
Bab 9 - Gratis
Selamat membaca ❤️
“Ran.” Hiro semringah melihat Ran datang menghampiri. Cowok itu sudah mulai kembali beraktivitas seperti biasa. Hanya saja, sejak Linlin memberi tahu alasan kenapa harus menjauh dari Ran, Hiro mengendurkan cara mendekati gadis itu.
Langkah kaki Ran berhenti di dekat meja di mana Hiro duduk. Kemudian, tangannya yang mungil merogoh saku dan menyodorkan lipatan uang ke meja. “Ini uangmu yang diambil kakakku pekan lalu. Maaf, baru bisa menggantinya."
Wajah yang awalnya bersinar kini meredup, senyum Hiro pudar seiring tatapan matanya pindah dari wajah turun ke uluran tangan Ran yang masih di atas meja. Hiro mendongak lagi, lalu berkata, “Aku nggak minta ganti, Ran. Lagi pula udah lupa sama itu.”
Lembaran uang tetap berada di atas meja, Ran tidak mungkin mengambilnya. “Minta atau enggak, aku tetap akan menggantinya. Sekalian minta maaf soal abangku.”
Hiro menggeleng, lalu mengambil uang itu dan menarik tangan Ran—bermaksud mengembalikan. Akan tetapi, gadis itu refleks menepis karena tidak suka dipegang-pegang oleh sembarang orang.
“Sorry.” Hiro menunduk sedih. Dia lalai dan baru ingat jika Ran selalu menolak ketika disentuh olehnya. Perihal alasan mengapa demikian, Hiro tidak bertanya.
Anggapan Hiro tentang perlakuan Ran tersebut karena mereka tidak saling kenal. Hiro pikir, bisa saja dengan cowok lain, Ran bersikap biasa seperti cewek pada umumnya.
Udara sejuk dari arah jendela kelas tiba-tiba menerpa ruangan, kedua wajah yang masih berhadapan ikut tersapu angin. Jilbab Ran berkibar pelan, sementara rambut Hiro ikut bergerak sesuai arah udara. Mereka sama-sama membisu beberapa detik, tetapi tidak berselang lama, Ran sadar lalu mundur.
“Ran.” Hiro segera meninggalkan meja. Dia sedikit berlari mengejar cewek yang dikagumi. Ran nyaris sampai di ambang pintu, tetapi langkah kakinya terhenti saat Hiro mengadang sambil merentangkan dua tangan.
“Kamu marah?” Sepupu Linlin itu bertanya dengan hati penasaran. Rasa takut dibenci seketika menggerogoti kepercayaan diri seorang Hiro Tarangga, padahal biasanya tidak.
Bukan rahasia lagi bagi para guru jika Hiro anak salah satu orang yang berpengaruh tentang pendanaan sekolah, tetapi hal itu sengaja dirahasiakan di kalangan siswa. Sebagian murid yang mengetahui itu, berbondong-bondong mendekati Hiro secara terang-terangan. Namun, Hiro tidak suka dengan hal itu.
Ketidakakuran antara dia dan sang ayah, membuat Hiro enggan bersosialisasi dengan kalangan luas. Circle pertemanannya sengaja dibatasi di lingkup kelas dan beberapa siswa dari kelas lain yang memiliki hobi sama. Padahal, jika Hiro mau, mudah untuknya bergabung dengan siapa pun.
Bibir Ran mengatup dan hanya dua mata bulatnya yang masih memandang Hiro. Tatapannya memberi isyarat bertanya kenapa tiba-tiba Hiro mengadan dan bertanya marah?
“Sorry, kalau kamu marah gara-gara aku nggak sengaja megang tadi. Tapi serius, aku lupa.” Hiro masih tetap waswas, rasa takut dibenci sangat kentara di wajahnya. Namun, seperti apa pun ekspresi Hiro, tidak ada yang ditunjukkan Ran untuk merespons. Gadis itu tetap diam seribu bahasa.
Tujuan Ran ke kelas Hiro hanya mengembalikan uang yang sempat diminta paksa oleh Iam, selebihnya tidak ada. Linlin juga belum datang. Jadi, tidak ada yang membuat dia menahan kaki untuk tetap tinggal.
Ran menggeser dirinya, lalu melangkah kembali. Hiro ikut memutar badan hanya untuk melepas kepergian Ran. Sikap tersebut terkesan sangat dramatis dan lebay di mata siswa yang ada di kelas.
“Huuuu ….” Sorakan itu langsung terdengar saat Ran benar-benar pergi dan tak terlihat lagi.
Hiro menoleh pada teman lain, lalu mengacak rambut sembari meniupkan udara dari bibir. Sorakan teman satu kelasnya makin menjadi mendapati tingkah Hiro. Secara tidak sengaja, pemuda itu menunjukkan ketertarikan pada Ran.
Beberapa siswa yang baru datang mendadak bingung—termasuk Linlin. Gadis tomboy itu memutar badan menghadap sepupunya. Dua mata hitam yang dimiliki menatap penuh pada Hiro.
“Nggak ada apa-apa.” Hiro menyanggah lebih dahulu sebelum dicerca banyak pertanyaan oleh sepupunya yang cerewet. Selepas Darris memarahi mereka, dua saudara itu kembali akur dan bersikap biasa. Hanya saja, Hiro masih setia dengan pendiriannya untuk mengejar Ran dan Linlin akan menjadi penghalang di tengah usaha.
Bel berbunyi membuyarkan candaan setiap siswa. Mereka menuju tempat duduk masing-masing sambil menunggu guru masuk kelas.
Suara alas kaki salah satu pengajar mengalihkan perhatian semua murid. Satu siswa berdiri untuk menyampaikan penghormatan.
“Pagi, Bu ….” Semua siswa ikut berdiri dan menyapa beliau secara serentak.
“Pagi. Kembali duduk dan kita mulai pelajaran hari ini.”
***
Ran tersadar dari lamunan ketika satu temannya menepuk lengan atas. Potongan-potongan hal yang sejak tadi menggelayuti pikiran, pudar dalam sekejap. Dia menoleh, temannya tersenyum tipis, lalu mengarahkan mata ke seseorang. Ternyata, Linlin sudah berdiri tidak jauh dari posisinya duduk.
Anak Firha itu mengangguk, lalu membiarkan temannya pergi. Linlin mendekat, duduk di salah satu bangku menghadap Ran.Tangannya menopang dagu sambil menatap lekat pada sahabatnya.
“Kenapa?” Ran bertanya karena merasa risih jika diperhatikan sedemikian. Meskipun sesama perempuan, Ran tidak suka mendapat perlakuan semacam itu.
Kelas mulai sepi tidak ada orang, jam istirahat sudah berjalan sekitar lima belas menit lalu. Linlin yang biasanya heboh ke kantin dan jarang ke kelas lain, tiba-tiba mendatangi sahabatnya. Hal itu, tentu saja membuat Ran paham jika ada sesuatu sampai mengundang kehadiran Linlin.
“Pagi tadi ketemu Hiro?” Dia bertanya langsung pada intinya.
Ran mengangguk, menutup buku catatan penjualan yang sempat diperiksa ulang.
“Ngapain?” Linlin bertanya lanjut. Gadis tomboy itu memastikan tidak ada yang terjadi antara Hiro dan Ran. Bahkan, sampai detik ini, dia enggan untuk mendukung permintaan Hiro dekat dengan sahabatnya.
“Enggak ada apa-apa. Cuma urusan dikit, balikin uang.”
Pupil mata Linlin membesar seiring selesainya pengakuan dari Ran. Dia merasa kecolongan lagi.
“Kalian ada masalah? Uang? Uang apa?” Anak Darris itu mendekat, dua tangannya tanpa sadar menarik buku yang tadi ditutup oleh sahabatnya.
Ran menarik bukunya agar tidak jadi sasaran salah tempat untuk Linlin. Gadis emosional itu harus diantisipasi pergerakannya.
“Nggak ada. Kemarin sempat terjadi hal kecil antara Hiro dan Bang Iam.” Lagi-lagi, kejujuran yang keluar dari mulut seorang Ran Auriga. Didikan Firha biasa menemani Ran melewati hari-harinya yang cukup sulit.
Nama Iam disebut oleh Ran, LinIin paham dengan semua tanpa dijelaskan. Sepupu Hiro itu sempat kaget saat tahu perubahan Iam yang sangat drastis. Namun, tidak ada yang bisa dilakukan olehnya.
“Kamu sama Ibu nggak pengin pindah aja, Ran? Tinggalin Bang Iam sendiri.” Usulan tidak masuk akal keluar dari mulut Linlin. Entah apa yang ada di kepalanya sampai bisa mengucap kalimat tanpa dipikir dulu.
“Lin, dia juga abangku.” Penolakan dari Ran terdengar seketika di telinga Linlin, membuatnya menghela napas.
Kipas angin ruang kelas meniupkan udara, rambut yang mengenai mata, Linlin selipkan ke belakang telinga. Dia lanjut berkata, “Ya, aku tahu. Tapi, kan, kalau dia gitu terus, kamu yang rugi.”
Ran menatap sendu pada sahabatnya. Cahaya dari kedua indra penglihatannya seketika lenyap dan tenggelam di tengah bayangan hitam. Hidupnya dan Firha terlalu banyak luka, entah bersumber dari Iam atau tetangga yang tidak menyukai mereka selama ini.
Iam dianggap meresahkan oleh orang sekitar, akhirnya penilaian buruk berimbas pula pada keluarga. Berulang kali Firha menasihati, tetapi hati lelaki 23 tahun itu sepertinya telah mati.
“Aku percaya Bang Iam akan berubah suatu saat nanti.”
“Ran, kamu tahu sendiri. Perlakuan Bang Iam dari dulu seperti apa.” Linlin tidak terima, merasa sangat lelah dengan pemikiran Ran yang terus memaafkan kakak seperti Iam.
Ran menarik napas kuat, mengembuskan pelan sambil menarik jilbab yang melorot. “Bukankah doa adalah senjata terampuh untuk setiap muslim, Lin? Aku akan mendoakan abangku sampai dia berubah ketika semua usaha terasa sudah percuma.”
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
