumirah tidak tahu harus takut atau bahagia bertemu dengan nyai Mutik.
Ternyata perempuan cantik yang telah merawatnya adalah perempuan yang sangat dihormati di seluruh pelosok pulau jawa. Bahkan para Menir Belanda pun segan terhadapnya.
Konon nyai Mutik sudah berusia 200 tahun, tapi wajahnya masih sangat cantik seperti gadis perawan. Tubuhnya juga sangat terawat dan indah, Gendis wanita penggoda itu tidak ada apa-apanya.
Alasan lain kenapa nyai Mutik sangat disegani karena ilmu kebathinan yang luar biasa, banyak rumor yang mengatakan tak ada penyakit yang tidak bisa disembuhkan oleh nyai Mutik. Hal itu dapat dilihat dari wajah nyai Mutik yang tak ada tanda-tanda penuaan sedikitpun.
Bagi Sumirah kemapuan nyai bukanlah rumor, dia telah membuktikannya sendiri, luka ditubuhnya hilang tak berbekas dalam semalam.
Hati kecil Sumirah tercubit, dia tiba-tiba teringat dengan hinaan yang dia terima dari Permana suaminya, lebih tepatnya mantan suaminya karena dia telah dicerai.
Dia ingin membalas dendam semua perlakuan yang diterima dirinya. Perlahan api dendam membakar hatinya.
Nyai Mutik tersenyum, aura Sumirah memudar dan perlahan tertutup kabut hitam.
" Nyaiii, maaf saya lancang, bolehkah saya..."
Sumirah ragu, tapi dia harus jujur mengatakan keinginannya. Menurutnya kesempatan ini tidak datang dua kali.
Sementara nyai Mutik tersenyum menunggu Sumirah melanjutkan perkataannya.
"Jadikan saya muridmu nyai.....!
######
SUSUK TERATAI PUTIH
BAB.4
UWAN SETUNGGAL
" Jadikan saya muridmu nyai...!"
Nyai Mutik tersenyum miris, sambil menggeleng-gelengkan kepalanya perlahan, sementara itu Sumirah menunduk takut bila nyai Mutik marah kepadanya.
" Apa tujuanmu nduk sehingga ingin menjadi seperti ku?"
Sumirah mengangkat wajahnya, bola matanya beradu dengan bola mata milik nyai Mutik. Sumirah kaget karena tiba-tiba bola mata nyai Mutik berubah seperti mata seekor ular, bukan bola mata manusia normal. Tubuhnya kaku, matanya seolah terkunci dan dipaksa menatap bola mata milik nyai Mutik.
" Jika menatap mataku saja kau ketakutan, apa mungkin kau bisa menjadi seperti ku Sumirah?"
Perlahan bola mata nyai Mutik kembali seperti semula, sedangkan tubuh Sumirah terjatuh perlahan dari kursi yang dia duduki. Tubuhnya penuh keringat dan bergetar hebat, nafasnya cepat. Dadanya terasa sesak, bahkan dia sampai harus bernafas menggunakan mulutnya.
Perlahan nyai Mutik mendekati tubuh Sumirah yang lemas, dan memegang jemarinya yang dingin.
Nyai Mutik memejamkan kedua matanya, perlahan hawa hangat mengalir dari tangannya dan berpindah ke tubuh milik Sumirah. Sumirah mengangkat wajahnya yang sedikit pucat. Nyai Mutik tersenyum, perlahan didudukan tubuh Sumirah diatas dipan.
" Kamu tahu nduk, segala sesuatu yang kamu inginkan pastinya ada yang harus dikorbankan. Semakin besar hal yang kamu inginkan pastinya yang harus dikorbankan juga sama bahkan lebih besar lagi. Jika kau ingin mutiara maka kamu harus ke dasar lautan. Jika kamu ingin emas maka kamu harus menggali gunung. Apa kamu paham perkataan ku Sumirah?"
Sumirah mengangguk perlahan.
Pulanglah kamu ke rumahmu, mantapkan dulu niatmu, apa tujuanmu, lalu jika kamu sudah benar-benar yakin, kamu kembalilah kemari.
" Sebenarnya ada yang ingin saya tanyakan lagi nyai, kenapa saya tidak bisa melawan keinginan Permana nyai? Padahal saya sangat ingin membunuhnya."
" Kamu terkena guna-guna Sumirah, selamanya kau tidak akan bisa lepas dari mantan suamimu. Setelah bercerai kau akan selalu menjanda. Seluruh orang yang ada didekatmu akan meninggal.Tak akan ada yang bisa menikahi mu, walaupun si pria sangat mencintaimu. Kau tidak akan menikah dan tidak akan bisa mempunyai keturunan. Kau terkena guna-guna UWAN SETUNGGAL Sumirah. Itu dapat dibuktikan dari adanya uban yang hanya ada satu tepat di uyeng-uyeng kepalamu. Uban itu tidak bisa dicabut oleh sembarang orang kecuali si penanam guna-guna atau orang yang ilmunya lebih tinggi Sumirah."
" Tolong lepaskan pengaruh guna-guna itu nyai, saya mohon."
" Saya tidak boleh ikut campur dengan apa yang terjadi padamu Sumirah, itu sudah takdirmu. Kamu jalani semuanya dulu. Nanti ada masanya kamu akan bertemu dengan jalan bercabang yang akan mengubah takdirmu. Lebih baik sekarang kamu pulang ke rumahmu Sumirah!"
" Saya harus pulang kemana nyai? Saya sudah diusir? Hiks. Hiks..."
Sumirah menangis bingung, kemana dirinya akan pulang setelah dia diusir dri rumahnya sendiri.
" Bukankah kamu masih ada uwakmu? Pulanglah kerumah uwakmu Sumirah, tak baik kau berlama-lama disini tanpa ada penjanjian dengan kanjeng ratu kami. Bukan aku mengusirmu Sumirah, akan tetapi aroma tubuhmu sangat wangi dan menggoda para lelembut. Nyawamu bisa terancam jika terlalu lama disini"
" Bagaimana cara saya pulang nyai?"
Sumirah memahami situasinya, lebih baik dirinya menuruti perintah nyai Mutik daripada celaka.
" Mendekatlah kemari Sumirah.."
Sumirah mendekatkan tubuhnya kearah nyai Mutik.
" Pejamkan matamu"
Sumirah menuruti perintah nyai Mutik, lalu tiba tiba tengkuknya terasa dingin, kepalanya berat dan akhirnya Sumirah pingsan.
Sssssst.....sssst....sssst...
Ular hitam bertanduk emas kemarin kembali datang menemui nyai Mutik. Kini dirinya tak banyak bertanya, dirinya hanya diam menunggu perintah dari nyai Mutik untuk dirinya.
" Gowo wedokan iki bali umah uwak e, ojo ngasi kemenungsan." ( Antar perempuan ini kembali kerumah uwaknya, jangan sampai ketahuan oleh manusia yang lain")
Wusssh....
Sang ular kembali berubah menjadi lelaki tampan. Dia pun membopong tubuh Sumirah dan perlahan menghilang bersamaan dengan datangnya kabut. Nyai Mutik menggelengkan kepalanya.
" Sumirah sangat berbakat, tapi aku tak bisa memaksakan takdir, jika Sumirah memang berjodoh dengan kanjeng ratu, dia pasti akan kembali lagi kesini"
Sementara itu, ke esokkan harinya Sumirah sudah berada dirumah uwaknya, dirinya terkejut karena tebangun didipan. Seingatnya dirinya berada di rawa ireng.
" Kamu sudah sadar nduk? Kamu pingsan selama 2 hari 2 malam nduk, warga menemukanmu dipinggiran sungai."
Seorang wanita tua agak bungkuk dengan penutup kepala menghampiri keponakannya, Sumirah. Wanita itu adalah nyai Aminah, kakak perempuan dari rama Sumirah, yang sering dipanggil uwak oleh Sumirah.
" Sungai uwak? Bukannya saya ada di rawa ireng uwak?"
Nyai Aminah terkejut dengan pernyataan Sumirah.
" Astagfirullah Sumirah, kamu harus menjahui tempat itu, jangan kau sebut namanya, kamu paham Sumirah?"
Sumirah menganggukkan kepalanya, tangan nyai Aminah mengelus perlahan pucuk kepala milik Sumirah.
" Uwak sudah mendengar semuanya nduk, kamu yang sabar ya, tetap dekat dengan sang pencipta. Uwak yakin setiap musibah pasti ada hikmahnya nduk."
Air maya nyai Aminah menetes meratapi nasib keponakan yang sudah dia anggap seperti darah dagingnya sendiri. Dia tidak menyangka Permana begitu kejam. Dulu nyai Aminah sangat menentang perjodohan Sumirah dengan Permana, ternyata firasatnya terbukti benar. Permana bukan lelaki yang baik.
Seminggu berlalu, dan selama itu pula Sumirah tinggal bersama uwaknya, hingga pada malam ke-8 saat Sumirah dan nyai Aminah tertidur, seseorang membakar rumah nyai Aminah, Sumirah dan uwaknya terjebak didalam rumah yang tengah dilalap si jago merah.
Dari balik pohon tampak seseorang menyeringai puas, dia adalah Permana.
" Mati koe...Sumirah..!!" ( Mati kamu, Sumirah..!")
######
SUSUK TERATAI PUTIH
BAB.5
ALASAN
Tung..tung..tung...
"Kebakaraaaaaan....!!!!"
Tung..tung...tung...tung
" Kebarakaraaan...!"
Suara kentongan dari bambu terus berbunyi ditengah malam buta, suara riuh warga berlari pontang panting mengambil air dengan ember untuk memadamkan api, tapi sia-sia kobaran api masih berdiri dengan gagahnya, panasnya siap memanggang manusia-manusia yang berani mendekati dirinya.
" Sumirah dan nyai Aminah masih didalam, bagaimana ini."
Bapak kepala desa bingung, warga panik dan Permana tertawa-tawa lalu pulang, Gendis telah menunggu dirumahnya.
" Pie kangmas? Wis mbok bakar si Sumirah? Ben kae mati terus aku paling ayu sak ndeso kangmas." ( Bagaimana mas? Sudah kamu bakar si Sumirah, biar dia mati lalu aku jadi wanita tercantik didesa mas.)
Permana mengelus rambut ikal panjang milik Gendis yang selalu beraromakan melati itu.
" Uwis, tenang wae, Sumirah mesti mati nyusul ramane ning neroko" ( Sudah, tenang saja, Sumirah pasti mati, dan bertemu ayahnya dineraka")
Gendis tersenyum puas, sejak kecil dia memang sangat membenci Sumirah yang anak orang kaya dan sudah sangat cantik walau masih belia. Iri dan dengki hati Gendis sudah tertanam sejak pertama kali Gendis bertemu dengan Sumirah sewaktu kecil.
Waktu Gendis berusia 6 tahun, dirinya diajak sang bapak untuk bertemu dengan jurangannya, juragan Kuncoro yang terkenal kaya dan dermawan untuk mengambil upah karena sudah selesai memanen hasil sawah milik juragan. Saat itulah Gendis melihat Sumirah yang tengah memakan buah anggur, tahun 1821 buah anggur adalah buah yang sangat mahal, hanya bisa dimakan oleh para nonik Belanda dan juragan pribumi yang kaya. Gendis kecil yang kumal menatap dari atas sampai bawah bawah penampilan Sumirah yang cantik, bersih dengan pakaian ala anak-anak Belanda. Gendis mengepalkan tangannya lalu berbalik menatap dirinya sendiri yang hanya memakai pakaian warga pribumi yang kumal.
Semenjak itulah Gendis iri, dengki. Kenapa dirinya tidak menjadi anak juragan, kenapa bapaknya harus miskin?
Gendis dan bapaknya pulang setelah mendapatkan haknya, sekaligus Gendis diberikan bungkusan plastik besar yang entah apa isinya.
Gendis membuka bungkusan sesampainya dirumah. Ternyata isinya buah anggur dan pakaian yang mirip dipakai oleh Sumirah.
Bapak Gendis sangat bahagia.
" Pakailah Gendis, pasti kamu sangat cantik pakai pakaian ini."
Ibu Gendis memakaikan baju pemberian dari juragan Kuncoro ketubuh anak perempuannya.
Tetapi Gendis menolak lalu menginjak-injak pakaian tersebut.
" Aku ora doyan nganggo klambi bekas e Sumirah biyung, tumbas ke sing anyar!" ( Aku tidak sudi pakai pakaian bekas dari Sumirah ibu, belikan aku pakaian yang baru..!")
" Iki anyar nduk, udu bekas. Isih wangi plastik!" ( Ini baru nduk, bukan bekas, masih bau plastik)
" Pokok e aku emoh biyung..!"
Gendis mendorong biyungnya hingga terjengkang.
Plak.....
Sang Bapak menampar pipi Gendis, biyungnya hanya diam tak menolong karena paham kalau suaminya marah dengan kelakuan Gendis yang kelewatan.
" Rak usah dinggo klambine, ngko tak weh ke Sulastri wae adikmu, koe rak usah klambenan." ( Tidak usah dipakai bajunya, nanti dikasihkan Sulastri saja adikmu, kamu tidak usah pakai baju sekalian.)
Gendis kecil memegang pipinya lalu menatap sang bapak dengan tatapan menantang.
" Kenopo bapak kere? Kenopo biyung kere, sesuk nek aku wis gedhe, ra sudi dadi wong kere koyo sampeyan, ora sudiii.!" ( Kenapa bapak miskin? Kenapa ibu juga miskin? Besok kalau saya sudah besar, tidak sudi jadi orang miskin seperti kamu, aku tidak sudi...!"
Gendis berteriak-teriak sambil menunjuk-nunjuk muka bapaknya. Setelahnya dia melangkahkan kaki kecilnya untuk masuk kekamar dan merebahkan badannya didipan yang beralaskan karpet dari anyaman daun pandan. Gendis kecil menangis sambil mengepalkan tangannya dan bersumpah akan menjadi kaya dan cantik seperti Sumirah.
" Hey, kok nglamun? ayo kita tidur, sudah malam. Besok kita akan mendengar berita kematian Sumirah."
Perkataan Permana membuyarkan lamunan Gendis, lalu dirinya memeluk erat tubuh perempuan yang hanya berbalut kain jarik itu, bilang ingin istirahat, tapi nyatanya Permana kembali merasakan nikmat dunia bersama Gendis, bagi Permana tubuh milik Gendis selalu menantang kegagahan dirinya.
Sementara itu Sumirah yang merasa kepanasan terbangun dari tidurnya, dirinya kaget karena api sudah mengelilingi dirinya, nyai Aminah yang terbangun juga tidak kalah kagetnya.
" Astagfirullah, kebakaran nduk, ayo kita keluar."
Braaak...kretek..kreteek.. Bruug...
Satu persatu kayu penyangga atap jatuh terbakar, Sumirah dan nyai Aminah berusah keras melarikan diri.
" Aaaaaaah...."
Salah satu kayu yang terbakar menimpa tubuh nyai Aminah, Sumirah berusaha menolong, tetapi kayunya terlalu kuat bahkan wajah milik Sumirah sudah terluka. Nyai Aminah meringis menahan panas dan sakit ditubuhnya.
Nyai Aminah komat-kamit sambil menutup matanya, tiba-tiba langit mendung dan turun hujan dengan derasnya.
Warga terkejut tapi senang secara bersamaan, api yang membakar rumah nyai Aminah telah padam.
Warga segera menolong Sumirah dan nyai Aminah.
" Mendekatlah nduk.."
Nyai Aminah mungulurkan tangannya hendak memegang tangan Sumirah.
" Bersabarlah nduk, jangan dendam dan jangan berpaling dari Tuhan."
Nyai Aminah meninggal saat itu juga setelah mengucap kata terakhirnya, lukanya sangat parah. Tubuh tuanya tak mampu menahan lagi rasa sakit.
" Uwaaaaak,..aku kudu urip kalih sopo melih uwak,...." ( Uwaak.saya harus hidup dengan siapa lagi?")
Sumirah menangis tersedu-sedu. Pikirannya terlalu sakit untuk mampu berfikir secara jernih. Dia kehilangan segalanya dalam waktu yang hampir bersamaan.
Di rawa ireng nyai mutik tengah berbincang dengan kanjeng ratu yang telah menjelma menjadi perempuan yang sangat cantik.
" Kenapa kanjeng ratu tidak menolong Sumirah?"
Nyai Mutik bertanya, karena setahu dirinya sang ratu sangat menyukai Sumirah. Tapi kenapa ratunya justru diam saja saat mengetahui keadaan Sumirah yang mengenaskan.
Sang ratu menatap hamparan danau yang airnya sangat jernih, danau itu ada rawa ireng, tapi berubah menjadi danau indah tatkala sang ratu merubah dirinya menjadi manusia.
" Karena masih ada Tuhan didalam hatinya, Mutik...!"
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
