
Perhatikan cast tambahan dibawah ini biar tidak bingung.

Harsa : Kakak Serena (jarang muncul tapi pernah disinggung keberadaannya.)
Wening : Putri Harsa dan Arabella. Tidak ada Waskita dibelakang namanya karena sesuatu.
..
Seminggu sebelum acara dimulai, keluarga kecil ini bertandang ke Jakarta, liburan sekaligus pembukaan cabang bisnis yang baru buka di Jakarta.
“Nih hadiah untukmu.”
Raden menerima kotak kecil yang mbanya itu berikan. Perasaan hari ulang tahunnya sudah lewat, dalam rangka apa coba tiba-tiba memberi hadiah?
“Tidak usah banyak pikiran begitu, buka saja.”
“Galak banget sih, Mbak. Datang tamu ya?”
Wening melirik adiknya galak. “Meh tak tutuk ndasmu, gelem?”
Raden lansung mengambil langkah menjauh. Dia sudah rapi begitu, menyedihkan kalau ada benjol tampak di kepalanya.
Yasa yang menempeli Raden tidak sabaran menyuruh Raden membuka kotak itu. Lama sekali sih bergerak seperti pengantin saja.
“Wah~ Suwun, Mbak.” Raden menatap penuh kagum kalung cantik itu. Saking cantiknya dia rasa ini cocok untuk ibu Kahiyang.
“Ibu kalian itu sudah jadi prioritas ayah kalian, tidak usah ngide memberikan itu kepada ibu Serena ya, berikan saja kepada istri kalian nanti.” Wening sudah tahu nih gelagat mencurigakan Raden. Ujung-ujungnya saling lempar api dengan ayahnya sendiri.
“Padahal saya tidak ikut-ikutan,” ujar Yasa tidak terima. Sayang sekali mbaknya ini belum bisa melihat dirinya. Iya sih harus puasa dalam waktu yang cukup lama, meditasi, belum lagi membaca amalan-amalan tertentu. Tantangan yang paling berat sebenarnya kesabaran. Kemungkinan keberhasilan paling cepat disarankan pada bulan Suro, tapi resikonya yang mempunyai tulang wangi bisa kesurupan, Adelina contohnya.
“Raden, rene.” Harsa memamerkan kamera di tangannya, membuat yang dipanggil buru-buru menghampirinya.
“Untuk saya?” Raden sudah nahan-nahan untuk bersorak senang.
“Untuk siapa lagi kalau bukan untuk kamu.”
“Matur suwun, Papi~”
“Kula?” Yasa menunjuk dirinya. Masa hanya Raden yang dikasih barang, tidak adil sekali.
Harsa merogoh saku jasnya mengambil satu kotak kecil. “Nih buka.”
Yasa nyeri menerima kota itu meskipun tidak tahu isinya. Setelah dibuka dia melongok melihat isinya. “Kemenyan?” Dia menatap kakak ibunya itu bingung. Kalau ini sih banyak di Soeraandaru.
Harsa melirik kiri kanan memastika tidak ada yang memperhatian mereka. “Lihat bagian bawahnya, Cah Bagus. Ini gelang hadiah kakek untuk ibumu, gelang ini sempat hilang. Meskipun ibumu tidak bilang secara langsung, dia masih suka menggeledah rumah ini demi mencari perhiasaan kesukaannya ini. Nah, berikan ini kepada ibumu, pura-pura saja bertanya ini milik siapa. Papi yakin posisi ayahmu akan tergeser.”
“Benarkah?” Tanya Yasa ragu. Ibunya yang menempeli ayahnya begitu masa bisa mengabaikan sang ayah demi benda berkilau ini?
“Coba saja kalau tidak percaya.”
Yasa mengangguk setuju untuk mencoba. Kalau bohong siap-siap saja akan dia jahili si papi.
“Suka sekali melihat pertikaian ya kamu.”
Harsa nyengir melihat istrinya. “Aku hanya membela putraku. Mas Wasesa yang jahil itu harus mendapatkan lawan yang seimbang.”
“Ibu~” Yasa berlari kecil menghampiri ibunya.
“Dalem, Le.”
“Tada~” Yasa memamerkan benda berkilau di tangannya, terus dia ngomong lagi, “saya menemukan benda cantik ini. Tidak tahu punya siapa, karena di rumah ini antara milik mami, nenek, atau milik ibu, tapi saya tidak pernah lihat ibu pakai ini. Ibu tahu tidak ini milik siapa?”
Wasesa yang ditempeli Kahiyang curi-curi pandang, penasaran apa yang ditemukan putranya.
“Kamu ketemu di mana ini?” Serena menyentuh perhiasan yang sudah hilang cukup lama.
“Di kamar Ibu, tepatnya belakang lemari,” jawab Yasa asal.
“Apa yang kamu lakukan sampai menggeledah belakang lemari?” Tanya Wasesa curiga.
“Nangkap demit,” timbal Yasa cepat tanpa pikir panjang.
“Hanya kamu seorang Raden Mas yang jahil.” Wasesa heran sendiri dengan kelakuan putranya.
“Karena Yasa putramu, yang nurun kamu jahilnya, Mas.”
Yasa senyum lebar dibela sang ibu.
“Suwun yo, Le. Ini punya Ibu kok. Ayo kita cari Raden, Ibu mau minta foto.” Serena beralih memeluk lengan Yasa.
“Loh?” Wasesa tidak terima tiba-tiba ditinggalkan.
“Dadah, Ayah~ Sampai bertemu lagi.” Yasa tersenyum penuh kemenangan.

Pulang dari kampus Raden tidak langsung pulang ke Kedhaton, dia memilih menenangkan diri di rumah milik sang ibu. Ramainya persiapan di Kedhaton semakin membuat nyalinya menciut, biarkan saja urusan di Kedhaton menjadi urusan Yasa, toh nanti dia yang berurusan secara langsung jika terpilih calon pengantin mereka tahun ini. Raden memutuskan mandi lalu tidur sebentar, mungkin sekitar jam 4 sore nanti dia akan pulang ke Kedhaton.
“Mas Aby, ini Diajeng.” Adelina memperhatikan ruang tamu rumah milik Kahiyang, sepi, rumah pun dalam keadaan sunyi. Adelina yang diutus memeriksa keadaan Raden langsung memasuki rumah itu, dia menunju ke kamar milik Raden Yasa.
Adelina mengetuk pintu beberapa kali, menunggu jawaban dari pemilik kamar. Masih tidak ada jawaban jadi Adelina pelan-pelan membuka pintu tersebut. Kepalanya menyembul dari balik pintu, seseorang langsung tampak bergelung di bawah selimut. Adelia melangkah perlahan mendekati gundukan di atas ranjang itu, niatnya mau mengintip wajah si pemilik kamar siapa tahu pura-pura tidur, malah keduluan oleh bunyi ponselnya. Adelina gelabakan buru-buru ke luar dari kamar.
“Mas Bhumi ki.” Adelina menatap datar layar ponselnya terdapat panggilan masuk dari putra Pakualaman.
“Kok suwi men ngangkat telpone?” (Kok lama sekali ngangkat telponnya?) Suara Bhumi di seberang terdengar keheranan.
“Saya hampir jantungan ya ditelpon tiba-tiba, orang lagi ngintip mas Aby tidur lho ini,” sewot Adelina.
“Mas ora tau yo,” Bhumi membela dirinya. “Makane kabari Mas ndhisik nek arep ngelakuke opo-opo, ben ora ngeganggu misi awakmu,” lanjutnya lagi.
Adelina membutar bola matanya malas. “Iso tenan yo membelo diri.” (Bisa sekali ya membala diri.)
“Iki udu membela diri, kenyataan og.” (Ini bukan membela diri, kenyataan kok.)
“Oh, ngono ….” (Begitu.)
“Ayam!” Pekik Adelina kaget. Dia menoleh menatap Raden dengan mata melotot, ponsel nyaris lepas dari genggamannya. “Mas Aby!”
“Ngopo?” Raden bertanya dengan santai tanpa perduli dengan reaksi Adelina.
“Mas seperti setan tahu. Minimal ada suara langkah kaki biar orang tidak kaget.”
Raden mengangguk-ngangguk. “Iya, nanti Mas pukul lantainya sekalian biar kamu kedengaran.”
“Halah, mboh.” Lelah Adelina diganggu.
“Sini ponselmu, Mas pinjam.” Raden menadahkan tangannya.
Adelina memberika ponselnya masih dengan wajah tertekuk.
“Ada apa sampai mengutus Adel?” Raden menanyai Bhumi.
“Ibu Kahiyang yang suruh. Oh ya, jangan terlalu mempet waktu pulang, jam setengah 6 pasti sudah ada masyrakat Soeraandaru yang datang.”
“Ini mau langsung pulang saja, sekali ngajak Adel, nanti anaknya malah main lagi.”
“Ora yo.” (Tidak ya.) Adelina langsung menyahuti.

“Saya masih kurang mengerti kenapa tanda masuk ke tahap selanjutnya ditandai dengan ini? Terdengar agak tidak nyaman. Bagaimana kalau dia nanti malu, secara kan disaksikan oleh banyak orang.”
“Reaksi kecocokan dengan calon ibu, ini masih masuk tahap wajar, sebab gejalanya mirip dengan masa datang tamu seorang wanita. Dia nanti pasti merasa tidak nyaman, dan tugas kamu bagaimana caranya supaya pada saat itu terjadi tidak disaksikan oleh banyak pasang mata.”
“Kalau dia tetap diam saja karena gugup bagaimana? Masa saya tanya dia apa merasa ada yang keluar, itu tidak sopan, Ayah.” Yasa memijat pelipisnya, pusing dia memikir acara yang tidak lama lagi dimulai.
“Saya bisa menebak hanya dengan melihat gelatnya saja, kamu tidak perlu khawatir.” Raden bergabung dalam perbincangan serius itu
“Apa yang membuatmu yakin?” Tanya Yasa.
“Saya barusan bertemu dengan ibu. Pejelasan ibu bisa saya mengerti dengan cepat dari pada penjelasan ayah.”
“Ayah mana bisa menjelaskan dengan detail, wong ayah laki-laki,” ujar Devan.
“Nah, maka dari itu saya tanya ibu.”
“Kamu tidak malu nanya sama ibu?” Wasesa nanya. “Yasa mana berani nanya, wajahnya sudah memerah duluan seperti api.”
“Api banget nih?” Yasa menatap Wasesa datar.
“Terpaksa, daripada terjadi sesuatu nanti.”
Di lain tempat Serena memeriksa kembali Pendopo tempat acara ritual berlangsung. Memastikan sela-sela rangkaian melati yang menjuntai ini celanya pas menghindari orang-orang mengetahui wajah putranya.
“Kalau Raden Yasa maju ke depan wajahnya tetap terlihat dong.” Windia bingung dengan konsepnya.
Serena menggeleng. “Kata romo wajah Raden Yasa nanti akan ada perubahan di pandangan orang-orang, kan nanti diikuti oleh pihak leluhur. Pokoknya sampai ke tahap ndulang.”
“Kamu waktu itu melihat ada perubahan tidak?”
“Ntahlah, aku sibuk makan waktu itu. Makanya aku bingung tiba-tiba terpilih jadi calon manten. Ya ditambah lagi aku tidak tahu soal acara ritual.”
“Masa sih kamu tidak beraksi melihat pria tampan? Si pulu-pulu dulu kamu pernah tuh bilang dia tampan sebelum kamu sadar kalau kamu bodoh.”
Serena mendengus mendengar ucapan Windia. “Tolong ya masa lalu jangan dibahas lagi.”
Sekitar jam 6 sore Kedhaton sudah ramai. Para gadis-gadis cantik yang mendaftar mengikuti upacara ritual satu persatu mulai memasuki kawasan Kedhaton. Bhumi serta Wening yang sudah berada di bagian dalam Pendopo sibuk bertukar pesan dengan Raden Yasa, mengbarkan keadaan.
“Kok ramai sekali yang ikut?” Raden memegang kepalanya frustasi.
“Karena mereka tertarik, apalagi coba alasannya? Ditambah ibu sudah memamerkan kita walaupun tidak tampak wajah, ketampanan kita tetap terlihat tahu.”
“Kamu terlihat santai sekali ya,” komentar Raden.
“Kalau saya ikutan panik, yang ada acara nanti jadi berantakan.”
“Benar kata mas Yasa.” Adelina yang bertuga menemani mas-masnya ini membenarkan perkataan Yasa.
Ceklek
Pintu kamar terbuka. Tampak Serena berdiri dengan balutan kebaya hitam ditemani oleh beberapa abdi dalem.
“Le, ayo ke depan. Acaranya sebentar lagi dimulai.”
“Nggih, Ibu.”
“Jangan lupa berdoa, Mas.”
“Nggih, Diajeng.”
Kalau tadi Raden frustasi dengan jumlah yang ikut ritual banyak, ketika para gadis itu mulai memasuki Pendopo, Raden mengenali banyak wajah yang tidak asing. Ini kena para gadis kampus banyak yang ikut coba?!
Beda dengan Raden yang bergelot dengan pikirannya, Yasa memperhatikan para gadis yang semakin memasuki bagian dalam Pendopo. Melihat mereka yang satu persatu keluar dari barisan membuat Yasa cukup lega.
“Ya Gusti, jantungku.” Raden merasa dada sampai nyeri saking gugupnya ada yang terpilih. Untungnya tidak ada, mereka semua berhenti bahkan sebelum mencapai tengah-tengah Pendopo.
“Itu artinya kita diberi waktu supaya bisa lebih dewasa saat calon istrinya kita tiba. Jangan terlalu gugub, Raden.”
“Maklum, namanya baru pertama kali.”








Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
