
Cerita bisa dibaca secara gratis!
[Part Lanjutan]
"Biar aku yang mengantarkan kamu, " ucap Asyam menawarkan.
Laila menggeleng. "Enggak usah, Syam. Aku bisa sendiri."
"Zahra, aku benar-benar tidak yakin kalau kamu baik-baik saja. Dengarkan aku, kalau kau mengemudi dengan perasaan dan pikiran yang berkecamuk, aku takut nantinya terjadi sesuatu sama kamu."
Laila kembali menggeleng. " Tidak apa. Aku bisa sendiri," ucap Laila tanpa minat menoleh pada Asyam.
Namun, seberusaha apapun Laila menyembunyikan kekhawatirannya tetap saja, Asyam mengetahui ketakutan itu. Asyam merasakan pikiran Laila tidak sedang baik-baik saja.
"Sudah kukatakna biar aku saja yang mengendarainya! Sini, mana kunci mobilnya?" Asyam menarik lengan Laila hingga membuat perempuan itu berhadapan dengannya.
Laila mendongak menatap Asyam.
"Tidak apa, nanti aku akan keluar di jalan yang tidak jauh dari rumah kamu. Aku tau kamu takut juga apabila Bara melihat aku bersama kamu, tapi... aku lebih khawatir jika kamu memgemudi dengan perasaan kacau seperti ini."
Laila membuang muka.
"Sini Zahra! Mana kunci mobilnya?" ucap Asyam kembali membuat Laila mau tak mau memberikan kunci mobil tersebut.
"Tapi setelah itu kamu jangan ada di sana ya?"
Asyam mengangguk. "Iya, kamu tenang aja."
Pada akhirnya Laila menaiki mobil dengan Asyam yang mengemudi.
Sampai tepat di jalan yang tidak jauh dari rumah Laila, Asyam memberhentikan mobilnya. Dia menatap Laila lebih dahulu.
"Zahra? Kamu harus yakin, bahwa semuanya akan baik-baik saja," ucap Asyam kembali mencoba menenangkan Laila.
"A-aku... aku takut Syam... " jawab Laila dengan lirih.
"Enggak bakal terjadi apa-apa. Percaya bahwa suami kamu benar-benar cinta kamu."
Laila bergeming. Entah kenapa perasaan benar-benar tidak enak. Ada perasaan mengganjal yang membuat hatinya terasa sesak.
Laila menggigit bibir bawahnya.
"Bagimana kalau nyatanya Mas Bara marah?" tanya Laila dengan nada pelan. "Bagaimana jika ternyata Mas Bara tidak menerimanya?" lanjutnya lagi dengan menunduk.
"Syam? Bagaimana jika dia sampai tahu bahwa akulah yang membawa Sharu sejak awal? Bagaimana jika dia marah karena ternyata istrinya sendirilah yang sudah memisahkan dia dengan anak yang sudah lama Mas Bara asuh...?" Tidak terasa, kelopak mata Laila berembun, siap menjatuhkan airnya kapan saja.
"Bagaimana jika dia kecewa?" Laila semakin meremas ujung jilbabnya.
"Namun dari semua itu... bagaimana jika akhirnya Mas Bara... meminta pisah---"
"Tidak Zahra! Apa yang kamu katakan?" potong Asyam dengan cepat.
"Berhenti berpikir yang tidak-tidak Laila! Sekarang tarik nafas kamu dan tahan sebentar, setelah itu keluarkan kembali. Ayo, lakukan... biar perasaan kamu sedikit lebih tenang."
Laila menuruti perkataan Asyam... dia menarik nafas dalam-dalam kemudian membuangnya dengan ritme pelan. Kembali menarik nafas dan membuangnya lagi.
"Sekarang aku akan pergi... " Asyam berujar sedang Laila hanya mendengarkan tanpa minat.
"Hati-hati. Percaya saja bahwa semuanya akan baik-baik saja, hm?" ucap Asyam sebelum keluar dari mobilnya. Sedang Laila hanya mengangguk sebagai respon.
Menarik nafas dalam-dalam kemudian menghembuskannya.
Pepatah mengatakan agar kita bisa tenang dalam sebuah situasi, mereka harus melakukan hal tersebut tiga kali. Tapi nyatanya tidak. Laila masih merasakan ketegangan itu.
Laila turun dari mobil, mengitari menuju tempat kemudi. Lagi, ia menghela nafas dengan dalam-dalam. Takut.
Matanya melirik Asyam yang berdiri di luar mobil. Dia melambai dengan tersenyum. Laila tahu bahwa Asyam tengah mengatakan bahwa semuanya pasti akan baik-baik saja. Tapi tetap saja...
Laila tidak bisa berbohong akan perasaannya yang tidak baik-baik saja.
Tanpa menoleh kepada Asyam lagi Laila melakukan mobilnya dengan pelan. Peluh keringat di pelipisnya sudah bercucuran, sedang tangannya sudah merasakan dingin luar biasa. Nampak seperti mayat saja.
Sampai tepat di depan gerbang Laila menatap rumah besar itu dengan perasaan dongkol.
Pak Imron, selaku penjaga pintu gerbang dengan segera membukanya. Membuat Laila dengan segera melintasi gerbang tersebut dan memarkirkan mobilnya tepat di halaman rumah.
Jantungnya benar-benar berdegup sangat cepat. Terasa sesak juga diantara hatinya. Namun sekuat mungkin Laila meyakinkan bahwa ia bisa. Ya, dia percaya bahwa suaminya itu pasti akan memaafkannya.
Laila berjalan menuju pintu rumah. Tidak lupa mengucap salam saat ia masuk ke dalamnya. Dan tepat saat ia masuk, suara tawa dari Bara terdengar di dalamnya. Begitu renyah membuat Laila ikut tersenyum dibuatnya.
"Sayang? Lho, sudah pulang ternyata." Bara, pria itu tersenyum lebar melihat sang istri sudah pulang.
"Non Laila? Mari ke sini. Non mau ikutan?" seru Mbok Eka yang ternyata tengah bersama Bara.
Laila tersenyum tipis, ia menghampiri keduanya.
"Kalian lagi ngapain?" tanya Laila sembari duduk di sebelah Bara.
Bara menoleh, matanya mendengkus kala kursi yang Laila duduki berjauhan dengannya. "Sayang, deketin ih! Sini, di samping Mas lebih dekat."
Laila terkekeh, dengan segera menggeser kursi tersebut agar lebih dekat dengan Bara.
"Kami itu lagi bermain permainan stacko uno. Kamu tahu kan?" tanya Bara membuat Laila menoleh.
"Ohhh, yang enggak boleh jatuh kan?"
Bara tertawa pun dengan Mbok Eka.
"Coba ambil satu, tapi Laila enggak boleh sampai jatuh!" ucap Bara membuat Laila menggeleng.
"Engga! Laila engga bisa bermain itu Mas! Nanti pas Laila ambil satu, malah semuanya yang jatuh." Laila menggeleng saat menatap benda yang nampak seperti bangunan itu sudah hampir mau jatuh. Permainan yang jelas membutuhkan keseimbangan satu-sama lainnya. Jika dia mencabut atau menarik salah satu bentuk persegi tersebut, jika salah maka sudahlah... ia akan berakhir dihukum!
"Enggak La. Mudah kok," ucap Bara meyakinkan Laila.
"Enggak Mas, Laila enggak bisa."
"Ayo Non. Mbok aja bisa lho." Dengan simpelnya Mbok Eka mengambil satu bagian dari benda tersebut membuat Laila terkejut setengah mati. Sedang Bara sudah tertawa saja.
"Tuh, masa sih kamu mau kalah sama Mbok?"
"Tapi Laila emang enggak bisa."
"Ya coba aja." Bara mengedikkan bahunya acuh sedang Laila sudah mencebikkan bibirnya.
"Ayo sayang..."
"Tapi Mas enggak bakal hukum Laila kan kalau nantinya, jatuh semua?"
Bara bergeming. "Emmm, Mbok? Kasih hukuman engga?"
Mbok nampak berpikir. Namun keduanya langsung tersenyum devil.
"Kasih hukuman dong!!" seru keduanya dengan antusias. Sedang Laila sudah dibuat ketar-ketir.
"Tolonglah... Laila enggak bisa..."
"Ayo, ayo, ayo!" Bara dan Mbok Eka bertepuk tangan memberi semangat. Apalagi dengan Bara, dia begitu antusias dalam memberi semangat padanya.
"Laila bisa, istri aku bisa! Ayo, ayo, ayo!"
Laila mendengkus. Namun tak ayal tangannya tergerak untuk mengambil salah satu benda tersebut. Dalam hatinya ia berdoa bahwa bangunan ini tidak jatuh akhirnya.
Pelan namun pasti, semuanya mendadak diam saat Laila menyentuh salah satu benda tersebut secara acak. Yang mana tangannya benar-benar gemetar menyentuh benda tersebut.
Tangan Laila semakin gemetar takut, dan tepat saat ia menarik benda tersebut bangunan tersebut langsung hancur jatuh ke bawah.
"Yaaahhhhh..." Seruan itu terdengar dengan kecewa namun sedetik kemudian.
"Dihukum! Dihukum!"
Laila benar-benar melotot. Dia menggeleng. "Enggak, itu Laila enggak sengaja! Mas, Mbok? Laila benar-benar tidak sengaja, itu yang jatuhin bukan Laila, tapi tangan ini, nih!"
Namun apa perduli Bara dan Mbok Eka? Keduanya berseru dengan ucapan. Dihukum!
Laila mengalah, tubuhnya mendadak lesu saja. Sampai akhirnya Bara tertawa keras dengan diiringi mencubit pipi Laila gemas.
"Enggak kok sayang... kamu enggak bakal dihukum!" ucap Bara pada akhirnya.
Mbok Eka terkikik. Sekarang waktunya ia meninggalkan dua sejoli yang akan bermesraan ini.
"Mbok pamit ke belakang Den, Non..., " ucap Mbok Eka akhirnya.
Laila dan Bara seketika mengangguk antusias. Setelah itu Bara dengan mode jahilnya menarik Laila agar lebih dekat dengannya. Dia menepuk pahanya agar Laila duduk dipangkuannya.
"Mas? Kita di kamar aja ya? Jangan di sini," ucap Laila membuat Bara mengernyit.
"Kenapa?" tanya Bara dengan kening mengernyit.
"Biar lebih leluasa aja kalau di kamar, Mas."
Bara terkekeh, dengan segera ia menggendong Laila yang langsung melingkarkan kedua tangannya di leher Bara.
Laila tersenyum, menyimpan kepalanya di antara dada dan leher Bara. Terasa hangat dan menenangkan.
Baginya Bara adalah tempat yang ternyaman untuk ia sandarkan. Sesosok seseorang yang sudah berhasil membuatnya gila dalam cinta.
Laila cinta Bara, sangat. Tapi apa Bara juga mencintainya sangat?
Dan untuk kebenaran ini...
Apa Bara benar-benar akan memaafkannya karena cintanya yang sangat besar atau justru...
Sebaliknya?
Pintu kamar terbuka setelah Bara membukanya. Kemudian pria itu dengan segera menutupnya kembali menggunakan kaki.
Dengan pelan Bara melepaskan tubuh Laila di atas ranjang. Menciumn keningnya lebih dahulu kemudian beralih mencium bibir tipis Laila.
Laila tidak bisa menolak. Ia menerima setiap apa yang dilakukan Bara padanya. Dengan penuh hasrat, cinta dan nafsu. Keduanya saling melampiaskan lewat penyatuan bibir tersebut.
Nafas Laila terengah-engah. Pipinya bersemu merah setelah penyatuan itu mereka lepas. Bersembunyi di balik baju Bara yang malah membuat sang empu terkekeh.
“Mau lagi?”
Tanpa persetujuan Laila pria itu kembali mencium Laila dengan gerakan pelan. Kemudian menjadi beringas penuh hasrat.
“Mas, sudah…” Nafas Laila tertahankan. Bara melakukannya benar-benar cepat tentu membuat Laila kewalahan sendiri.
Bara terkekeh, membuka pelan kerudung yang terpasang di kepala Laila. Sedang sang empu tersenyum malu.
Bara ikut membaringkan tubuhnya di samping Laila, menopang dengan sebelah tangannya kemudian mengelus surai rambut sang istri.
Bibirnya mengelus senyum indah membuat Laila terpukau akan hipnotisnya.
Ah selalu saja. Hatinya selalu meleyot jika di hadapkan dengan yang seperti ini.
“Mas? Ada suatu hal yang ingin Laila katakan… tapi, Mas harus janji enggak boleh marah ya?” ucap Laila pelan. Dia memainkan kancing baju yang dipakai Bara.
Kening Bara mengerut. “Suatu hal apa?”
Laila bergeming. “Sebuah kebenaran yang tidak kamu ketahui Mas.”
Lagi, kening Bara semakin mengernyit.
“Kamu sembunyiin sesuatu dari Mas?”
Laila terdiam, mengdungselkan kepalanya pada dada bidang milik suaminya.
“Maaf…”
Bara menghela nafas. Masih setia mengelus lembut surai rambut Laila.
“Coba katakan sama Mas, apa rahasia itu?” tanya Bara membuat Laila semakin mengeratkan pelukannya.
“Tapi Mas janji enggak bakal marah, kan?”
Bara terdiam membuat harapan Laila terasa pupus sudah.
“Mas janji dulu enggak bakal marah sama Laila kan?” tanya ulang Laila dengan sangat pelan. Dia merasakan bahwa tangan Bara sudah tidak mengelusnya lagi. Namun sebagai gantinya Bara mengelus pelan punggung Laila.
“Mas gak bakal marah selagi kamu jujur sama Mas. Dan Mas gak bakal marah selama kamu mempunyai alasan yang sangat jelas," jawab Bara membuat Laila tersenyum tipis.
“Kalau begitu… ini tentang Sharu Mas," ujar Laila membuat raut wajah Bara berubah seketika.
“Sharu? Jangan katakan kalau kamu mau menarik kembali kasus Sharu?” tanya Bara membuat Laila terjatuh setengah mati. Jantung Laila berdetak dua kali lebih cepat saat intonasi itu terdengar menyeramkan.
“Akhir-akhir ini Mas sering dengar kamu enggak mau menyelesaikan kasus Sharu. Entah itu kebetulan atau salah pendengaran Mas. Tapi, kamu enggak bakal menarik kasus itu kan La?” tanya ulang Bara dengan menggebu.
“Mas? Sebenarnya…Laila…. "
"Laila yang telah mengambil Sharu lewat Rania saat itu…"
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
