
Blurb
Dijodohkan oleh ibunya membuat Ashana kehilangan kebebasan. Dia yang dulu suka clubbing dan balap liar, tiba-tiba seperti dikurung dalam sangkar.
Amar, pria yang menjadi suaminya, pria yang tak pernah Ashana kenal selalu ikut campur dalam hidup sehingga menimbulkan rasa benci tiada kira. Ashana muak terhadap Amar dan selalu berusaha memberontak. Namun, makin melawan, Ashana makin kesulitan untuk lepas.
"Apa yang kamu harap dari wanita sepertiku, Amar? Apa? Aku sudah rusak dan penuh dosa."
"Kamu...
Bab 1
“Nah, ini dia pulang anaknya, San.”
Langkah seorang perempuan berkaus longgar dengan celana jeans sobek-sobek itu terhenti. Dia baru saja menutup pintu, tetapi sang ibunda sudah menyambut. Padahal, hari-hari biasanya saat masuk rumah, jarang ada orang.
“Ashana, sini, Nak.” Nina—ibu Ashana—beranjak dari sofa, lantas menarik putrinya untuk bergabung. Selain suami Nina, di sofa itu terdapat pula orang lain satu keluarga.
Meski bingung dan sebenarnya malas, Ashana tetap menurut. Dia urungkan langkah ke kamar hanya untuk memenuhi perintah ibunya. “Kenapa, Bun?” tanya gadis itu dengan kaki terangkat salah satu. Dua anting di masing-masing telinga ikut bergoyang kala badannya terempas ke sofa.
Sepasang suami istri, satu lelaki, dan satu gadis muda yang datang sebagai tamu sedikit terperanjat melihat sikap Ashana. Namun, mereka tidak ada hak berkomentar apalagi mencemooh.
“Shana, turunkan kakimu!” Ayah Ashana langsung menegur.
Teguran dari sang ayah justru dibalas decakan oleh Ashana. Gadis berambut pendek dengan potongan model undercut curtain itu menurunkan kaki setelah Nina menariknya lagi. Dia ganti posisi duduk melorot di sandaran sembari melipat dua tangan.
“Shana, sopan sedikit dengan tamu Bunda.” Kembali Nina protes. Ibu satu anak itu tidak habis pikir dengan kelakuan putri satu-satunya.
“Apaan, sih, Bun? Aku capek, kalau enggak ada yang penting, aku mau ke kamar.”
“Na!”
Ashana memutar diri mendengar teriakan dari arah lain. “Apa? Ayah mau memarahiku? Sudah basi, Yah!”
“Ashana Kirei!” Suara ayah Ashana meninggi seiring tangan terangkat.
“Pak Dirga, tenang.” Pria dewasa yang datang sebagai tamu sampai ikut berdiri kala melihat ayah Ashana nyaris memukul. Beliau mendudukkan kembali Dirga ke sofa sambil terus menenangkan. “Istighfar, Pak.”
“Bun, bicara pada anakmu.” Masih sedikit emosi, Dirga mengalihkan wewenang pada sang istri. Kepala pria itu hampir pecah setiap melihat kelakuan putrinya seperti bocah urakan.
Kondisi sempat tegang beberapa saat. Kemudian, Nina berkata pelan-pelan pada Ashana, “Na, tamu-tamu ini keluarga Tante Santi. Kamu ingat Tante Santi? Beliau sahabat Bunda di kampung halaman. Dia datang dengan suaminya, Pak Surya; putra pertamanya, Amar; dan anak bungsunya, Fina.”
“Terus?”
Respons Ashana benar-benar menguji kesabaran. Keluarga Santi yang sejak tadi jadi pemerhati sampai ikut menahan napas beberapa kali.
Nina turut menghela napas pelan agar tetap sabar. “Bunda ingin menjodohkanmu dengan Amar.”
“Apa?” Ashana langsung berdiri. Dia pandangi pria yang tadi disebut namanya, lalu kembali memandang Nina. “Bunda bercanda, ya? Aku enggak mau!”
“Na, tenang dulu.” Tangan Nina mengulur ke atas untuk menjangkau putrinya. “Duduk dulu, biar Bunda bicara padamu.”
“Enggak! Mau dirayu kayak apa pun, aku enggak mau!”
“Na, demi kebaikanmu. Bunda mohon.” Nina mulai mengiba. Dia lelah menghadapi pemberontakan Ashana yang makin menjadi setiap hari. Akhirnya, beliau berada di titik keputusasaan dan memilih meminta bantuan sahabatnya untuk memperbaiki sang anak.
Perjodohan yang diharapan Nina bukan sekadar karena Santi adalah sahabatnya, melainkan Nina ingin keluarga Santi membawa Ashana ke kampung halaman saat menjadi mantu. Dia sengaja menjauhkan putrinya dari pergaulan kota yang sudah merusak kepribadian. Ibu mana yang kuat melihat anak perempuannya mengubah penampilan seperti lelaki, ditambah suka keluyuran semalam penuh hingga pulang pagi. Habis sudah ide dari kepala Nina untuk meluluhkan Ashana. Beberapa pesantren didatangi, tetapi ada saja tingkah putrinya untuk kabur dan membuat kerusakan.
“Ya, Nak, ya?”
“Enggak!” Selepas berteriak, Ashana benar-benar pergi meninggalkan tempat. Dia lewati ayahnya dan semua tamu yang ada tanpa permisi.
Nina yang ditinggalkan kembali menghela napasnya pasrah. Sang suami yang ada di sebelah, segera memeluk untuk memberi ketenangan.
“Sabar, Bunda,” kata Dirga dengan nada pelan.
Santi dan suaminya saling pandang, sementara dua anak mereka tetap diam dan tidak ada hak mencampuri urusan orang tua.
“San, kamu masih mau menerima Shana, kan?” Nina bertanya setelah tenang. Badannya yang sempat bergetar, kini mulai bergerak wajar.
“Eum, gimana, ya, Nin?” Keraguan terdengar jelas di setiap kata yang dilontarkan Santi. Ibu dua anak itu sampai meremass tangan sang suami yang ada di samping.
“Aku mohon, San. Kamu mungkin harapanku satu-satunya.”
Santi tak lekas menjawab. Pernikahan bukan asal sembarang ada pasangan, tetapi wanita itu perlu berpikir untuk mempertimbangkan bagaimana seseorang akan masuk dan menjadi anggota keluarganya sebagai menantu. Ashana memang cantik andai berdandan layaknya perempuan, tetapi karena penampilan dan sikap gadis itu berbanding terbalik, tentu saja menjadi pertimbangan berat.
“Jujur aku bingung, Nin. Masalah ini, serahkan pada bapaknya anak-anak saja.”
Ucapan Santi membuat Nina dan Dirga beralih pandang pada pria yang duduk di sofa paling ujung. Keduanya menunggu keputusan dari kepala keluarga.
“Bagaimana, Pak Surya?” Dirga mengambil alih pembicaraan.
Sempat terjadi jeda untuk memberi jawaban karena Surya memikirkan semua kekhawatiran istrinya. Bagaimana pun kondisi keluarga, dia tidak akan mengorbankan perkara kebahagiaan anak apalagi urusan akhirat.
“Bu Nina, Pak Dirga, begini, ya ….” Surya menjeda perkataan kembali. Dia susun baik-baik semua kosakata yang tepat sebelum dikeluarkan. “Keluarga kami punya prinsip untuk berusaha terus memperbaiki diri di jalan Allah. Itu artinya, kalau Pak Dirga dan Bu Nina mau menikahkan Shana dan putra kami, dia harus siap dengan aturan keluarga. Kami memang bukan orang kaya, Pak, Bu, tapi untuk urusan ini tidak bisa ditawar lagi.”
“Kami tahu, Pak Surya, makanya kami sengaja meminta bantuan kalau Amar jadi suaminya bisa membawa perubahan baik untuk Shana. Sudah banyak pesantren dan guru ngaji didatangkan, tetapi ada saja tingkah yang Shana perbuat sampai membuat kami malu. Kalau dia jadi mantu Pak Surya dan Bu Santi, biarkan dia ikut ke kampung dan lepas dari kehidupan kota ini.”
Terjadi jeda kembali sebelum menjawab. Surya dan Santi saling memandang, lalu mengalihkan pada putra sulungnya yang sejak tadi diam.
“Amar.”
Pria 25 tahun itu menoleh. “Iya, Bu.”
Santi menggeser duduknya sedikit. Dia mengusap lengan putranya, sementara Dirga dan Nina turut cemas melihat interaksi ibu dan anak yang ada di depan mata.
“Ibu serahkan padamu. Kamu sudah lihat anak Tante Nina yang tiga bulan lalu dibicarakan.”
Tatapan teduh sang ibunda sedikit memberi ketenangan batin bagi Amar yang sejak tadi tegang. Pria dengan kemeja abu-abu muda itu memutar badan sedikit untuk menghadap Dirga dan Nina. Dia mulai menggerakkan bibir untuk bicara, “Om, Tante, aku perlu istikarah dulu.”
Meski jawaban Amar tidak sepenuhnya menyetujui, tetapi ada sedikit kelegaan dan harapan bagi Nina. Ibunda Ashana itu mengulas senyum. “Tante harap jawaban doamu adalah Shana.”
Amar tidak menjawab lagi. Dia hanya mengulas senyuman tipis.
Sementara itu, Ashana menggertakkan gigi saat melihat keputusan yang disepakati. Ternyata, dia yang bilang pergi ke kamar, justru mengintip dari balik dinding pembatas ruang tamu dan ruang makan. Tangannya beberapa kali memukul tembok karena tidak terima dengan apa yang didengar. “Enggak mungkin. Aku enggak mungkin nikah.”
___
Bab 2
Pertemuan dua keluarga yang kemarin malam disaksikan Ashana tidak lekas hilang dari ingatan. Gadis tomboy dengan dua tindik di setiap telinga itu sampai-sampai tak bisa tidur. Merayu sang ibunda sudah dilakukan oleh Ashana, tetapi alih-alih permintaan terkabul, yang ada justru nasihat panjang lebar dari Nina.
Ashana menggulingkan badan ke tempat tidur. Kamar didominasi cat biru dan putih itu terasa tak nyaman lagi baginya. Ingin rasanya kabur dari rumah, tetapi Ashana masih sadar status sebagai anak. Meski malas berhadapan dengan Dirga, perempuan 21 tahun itu begitu menyayangi sang ibunda.
Ponsel di bantal sebelah bergetar, Ashana meraihnya dan membaca isi pesan yang masuk. Perempuan itu segera duduk, lalu beranjak meninggalkan kasur karena ingin pergi.
“Ke mana, Na?” Baru saja Ashana sampai di ruang tengah, Nina sudah menegur. Wanita yang biasanya menghabiskan waktu di toko bersama sang suami itu, kini tumben ada di rumah sampai memergoki putrinya.
“Manggung, Bun.” Ashana menjawab santai. Aktivitasnya sehari-hari memang tak luput dari nongkrong dan kumpul bersama teman satu geng di kafe atau kelab malam.
Nina menghela napas kala mendengar jawaban putrinya. Berapa kali beliau melarang Ashana untuk berhenti menjadi pemain band di kafe, tetapi tidak pernah digubris. “Bunda dan Ayah masih berharap sekali kamu mau kuliah, lho, Na. Berhenti main di kafe ke sana kemari.”
“Aku udah malas mikir.” Ashana menjawab tak acuh dan berlalu.
“Shana!”
Panggilan Nina tidak berarti. Putri tunggalnya terus berjalan menuju ruang depan dan bersiap pergi. Lagi-lagi perlakuan Ashana membuat Nina ingin segera mewujudkan keinginannya. “Bunda enggak akan berhenti memintamu menikah dengan Amar kalau begini terus.”
Motor sport hitam melaju membelah jalanan kota. Ashana mengemudi dengan pikiran setengah tertinggal di rumah. Kira-kira, apa solusi yang harus dia ambil untuk menghindari perintah ibunya tentang pernikahan? Dia tidak pernah berpikir tentang berumah tangga apalagi menikah dengan pria seperti Amar—lelaki yang tinggal di kampung dan terkesan sok alim menurut Ashana.
“Argh! Sudahlah.” Di tengah jalan, Ashana berteriak frustrasi. Keputusasaannya dilampiaskan dalam berkendara. Jalan raya dianggap seperti sirkuit balapan, Ashana terus memacu gas motornya sampai di titik tertinggi.
Hanya butuh waktu sepuluh menit bagi Ashana untuk sampai tujuan. Di salah satu kafe langganan nongkrong dan bermain band, sudah ada satu teman berpenampilan sama sepertinya tengah bernyanyi. Gadis tomboy berambut pirang itu melambaikan tangan kanan pada Ashana dari panggung kecil yang ditempati, lalu memberi isyarat agar Ashana mencari duduk.
“Kenapa mukamu kusut kayak gitu?”
Ashana menoleh pada temannya yang baru selesai bernyanyi. Dia terima sekaleng soda dari tangan gadis di depannya itu. “Pusing, Ndra, aku.”
Casandra, gadis tomboy yang ada di depan Ashana mengernyit. Dia meneguk minumnya sekali, lalu bertanya, “Pusing kenapa? Kurang duit?”
Ashana berdecak dapat penilaian demikian. “Ngaco, Ndra. Kapan aku pernah kekurangan duit?”
Casandra manggut-manggut. Benar juga yang dikatakan Ashana. Sahabatnya itu anak tunggal yang selalu dicukupi oleh dua orang tuanya perkara apa pun. Jangankan uang, meminta hal lain ibarat kata tinggal sebut pasti akan terkabul. Dirga dan Nina selalu memenuhi kemauan Ashana asal tidak di luar kendali. “Terus apa?” Kembali Casandra meminum soda dari kaleng sembari mendengarkan.
“Bunda nyuruh aku nikah.”
Sontak, Casandra tersedak. Sensasi soda yang keras terasa menusuk hidung hingga menyisa kondisi tak nyaman. Dia sampai memukul dada untuk menghalau batuk yang tak kunjung usai.
“Minum yang benar, Andra. Kayak bocah aja!” Ashana terpaksa berdiri dan membantu sahabatnya menepuk punggung perlahan. Meski mulut mengomel, nyatanya dia tetap peduli.
“Kamu yang harusnya ngomong yang benar!” Casandra mengomel balik. “Bercandamu keterlaluan, Ashana Kirei.”
Ashana melotot saat Casandra menyebut nama lengkap. Dia langsung menyudahi bantuan dan kembali duduk. “Siapa yang bercanda?” Satu tangan perempuan itu meraih sebatang rokok lalu membakar ujungnya. “Bunda serius minta aku nikah sama anak sahabatnya.”
Mata Casandra ikut melotot seperti hendak keluar. Dalam kondisi seperti ini, mungkin dia butuh dokter THT untuk memeriksakan telinga apa tidak salah dengar. Sejak kapan sahabatnya itu berpikiran untuk menjalin hubungan serius dengan lelaki. “Terus tanggapanmu gimana, Rei?”
Ashana mengangkat bahu. Mulutnya mengepulkan asap ke udara, lalu menatap lurus dengan tatapan gamang.
“Kabur aja dari rumah gimana? Dengan Lily.”
Saran dari Casandra langsung membuat Ashana menoleh. Dia melempar kaleng soda yang telah kosong. “Aku masih tahu diri dan sadar kalau Bunda orang tuaku. Lagi pula, Lily … sudahlah, jangan bahas yang lain dulu.”
Casandra meringis sambil mengacak rambut. Pernyataan Ashana tidak salah. Meski sahabatnya itu suka keluyuran, hobi dugem dan balap liar, tetapi tidak pernah lupa perkara ibunya. “Kalau kayak gini, aku enggak bisa kasih saran, deh, Rei.” Akhirnya, Casandra menyerah. Sekacau-kacaunya hidup yang dimiliki, tidak sekalipun dia memaksa Ashana berbuat hal buruk seperti dirinya apalagi menentang orang tua. Casandra masih percaya tentang hukum dan dosa menjadi anak durhaka.
“Lagi pula, Ndra, Bunda ngancam mau nabrakin diri di rel kereta kalau aku enggak nurut. Gimana coba solusinya?”
Makin tergagap Casandra mendengar cerita Ashana. Alasan Nina terkesan sangat konyol dan aneh baginya, tetapi siapa tahu hati seseorang? Saking syoknya, mulut Casandra sampai menganga lebar tanpa ada suara keluar. Andai dia yang ada di posisi Ashana, entah apa yang akan dilakukan. “Sorry, Rei. Swear, kalau urusan kayak gini aku enggak mau komentar. Takut kualat sama orang tua.”
Ashana menghela napas. Batang rokok yang ada di tangannya ditekan ke asbak agar padam. Dia memesan minuman soda kembali untuk mendinginkan pikirannya yang panas sejak kemarin.
___
Bab 3
“Mas!”
Panggilan Fina membuat Amar menoleh. Pria yang masih bersantai di depan rumah itu mengikuti gerakan adiknya mengambil duduk di sebelah. Dia mengerutkan dahi, lalu bertanya, “Nggak belajar kamu?”
“Sudah.”
Amar tak menjawab lagi. Dia kembali diam dan memandang lurus ke depan di mana ada jalan kampung yang tampak sepi. Tidak seperti di kota, kehidupan di desa jauh lebih menenangkan bagi pria yang dahulu pernah merantau itu.
“Mas Amar kenapa? Aku lihat dari kemarin sering sekali melamun. Mikirin ….”
“Apa?” Amar menyahut sebelum adiknya selesai bicara. Alisnya yang hitam menukik salah satu diikuti kerutan di dahi beberapa garis.
Melihat kakaknya menatap serius, Fina menyengir. “Mbak Shana.” Gadis itu tetap melanjutkan perkataan yang tertunda. Bukannya dia takut, tetapi masih bisa bersikap santai.
Nama perempuan yang ditawarkan untuk jadi istri disebut, Amar kembali mengalihkan perhatian. Lagi-lagi dia diam dan membuat Fina penasaran. Gadis SMA itu bertanya untuk kesekian kali, tetapi sikap Amar tetap sama, tidak memberi banyak respons.
“Kamu tahu, Dek, apa yang Mas pikirkan?”
“Tahu.” Fina menjawab penuh kepercayaan diri. “Pasti soal tawaran Tante Nina perkara Mbak Shana. Tapi Mas Amar ragu, kan, untuk menerimanya karena ….” Gadis itu menggantung ucapan karena merasa sudah terlalu cerewet. “Ya, Mas tahu sendirilah penampilan Mbak Shana kayak gitu.”
“Allah melarang kita berpenampilan seperti lawan jenis, Dek. Tapi kalau ingat omongan Tante Nina sampai mohon-mohon kayak kemarin ….” Tak jadi melanjutkan, Amar menghela napas. Dia tengah di ambang kebingungan. Pria 25 tahun itu tidak lupa jika ibunya dan Nina menjalin hubungan baik. Andai menolak, dia khawatir menoreh kekecewaan di hati orang tua Shana.
“Salah istikarah, deh, Mas. Aku sebagai adik enggak bisa ikut campur. Tapi kalau memang Mbak Shana jadi iparku, pasti aku temani dia untuk belajar.”
Amar menaruh perhatian kembali pada Fina. Satu tangannya mengusap kepala sang adik dan tersenyum tipis, lalu menarik cangkir kopi dari meja plastik yang ada di depan. “Doakan Mas juga, ya?”
Fina mengacungkan jempol sambil mengangguk. Dia coba pahami jalan pikiran kakaknya yang ada di posisi sekarang. Ingatan gadis 18 tahun itu ikut memutar ke belakang saat pertama kali bertemu Ashana, di mana tidak ada sikap feminin apalagi keanggunan seorang wanita menempel dalam diri Ashana. “Mbak Shana cantik, kok, Mas. Aku yakin ada alasan dia berpenampilan dan bersikap kayak gitu.”
***
Pergantian hari semakin membuat Nina cemas karena Santi di kampung halaman tidak kunjung memberi kabar. Sudah berulang kali dia hendak menelepon, tetapi dilarang Dirga karena takut mengganggu.
Usai makan malam, Nina mondar-mandir di depan televisi sambil memegangi ponsel. Wanita itu akhirnya menghubungi sahabatnya, tetapi belum juga mendapat respons. Beberapa pesan sudah dikirim sejak sore. Namun, tetap saja ponsel itu tidak menunjukkan ada tanda pemberitahuan masuk.
“Duduk, Bun.” Dirga menarik Nina. Pria sebagai kepala keluarga itu ikut pusing melihat sang istri berubah mirip setrika listrik yang tengah dipakai, maju mundur menggosok lantai. “Nanti juga ada kabar.”
Dapat perkataan demikian dari Dirga membuat Nina segera duduk. Wanita berjilbab biru itu menengok jam di ponsel yang kini menunjuk angka delapan. Dia menghela napas. “Bunda ingin segera tahu jawaban mereka, Yah.”
Tangan Dirga melingkari bahu, lalu menarik Nina ke pelukan. Dia beri usapan lembut ke kepala sang istri. “Berdoa saja. Lagi pula, Pak Surya kemarin bilang mau membicarakannya dulu.”
“Tapi ini sudah satu bulan lebih, Yah, sejak pertemuan kita dengan mereka.”
Ganti Dirga yang menghela napas. Entah berhasil atau tidak, pria itu berusaha tersenyum agar istrinya sedikit tenang. Dirga berkata, “Ayah tahu kalau Bunda berharap sekali pada Amar, tapi tunggu saja, Bun. Husnuzon pada Allah kalau mereka akan memberi jawaban nanti. Dan itu pasti yang terbaik.”
Tidak lagi menjawab, Nina memilih menyandarkan kepala ke bahu sang suami. Dia termenung sesaat sembari memikirkan kehidupan putrinya yang kini tak ada di rumah karena masih jam manggung di kafe.
Kondisi berganti sunyi lantaran sepasang suami istri itu tidak lagi membahas apa pun. Ketika Nina hendak membuka pembicaraan lagi, ponsel yang sejak tadi di genggaman itu bergetar. Dia bergegas mengecek bilah notifikasi yang menunjukkan pesan masuk. Nina membaca dengan serius. Saking seriusnya, dia tidak sadar dahinya mengerut begitu dalam.
“Alhamdulillah, Yah!” Senyum merekah di bibir Nina. Wanita itu memeluk lengan Dirga dengan erat sampai suaminya nyaris terhuyung.
“Kenapa, Bun?” tanya Dirga setelah berhasil menahan tubuh sang istri agar tidak terjerembap dan jatuh berdua.
Nina menjauhkan badan, lalu menyodorkan ponsel pada suaminya. “Ini, Yah. Dapat balasan dari Santi, katanya besok ke sini. Dia sekarang sudah di rumah adik iparnya, Pak Nurdi.”
“Adik iparnya yang tinggal di kota ini, Bun?”
“Iya, Yah.” Nina mengangguk antusias. Dia jeda sebentar obrolan bersama sang suami, lalu membalas pesan sahabatnya. Setelah itu, Nina kembali bicara serius pada Dirga.
Wanita beranak satu itu bicara banyak hal tentang rencananya menyambut keluarga Santi besok. Dia ingin memberi jamuan terbaik. Sementara itu, Dirga sebagai suami hanya bisa menyetujui kemauan istrinya.
“Bunda mau bawa Shana ke butik aja gimana, Yah? Biar anak itu punya baju yang pantas dipakai?”
“Terserah Bunda. Butuh uang tinggal ambil saja dari ATM. Tapi Bunda yakin Shana mau?”
“Biar Bunda yang bicara kalau soal itu, Yah.”
Belum selesai pembicaraan Dirga dan Nina, ternyata Ashana sudah datang. Gadis itu keheranan mendapati dua orang tuanya. Ashana hendak melintas begitu saja ke kamar, tetapi langkahnya terhenti oleh panggilan sang ibunda.
“Ya, Bun.” Malas atau tidak, Ashana tetap menjawab dan berhenti tidak jauh dari sofa.
Nina mendekat, lalu mengusap rambut putrinya yang acak-acakan. “Besok beli pakaian muslim dengan Bunda, ya?”
Mata Ashana melebar saat mendengar permintaan Nina. Bibirnya yang tetap kemerahan meski tanpa pewarna dan sering merokok itu hendak melayangkan protes.
Akan tetapi, Ashana kalah cepat karena ibunya sudah menyahut, “Amar besok kemari. Bunda enggak mau kamu berpenampilan seperti preman begini. Kamu harus sadar kalau kamu perempuan, Na!”
___
Bab 4
Kedatangan keluarga Surya beserta adik iparnya disambut baik oleh Nina dan Dirga. Dua orang tua Ashana itu menghidangkan banyak makanan dan jamuan lain. Santi sampai sungkan sendiri karena dirinya tidak terlalu banyak membawa buah tangan.
Dua keluarga duduk di ruang tamu setelah saling menjabat tangan dan berpelukan. Mereka mengobrol basa basi sebentar sebelum membahas masalah inti. Ashana diam di tengah-tengah orang tuanya. Perempuan itu ingin kabur, tetapi ingat ancaman sang ibunda. Tidak ada pilihan selain menurut.
Sementara itu, Amar duduk di samping Fina. Beberapa kali dia tersenyum setiap dapat pertanyaan dari Nina. Sebenarnya, Amar sedikit gugup untuk kunjungan malam ini.
“Jadi bagaimana, Pak Surya? Apa Amar sudah dapat jawaban?” Dirga memulai pembicaraan ke inti. Pria itu tentu tidak lupa harapan sang istri untuk memiliki Amar sebagai menantu. Dari kemarin Nina terus menyampaikan permintaan pada Dirga.
Surya menoleh pada istri dan putranya. Beliau mengulas senyum. “Amar sudah dapat jawaban, Pak. Tapi, apa pun itu jawabannya nanti, semoga tidak membuat Pak Dirga dan Bu Nina kecewa.”
Jawaban Surya sedikit membuat Nina waswas, tetapi sebisa mungkin ibu satu anak itu tetap berpikir positif.
“Tidak pa-pa, Pak Surya. Insyaallah kami siap.” Dirga menjawab dengan langgam tenang. Kemudian, tatapan matanya mengarah pada Amar.
Paham akan tatapan Dirga, Amar menarik napas lebih dahulu sebelum menjawab. “Bismillah, ya, Om dan Tante, aku akan terima Shana sebagai istriku. Asal dia mau.”
“Alhamdulillah.” Dirga dan Nina serempak mengucap syukur. Dua orang tua itu bagai menemukan oase di tengah gurun. Ada rasa lega setelah penantian satu bulan lamanya untuk menjodohkan sang putri.
Di sela kelegaan Dirga dan Nina, Ashana terdiam tanpa kata. Pikiran gadis itu kusut dan enggan terima, tetapi lagi-lagi dia berusaha menuruti ibunya.
“Dia pasti mau, kok.” Nina menjawab yakin. Ditariknya telapak tangan Ashana yang ada di samping paha. “Na, bersedia, kan, menikah dengan Nak Amar?”
Ashana mengangkat wajah. Dua mata indahnya menatap wajah Nina yang semringah. Senyum sang ibunda begitu menyejukkan meski Ashana sering menelan kekecewaan. “Bunda, please aku—”
“Kamu sayang sama Bunda, kan?”
Bibir Ashana terkatup mendengar pertanyaan lain dari Nina. Dia tahu ada maksud tersembunyi dari pertanyaan yang terlontar. Ashana menarik tangan, lalu menyender di sofa dan mengangguk.
Semua orang diam memperhatikan, tidak terkecuali adik Surya yang bernama Nurdi. Pria berkemeja kotak-kotak biru itu terus memperhatikan Ashana sedari awal, tetapi tidak bicara apa pun.
“Nah, Nak Amar, Pak Surya, ini Ashana sudah setuju.”
Semua orang tersenyum menanggapi. Setelah itu, pembahasan berlanjut mengenai rencana pernikahan. Orang tua Ashana sangat antusias, sementara Santi dan Surya menanggapi tak kalah baik. Dua wanita yang sejak dahulu bersahabat itu mudah sekali berbincang dan mengambil kesepakatan lantaran selera mereka banyak kesamaan.
Orang-orang serius membicarakan rencana pernikahan, tetapi Ashana justru melamun. Hati dan pikirannya tengah diamuk badai kegelisahan. Andai dia menikah, lalu bagaimana dengan Casandra dan Lily? Apa dia masih bisa leluasa menghubungi? Belum lagi, harapan Nina mengenai tempat tinggal dirinya yang harus ikut Amar setelah menikah. Memikirkan itu, Ashana makin muak.
Jam terus berputar, keluarga Amar akhirnya pamit setelah mendapat keputusan tanggal pernikahan yang akan dilaksanakan sebulan lagi. Masih ada waktu untuk persiapan resepsi dan pengurusan berkas. Sebenarnya, tidak ada maksud buru-buru, tetapi menurut dua keluarga itu tidak ada pula alasan penting untuk menunda.
“Kami pamit, ya, Nin.” Santi bicara pada sahabatnya yang mengantar sampai teras. Dua wanita itu berpelukan hangat layaknya saudara.
“Hati-hati. Kalau ada apa-apa langsung kabari.”
“Iya, kamu juga.”
Semua pamit bergantian. Santi dan Fina tidak lupa memeluk Ashana yang sejak tadi mengunci mulut.
“Jaga kesehatan, ya, Na.” Santi memberi nasihat. Dia usap rambut Ashana yang tersisir lebih rapi malam ini daripada pertemuan di bulan lalu.
Nina memang gagal merayu Ashana untuk memakai jilbab. Putri satu-satunya itu terus berontak dan sulit diatur. Alhasil, wanita itu kalah dan meminta Ashana memakai pakaian lebih sopan. Tidak lupa pula, Nina meminta Ashana melepas dua anting di tiap telinga dan hanya menyisakan satu, lalu gelang-gelang dan kalung rantai yang sering dipakai turut diamankan. Semua dilakukan Nina agar Ashana belajar menghargai tamu dan tidak bertindak sembarangan.
“Iya, Tan. Tante juga, ya.” Ashana menjawab sopan. Di balik penolakannya tentang pernikahan, gadis itu tetap menjaga rasa hormat pada Santi. Dia tidak membenci sahabat ibunya itu, mungkin hanya pada Amar semata.
Lepas pelukan dari Santi dan Fina, tatapan Ashana bertemu dengan Amar. Tidak sampai dua detik, dia langsung memalingkan wajah.
Keluarga Santi akhirnya pamit. Mobil Nurdi yang membawa rombongan mereka meninggalkan halaman rumah Nina.
Ashana segera masuk rumah dan berlari ke kamar meski beberapa kali dipanggil ibunya. Dia mencari-cari ponsel, lalu menekan nomor seseorang.
“Ndra, di mana kamu?” Ashana langsung bertanya kala panggilannya terangkat oleh si pemilik nomor. Dia berjalan ke arah lemari sembari mencari pakaian ganti.
“Di kafe. Kenapa, Rei?” Casandra menyahut santai. Cewek tomboy yang sedang nongkrong dengan Lily itu menekan puntung rokok ke asbak.
“Tunggu aku di situ. Aku jemput kamu, kita ke kelab biasanya.”
“Heh?” Casandra sedikit bingung, tiba-tiba sahabatnya mengajak ke hiburan malam. Sebenarnya, bukan hal baru bagi dirinya maupun Ashana, tetapi karena suara Ashana terdengar buru-buru membuatnya sedikit bingung. “Ini masih sore, Rei. Baru setengah sepuluh.”
“Bodo amatlah, tunggu aku di situ.”
“Hei, aku sama Lily di sini.”
Panggilan sudah dimatikan oleh Ashana lebih dahulu sebelum Casandra dapat jawaban. Alhasil, cewek itu hanya mengedikkan bahu dan menaruh ponsel ke meja.
“Kenapa?” Lily bertanya ingin tahu.
“Ini, Rei ngajak ke kelab jam segini.”
“Rei? Dia nelpon kamu? Kok, susah banget akhir-akhir ini aku hubungi. Malah nelepon kamu gitu sekarang?”
Protesan Lily membuat Casandra terdiam. Dia memutar ingatan jika Ashana hendak dijodohkan. Mungkinkah sahabatnya itu sengaja menghindari Lily?
“Bodo amat, deh, kalau dua orang ini nanti berantem waktu ketemu.” Batin Casandra sembari tersenyum hambar pada Lily. Dia tidak mau mengutarakan dugaannya daripada dapat pertanyaan macam-macam.
___
Bab 5
“Rei!”
Seruan itu membuat kaki Ashana berhenti. Dia pandangi gadis berambut panjang dengan hodie merah muda yang ada di meja bersama Casandra. Ashana ingin putar balik dan kembali ke parkiran, tetapi sudah telanjur dilihat Lily. Mau tidak mau, dia tetap melangkah maju.
“Rei, kamu sibuk, ya? Ke mana aja, sih? Dari kemarin kamu nggak bales pesanku, lho.” Lily mencerca dengan banyak pertanyaan setibanya Ashana di dekat kursi. Tangan gadis itu bergelayut di lengan Ashana. Dia sedang merajuk karena diabaikan.
Ashana menarik turun tangan Lily secara perlahan. Bibir cewek tomboy itu tidak lupa menampilkan senyum lebar agar Lily tidak lanjut merajuk. “Aku … ya, aku agak sibuk bantu Bunda di toko. Karyawannya ada yang libur agak lama soalnya.”
Lily mengerutkan kening. “Tumben banget kamu ke toko? Udah akur sama ayahmu?”
“Bunda yang minta.” Ashana menjawab sembari duduk di kursi dekat Casandra. Tatapan mata gadis itu seolah meminta penjelasan pada sahabatnya mengapa ada Lily di sini. Akan tetapi, Casandra tidak memberi tanggapan.
Lily ikut duduk dengan wajah masam. Sehingga, sikap itu membuat Ashana merasa bersalah.
“Maafin aku, ya,” kata Ashana. Satu tangan Lily diusap-usap dengan lembut disertai tatapan sendu.
Melihat permintaan maaf yang begitu tulus dari Ashana, perlahan-lahan Lily mengulas senyum. Dia mengangguk. “Mau minum apa? Biar aku yang ke kasir.”
“Enggak perlu. Kamu di sini aja.”
“Enggak pa-pa, Rei.” Lily memotong ucapan. “Aku pesankan kayak biasa, ya?” Belum sempat dijawab, gadis itu telah beranjak. Dia meninggalkan meja dan menuju kasir.
Selama Lily mengantre, Ashana langsung mengintrogasi Casandra. “Kamu kenapa nggak bilang ada dia?”
Casandra berdecak. Dia tarik sebatang rokok dari bungkusnya. “Aku udah bilang, kamu yang buru-buru matiin telepon tadi.”
Bibir Ashana tak lagi menyahut. Dia mengaku salah atas kecerobohannya.
“Emang bener, ya, kalau kamu nggak bisa dihubungi?”
“Bukan enggak bisa. Aku emang sengaja jarang-jarang bales pesan Lily. Telepon juga aku biarkan sampai nada deringnya mati. Kamu tahu sendiri, Ndra, kondisiku sekarang.”
“Kamu seriusan nikah?” Casandra bertanya kaget. Dia kira permintaan ibunda Ashana tidak jadi terlaksana karena sudah berganti bulan. Namun, ternyata salah.
“Ya, gimana? Bunda maksa aku terus. Baru aja itu keluarga sahabat Bunda ke rumah bicara pernikahan.”
“Hah?” Mulut Casandra menganga seperti gua. Dia sampai dapat tatapan tajam dari Ashana. “Sorry, sorry. Aku syok berat, Rei.”
“Biasa aja, kali.”
“Biasa gimana? Sejak kapan dirimu bisa terima lelaki? Udah bosen sama Lily?”
“Ndra ….” Ashana mendelik. Meski kafe berisik akan suara musik, tetapi kursi-kursi di sebelah mereka tidak kosong. “Bisa ngomong wajar nggak?”
“Iya, iya.” Soda di atas meja tertarik, Casandra meneguknya sebelum lanjut berbincang.
“Terus gimana Lily?” tanya Casandra lebih lanjut setelah menghabiskan sekaleng soda.
Ashana mengedikkan bahu. Wajahnya kusut penuh keputusasaan. Dia menyalakan rokok, lalu mengisap kuat-kuat. “Aku mau titip dia sama kamu.”
“Gila kamu. Mana bisa gitu. Lily udah bukan anak TK kali, Rei. Dia pasti curigalah kalau kamu terus menghindar.”
“Terus gimana?”
“Juju raja sama dia. Daripada bawa masalah ke depannya.”
“Nggak ah. Aku belum siap lihat dia sedih.”
“Dih. Cinta emang kadang bikin manusia takut jadi pemberani atau sebaliknya. Dari pinter jadi bodoh juga ada.” Casandra mengomel lelah. Percuma dia memberi solusi pada Ashana dari Z ke A, tetapi tidak ada yang dipakai.
***
“Kamu siap, Nak?” Santi mendekat kea rah Amar. Putra pertamanya itu terlihat gelisah selama di perjalanan.
Hari ini setelah minggu berganti bulan, tiba waktu bagi Amar mengucap akad di depan keluarga Ashana. Sebulan penuh dia berusaha meyakinkan diri dan memantapkan niat bahwa menikah semata-mata karena ibadah.
Amar menarik napas sebentar. “Insyaallah, Bu. Minta restunya.”
Lengan Amar terusap pelan. Santi mengulas senyum dan menyeka ujung matanya. Bagaimanapun, hati seorang ibu sedikit kehilangan kala putra yang selalu dianggap anak kecil telah tumbuh dewasa dan tiba waktunya mempersunting perempuan lain. “Doa Ibu selalu buat kamu dan Fina. Ayo, masuk.”
Rombongan keluarga Santi disambut baik oleh keluarga Nina dan para tetangga yang hadir. Mereka dipersilakan duduk di meja kecil yang telah disiapkan untuk acara.
Amar berusaha tetap tenang meski hatinya bergemuruh. Beberapa kali usapan di punggung dan lengan diterima pria 25 tahun itu.
Jarum jam tepat di angka enam, penghulu datang bersama satu orang lagi. Beliau segera duduk dan menanyakan data diri Amar dan Ashana sebelum ke hal ini.
“Mari, Pak Dirga dan Mas Amar jabat tangan biar kita bisa segera menyelesaikan akad ini. Istigfar dulu lalu dilanjutkan ijab qobul.”
Sesuai arahan penghulu yang mendampingi, semua orang beristigfar lirih. kemudian, Dirga mulai mengucap ijab dan diterima oleh Amar.
Kalimat tahmid terucap dari para tamu dan keluarga yang hadir kala saksi mengucap kata sah. Dalam satu tarikan napas, Amar lancar mengucap akad. Beberapa keluarga langsung memeluk haru.
“Alhamdulillah, Mas Amar sudah sah jadi suami. Sudah bisa tenang, ya?” Penghulu itu mencoba bercanda sedikit agar situasi tidak terlalu tegang.
Amar tersenyum tipis. Dia memang tidak banyak bicara dan lebih senang menjadi pendengar. Namun, karena pekerjaannya berdagang, memaksa pria itu untuk tetap bisa menyesuaikan diri.
“Akadnya sudah sah. Tolong, bisa bawa mempelai perempuannya ke sini, Pak atau Bu? Biar didoakan dan saya perlu tanda tangannya juga.” Penghulu berkata lagi.
Orang-orang di sekitar saling menoleh, terutama Dirga menengok ke belakang pada istrinya. Tanpa kode atau apa pun lagi, Nina bergegas bangkit dan meninggalkan tempat.
Kamar terdekat yang biasa kosong dan hanya dipakai untuk menerima tamu menjadi tujuan Nina. Wanita itu sengaja meminta putrinya dihias di tempat tersebut agar lebih mudah daripada di kamar Ashana yang ada di atas.
“Na.” Nina memanggil seiring tangan mendorong pintu. Ketika pintu terbuka, mata wanita bergamis putih tulang itu membelalak.
Tbc___
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
