
Cara terbaik untuk menghabiskan waktu dan tenaga adalah membenci, yaitu menyimpan dendam dan ingin menyakiti.
Benci dan Penyesalan
Hari demi hari, aku simpan rasa itu sehingga fokusku berubah menjadi satu. Aku tidak peduli dengan kebaikan orang lain dan hanya mementingkan rasa sakit di hati. Rasa benci yang ada dalam tubuh ini akan perlahan mempercepat waktu hidupku. Hari, minggu, bulan, tahun, terasa cepat berlalu. Setiap detik serasa ingin menuntaskan misi-misi untuk mengatakan kata-kata tajam dengan tujuan ingin menusuk hati orang itu. Sesekali, hati kecilku mungkin akan menegur niat buruk ini, hentikan itu. Namun, mengabaikannya adalah langkah pasti yang aku pilih dan lanjut membenci. Daguku terasa congkak dibuat oleh perasaan ini. Kehangatan mataku hilang dan perlahan berubah menjadi dingin untuk membalas kesalahan orang itu. Entah secara langsung atau tidak, aku ingin mengakhiri rasa benci dengan caraku sendiri.
Tak bisa aku mengulang waktu.
Namun, saat orang itu pergi meninggalkan beban hidupnya, aku terdiam. Aku menunggu rasa legah dan kepuasan yang dulu aku idamkan untuk mengalir dalam aliran darahku.
Tak kunjung ada.
Sekian lama aku menunggu untuk moment ini, ditambah beberapa menit setelahnya, tiba-tiba aku merasa seperti ditikam oleh rasa sadar yang menusuk keras tepat di tengah dadaku.
Aku kalah. Aku telah kalah.
Aku menyadari bahwa aku telah kalah dalam pertikaian sepihak itu. Aku adalah orang yang merugi. Dia tidak membenciku, hanya akulah orang yang memainkan drama ini. Drama kehidupan dengan naskah cerita yang bodoh, terlebih lagi peran utamanya si pencundang. Percayalah, pecundang itu adalah aku.
Aku tidak pernah merasa bodoh dan rugi bersamaan seperti ini selama hidupku. Aku mengaku kalah. Itu pertarungan yang memalukan. Aku mencoba menelusuri jejak ingatanku, hanya kumpulan alasan sepeleh mendasari kebencian itu. Entah mengapa bisa berubah menjadi dengki dan busuk hati. Dulu, aku merasakan diriku hilang arah, tak tau harus berbuat apa, tidak ada pilihan baik atau buruk, yang ada hanyalah buruk atau buruk sekali. Sekarang aku merasakan bahwa semua tenaga yang kugunakan ini sungguh melelahkan, kebencian itu membuang banyak energiku. Saat ini aku merasa tidak baik-baik saja, ini lebih kepada rasa frustrasi. Menyerah adalah jalan terbaik, sekarang aku mengaku kalah dalam lomba tanpa start.
Aku sadar, tahun-tahun yang kuhabiskan terasa lebih cepat dan tidak bermakna. Berjalan di sampingnya membuat amarahku berkobar layaknya api menyambar kayu kering. Sungguh marah dibuatnya. Paras wajahku menghitam dan bibirku tak ada manis-manisnya. Semua yang kurasakan membawa efek buruk dalam sikapku padanya.
Dia menang, tanpa disadari dia adalah pemenangnya.
Saat kulihat wajah tenang itu, aku tau aku kalah total. Bahkan sebenarnya, aku kalah dari awal. Sedangkan dia, menggunakan waktu hidupnya sebaik mungkin tanpa harus melihat sisi gelap yang aku punya.
Alangkah malunya diriku ini.
Tiba-tiba, tangisku pecah. Pikiranku seakan meledak, namun yang lebih dahsyat rasa sakit itu berada tepat di tengah dada ini. Aku menyebutnya, hati. Hatiku terasa sangat nyilu tak karuan, seakan berdesir hebat aliran darahnya, sakit sekali. Seakan ada yang memeras hati ini. Tak sanggup aku hentikan isak tangis yang menyedihkan ini, aku berharap waktu bisa ku ulangi dan takkan aku bersikap bodoh lagi.
Hai, aku. Semua sudah berlalu, tak ada yang bisa kau perbuat lagi selain memetik daun kecil dari busuknya wadah itu. Kusebut itu, mengambil hikmah. Memang tak tau malu, tapi ku ingin berubah. Aku mencoba ingin mengerti mengapa aku dulu seperti monster dan berusaha untuk memaafkan diri sendiri. Tidak masalah butuh waktu yang lama, aku akan terus mencoba memahami rasa bersalah dalam hati. Kesalahan dia, aku sudah memaafkannya. Yang mengejutkan adalah aku memahami semua cerita hidupnya. Manusia berbuat salah selama menjalani hidup, tidak hanya sekali tapi berulang-ulang kali. Maklum mungkin jawaban kasarnya. Namun, aku mengerti dan memahami cerita panjang hidupnya, kucoba posisikan sepatuku menjadi sepatunya. Oh, sekarang aku tau, begitu caranya memahami orang lain. Dan, aku anggap ini sebagai cerita klasik di mana seorang pemuda belia melalui cerita yang cukup lama sebagai peran antagonis dan akhirnya dapat belajar cara memahami pikiran orang di luar sana. Pelajaran yang berharga, selain matematika.
Sederhananya, suara dalam diri mengatakan bahwa hati berjanji untuk tidak mengabaikan pengalaman ini. Tidak akan menunggu kepergian dan kehilangan seseorang sebagai solusi. Dan menitih jalan kehidupan dengan mata hati, berusaha menggali cela agar bisa memahami seburuk apapun prilaku orang lain. Aku begini, karena satu alasan yang tak ingin kuterima. Yaitu, aku tidak ingin kalah lagi.
Fin.
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi ๐ฅฐ
