
Sebelum akhirnya langkahku sampai pada rerumputan ilalang yang bergerak itu, sebuah benda melayang mengenai dadaku. Sepertinya benda itu sengaja dilempar oleh seseorang. Untung saja benda itu hanya selembar kertas yang sengaja digumpal-gumpal lalu dilempar ke arahku. Dengan segera kuambil gumpalan kertas itu yang telah jatuh ke tanah dan mataku mengarah lagi pada rumput ilalang, tetapi rumput ilalang itu tidak bergoyang seperti tadi. Tidak ada bergoyang sedikit pun
Kemarin Sari menemukan sebuah amplop...
Bab 8
Aku tidak mengetahui dengan jelas tentang semua yang Mas Edi dan ibu mertuaku lakukan di luar kamarku. Tidak ada terdengar suara sedikit pun. Senyap. Sepi. Bahkan, suara anak-anakku yang biasanya pada waktu seperti ini bermain di ruang tengah pun tidak terdengar.
Sebisa mungkin aku kuatkan tubuhku untuk berjalan. Namun, apa daya tubuhku masih lemas. Kepalaku terus di serbu oleh rasa pusing yang hebat hingga akhirnya lebih baik aku memilih untuk beristirahat. Rasa kantuk mulai menyerangku hingga aku tidak kuat lagi untuk membuka kedua mataku. Terpaksa aku memilih untuk tidur di saat aku ingin mengetahui semua yang Mas Edi lakukan dengan ibu mertuaku di luar hingga akhirnya aku terlelap di pulau kapuk.
___________________
Menjelang malam hari barulah aku terbangun dari tidurku. Aku melihat lampu kamarku sudah terang. Ini sudah senja. Aku menguatkan diriku untuk bangun dari pembaringanku. Aku tidak mau seperti ini terus. Rasanya jenuh jika hanya makan dan tidur saja di dalam kamar tanpa melakukan sedikit aktivitas yang bisa untuk membuat tubuhku berkeringat.
Sebelum aku menginjakkan kakiku di lantai, ibu mertuaku masuk ke dalam kamarku dengan membawa nampan yang isinya semangkok bubur ayam dan satu gelas air mineral. Semangkok bubur ayam itu masih mengepul asapnya. Bukan hanya itu saja, ada pula satu piring di atas nampan itu yang tersaji berbagai jenis buah-buahan.
“Kamu mau ke mana, Nduk?” tanya Bu Ratih. Ibu mertuaku.
“Aku mau mencari udara segar di luar sekalian ingin beraktivitas lagi seperti biasanya,” jawabku.
“Makan dulu, Nduk. Isi perutmu itu dengan berbagai makanan yang bergizi biar kamu dan janinmu sehat,” bujuk Bu Ratih.
Aku hanya menjawab perkataan Bu Ratih dengan menganggukkan kepalaku perlahan sembari sedikit tersenyum.
Bu Ratih segera menaruh nampan itu di atas meja riasku lalu mengambil semangkok bubur. Dengan pelan Bu Ratih pun menyuapiku. Namun, aku tidak enak jika sebagai menantu aku terlalu di istimewakan seperti ini. Ketika makan selalu harus saja disuapi oleh ibu mertuaku.
“Bu, biar Sari makan buburnya sendiri saja,” ucapku.
“Apa kamu sudah bisa makan sendiri? Jika badanmu masih lemas, lebih baik Ibu saja yang menyuapimu,” kata Bu Ratih.
“Tubuh Sari tidak terlalu lemas. Sudah mulai membaik, Bu,” jawabku.
Bu Ratih memberikan semangkok bubur ayam beserta sendoknya padaku. Namun, Bu Ratih tidak beranjak pergi dari dalam kamarku. Ibu mertuaku itu tetap saja berada di sampingku sembari memandang wajahku yang sedang makan bubur buatannya sendiri itu. Lama kami saling diam hingga akhirnya Bu Ratih membuka pembicaraan terlebih dulu padaku. “Jika Ibu bertanya sesuatu hal padamu, apakah kamu bersedia untuk menjawabnya dengan jujur pada Ibu?” tanya Bu Ratih.
“Iya, Bu,” jawabku dengan pelan.
Sebelum Bu Ratih mengajukan pertanyaannya padaku, terlebih dulu Bu Ratih mengambilkanku segelas air mineral karena ketika makan bubur ayam tadi aku tidak ada sama sekali membasahi tenggorokanku. Kemudian Bu Ratih mengambilkanku buah-buahan. Setelah menghabiskan beberapa buah-buahan barulah Bu Ratih memulai ucapannya kembali. “Apa kamu bahagia hidup bersama Edi dengan keadaan yang seperti ini?” tanya Bu Ratih.
Kenapa Bu Ratih bertanya seperti itu padaku? Tidak seperti biasanya ibu mertuaku ini bertanya tentang urusan pribadiku.
Aku jawab dengan sejujur-jujurnya. “Dari awal pacaran hingga menikah, Sari sudah mencintai Mas Edi. Jadi, Sari rela harus hidup di rumah kontrakan bersama Mas Edi,” jawabku.
“Bagaimana dengan keluargamu? Apa keluargamu juga menerima jika Edi hingga saat ini masih belum bisa membelikanmu rumah?” tanya Bu Ratih lagi.
“Keluarga Sari tidak mau ikut campur dengan semua urusan rumah tangga Sari. Mau hidup Sari senang atau pun menderita bersama Mas Edi, semua itu akan Sari jalani karena Mas Edi adalah laki-laki pilihan Sari sendiri,” jawabku.
Setelah mendengar jawabanku dari banyaknya pertanyaannya itu kemudian ibu mertuaku tersenyum lebar. “Habiskan buah-buahannya. Setelah itu minum obat lagi,” pinta Bu Ratih.
Aku mengangguk pelan.
_______________
Udara segar pun akhirnya bisa kuhirup juga setelah seharian suntuk aku hanya bermain bantal dan guling di atas kasur. Tubuhku mulai segar kembali setelah aku memakan bubur ayam hangat dan menghabiskan satu belas air mineral juga beberapa buah-buahan yang diberikan oleh ibu mertuaku.
Malam mulai tiba. Kulihat bintang di langit sudah ada. Hanya saja tidak terlalu banyak. Bulan pun mulai memunculkan wajahnya. Indah sekali. Udara malam mulai mengayun-ayunkan setiap helai rambutku. Terasa sangat sejuk. Namun, Mas Edi tidak terlihat di dalam rumah. Hanya ada Bu Ratih saja yang kini sedang menemani Delia dan Nurmi yang sedang belajar di ruang tengah.
Bu Ratih sangat menyayangi Delia dan Nurmi karena Bu Ratih saat ini hanya mempunyai dua orang cucu, sedangkan anak bungsu Bu Ratih, yaitu juga adik Mas Edi hingga saat ini belum kunjung menikah.
Aku masih ingat akan perkataan Mas Edi dulu sewaktu aku pernah mempertanyakan tentang Tiara yang kenapa hingga saat ini masih melajang. Namun, Mas Edi menjawab pertanyaanku itu ternyata di luar pemikiranku. “Tiara, masih ingin mengejar kariernya. Jika ia tidak sukses, maka ia tidak ingin menikah. Baginya, menikah itu hanya nomor dua. Kariernya lah yang lebih utama,” jawab Mas Edi.
Aku kira Tiara belum menikah hingga saat ini karena ia belum mempunyai pasangan yang cocok untuknya. Ternyata Tiara lebih mengutamakan kariernya dari pada sebuah pernikahan.
Dari cerita Mas Edi, sebenarnya ayah dan ibunya selalu saja mendesak Tiara agar cepat menikah supaya tidak menjadi perawan tua dan bahan perbincangan hangat tetangga, tetapi Tiara selalu saja menolak. Pernah pada suatu saat ayah dan ibu Mas Edi membawa seorang laki-laki ke rumah untuk diperkenalkan dengan Tiara, tetapi Tiara malah acuh pada laki-laki itu hingga laki-laki itu mengucapkan kata-kata kasar pada Tiara. “Kamu itu wanita sombong. Di luar sana banyak wanita yang cantik dan berkelas, tetapi mereka tidak sepertimu. Hanya diajak kenalan saja sudah sombong. Apa lagi menjadi istri,” ucap Laki-laki itu.
Laki-laki itu tak lain adalah anak dari teman ayah mertuaku. Dari kejadian itulah ayah dan ibu mertuaku tidak mau lagi memperkenalkan Tiara dengan laki-laki mana pun juga.
“Loh, Sari kok masih di sini?” tanya Bu Ratih.
Pertanyaan ibu mertuaku itu membuyarkan lamunanku tentang cerita Mas Edi padaku akan Tiara waktu itu.
“Iya, Bu. Sari lagi menikmati udara malam yang berembus sepoi-sepoi seperti udara di pegunungan,” jawabku.
“Jangan lama-lama. Setelah itu masuk lagi ke dalam rumah karena udara malam itu tidak baik untuk kesehatan,” saran Bu Ratih.
“Iya, Bu,” jawabku sembari tersenyum lebar.
Ketika Bu Ratih pun membalikkan tubuhnya lalu masuk lagi ke dalam rumah untuk menemani anak-anakku yang masih pada belajar di ruang tengah.
Tak terasa aku duduk di teras rumah sudah beberapa jam lamanya. Namun, Mas Edi tidak juga menongolkan wajahnya. Ke mana Mas Edi sebenarnya? Di gang ini jika sudah larut malam jalanan sudah sepi. Pengendara roda dua yang lewat hanya bisa dihitung memakai jari tangan saja, sedangkan pintu rumah para warga sudah sebagian besar di tutup dengan rapat. Biasanya jam segini aku sudah merebahkan tubuhku di pulau kapuk dan Mas Edi sudah berada di rumah. Namun, kini aku belum merasa mengantuk. Aku masih ingin menikmati udara segar di luar rumah.
Kerasak!
Mataku menoleh ke sebelah kiri mengikuti arah suara itu berasal. Di sana ada sebuah rumah yang memang sudah hampir enam bulan terakhir ini tidak berpenghuni. Yang punya rumah itu telah pindah ke luar kota dan kata sang pemiliknya rumah itu akan jual jika ada yang berminat membelinya, tetapi itu pula jika harganya cocok. Mataku membulat ketika kulihat rerumputan ilalang yang lumayan tinggi itu bergoyang dengan sendiri. Padahal angin yang berembus sudah mereda. Seketika itu pula bulu tubuhku merinding.
Rerumputan ilalang itu terus bergoyang. Dengan ragu dan rasa penasaran yang hebat, kuberanikan diri untuk mendekatinya. Walaupun sebenarnya perasaan ketakutan itu melanda diriku.
Sebelum akhirnya langkahku sampai pada rerumputan ilalang yang bergerak itu, sebuah benda melayang mengenai dadaku. Sepertinya benda itu sengaja dilempar oleh seseorang. Untung saja benda itu hanya selembar kertas yang sengaja digumpal-gumpal lalu dilempar ke arahku. Dengan segera kuambil gumpalan kertas itu yang telah jatuh ke tanah dan mataku mengarah lagi pada rumput ilalang, tetapi rumput ilalang itu tidak bergoyang seperti tadi. Tidak ada bergoyang sedikit pun.
Kubuka gumpalan kertas itu lalu kubaca tulisannya. Kedua mataku pun semakin membulat. Rasa tak percaya bercampur kesal membaur menjadi satu.
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
