Satu Sapi Terjual, Keuntungan Lebih Rp 100 Juta

1
0
Deskripsi

Setyo pemuda asal Purworejo, Jateng ternak sapi. Pernah suatu ketika keuntungan jualnya mencapai lebih dari Rp 100 juta. Apa kunci dalam memeliharanya? Lalu di tengah merebaknya penyakit mulut dan kuku (PMK) saat seperti sekarang ini, dia juga punya tamengnya.

SINAR matahari masih samar-samar. Panasnya belum menyilaukan pandangan. Saat itu, Aksan mengantar anaknya sekolah. Jarak dekat. Waktu hanya ditempuh 10 menit. Begitu sampai gerbang sekolah, anaknya turun, jabat tangan, cium tangan. Anaknya masuk gerbang. Melambaikan tangan.

Dengan mengendarai motor yang keluaran 2012 itu, Aksan balik kanan. Di tengah perjalanan, ada yang jual sari kacang ijo. Minuman hangat dari sari kacang ijo yang telah dicampur gula dan santan.

"Dingin-dingin gini enak ni, kalau minum yang hangat. Apalagi bergizi," batin Aksan.

Beli satu bungkus. Harga Rp 3 ribu. Sebelum lebaran Rp 2,5 ribu. Naik 500 rupiah. Sesampai di rumah dituangkan dalam dua gelas. Ukuran 200 ml dan 300 ml. Banyak juga rupanya.

Sambil minum, Aksan lihat koran terbitan media massa beberapa waktu lalu. Koran Jawa Pos. Yang belum sempat terbaca. Dibukalah lembaran koran itu. Awalan lihat halaman pertama.

"Kok ada gambar sapi. Jelang lebaran Idul Adha pas in i kalau dibaca."

Potongan judul yang menarik "Sapi Sortiran Bisa Jadi Juara Jateng". Jateng yang dimaksud adalah Jawa Tengah. Yang beternak sapi itu adalah Setyo Hermawan, pemuda asal Purworejo, 24 tahun.

Baginya, adanya penyakit mulut dan kuku (PKM) yang sedang merebak, tak membuatnya menjadi khawatir. Dia bisa menjauhkan sapinya dari penyakit tersebut.

Ia memelihara sapi dan juga memasarkan sapi di daerah tempat tinggalnya di Desa Depokrejo, Purworejo, Jawa Tengah. Sapi-sapinya tidak hanya dijual di lokalan. Tapi menjalar sampai Cirebon Jawa Barat. Yang harganya lebih tinggi dibanding di daerahnya.

"Contohnya, harga sapi di Cirebon sekitar Rp 30 juta dengan berat tertentu. Di Purworejo hanya Rp 25 juta," kata Setyo sebagaiman tertulis dalam koran Jawa Pos, di halaman 11 bawah, sambungan halaman 1, terbitan 11 Mei 2022.

Dalam suatu waktu ia menjual 50 ekor sapi ke daerah tersebut. Ini yang luar biasa bagi pria berusia muda ini, 24 tahun. Sampai omzetnya miliaran rupiah.

Selama enam tahun terakhir, Setyo memiliki beberapa pengalaman tak terlupakan. Yakni membeli sapi fenomenal, Gareng dan Gandrong.

"Kedua sapi ini saya beli dengan kondisi yang kurus, walau sapi jumbo ya," akunya.

Hal itu tak membuat putus asa. Sapi tersebut dirawat dengan baik. Tapi siapa sangka, sapi itu memberikan kejutan. Gareng setelah dirawat beberapa bulan justru menang dalam kontes di Jateng. Lalu, Gandrong menjadi sapi dengan berat 1 ton.

"Kalau kita rawat dengan ikhlas, sapi akan membalasnya."

Gareng terjual dengan keuntungan hampir 10 kali lipat dari pembelian awal. Nilai untungnya lebih dari 100 juta rupiah.

"Siapa sangka keikhlasan justru melahirkan keistimewaan," paparnya.

Setyo masih memiliki mimpi. Salah satunya mewujudkan desanya sebagai desa wisata satwa dan ternak. Dengan sapi sebagai pembajak. Sapi sebagai alat transportasi.

"Saya juga memiliki mimpi untuk bisa membagikan satu ekor betina ke setiap keluarga di desa. Untuk meningkatkan populasi. Karena, yang kita lakukan saat ini hanya mengurangi populasi," jelas pria lulusan Universitas Jenderal Achmad Yani, Jogjakarta ini.

Ditengah ancaman PMK, Setyo punya cara agar bisa terhindar dari penyakit itu. Yakni dengan cara mencegah daripada mengobati.

Baginya kuncinya adalah kebersihan kandang dan perawatan sapi. Kandang sapi harus disemprot disinfektan setiap hari yang harganya tidak lebih dari Rp 50 ribu.

Selain itu, sapi dimandikan setiap hari. Dicek apakah ada kutunya atau tidak? Bisa disemprot obat kutu yang harganya tidak lebih dari Rp 30 ribu.

"Tapi, biasanya musuhnya itu M, males," tandasnya.

Aksan membacanya pun sudah. Diminum kembali sari kacang ijo itu. Hanya tersisa sedikit. (TitahKita)

(DUKUNG TULISAN INI)

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya Cak Nun: Verifikasi Rasa, Jangan “Ngendas-ngendasi” Tuhan
1
0
UNDANG-undang dasarnya, manusia itu tidak berdaya. Bahkan semua. Termasuk nabi. Termasuk malaikat. Pun jin. Pun iblis tidak berdaya.Kalimat di atas menjadi penjelasan Cak Nun atau Emha Ainun Nadjib.Rentetan kalimatnya berlanjut.Sementara manusia tiap hari menghadapi tantangan, problem, ancaman segala macam. Yang makin lama makin tidak mampu diantisipasi.“Karena kita tetap tidak berdaya, meskipun kita bisa mencari ilmu. Tapi, tetap posisi kita dalam undang-undang kehidupan adalah tidak berdaya,” tandasnya.Dengan hal itu, maka terus kita “ndangak” atau menengadah: melihat-lihat ke atas; menghadapkan muka ke atas; mengangkat kepala.Disebutkan Cak Nun, di atas kita ada tiga lapisan langit. “Jadi kita menengadah karena kita berharap. Jangan terpapar covid. Mudah-mudahan tetap bisa menghidupi anak-istri saya. Mudah-mudahan kehidupan saya tetap bisa sakinah dalam keluarga saya. Ya tidak sampai-sampai makmur amat. Setidaknya, tidak kekurangan makan gitu,” sambungnya. Dijelaskan, ketika menengadah ada tiga lapisan. Pertama, yang kita langsung bisa mengharapkan atau berdoa.Berdoa atau berharap, posisinya berada pada ketiadaan menuju keadaan. Pada posisi tidak ada menjadi ada. Yang belum tercapai meminta memohon untuk tercapaikan“Ini adalah perubahan keadaan yang kita harapkan. Maka kita berdoa,” singkatnya dengan penjelasan yang gamblang.Di atasnya harapannya, lanjut Cak Nun, ada lapis langit. Namanya keyakinan. Tetapi untuk tercapai. Untuk ada dari tidak ada. Untuk selamat dari tidak selamat itu letaknya tidak diyakinan. Letaknya di atasnya lagi. Di lapisan langit yang ketiga. Yaitu, pepesten (bahasa Jawa); ketentuan Tuhan. Kepastian, keniscayaan dari kuasa Allah dan daya Allah.“Jadi puncak doa kita itu kan hanya keyakinan,” tandas Cak Nun dalam channel Youtube CakNun.com.Tetapi keyakinan itu akan terjadi apa tidak? Letaknya ada di wilayahnya Allah. Manusia hanya bisa sampai ke langit keyakinan.Ditegaskan Cak Nun, dalam berdoa, mengharapkan sesuatu dengan keyakinan: bahwa Allah merahmati kita, bahwa Allah Maha Sayang, Maha Pengasih, Maha Pengampun.“Sehingga ada kans untuk kita mencapai sesuatu yang kita harapkan. Jadi nanti posisinya kita sampai ke langit keyakinan. Terus Allah turun dengan pepesten-nya. Di situ nanti ada birokrasi. Ada verifikasi dari Allah sendiri, yang kita ndak tahu.“Kebanyakan kita itu, teman-teman sekalian, kita itu kadang-kadang terpeleset. Saking yakinnya terus kita memastikan. Sebenarnya itu belum kepastian. Misalnya lho saya shalawatan kok. Saya dzikir kok. Saya shalat rajin kok, saya pasti dilindungi Tuhan ya.”“Nah sekarang coba dirasakan di dalam roso (rasa) atau perasaan terdalammu. Yang kamu omongkan itu tadi keyakinan atau kepastian?”Ditegaskan Cak Nun, kalau kepastian itu milik Allah. Bukan milik kita. Kalau milik kita itu keyakinan. Dan itu jaraknya memang sangat tipis.“Jadi ketika seseorang ngomong. O nggak apa-apa covid, saya shalawatan. Saya punya hak prerogatif dari Allah, karena saya shalawatan ke Rasulullah. Kalau dekat sama Rasulullah kan diselamatkan oleh Allah. Itu harapan namanya. Dan yang kita yakini itu, tapi itu bukan pepesten, bukan kepastian.”“Nah seringkali kita itu. Di dalam diri kita kebablasan untuk menyangka bahwa keyakinan kita itu sama dengan kepastian dari Allah,” jelas suami dari Novia Kolopaking ini.Cak Nun mengajak, agar jangan sampai merasakan, memikirkan untuk mengatakan sesuatu yang kita kepleset atau kebablasan.“O ndak papa sama covid. Masak saya kalah sama covid. Sampai ada Habib mengatakan mosok Izroil kalah sama virus. Jadi itu menurut saya, kebablasan dari keyakinan menjadi kepastian.”“Kalau Allah berhak ngomong seperti itu. Dan, memang pada posisi-Nya. Mudah-mudahan Allah turun untuk menggabungkan, menjodohkan, antara yakin kita dengan kabul atau kebersihan Allah.”Tapi, lanjut Cak Nun, yang menentukan terkabul bukan kita. Kita hanya bisa memohon dan meyakini. Kita tidak bisa memastikan.“Jadi tolong kita semua selalu memverifikasi roso (rasa) dan batin kita. Supaya kita tidak kebablasan atau keteladuk atau terpeleset untuk memperlakukan keyakinan itu.” Dijelaskan, keyakinan bukan puncak harapan sebagai kepastian. Kepastian itu langitnya di atas. Malaikat Jibril tidak bisa sampai ke Sidradul Muntaha. Rasullulah bisa sampai ke sana. Itu bukan karena Rasullulah hebat.Itu karena Allah memperkenankan Rasullullah sampai ke lapisan garis pamungkas atau Sidratul Muntaha itu. Sementara Jibril tidak boleh naik sampai ke sana.“Itu bukan soal dayanya Muhammad dan Jibril. Itu izin Allah, kehendak Allah, perintah Allah, semau-maunya Allah. Jadi kita jangan ngendas-ndasi Allah. Jangan mengklaim seolah-olah kita ini, bisa memastikan sesuatu.”“Jadi kita pada posisi mengharapkan. Paling puncak itu menyakini. Tapi, jangan sampai memastikan,” tutup Cak Nun. (TitahKita)SHARE KONTEN DAKWAH BERPAHALA“Barang siapa yang menunjuki kepada kebaikan, maka dia akan mendapatkan pahala seperti pahala orang yang mengerjakannya. HR. Muslim no. 1893.(DUKUNG TULISAN INI)
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan