MENYESAL USAI TALAK BAB 4 dan 5

1
0
Deskripsi

Tidak, aku tidak boleh goyah. Bisa jadi mereka sudah lama berteman.

Tapi apakah harus akrab seperti itu? Walau bagaimanapun mereka bukan mahram.

"Kami sudah memutuskan bahwa kalian harus tidur bersama selama satu Minggu. Kalau tidak, kalian bisa pergi liburan berdua," ucap ustadz Hanafi, abinya Janah yang kini telah menjadi abiku juga sungguh sangat membuatku kaget.

Seminggu bersama? Terus Sinta bagaimana?

Liburan berdua??

Apa aku tidak salah dengar?

"Maaf tadz, maksudnya apa, ya?" tanyaku pura-pura tidak tahu. Jujur jika bisa memilih, aku lebih memilih tidak mendengar permintaan konyol.

"Kami sudah mendiskusikan masalah ini dengan keluarga Abah," lanjutnya lagi yang menambah kekagetan ku.

Abah?

Bukankah Abah setuju untuk tidak ada perjanjian semacam ini?

Bukankah ini akan menyakiti Sinta?

Aku menarik nafas panjang dengan memejamkan mata. Berharap semua ini hanya mimpi. Ketika kubuka mata, ternyata semuanya real. Malah ada Abah, Umi, bibi Ratih, bahkan Sinta.

Kapan mereka berjalan kearah kamar ini? Kenapa aku tidak mendengar suara langkahnya?

"Apa semua orang mendiskusikan ini tanpa kehadiranku?" tanyaku dengan mencoba menahan emosiku.

"Ini sudah kami sepakati. Sinta saja sudah setuju," ucap Abah yang membuatku tersentak dan tersenyum getir.

"Apa benar kamu sudah menyetujui ini?" tanyaku pada Sinta dengan nafas yang memburu.

"Apa aku punya alasan untuk tidak menyetujuinya?" jawabnya yang lagi-lagi tanpa melihatku.

"Abah, Fahmi mohon berikan Fahmi waktu. Fahmi ingin membicarakan ini dulu dengan Sinta, hanya berdua," pintaku dengan pelan tapi penuh penekanan. Agar semua orang ikut keluar dari kamar ini. Meskipun ini kamar yang secara khusus disiapkan untuk malamku dan Janah.

Aku butuh waktu untuk mendiskusikan masalah ini dengan Sinta. Dia yang sudah setia menemaniku selama ini. Meskipun diri ini tak ingin. Tapi disisi lain aku juga tidak ingin berdosa dengan menyakitinya.

”Baiklah. Semuanya tolong keluar. Kita harus memberikan waktu untuk Fahmi dan Sinta bicara!" pinta Abah kepada semua orang.

Satu persatu dari kami keluar, tapi ada tatapan tidak suka dari ustadz Hanafi. Apa aku salah lihat, ya? Karena selama ini ustadz Hanafi dikenal sebagai orang yang sangat baik dan santun.

"Janah aku mohon, tinggalkan kami," pintaku pada Janah yang malah memilih duduk di ranjang.

"Ini kamar kita, Mas. Harusnya aku yang berada disini," ucapnya yang lagi-lagi memajukan bibirnya.

"Mas tahu. Tapi Mas ingin ngobrol disini dengan Sinta,"

”Aku tidak mau keluar," kekeh Janah.

"Ya, sudah. Biar Mas dan Sinta yang mencari tempat lain,” ucapku yang capek berdebat dan memilih untuk mengalah. Kuraih tangan Sinta untuk digenggam, tapi dia lebih dulu menghindar.

"Maaf Mas. Tidak ada yang ingin aku bicarakan denganmu, nikmatilah waktumu," ucapnya dan mencoba mengambil langkah besar. Tapi aku lebih dulu mencekal lengannya.

”Jangan seperti ini Sinta. Walau bagaimanapun, kamu juga istriku,"

"Jika Mas anggap aku istri, harusnya Mas mendengarkan ku ketika aku mencegah Mas untuk menikah lagi," ucapnya yang lagi-lagi mengungkit hal ini. Sungguh membuat emosiku naik dan nafas yang langsung memburu.

"Jangan ungkit masalah itu. Ini semua sudah terjadi dan kalian sekarang adalah tanggung jawab Mas,"

"Tapi apa salahku?" tanyanya dengan menatap mataku. Baru kali ini dia kembali menatap mataku. Semenjak tadi pagi, dia hanya melemparkan tatapan kosong atau kesamping.

"AKU BUTUH KETURUNAN."

"Tapi Mas, anak bukanlah masalah. Kita bisa mengadopsinya. Bukankah banyak dari anak pondok kita pun yang tidak mempunyai orang tua? Kita bisa menjadi orangtua asuhnya sampai Allah menunjukkan kekuasaannya," jelasnya panjang kali lebar yang membuatku risi.

Ada rasa sesal aku mengajaknya bicara jika dia hanya bisa mengungkit masalah ini.

Kenapa dia tidak faham kalau aku butuh keturunan yang bisa meneruskan pondok ini. Jika dia bisa mengandung dan melahirkan layaknya seorang ibu, mungkin aku juga tidak akan mengalami yang namanya memiliki dua istri.

Mungkin ini sebabnya Pak Adam, ayahnya Sinta memaksa aku untuk menikahi putrinya. Karena putrinya tidak bisa menjadi seorang ibu, hanya bisa menjadi seorang istri.

"Aku butuh keturunan kandung. Bukan keturunan orang lain," ucapku tegas dan penuh penekanan.

"Aku wanita subur, Mbak. Aku bisa memberikan keturunan. Melahirkan anak-anak yang sehat untuk menjadi penerus ponpes Abah," ucap Janah menimpali dengan penuh percaya diri.

"Baiklah jika itu mau kalian. Pergilah berbulan madu dan selamat bersenang-senang," ucap Sinta dengan nada yang tetap tenang dan berlalu dari hadapan kami. Entah darimana ketenangannya itu. Bukankah berita sering mengabarkan kalau istri yang dimadu akan mengamuk dan memarahi istri muda? Tapi Sinta berbeda. Apakah kini dia mulai menerima kenyataan ini?

***

Esoknya kami langsung berlibur ke pondok yang dipelosok. Sekitar dua tahun lalu aku kesini.Tidak ada yang berubah dari pondok ini sejak dua tahun lalu. Hanya saja dulu aku bersama Sinta, kini dengan Janah.

Meskipun aku dan Sinta awalnya tidak ada rasa sama sekali, tapi dia mampu mengurusku dengan sangat baik. Bahkan dia cepat berbaur dengan para santri.

"Tolong bantu saya bawa koper yang satunya lagi," pintaku pada santri yang menjemput kami.

"Muhun, tadz."

Para santri menatapku dengan tatapan heran. 

Emang salah aku berkunjung kesini?

"Assalamu'alaikum," sapa ustadz Rahman sahabatku, sekaligus pengurus ponpes ini.

"Wa'alaikumussalam warahmatullah, sehat tadz?"

"Alhamdulillah. Ini siapa tadz? Saudara atau...."

"Istriku," jawabku singkat dan memotong pembicaraan ustadz Rahman. Aku takut beliau akan menebak yang tidak-tidak.

"Umi tolong ajak dulu istrinya ustadz Fahmi. Abi mau bicara sama ustadz," pinta ustadz Rahman kepada istrinya.

"Muhun, Bi. Mari teh."

Janah pun ikut ajakan istrinya ustadz Rahman. Kini tinggallah kami berdua di aula ini.

”Kapan antum menikah, tadz?" tanyanya mengawali pembicaraan.

"Kemarin," jawabku singkat.

Sejujurnya aku malas untuk menerima permintaan ustadz Rahman untuk bicara denganku. Takutnya akan mempermasalahkan pernikahanku dengan Janah. Tapi tidak ada pilihan untuk menolak.

”Apa teh Sinta setuju?" tanyanya lagi yang mulai mengintrogasi.

"Iya, dia setuju,"

"Astagfirullah, tadz. Ada apa dengan antum ini? Teh Sinta adalah istri yang shalihah,"

'Tuh, kan. Lagi-lagi masalah ini. Astagfirullah, aku harus bagaimana menjawabnya.'

Aku mengusap wajah kasar, bingung harus menjawab apa.

”Saya membutuhkan keturunan, tadz,"

"Emang kenapa dengan teh Sinta?"

"Dia tidak akan pernah bisa memberikan keturunan," jawabku lesu. Akhirnya kata-katanya ini lolos dari bibirku.

"Masya Allah. Ingat tadz, yang memberikan keturunan itu Allah subhanahu wata'ala. Kita hanya bisa merencanakan segalanya, bukan memaksakannya," jawabnya dan beberapa kali menghela nafas berat.

"Memang, tadz. Tapi kalau syariatnya saja tidak bisa, apakah itu mungkin?"

"Bagi kita memang tidak bisa. Tapi bagi Allah bisa. Banyak cara untuk mendapatkan keturunan. Tidak harus menyakiti perasaan seorang istri, tadz."

"Saya yakin antum lebih faham. Silahkan pikirkan kata-kata saya barusan. Semoga teh Sinta tidak akan melepaskan diri," lanjutnya dan kemudian pergi begitu saja meninggalkan aku dengan penuh pertanyaan.

Apa maksud dari 'melepaskan diri???

***

Sebenarnya apa maksud dari ’melepaskan diri? Apa aku harus mencari ustadz Rahman kembali, tapi untuk apa? Untuk meminta penjelasan atau apa?

"Mas, kok malah bengong disini?" tanya Janah yang tiba-tiba sudah berada di depanku, sungguh membuatku kaget.

”Ada apa, sih? Bisa ’kan tidak bikin Mas kaget?" tanya sepelan mungkin agar bibirnya tidak maju terus.

"Habisnya Mas malah berdiri disini. Jelas-jelas banyak kursi. Kenapa tidak duduk aja, sih," ucapnya kesal dan aku membenarkan.

Kenapa aku berdiri, ya? Apa karena mengikuti ustadz Rahman? Ya sudahlah. Intinya aku baru sadar sekarang.

”Maaf Janah. Tapi ketika masuk tadi, sepertinya Mas tidak melihat kursi yang berjejer ini," jawabku jujur.

"Ayolah, Mas. Apa yang menjadi beban pikiran Mas, sampe membuat kursi-kursi ini tidak terlihat?” ucapnya lagi dengan nada yang sedikit mengejek.

'Deg, apa ini Janah yang dulu kukenal?' batinku bertanya-tanya.

"Sudahlah. Mas capek, mau istirahat," aku berjalan lebih cepat tanpa mempedulikan Janah. Tapi aku tahu dia akan mengekor dibelakang.

Pada saat-saat seperti ini mengingatkanku tentang Sinta. Ketika dia berbicara, tidak ada sedikitpun nada mengejek yang keluar dari bibirnya, atau pun sorotan mata tidak suka.

Dia selalu mendukung apapun yang aku lakukan. Jika salah, dia akan tersenyum dan mengatakan 'sabar Mas, mungkin sekarang bukan waktu yang tepat untuk Mas melakukan sesuatu yang benar itu. Tidak ada manusia yang selalu melakukan hal dengan benar dan tidak pernah salah’.

Jika yang aku lakukan benar, maka dia juga akan tersenyum dan mengatakan 'Alhamdulillah, jangan lupa bersyukur ya, Mas’. Bahkan aku sendiri tidak dapat membedakan dia sedang bahagia atau bersedih. Karena bibirnya selalu dihiasi dengan senyuman.

"Mas, kenapa senyum-senyum sendiri?" tanya Janah yang membuyarkan lamunanku.

"Tidak ada apa-apa," jawabku singkat.

"Apa Mas tahu, kalau kita bahkan belum bersentuhan?" tanya Janah dengan sikap yang biasa saja. Padahal wajahku langsung memerah mendengar dia bertanya seperti itu.

"Tidak perlu diucapkan, karena kita adalah pasangan suami istri. Ada hak dan kewajiban yang mengikat kita."

"Oh iya, Mas. Ada satu kado yang belum kubuka kemarin. Ini satu kotak kado ini," ucapnya sambil menunjukan kotak berwarna merah yang berada di pangkuannya.

"Buka saja."

Kulirik dia mulai membuka kotak itu. Sepertinya aku lebih terkejut dengan isinya dibanding Janah.

Baju hitam yang sangat pendek dan menerawang. Mungkin hanya muat untuk anak kecil. Tapi kenapa dikasih ke Janah?

Kupijat pelipis yang tiba-tiba terasa pusing.

Siapa yang memberikan kado ini?

"Mas lihat, ada sebuah catatan disini. Aku bacakan, ya," tanyanya antusias. Tapi dia langsung membacakan itu tanpa mendengar jawabanku.

'Buatlah dedek bayi lucu yang Sholeh, dan Sholehah. Abah, Umi, dan Abi Uminya Janah juga menantikan ini.' begitulah isi catatan tersebut.

Seketika wajahku semakin memerah. Meskipun aku mencintai Janah, tapi tetap saja masih malu jika sedang bersamanya ada kata-kata seperti ini. Kecuali jika bersama Sinta, wajahnya akan lebih merah dari wajahku sekarang ini.

"Jauhi baju itu dariku, mari kita tidur."

"Tapi Mas, masa tidak ada yang akan kita lakukan."

"Memang apa?" tanyaku pura-pura polos dan langsung saja menunaikan kewajiban.

***

Pagi ini aku ada acara tausiahnya, tepat dengan moderator ustadz Rahman. Sepertinya aku harus menanyakan arti dari ’melarikan diri' itu. Agar kata-kata itu tidak selalu menghantuiku.

Sedangkan Janah, kulihat dia sedang mengobrol akrab dengan para santri. Tapi tatapan para Santri itu seperti memandang Janah dengan tatapan tidak suka. Beda dengan tatapan mereka kepada Sinta.

Ah, mungkin saja karena para santri disini belum terbiasa dengan Janah. Karena selama ini aku hanya membawa Sinta.

"Bisa dimulai tausiahnya, Ustadz," ujar ustadz Rahman dengan tiba-tiba dan membuat lamunanku seketika buyar.

”Baik. Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarokatuh," sapaku pada mereka dan memulai tausiyah selama enam puluh menit.

Setelah sesekali, langkahku dan ustadz Rahman diberhentikan oleh seorang santri.

"Afwan ustadz, boleh Saya bertanya disini? Soalnya Saya merasa tidak enak jika bertanya dihadapan banyak orang," tanyanya dengan wajah menunduk dan suara yang bergetar.

”Tentu. Silahkan ikut kami," jawabku tersenyum agar bisa mengurangi rasa gugupnya.

Santri itu mengekor dibelakang kami sampai ke ruanganku.

"Duduklah!" dia hanya menurut.

"Apa yang ingin antum tanyakan, kang Aji?"

Dia terlonjak kaget mendengan aku menyebut namanya.

"Saya tahu nama antum dari daftar santri,” lanjutku lagi.

Kini ketegangannya mulai berkurang.

"Maaf sebelumnya Ustadz. Saya ingin berbagi bertanya. Apa hukumnya ketika seorang istri berbohong kepada suami demi kebaikan suaminya? Bahkan suaminya itu mengira kebohongan itu adalah kebenaran dan bahkan menduakan sang istri tersebut dengan alasan yang menjadi kebohongan istri yang disangka adalah benar adanya oleh seorang suami?"

Pertanyaan santri ini membuatku terkejut, tapi tidak dengan ustadz Rahman, bibirnya membentuk senyuman.

”Lebih baik tidak ada kebohongan yang akan menimbulkan kesalahpahaman. Sebaiknya ceritakan apa yang sebenarnya sepahit apapun itu. Untuk sang suami sendiri, sepertinya dia kurang faham terhadap sifat istrinya. Maka sebaiknya sebelum menikah diharuskan mengenali sikap masing-masing terlebih dahulu."

"Baik. Tapi kalau kesalahan fahaman itu sudah kadung terjadi, apa sang istri boleh meninggalkan suami yang telah menduakannya itu?" tanyanya lagi yang seketika saja mengingatkanku tentang Sinta. Apa Sinta juga akan meninggalkanku?

Jawaban apa yang seharusnya aku berikan untuk santri ini? 

Hening menyelimuti ruangan ini. Aku menarik nafas dalam beberapa kali. Aku diam bukan tidak punya jawaban. Hanya saja, takut tidak sesuai dengan jawaban yang dihadapan kang Aji.

"Tergantung sang Istri tersebut. Jika dia memilih pergi, biarkan saja. Mungkin itu jalan terbaik untuk semuanya," jawabku yang awalnya ragu, tapi segera kutepis. Sehingga aku bisa bersikap biasa ketika menyampaikannya.

"Baik, terimakasih Tadz. Saya izin undur diri," pamitnya padaku dan ustadz Rahman, kami hanya mengangguk.

”Jika itu yang Sinta lakukan, apa antum juga akan membiarkan dia pergi dari kehidupan antum?" tanyanya santai sambil menyeruput kopi hitamnya.

"Apa maksud antum, Tadz? Aku tidak akan pernah menceraikan Sinta," jawabku emosi.

"Bukankah antum sendiri yang mengatakan pada kang Aji barusan?"

"Tapi itu beda."

"Apanya yang beda?"

"Sang istri yang dia tanyakan tidak sepenuhnya salah. Sinta memang tidak salah. Tapi keadaan yang memaksaku," ucapku mengembuskan nafas kasar.

Sejujurnya aku juga tidak ingin kejadian ini terjadi dalam hidupku.

"Sinta memang tidak salah. Bagiku hanya satu, yaitu menjadi istrimu, tadz."

Ucapan ustadz Rahman lagi-lagi membuatku bungkam.

Dia menarik nafas panjang, "Sesuatu yang antum lihat dan dengar bukan berarti semuanya adalah kebenaran. Bukankah antum mengaji, Tadz? Sepertinya antum harus lebih memperdalam segalanya lagi. Baik tentang isi hati wanita, maupun tentang kehidupan ini."

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya MENYESAL USAI TALAK BAB 6 dan 7
1
0
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan