MENYESAL USAI TALAK BAB 6 dan 7

1
0
Deskripsi

Kenapa akhir-akhir ini perkataan ustadz Rahman seperti teka-teki bagiku. Sebenarnya apa maksud dari perkataannya?

Bukan karena aku tidak faham, aku faham bahkan sangat faham. Tapi maksud sebenarnya dari ucapannya itu apa?

Langsung saja aku membereskan kitab dan pergi ke kamar yang telah di persiapkan untuk kami.

"Assalamu'alaikum."

"Wa'alaikumussalam, Mas," jawab Janah yang datang dari arah berlawanan denganku.

"Kamu dari kebun pondok?" tanyaku padanya.

"I-iya, Mas," jawabnya terbata-bata.

"Kamu kan sedang ditanya Mas, Janah. Bukan lelaki yang bukan mahram. Kenapa harus gugup?" tanyaku kesal.

Kenapa sifat kita menikah, sikap Janah sangat berbeda. Bukankah harusnya menjadi lebih baik?

Sinta saja sangat baik, kenapa janah berbeda?

”Maaf, Mas. Iya tadi aku bersama santriwati dari kebun untuk mengambil sayuran,"

"Apa yang ada di tanganmu, Janah?"

"I-ini Mas, dari salah satu santriwati, katanya 'anggap saja sebagai kado pernikahan," jawabnya kikuk.

"Oh, dari santriwati. Ya udah, 'gak usah gugup begitu juga. Yuk masuk.

Dia pun mengekor di belakangku.

”Janah, Mas lapar,"

"Ya sudah, nanti aku minta santriwati, ya, Mas,"

"Mas mau Janah yang masak. Dari semenjak kita datang kesini kan, makan masakan santri," pintaku yang membuatnya langsung terdiam.

Lama kumenunggu jawabannya, sampai akhirnya dia bicara.

"Ba-baiklah mas, aku masakkan. Sebentar," dia langsung menaruh baju yang sedari tadi di pegangnya kedalam lemari dan menguncinya.

Kini aku yang di buatnya terdiam. Kenapa sampai harus langsung dikunci kalau tidak ada yang disembunyikan? Bukankah awalnya juga memang tidak dikunci, karena ada beberapa kitabku juga yang simpan di lemarinya.

"Mau makan apa, Mas?" tanyanya membuyarkan lamunanku.

"Terserah di dapurnya ada apa, masaklah itu selagi menyehatkan."

Tanpa menunggu aku bicara lagi, Janah berjalan keluar kamar dan berbelok ke arah dapur.

Kuhembuskan nafas panjang dan pikiranku menerka jauh.

Apakah aku telah su'udzon? Astagfirullah.

Tapi aku suaminya. Aku berhak tahu seperti apa pasangan hidupku.

Kudekati dan kutatap lama lemarinya itu.

'Baju apa yang tadi kamu sembunyikan dari Mas, Janah? Sebenarnya hal apa yang mencoba kamu tutupi agar Mas tidak mengetahuinya?' batinku bertanya-tanya.

Bismillah, kuputar kunci yang masih Janah gantungkan dalam tempatnya. Lemari pun terbuka dan memperlihatkan sebuah plastik bening dengan isi yang terlihat berwarna merah muda.

Ambillah Fahmi, tenanglah. Janah istrimu. Tidak ada yang pantas seorang istri sembunyikan dari suaminya termasuk hal ini,' batinku meyakinkan.

Kucoba meraih bungkusan transparan itu, membukanya pelan.

Benar, memang sebuah baju.

Kembali aku membuka bungkusan kedua dan mengangkat kedua kerah baju tersebut keatas.

'Baju yang sangat cantik.'

Entah kenapa baju ini sama persis dengan model kesukaan Janah. Sebuah kaus tebal berwarna merah muda, berpita atas bawah dan lengan, juga ada tiba buah kancing. Tidak lupa juga dengan jahitan bunganya.

Aku ingat betul, bahwa Janah memang menyukai baju yang seperti ini. Tapi bagaimana mungkin para santriwati mengetahui baju kesukaan Janah? Bahkan ini yang pertama kalinya aku membawa dia kesini.

Ku lafadzkan istighfar dan dzikir, agar terhindar dari pemikiran yang negatif.

Ada rasa emosi yang hampir menguasai diriku. Pikiranku menerka jauh. Kulipat baju itu kembali dan memasukannya ke kantong itu lagi dan menyimpannya kembali kedalam lemari, tempat yang semula ketika aku mengambilnya.

Ketika aku mencoba merapikan baju Janah yang didalam lemari, ’tak sengaja aku menemukan sebuah kotak.

'Apa isi didalamnya?'

Dengan penuh rasa penasaran, aku mengambilnya.

'Maafkan hamba Ya, Allah.' batinku memohon ampun karena sudah ikut campur.

Tapi Janah adalah istriku, aku berhak untuk mengetahui semua tentangnya.

***

Darahku seketika mendidih melihat isi yang ada dalam kotak tersebut. Sebuah kemeja flanel berwarna abu-abu.

Dengan penuh emosi, kubanting baju tersebut.

"Kenapa, Mas?" tanya Janah dengan suara bergetar. Ternyata dia melihat apa yang aku lakukan.

'Apa yang kau sembunyikan dariku Janah?'

"Kenapa bertanya padaku, harusnya aku yang bertanya begitu. Apa maksud semua ini Janah?" tanyaku dengan nafas memburu.

"Apa yang membuatmu marah, Mas. Apa yang Mas maksud?" tanyanya yang seolah-olah tidak merasa bersalah.

"Jangan pura-pura tidak tahu. Apa maksud dari baju itu," tanyaku sambil menarik nafas dalam-dalam agar amarahku redup.

"Ini baju yang sudah aku siapkan untukmu, Mas," jawabnya sambil meraih kemeja yang aku lemparkan tadi.

"Kau tahu aku bukan seorang pejabat?"

"Tentu, Mas. Mas adalah seorang ustadz," jawab Janah polos. Tapi justru aku malah bertambah curiga.

"Kamu tahu Mas adalah seorang ustadz, tapi malah membelikan Mas sebuah kemeja?" tanyaku yang mengintrogasi.

"Anu-anu, Mas. Aku ingin melihat Mas menggunakan kemeja ini," ucapnya dengan meneteskan air mata. Tapi sayangnya aku tidak akan luluh semudah itu.

"Menggunakan kemeja ini? Apa kamu yakin Janah?" tanyaku dengan tatapan menyelidik. 

Dia hanya mengangguk.

"Coba buka matamu lebar-lebar Janah, kemeja ini lebih kebesaran untuk Mas. Lihatlah. Meskipun panjang bajunya pas sama baju Mas, tapi tetap kebesaran. Badan Mas kecil, sementara baju ini dibuat untuk yang berbadan kekar. Jelas-jelas ini bukan ukuran Mas," jelasku pelan agar tidak sampai terdengar keluar.

"Apa? Mas mencurigaiku berselingkuh? Kenapa Mas? Apa selama ini aku tidak baik di mata Mas?" jawabnya dengan berurai air mata dan sedikit berteriak.

Jujur melihatnya seperti ini membuatku terluka.

”Bukan begitu Janah, Mas hanya ingin tahu yang sebenarnya."

”Jadi maksud, Mas aku berbohong? Begitu. Bukankah Mas yang selalu berbohong padaku. Dua tahun lalu Mas bilang ingin melamarku, tapi nyatanya malah menjadi hari pernikahan Mas dengan Mbak Sinta. Bahkan Diyah sampai tertembak kala itu dan kalian malah sengaja menyembunyikan masalah ini dari Mbak Sinta. Apa yang telah Mbak Sinta kobarkan untuk keluarga, Mas? Tidak ada."

Aku termenung mendengar makian Janah. Iya, kami semua sengaja tidak memberitahukan Sinta bahwa Diyah ditembak oleh Pak Adam, ayahnya. Dengan alasan takut dia tidak akan berbakti kepada sang Ayah dan malah akan membencinya.

Tapi kami juga tidak tahu alasan dibalik Pak Adam menembak Diyah. Karena perjanjian waktu itu Pak Adam akan membebaskan kami semua jika aku menyetujui untuk menikahi Sinta.

"Apa yang Mas harapkan dari Mbak Sinta? Apa? Bahkan memberikan keturunan saja tidak mampu." Lanjutnya.

Mendengar perkataan Janah langsung membuatku mengangkat kedua tangan dan mendarat sempurna di pipi mulus Janah.

"Jaga ucapanmu, Janah. Walau bagaimanapun Sinta adalah kakak madumu."

"Bahkan Mas tega menamparku? Demi siapa? Mbak Sinta lagi kan?" cecarnya padaku dan badannya terhuyung. Aku mencoba untuk membantunya, tapi dengan cepat dia menepis tanganku.

"Jangan sentuh aku, Mas!" Titahnya dan tidak lama mulutnya memuntahkan cairan putih beberapa kali dan pergi ke kamar mandi yang disamping.

'Ada apa dengan Janah? Apakah dia hamil?' batinku bertanya-tanya.

***

Apakah Janah memang subur, bisa hamil hanya dengan satu kali berhubungan??

Aku terdiam beberapa saat, lalu pergi ke kamar mandi samping menyusulnya. 

"Bagaimana keadaanmu, Janah? Apa sebaiknya kita pulang ke kota?" tanyaku yang khawatir melihatnya tidak berhenti memuntahkan cairan putih.

Dia mengeleng cepat, ”Tidak perlu, Mas. Kita bisa pulang lima hari lagi.

"Tapi kamu butuh istirahat total Janah."

"Disini juga bisa, Mas."

"Ya, sudah. Nanti setelah keadaanmu lebih baik, kita cek ke dokter," ucapku padanya. 

Mendengar perkataanku Janah langsung berhenti muntah dan menatapku.

"Tidak, Mas. Aku tidak mau ke dokter," ucapnya ke keberatan.

"Keadaanmu parah, Janah. Kita harus memeriksanya. Bisa saja kamu hamil," ucapku dengan menambahkan sedikit senyum dibibir agar dia mau pergi ke dokter.

Diluar dugaanku, dia malah bersikap ketakutan. Seolah ada bahaya yang mengancam.

"Tidak, Mas. Aku mana mungkin hamil."

"Kenapa tidak mungkin, kita kan sudah melakukannya. Bisa saja kabar bahagia muncul diantara kita Janah."

"Tidak Mas, itu tidak mungkin," jawabnya kukuh.

"Tidak ada yang tidak mungkin jika Allah sudah berkehendak, Janah. Kemarilah," kugendong tubuhnya dan kubaringkan di ranjang.

"Tidurlah, istirahatkan dirimu."

Kukecup beberapa kali keningnya untuk menenangkannya.

Tidak membutuhkan waktu lama, dia terpejam. Untuk mengusir kecurigaan yang ada di pikiranku, aku bermaksud untuk menemui ustadz Rahman di ruangannya.

"Assalamu'alaikum, tadz."

"Wa'alaikumussalam warahmatullah, masuklah," jawab ustadz Rahman.

Aku menghela nafas lega, kukira ustadz Rahman sedang tidak ada.

'Alhamdulillah, ustadz Rahman di sini.'

"Apa terjadi pertengkaran diantara kalian kemarin, Tadz," tanyanya.

"Iya. Kita terlibat sedikit adu mulut," jawabku pasrah.

"Kenapa bisa, tadz?” tanyanya lagi.

"Karena sebuah kemeja."

"Ukurannya bukan ukuranmu, Tadz?" tanyanya lagi yang sangat tepat sasaran.

Aku hanya diam.

"Sepertinya baju itu bukan untukmu," ucapnya tenang tapi membuat otakku seperti mendidih.

"Aku tidak mau su'udzon, jika husnudzon masih bisa."

"Bagiku kau tidak adil, Tadz. Mengatakan seperti itu hanya untuk istri muda. Sedangkan untuk Sinta, kau lukai perasaannya dengan begitu mudah," ucapnya yang lagi-lagi mengungkit masalah itu.

"Aku tidak pernah menyakiti keduanya," jawabku datar.

"Lelaki itu imam dalam rumah tangga dan istri yang taat akan selalu berusaha untuk menyenangkan hati suaminya. Apakah selama ini Sinta pernah membuatmu kecewa?"

"Selama ini belum pernah."

Ucapan ustadz Rahman membuat otakku mengingat bagaimana Sinta menyenangkan aku. Selama ini dia tidak pernah membuatku kecewa ataupun emosiku naik.

Segala yang ia lakukan selalu membuatku bahagia dan tersenyum sepanjang waktu. Tetapi berbeda ketika dia membawa surat dokter yang menyebutkan bahwa dia tidak bisa mengandung.

Semuanya seakan sirna seketika. Kebahagiaan yang kami jalani seakan berputar seratus delapan puluh derajat.

Segala kebaikannya tertutupi oleh selembar kertas itu.

Semenjak aku memutuskan untuk menikah lagi, kini sikapnya yang berubah. Tidak ada lagi canda dan tawa. Tidak ada senyuman yang menghias bibirnya dan tidak kudengar suara manjanya.

Jujur, aku merindukan semua yang ada padanya. Tapi kini aku harus bisa menjaga dua hati yang membuatku tidak bisa terlalu dekat dengan Sinta.

"Sinta tidak pernah menyakitimu, Tadz. Tapi apa yang kau lakukan? Menyakitinya sampai dia merubah sikapnya padamu," jelasnya lagi.

"Aku tidak mengerti dengan apa yang antum ucapkan, Tadz."

"Tidak usah formal Tadz, kita hanya berdua. Seperti saya memanggil kamu," ucapnya yang membuatku lega. Kini aku bisa lebih leluasa untuk curhat.

Di memakai sebuah kaca mata, lalu duduk di sampingku. Ustadz Rahman menatapku lekat.

”Apa Sinta mengijinkan kamu untuk menikah lagi?" tanyanya dan aku hanya bisa menggeleng.

Dia menghembuskan nafas kasar, "Apa Sinta sempat memastikan keyakinanmu waktu itu?" tanyanya lagi dan aku mengangguk.

"Astagfirullah. Ini dosa besar bagi seorang suami. Harusnya kamu mendengarkan Sinta lebih dulu sebelum melaksanakan pernikahan ini. Walau bagaimanapun dia istri pertamamu dan tidak pernah sekalipun menyakiti hatimu dan keluargamu.",

Kepalaku terasa pusing mendengar ucapannya. Jadi sepenuhnya ini salahku??

"Apakah dalam kasus ini hanya aku yang salah?"

"Tentu. Kau tahu seorang istri akan sangat terluka ketika suaminya berkhianat. Apa lagi sampai menikah lagi. Sekarang pasti Sinta bersikap dingin, ya?"

Aku mengangguk cepat.

"Sekarang kembalilah ke kamar dan telpon Sinta. Minta maaflah padanya."

"Sebentar Tadz, ada yang ingin Saya tanyakan. Berhubung ustadz Rahman kan seorang dokter juga, mungkin tahu jawaban dari pertanyaan Saya ini," ucapku sambil menahan ustadz Rahman yang hendak melangkah.

Kini dia kembali duduk dan menatapku, "apa?" tanyanya.

Kutarik nafas panjang dan menghembuskannya perlahan.

"Kalau kita baru satu kali berhubungan suami istri, apa ada kemungkinan sang istri langsung hamil? Tapi kan berhubungannya baru kemarin."

"Apa Mbak Janah, maaf, masih perawan ketika menikah denganmu?” tanyanya balik.

"Tidak. Orangtuanya bilang Janah pernah mengalami kecelakaan sewaktu memasuki remaja yang mengenai kelaminnya," jelasku.

"Apa antum percaya?" tanyanya lagi.

"Tentu," jawabku mantap.

"Cari tahu sendiri jika kamu mempercayainya, tidak perlu bertanya kepada orang lain. Terutama aku. Jangan lupa untuk menelpon Sinta," ucapnya dan beranjak pergi meninggalkanku.

Kini aku tidak bisa menahannya untuk pergi. Tapi setiap aku bertanya padanya, dia selalu bertanya kembali. Ustadz Rahman yang sekarang seperti bukan temanku yang dulu.

***

Kupandangi langit-langit kamarku. Benar, ada rasa rindu di hatiku pada Sinta.

Kuraih handphone yang ada di atas nakas, kucari nama 'Ya Qolbi' yang berarti wahai istriku, tapi tidak ada.

Kucari namanya Sinta, langsung muncul. Aku tidak pernah mengganti nama kontaknya, tapi kenapa bisa berubah?

Kubuka kontaknya dan menekan tombol panggil. Panggilan telah tersambung, tinggal menunggu Sinta menerimanya.

Janah masih tertidur pulas, aku hanya bisa mengelus pucuk kepalanya. Kulihat perutnya yang masih rata.


 

'Apa benar kamu hamil anakku?'

"Assalamu'alaikum," sapa Sinta disebrang sana tanpa embel-embel Mas.

Sungguh aku merindukan Sinta yang dulu.

"Wa'alaikumussalam warahmatullah, sedang apa?"

"Duduk berkumpul," jawabnya singkat.

"Sama siapa?"

"Keluargamu."

"Keluargaku, keluargamu juga Sinta," ucapku menginginkan.

"Iya," jawabnya singkat padat tapi tidak jelas untuk hatiku.

"Apa yang sedang kalian bicarakan, membicarakan aku, ya?" candaku dengan harapan dia terpancing.

"Tidak."

Ternyata dia tidak terpancing.

"Baiklah. Lounspeker saja, biar mereka juga bisa mendengar suara, Mas."

"Siapa, nak?" terdengar suara Umi bertanya pada Sinta.

"Mas Fahmi, Umi," jawab Sinta yang terdengar hangat, tidak seperti bicara padaku.

"Fahmi bagiamana keadaan kalian?" sapa umi padaku.

"Alhamdulillah baik, Umi. Cuman tadi pagi Janah muntah-muntah terus."

"Masuk angin mungkin."

"Bukan Umi. Soalnya cairannya putih bukan makanan," jelasku.

"Hore, akhirnya kita akan segera dapat cucu," ucap umi bahagia dan membuat yang lain bertanya antusias padaku.

Apa benar dia hamil?

Emang bisa hamil dalam sekali sentuh?

"Sinta mana, Mi?" tanyaku yang hanya mendengar celotehan bahagia mereka tapi tidak mendengar suara Sinta.

Suara mengobrol kami yang keras membuat Janah terbangun dari tidurnya dan duduk mendengarkan percakapan kita.

"Tidak tahu, barusan Sinta pergi tapi tidak memberitahu Umi," jawab Umi yang membuatku sedikit kecewa.

"Dia emang tidak tahu diri. Sudah mandul, tidak tahu waktu pula. Suaminya pergi ke jalan-jalan ke cabang pondok, dia malah keluyuran sama lelaki lain. Dasar wanita tidak tahu diri,” ucap Bibi Ratih geram.

'Apa? Sinta pergi bersama laki-laki? Apa itu benar?’ batinku penasaran dan nafasku mulai memburu setelah mendengar perkataan bibi Ratih.


 

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya Menyesal Usai Talak Bab 8 - 10
1
0
Bab 8Kenapa, Mas?” tanya Janah ketika melihat mataku yang mulai memerah dan nafas yang memburu.Tidak ada, jawabku singkat.Jangan bilang karena ucapan bibi Ratih tentang Mbak Sinta?" tanyanya menyelidik. Novel best seller di KBM APP bulan Januari
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan