
Mouza harus bertemu lelaki pelangi itu. Untuk apa?
"Mouza," panggil Farrel yang membuat perempuan di depannya menghentikan langkah. Hatinya masih kembang kempis bila bersinggungan dengan segala hal terkait lelaki shaleh itu. "Itu untuk Kak Rifki?" Sebuah tanya yang dijawab anggukan kepala Mouza pun terucap.
Kini lelaki itu sudah berdiri di sampingnya. Mereka membiarkan desau angin bermain di sekitar tanpa terusik oleh suara siapapun di antara keduanya.
"Rel."
"Za, selamat, ya. Ternyata jodohmu Kak Rifki. Semoga lancar sampai hari H." Ucapan yang dipaksakan itu terdengar menyayat hati pendengarnya, termasuk Mouza. Sungguh, jika ada keberanian di dalam dirinya, maka ingin gadis itu mengungkapkan perasaannya pada Farel. Tapi, apakah dirinya siap ditolak? Dia hanya mahasiswa biasa dan bukan bintang organisasi layaknya Farel. Seorang lelaki dengan kemampuan seperti Farel tentunya akan mencari belahan jiwa yang sejajar dengannya. Mouza hanya tersenyum kecut mengingat hal tersebut.
"Terima kasih. Mouza ke ruang sidang dulu," ucap Mouza berpamitan.
Langkah gadis itu semakin menjauh tanpa menyadari ada hati yang terbelah. Gadis itu sampai di depan ruang sidang tepat saat pintu terbuka dan wajah bersih Rifki tampak di depan matanya, melangkah keluar sebagai penanda ia menyelesaikan sidang.
"Za," panggil Rifki. Gadis itu mendekat kemudian menyerahkan sebuket dark chocolate padanya.
"Selamat, Kak. Kata Tante Sasmita, Kak Rifki suka dark chocolate," ujar Mouza.
"Terima kasih." Rifki mengulurkan tangannya untuk menerima buket tersebut. Ada suntikan energi di dalam dirinya ketika ia melihat Mouza datang membawa buket untuknya. Kini dirinya siap untuk mengerjakan naskah-naskah yang sudah dikirimkan penerbit. Tapi sebelum itu ...
"Kita makan," ajak Rifki. Seperti biasa, sebuah ajakan yang lebih mirip perintah. Mendengar kata makan, Mouza tersenyum lebar kemudian menganggukkan kepalanya yakin.
"Kak Rifki yang traktir?" tanya Mouza sambil melirik tasnya. Lebih tepatnya melirik dompet di dalam tasnya.
"Oke."
Sepasang manusia itu terlihat seperti pasangan normal lainnya kalau bicara tentang makan. Hanya saat membicarakan makanan. Lain tidak.
Di sebuah resto siap saji Mouza sedang memilih menu saat ada yang menepuk pundak Rifki.
"Rifki," panggil seseorang. Mouza ikut menoleh untuk memastikan siapa yang menyebut nama calon suaminya. Baik Mouza maupun Rifki kini hanya bisa menegang. Sungguh, mereka berdua sangat tidak ingin bertemu orang itu, Gery Abraham.
***
"Kak, siapa orang yang ngejar Kakak?" tanya Mouza selesai acara lamaran malam itu. Keempat orang tua mereka sedang bersantai dan Mouza memilih untuk duduk di teras bersama Rifki.
"Perlu kuberi tahu?" Alih-alih menjawab, lelaki itu malah balik bertanya.
"Perlu, Kak. Supaya kita bisa menghindar dari dia."
Rifki menghela nafasnya sebelum pada akhirnya ia melontarkan sebuah nama.
***
"Gery," sapa Rifki. Lelaki itu mendapati raut wajah Mouza yang menjadi kurang bersahabat.
"Siapa? Adikmu?" tanya lelaki yang memakai hem slim fit abu-abu itu.
"Calon istri," jawab Mouza sedikit ketus.
Tanpa disangka Gery malah tertawa mendengarnya.
"Jangan bercanda. Mana mungkin calon istri Rifki seperti ini?" celetuk Gery dengan nada meremehkan.
"Jangan bicara begitu soal calon istriku," sahut Rifki cepat.
Sebuah ucapan yang menghentikan tawa Gery dan mengubah raut wajah lelaki metroseksual tersebut. Wajah tampannya kini tidak semringah lagi seperti tadi. Tergantikan mendung sebagai efek kata-kata Rifki yang tertangkap ruang dengarnya.
Sementara itu, Rifki dan Mouza menyelesaikan pesanannya dan membayar di kasir, meninggalkan Gery yang tidak bergeming sampai akhirnya ia disapa oleh kasir terkait pesanannya.
"Dia sering ke sini?" tanya Mouza setelah mendudukkan dirinya di meja dan meletakkan nampan makanan mereka berdua.
"Iya. Kami sering makan bersama di sini membahas naskah," jawab Rifki sambil mengambil pesanannya dari nampan. Sop ayam yang hangat dan menggugah seleranya.
"Pantas saja." Ketus Mouza menggumam.
"Kamu tidak suka?"
"Perempuan mana yang suka kalau calon suaminya bertemu peenggoda? Apalagi dia laki-laki." Mouza menjawab dengan nada yang semakin terdengar tidak ramah diiringi raut wajah seperti kuda nil kelaparan. Membayangkannya saja sudah membuat Rifki tertawa.
"Kamu cemburu?" duga Rifki seperti mendobrak benteng pertahanan gadis itu. Alih-alih menjawab pertanyaan calon suaminya, Mouza memilih untuk mengalihkan wajahnya ke samping. Gadis itu mendengus sebal karena saat menoleh itu malah Gery terlihat jelas olehnya sedang berjalan ke arah mereka.
"Di sini kosong, kan?" tanya Gery berbasa-basi sambil meletakkan nampannya di samping Rifki.
"Ah, aku ambilkan sedotan, Za," ujar Rifki sambil beranjak dari tempat duduknya. Lelaki itu melangkahkan kakinya menuju counter untuk mengambil dua sedotan. Untuknya dan Mouza.
Sementara itu, tampak Mouza menghentakkan sumpitnya ke atas mangkok nasi miliknya.
"Kamu bisa pakai sumpit, kan?" tanya Gery.
Lelaki itu sangat handal membuat mood Mouza berantakan.
"Bisa." Ketus Mouza menjawab sambil menyuapkan nasi beserta katsu secara bergantian ke dalam mulutnya.
"Kasihan Rifki. Calon istrinya tidak punya adab makan. Padahal berjilbab," gumam Gery sengaja dengan jelas agar Mouza mendengar.
Ini lebih baik daripada Mouza makan kamu, cowok homo! Gadis itu menggerutu dalam hati sambil mengunyah makanannya.
"Ini sedotannya." Rifki yang merasakan perang listrik tak kasat mata di antara kedua orang di depannya itu segera mendekat dan memberi sedotan kemudian duduk kembali di kursinya. Mouza memilih diam sampai makannya selesai sementara Gery membahas naskahnya yang ditangani oleh Rifki.
"Kalau begitu nanti aku bisa minta bantuan Mouza dalam editing," ujar Rifki yang disambut kerutan alis lelaki di sampingnya.
"Gadis ini?"
"Iya. Dia sudah berpengalaman dalam berbagai proyek kebahasaan bersama dosen kami," jawab Rifki menjelaskan.
Sementara itu, Mouza menyunggingkan senyum bangga atas ucapan Rifki yang seperti memihaknya dibanding lelaki pelangi itu.
"Pantas saja, anak bahasa. Kaku." Sebuah sematan tak terduga dari Gery membuat Mouza menghentikan senyumnya, berganti delikan yang sangat maksimal.
Orang ini mulutnya perlu diedit juga, mungkin?
"Gery. Jaga bicaramu." Ketus Rifki memerintah kliennya itu. Dominasi lelaki itu kembali muncul karena merasa terusik atas ucapan Gery.
"Santai, Ki. Baru kali ini kamu berani membentakku cuma karena gadis ini." Lelaki berkemeja abu-abu itu mengungkapkan perasaan tidak terimanya atas sikap Rifki yang di luar dugaannya.
"Kami sudah selesai. Permisi." Rifki menyahuti dengan ucapan untuk pamit. Sementara itu tangannya membereskan bekas makannya untuk kemudian ditumpuk bersama perangkat makan Mouza di nampan mereka berdua. Meringankan tugas pegawai resto tersebut tidak sulit, bukan?
Mouza menyusul langkah tegap calon suaminya itu. Mereka menjauh dari meja yang kini hanya diduduki oleh Gery.
Tinggallah lelaki tampan itu sendiri. Raut wajahnya menggambarkan langit di atas kawah gunung yang sedang erupsi.
"Tidak mudah, Ki. Kamu pasti akan kembali padaku. Karena kamu membutuhkanku."
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
