
Cerita bersambung ini pernah dimuat di Majalah Femina pada tahun 2016
Selamat Membaca :)
Cerita sebelumnya:
Sanna akhirnya tahu mengapa orang tuanya berpisah. Meski menyakitkan, kebenaran itu mengangkat bebannya. Akhirnya hari yang dinantinya tiba. Ia pun pergi untuk memulai hidupnya sendiri.
Marauleng, Surabaya, Agustus 2010
Tak sampai seminggu setelah pemakaman Bombang, kehidupanku kembali normal. Jumlah tamu yang datang menyampaikan bela sungkawa makin sedikit, hingga akhirnya tidak ada sama sekali. Rumahku kembali sepi. Tak mengapa, toh sebagian besar dari mereka sama sekali tak kukenal.
Lagipula, menemui para pelayat ternyata melelahkan. Aku gagal memasang wajah sedih, dan aku tak tahu mesti bicara apa tentang Bombang. Sejak Bombang pergi, kami hanya bertemu saat dia mengantar dan menjemput Sanna. Sesekali kami berdiskusi mengenai kepentingan Sanna melalui SMS. Bagiku, Bombang tak lebih dari orang asing.
Sebelum kembali ke Semarang, Sanna meninggalkan sesuatu di atas meja. Selembar kertas yang menyebutkan bahwa sebagian warisan Ambonya kini menjadi milikku. Aku merasakan campuran terkejut dan lega. Aku tidak pernah menyangka dia akan melakukan itu.
Kurasa dia sengaja meletakkan kertas itu di meja, sehingga dia tidak perlu menjelaskan apa-apa. Maka aku mencoba menerjemahkannya sendiri. Kuanggap itu sebagai salam perpisahan. Dia menjamin agar aku tidak kekurangan hingga aku mati nanti. Kini setelah Ambonya tidak ada, dia tidak punya alasan untuk berhubungan denganku.
Ternyata aku salah. Dia datang suatu hari. Duduk di hadapanku, dengan terpisah sebuah meja kecil, dia bercerita tentang kehidupan barunya dan menanyai kabarku. Canggung memang, tapi kami berhasil melaluinya dengan baik.
Lalu dia datang lagi untuk kedua kalinya. Waktu itu dia menerima tawaranku untuk menginap di rumah. Saat itulah aku sadar bahwa dia bukan lagi anak kecil yang bergantung padaku. Dia bisa datang dan pergi kapan saja dia mau. Dia tidak akan membuatku mengorbankan apapun. Dia tak akan mengambil apa-apa dariku.
Tiba-tiba saja apa yang terjadi di masa lalu tak lagi penting buatku. Kini kami adalah dua wanita dewasa. Hubungan kami adalah hasil dari sebuah keputusan, bukan karena takdir yang digariskan. Mulai sekarang, kami menulis kisah kami sendiri. Sebuah kisah yang baru.
Aku memang tidak bisa mencintainya seperti yang diminta Ambonya, tapi aku melakukan tugasku membesarkannya. Kuharap setidaknya dia mengingat itu. Hubungan kami akur. Kami bersikap sopan satu sama lain. Seperti sepasang teman yang cukup dekat, bukan seperti ibu dan anak. Kami saling menjabat tangan dan mencium pipi, bukan menyatu dalam pelukan spontan yang hangat. Aku tidak akan mengeluh. Ini adalah pilihan terbaik bagi kami, karena kembali ke masa lalu dan memperbaiki semuanya adalah mustahil.
Sanna, Surabaya, Juli 2012
Beberapa minggu setelah kelulusanku, aku mendapat tawaran pekerjaan di Jakarta. Kota itu sama sekali bukan kota impianku. Selain terlalu jauh dari Surabaya, Jakarta terlalu bising untukku. Sampai kemudian aku membaca lembar job description pada saat wawancara. Aku tahu, aku harus mendapatkan pekerjaan ini.
Yang menghubungiku adalah sebuah NGO yang bergerak di bidang pelestarian kehidupan bawah laut. Aku direkrut sebagai petugas lapangan. Artinya, aku akan sering pergi ke laut. Ini adalah murni keberuntungan. Tidak semua teman seangkatanku mendapatkannya. Aku bisa terus berdekatan dengan laut, menerapkan ilmu yang kudapat, dan akan digaji tinggi untuk itu.
Mel, seorang rekan kerja yang kemudian tahu bahwa aku adalah keturunan Bugis, berkomentar mengenai kentalnya pengaruh budaya dalam diri seseorang.
“Ya contohnya kamu. Sampai sekarang kamu tidak bisa berpisah dari laut, kan?”
Aku tersenyum. Mel memang hobi menganalisa segala sesuatu. Meski tak pernah terpikirkan olehku, mungkin saja teorinya benar. Selain makanan dan bahasa yang kukenal di rumah, aku nyaris tidak memiliki hubungan apapun dengan budaya asalku. Waktu kecil, aku pernah beberapa kali berbicara dengan keluarga Indo di telepon. Namun aku tak pernah punya kesempatan untuk mengenal mereka lebih jauh lagi.
Sebenarnya aku punya cerita sendiri di balik ikatanku dengan air. Ketika hidup menjadi terlalu berat untuk dijalani, air menjadi suaka bagiku. Pada kedalaman tertentu, ia membebaskanku dari kerumitan dunia. Yang ada hanya sunyi. Tekanannya menjelma jadi sebuah pelukan tak bersyarat. Laut akhirnya menjadi pilihanku ketika keramik kolam renang saja mulai terasa membosankan.
Berbeda dengan cerita filosofisku, alasan Kris sangat praktis. Ia tinggal dekat dengan laut. Secara natural, laut menjadi rumah keduanya. Aku pertama kali bertemu dengannya di Gili Asahan akhir tahun lalu. Ia sedang berbaring tanpa alas di tepi pantai, begitu bebas dan tidak berbeban. Pasir yang menempel di rambutnya nyaris tak terlihat, karena warna keduanya serupa.
Kris adalah seorang fotografer bawah laut yang juga tinggal di Jakarta. Ia orang yang sangat menyenangkan. Jadi setelah liburan, kami masih sering menghabiskan waktu bersama di Jakarta. Suatu sore, ketika sedang menikmati matahari menghilang, kami berciuman. Aku beringsut mundur dengan perasaan campur aduk, tak bisa mengingkari bahwa aku menikmati ciuman tadi. Di tengah situasi canggung itu, Kris tersenyum penuh pengertian. “Aku pun butuh bertahun-tahun untuk menemukan keyakinanku,” ujarnya lembut.
Setelahnya, aku berhenti menghubungi Kris. Sebuah badai kasat mata memporakporandakan hidupku. Rutinitasku buyar, pekerjaanku terbengkalai, dan tiba-tiba saja aku kerap merasakan perihnya sakit maag. Aku ingin berbicara dengan seseorang, tapi tak tahu dengan siapa. Aku hanya bisa berharap kejadian ini berlalu dengan sendirinya. Seperti riak yang tercipta di atas air ketika seseorang melempar batu. Melebar, membesar, akhirnya hilang sama sekali. Alih-alih, kebenaran itu datang perlahan. Seperti sesuatu yang melayang kesana kemari di dalam air, kemudian tenggelam dengan lambat. Tersembunyi, tapi tidak tergugat eksistensinya. Ia memang ada. Meskipun aku mengingkarinya.
Aku membuat kesalahan dengan memilih Andaru. Kupikir ia bisa memberikan apa yang tidak kudapat di rumah. Ternyata ia hanya berniat memanfaatkan aku. Kemudian aku berpacaran dengan Tomy, teman kuliahku. Ketika hubungan kami juga berakhir, aku mulai berpikir ada sesuatu yang salah. Mungkin dia yang kurang dewasa. Atau mungkin aku yang belum siap mempercayai cinta.
Aku berharap Kris berakhir seperti mereka berdua. Menjadi sebuah kesalahan yang suatu saat akan kulupakan. Tapi aku tidak berhasil mengenyahkannya dari pikiranku. Kris memang berbeda. Ia menawarkan sesuatu yang tidak dimiliki yang lain. Ia menawarkan harapan.
Aku tidak tahan lagi. Kuputuskan untuk bertemu dengan Kris. Dengan membawa sekotak cokelat, ia berbicara denganku seolah tidak ada jeda dua bulan yang hening di antara kami. Aku menggigit sebuah cokelat dan memicing ketika mendapati isinya mint. Aku benci mint. Kris tertawa melihatku.
“Life is like a box of chocolate, ja?” ujarnya sambil mengangsurkan segelas air.
“Tapi andaikan aku bisa memilih, aku akan tetap memilih menjadi diriku yang sekarang,” sambungnya.
Aku menatapnya dan menemukan kedamaian di sana. Kuharap suatu saat nanti aku juga bisa berdamai dengan diriku sendiri.
“Tinggalah bersamaku,” pintanya.
Aku mengangguk begitu saja.
Dalam pelukan Kris, aku tidak bisa berhenti menduga-duga. Apa analisa Mel tentang hal ini.
Marauleng, Surabaya, Desember 2013
Setelah aku meniup lilin berbentuk angka 47 itu, Sanna memelukku. Sedetik kemudian aku sadar bahwa aku seharusnya juga mengalungkan lenganku ke tubuhnya. Aku masih belum terbiasa dengan tingkahnya akhir-akhir ini. Jika dia adalah pasanganku, aku bisa-bisa berpikir bahwa dia sedang berusaha menutupi perselingkuhannya.
“Hmmm…enak,” ucapnya dengan mulut penuh cheese cake.
Pelayan kafe meletakkan sebuah cangkir putih di hadapan Sanna. Bau asam dari kopi Arabika Toraja itu mampir ke hidungku, diam-diam menyisipkan ingatan akan Bombang. Bagaimana keduanya bisa suka minuman semacam itu, aku tidak pernah paham. Bagiku secangkir teh tidak bisa digantikan oleh apapun.
“Bagaimana kelas Indo?” tanya Sanna tiba-tiba.
“Sangat menghibur,” jawabku. “Senang rasanya melihat wajah-wajah asing menarikan Pakarena.”
Pada pertengahan tahun lalu, aku akhirnya memiliki sebuah pekerjaan. Semua berawal dari datangnya keluarga Perancis yang menjadi tetangga baruku. Anak bungsu mereka yang bernama Anne sering mengintipku berkebun dari balik tembok rumahnya. Tak butuh waktu lama hingga Anne berani masuk ke rumah. Kesepian rupanya bisa dipahami siapa saja. Aku berteman dengan Anne, meski kami tak mengerti bahasa satu sama lain.
Suatu hari, Anne yang masih berusia lima tahun memamerkan gerakan balet padaku. Aku pun memamerkan sepotong tarian Pakarena padanya. Besoknya, Ibu Anne datang ke rumah. Dengan Bahasa Indonesia patah-patah, Madame Giraud menjelaskan bahwa sekolah anak sulungnya sedang mencari seorang guru tari tradisional. Singkat cerita, kini dua kali dalam seminggu aku mengajar tari di sekolah internasional.
Aku menyendok sesuap cheese cake. Sanna benar. Rasanya enak sekali. Di atas kami, lampu-lampu kafe mulai menyala, menampakkan interior lawas di dalamnya. Saklar yang sama sepertinya juga menyalakan kenangan masa lalu. Dulu keluarga kami sering datang ke sini. Bombang jelas datang untuk kopinya. Sementara Sanna selalu tak sabar ingin bermain di pekarangan kafe yang luas dan rindang. Aku sendiri datang untuk menemui Martha.
Martha adalah perempuan Toraja yang juga pindah ke jawa. Dia menemani suaminya membuka kafe ini. Bahasa ibu kami tak sepenuhnya sama, tapi tempat asal kami hanya berjarak kurang dari dua jam. Di teras rumah Martha, yang berada persis di belakang kafe, kami bercerita tentang rindu akan tanah kelahiran.
Pertemanan kami akhirnya kalah ketika berlomba dengan waktu. Martha meninggal karena serangan jantung. Tak lama kemudian, Bombang meninggalkanku. Kami pun tak lagi datang ke Kopi Martha.
Aku menoleh ke arah Sanna. Rupanya dia sedang mengawasiku. Entah sejak kapan. Mulutnya bergerak hendak mengatakan sesuatu, tapi kemudian dia mengurungkan niatnya. Aku memperhatikannya dengan lebih seksama. Sejak kapan dia mulai berdandan?
“Mau pulang sekarang, Indo?” tawarnya.
Aku mengangguk. Dia menenggak habis kopinya sebelum berjalan menuju meja kasir. Aku memang bukan ibu terbaik di dunia, tapi aku tahu Sanna hendak mengatakan sesuatu yang penting. Perayaan ulang tahun bukanlah alasan yang kuat untuk membawaku ke tempat penuh kenangan ini. Telepon saja biasanya cukup.
Aku ingin bertanya ada apa. Mengapa dia terlihat menjaga jarak dan berhati-hati? Apa yang harus dia sembunyikan dariku? Mungkin dia belum siap. Mungkin dia butuh lebih banyak waktu untuk mempercayaiku.Jadi kuputuskan untuk menunggu.
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
