Akal Budaknya Perasaan: Jangan Pikir Dalam-dalam, Nanti Sakit Lho...

5
0
Deskripsi

DUA malam lalu saya mendengarkan ceramahnya Dr Fahruddin Faiz. Ada poin yang memikat.

Kalimat yang menghentak: akal adalah budaknya perasaan.

Mendengar budak kok rasa-rasanya orang yang terpinggirkan. Orang dikuasai orang lain: seperti tidak punya kemerdekaan. Harus patuh pada juragan. Apapun perintahnya.

Perbudakan sudah ada sejak masa Socrates, Plato, dan Aristoteles. Meski demikian, Islam kemudian membuat syariat untuk memerdekaan budak dan tidak mensyariatkan perbudakan. 

Tapi yang dimaksud...

DUA malam lalu saya mendengarkan ceramahnya Dr Fahruddin Faiz. Ada poin yang memikat.

Kalimat yang menghentak: akal adalah budaknya perasaan.

Mendengar budak kok rasa-rasanya orang yang terpinggirkan. Orang dikuasai orang lain: seperti tidak punya kemerdekaan. Harus patuh pada juragan. Apapun perintahnya.

Perbudakan sudah ada sejak masa Socrates, Plato, dan Aristoteles. Meski demikian, Islam kemudian membuat syariat untuk memerdekaan budak dan tidak mensyariatkan perbudakan. 

Tapi yang dimaksud dalam budak dalam kalimat di atas bukanlah budak: perbudakan manusia. Tetapi soal patuhnya akal terhadap perasaan. Seolah: akal "disetir" ego (perasaan).

Penjelasan dimulai.

Dosen UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta tersebut mengatakan dalam pandangan Dostoyevsky antara lain tentang rasionalitas, intelektualitas.

"Yang pertama ini kalimat saya ambil dari crime and punishment," katanya.

Akal adalah budaknya perasaan.

"Ini menarik ya. Ini pandangan tokoh eksistensialis mirip dengan pandangan para sufi. Misalnya Imam Ghazali, akal itu hanya suruhannya hati. Meskipun, Imam Ghazali menyebutnya (akal) panglima perangnya. Dia (akal) hanya pasukannya," jelas Fahruddin lebih lanjut.

Dalam mendengarkan perihal tersebut, saya tidak ditemani minuman kopi, teh, ataupun wedang uwuh. Tapi air mineral.

Dosen asal Mojokerto itu lalu memberikan pertanyaan. 

Rajanya siapa yang menyuruh hati – qalbu? Kalau pakai istilahnya Dostoyevsky, akal itu budaknya perasaan. Perasaan kita menuju kemana? orientasinya apa? Akal akan mengikuti kesana.

Jadi akal bukan penentu. Kita itu senang dahulu. Biasanya terus akalnya datang untuk memberi pembenaran terhadap apa yang kita suka.

Atau, tidak suka dulu: “Sakjane aku ndak suka dengan orang itu.” Terus baru akalnya datang untuk memberi justifikasi memberi alasan-alasan argument: "aku ndak suka itu."

Bukan karena ada alasan-alasan ini, terus "aku ndak suka." Terbalik prosesnya, karena "aku ndak suka", maka aku cari alasan alasan yang membenarkan ketidaksukaanku.

"Jadi akal itu budaknya perasaan," jelasnya Dosen Aqidah dan Filsafat Islam ini.

Air mineral tersebut termuat dalam kemasan botol 600 ml. Tidak merek ternama. Hanya bertuliskan "Untuk Kalangan Sendiri". Tidak diperjualbelikan. Air mineral ini diolah secara mandiri. Oleh seseorang. Yang dikasihkan ke jamaah masjid di suatu kota. Saya dapat bagian air itu. Saya minum, segar rasanya. PH-nya katanya 7 lebih. Lebih segar dari merek yang terkenal itu. Ups...

"Kalau pakai dalil ini maka temen-teman yo ndak usah kaget. Kalau ada konflik-konflik dalam media sosial. Antar komentar, antar postingan itu sering tabrakan. Yang memang perasaan orang. Selera orang beda-beda," lanjut dosen dengan titel lengkap Dr. H Fahruddin Faiz, S.Ag., M.Ag.

"Akalnya itu belakangan, orang itu suka dulu. Terus baru kemudian argument, dasar, alasan bukti. Itu (untuk) mendukung rasa suka dan tidak suka ini."

"Kalau kita sudah suka pada orang itu, kan terus akal kita kerja mencari baiknya orang ini apa saja. Sebaliknya kalau kita tidak suka pada seseorang juga begitu, akal kita akan bekerja mencari jeleknya orang ini, apa saja."

"Kalau kita sedang patah hati. Misalnya yo akal akan bekerja mencari apa yang kita butuhkan. Apa yang kita inginkan dalam hati kita yang patah. Mungkin kita nyari pelampiasan. Mungkin kita mencari pembenaran dari hati kita yang patah.  Mungkin kita dan lain sebagainya. Nah itulah makanya akal itu budaknya perasaan."

Air mineralnya perlahan saya minum. Haus juga ya ternyata menyimak penjelasan. Ya memang perlu konsentrasi dalam mendengarkan. Apalagi kemudian salin dalam bentuk tulisan seperti ini.

Dijelaskan Dr Fahruddin. Kedua. Ini masih tentang intelektualitas - rasio. Kata Dostoyevsky rasa sakit dan penderitaan selalu tidak terhindarkan bagi pemikir yang besar dan perasa yang mendalam.

Menurut Dr Fahruddin orang-orang besar pastilah menanggung kesedihan terbesar di muka bumi ini.

"Nah ini saya lanjutkan ya pernyataan ini. Nyambung dengan quotes dari notes from underground. Ada kalimat begini: terlalu banyak berfikir itu penyakit," tandasnya dalam video di YouTube - chanel sinau filsafat. Judulnya: Terkadang Lebih Baik Tidak Tau Daripada Tahu.

Kadang-kadang dalam hidup ini, justru orang yang merasa sakit lebih besar -  menderita - adalah mereka yang pintar: yang banyak berfikir.

Orang yang tidak terlalu banyak berpikir, tidak terlalu gelisah tentang hidup ini. Hidup ini dijalani saja. Dinikmati saja sesuai dorongan-dorongan dirinya. Tidak terlalu banyak pertimbangan. Ini lebih nyaman.

Dalam bayangan Dostoyevsky, kalau ada orang pintar, ada orang sangat terasa, itu hidupnya meski isinya kesedihan- kesedihan, kebingungan-kebingungan, kegalauan-kegalauan. Karena, memang itulah karakter dunia ini.

Ada banyak hal-hal tidak rasional yang terjadi, seperti tadi berhubungan dengan hukum alam dan lain sebagainya.

Maka kata Dostoyevsky terlalu banyak mikir itu penyakit. Ya manusia memang butuh berfikir. Tapi terlalu banyak berpikir, apa-apa mau diperdalam, apa-apa mau direnungi, kadang-kadang justru hasilnya adalah kesedihan-kesedihan. Hasilnya adalah rasa sakit dan penderitaan.

Maka jangan dikira orang yang sangat pintar itu enak. Dalam banyak hal kadang-kadang kita mending tidak tahu daripada tahu dalam banyak hal.

"Nanti teman-teman boleh direnungi. Ada banyak peristiwa, banyak kasus dalam hidup ini, yang lebih baik kita tidak tahu. Begitu kita tahu penderitaan kita bertambah. Rasa sakit kita bertambah."

"Kadang-kadang tentang hal-hal yang ngak penting. Misalnya ya, ada teman kita ngomong jelek di belakang kita. Itu kan kita ndak tahu. Saat kita ndak tahu kita nyaman saja bergaul dengan dia. Hidup kita cerah-cerah saja. Eh tiba-tiba ada yang cerita ke kita. Temen yang satu itu, kalau ngomong tentang kamu jelek. Drop kan kita, sedih kan kita. Akhirnya kalau bersama dia, sekarang isinya marah kita, ingin bales, ndak percoyo dan lain sebagainya. Pahit sekali hidup kita."

Ditandaskan Dr Fahruddin, tambah pengetahuan: tambah penderitaan. Ini cara membaca konteksnya seperti itu. Karena kadang-kadang memang dalam hidup ini beberapa hal lebih baik kita tidak tahu. Karena begitu kita tahu, penderitaan kita bertambah.

"Ada lagi yang menurut saya kalimat yang menarik dari Dostoyevsky tentang kecerdasan, tentang intelektualitas. Kata dia, diperlukan lebih dari kecerdasan untuk bertindak secara cerdas."

Pintar dalam pikiran saja tidak cukup. Orang juga harus pintar dalam keputusan dan tindakan. Pintar dalam keputusan dan tindakan inilah nanti yang dalam filsafat sering disebut bijaksana.

Jadi berpikir rasional saja. Berfikir kritis saja tidak cukup. Kita perlu berfikir yang bijaksana. Berfikir yang sesuai dengan konteks dengan situasi.

Yang disebut bertindak secara cerdas, tidak selalu kebenaran itu mungkin harus diungkapkan apa adanya. Adakalanya kita agak berputar sedikit. Adakalanya malah justru kita harus diam: biar tidak mengacaukan yang lebih besar. Ini namanya bijaksana.

"Yo teman-teman yang pengalaman hidupnya banyak nanti ngerti kok. Bagaimana bersikap bijaksana itu. Ya pertimbangannya tidak sekadar kebenaran yang rasional. Karena kalau kebenaran yang rasional saja, kadang-kadang kita keliru memutuskannya. Kalau hanya sekadar satu tambah satu = dua, yo kadang-kadang nggak pas."

"Seperti ceritanya konfusius tadi, kalau hanya sekadar melihat aspek, benar satu tambah satu = dua. Delapan kali tiga = 24, yo orang bisa kehilangan nyawa. Di sini pintarnya pembacaan situasi demi kebijaksanaan."

E... tak sadar. Air minum di meja saya habis. Tambah lagi dong pak. (TitahKita)

(DUKUNG KARYA INI)

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya Cara Takmir Masjid Jogokariyan (1) Layani Jamaah, Sepeda Motor Hilang Diganti Baru
1
0
INI ada bentuk pelayanan berbeda. Dari pengurus masjid ke jamaah. Di antaranya ini menjadi suguhan Takmir Masjid Jogokariyan.Lokasi masjidnya ada di Jalan Jogokariyan 36, Kelurahan Mantrijeron, Kecamatan Mantrijeron, Kota Yogyakarta, DIY.Pelayanan ke jamaah sangat diperhatikan. Hal kecil saja, seperti sandal jepit tak luput dari perhatian. Bila hilang akan diganti.Barangkali ada yang menganggap, nilainya tidak seberapa. Per pasang, merek yang umum, yang biasa dipakai, paling tidak harganya Rp 11 ribu, atau Rp 15 ribu paling tinggi.Ini menyangkut keamanan. Keamanan barang milik jamaah, pengunjung masjid.“Jadi masyarakat itu memerlukan fasilitas, keamanan, kenyamanan, pelayanan yang baik,” kata Ketua Dewan Syuro Tarkmir Masjid Jogokariyan, Ustadz Muhammad Jazir ASP dalam sebuah acara di televisi swasta nasional.Yang siap untuk diganti bukan hanya di kelas sandal. Tapi juga sepatu, sepeda. Bahkan, berani mengganti sepeda motor bila ada yang hilang.Wujud gantinya dipastikan dengan yang baru. Merek sama, warna sama. Tinggal pilih.“Jika Anda kehilangan sandal, sepatu, sepeda, sepeda motor di masjid, akan kami ganti baru, dengan merek yang sama. Takmir bertanggung jawab,” tegas Ustadz Muhammad Jazir melanjutkan perkataannya.Rasa tanggung jawab mengganti barang-barang di atas, sebagai jaminan atau garansi.Pesannya menjaga keamanan jamaah. Di masjid benar-benar aman. Dampaknya jamaah menjadi nyaman.Kalau sudah begitu betah di masjid.Jamaah tidak bosan lagi datang untuk beribadah. Atau melakukan hal lainnya: mengaji, sedekah, kegiatan sosial, kegiatan kesehatan.Jamaah datang lagi dan datang lagi. Tanpa henti.Tapi meski begitu, suatu ketika, pernah ada jamaah -- anak usia sekolah kehilangan sepeda onthel di masjid --. Setelah dilapori. Takmir datang ke rumah korban untuk mengganti.“Kebetulan (barang yang hilang) paling mahal baru sepeda. Sepeda motor belum.”“Anak itu masih SMP ke masjid naik sepeda. Kemudian selepas shalat asar dia mau pulang, sepedanya gak ada. Nangis kan. Ditanya rumahnya mana, sepedanya apa. Kita antar ke rumah kita bawa uang.”Di rumah anak tersebut, takmir tanya kepada orang tuanya.“Berapa dulu beli. Rp 1,6 juta pak. Ya udah kita ganti. Diterima oleh ibunya. Diserahkan lagi untuk infak saja.”Suguhan pelayanan seperti itu tidak membuat infak masjid melarat. Tapi sebaliknya, melonjak tajam. Di tahun 1999, setahun infaknya Rp 800.000.Kini? tahun 2019.“Infak masjid meningkat jadi Rp 3,6 miliar setahun.” (TitahKita)(DUKUNG TULISAN INI)
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan