Ekspedisi kepingan sejarah 1

0
0
Deskripsi

Cerita dengan judul: “Ekspedisi kepingan sejarah 1” adalah serial kedua dari Lorong Waktu Dan Peradaban. Dalam Seri kedua ini diceritakan bahwa ada dua anggota geng Bunga Mawar Emas bernama Angelo San Martini dan Rowan Piece yang ditugaskan oleh pimpinan mereka bernama Hasirama Senku untuk mencari kepingan pertama sejarah dari kota Indinesia Brighter yang dahulu bernama Sukacita Bersama. Mereka ditugaskan untuk mencari kepingan tersebut di suatu kota di bawah tanah bernama kota Mole atau Mole City...

Rowan dan Angelo melakukan perjalanan dari kota Indinesia Brighter menuju sebuah kota kecil untuk mencari alat dan bahan yang dibutuhkan oleh Profesor Keli untuk menciptakan satu ‘alat’ yang akan digunakan kelompok Bunga Mawar Emas untuk melawan koruptor dan pengkhianat kota Indinesia Brighter yang mencoreng nama baik kota itu dan juga nama baik dari geng The Mafias, kreasi dari penduduk kota itu. Awalnya, geng The Mafias ini dibentuk semata-mata untuk melindungi serangan alien dan ratu dari peradaban galaksi lain di luar Galaksi Bimasakti. Perjalanan yang memakan waktu setidaknya 3 hari 3 malam itu juga memberikan sebuah ‘ilham kehidupan’ bagi mereka. Ilham yang akan terus mengingatkan mereka terhadap sebuah tujuan mulia, yakni membebaskan penduduk Indinesia Brighter dari ketamakan koruptor yang menguasai kota yang dahulunya bernama Sukacita Bersama. Sepanjang perjalanan itulah, mereka melihat kekejian yang dilakukan oleh para anggota geng The Mafias era kini.

Penyiksaan budak dimana-mana dan malah penyiksaan tersebut dijadikan tontonan bagi warga kota itu. Perdagangan anak balita tanpa memandang gender, terpaksa mereka lakukan untuk memberi makan perutnya yang telah kelaparan selama nyaris satu bulan lamanya. Pembunuhan dan juga tawuran sesama warga terjadi disetiap malam, dan bahkan Angelo sempat mencatat kapan tawuran itu akan dimulai, senjata apa yang mereka bawa dan juga tawuran itu berakhir saat ia singgah di suatu tempat bersama Rowan, rekan sekaligus pengawal pribadi yang menemaninya disepanjang perjalanan.

Setelah menempuh perjalanan selama hampir 3 hari 3 malam dan 10 jam lamanya, kini mereka berdua telah sampai di kota Bola Kapas. Kota Bola Kapas, sebuah kota kecil yang dulunya ramai sekali disinggahi para  traveller dan juga terkadang disinggahi pekemah. Kota ini memiliki panorama alam berupa pegunungan serta perkebunan apel yang sangat luas, sehingga kota ini sering wara-wiri di majalah Carrier , sebuah majalah yang isinya berupa rekomendasi perjalanan yang harus dikunjungi di Bumi. Mayoritas penduduknya bekerja sebagai petani dan nyaris tidak ditemukan adanya gelandangan di kota ini, karena pemerintah kota Bola Kapas sangat memerhatikan kesejahteraan penduduknya. Semua petani yang tinggal di kota ini mengenyam pendidikan hingga jenjang magister dan bahkan kota ini sempat dijuluki dengan sebutan “Kotanya para professor dan praktisi” saking banyaknya warga yang mengenyam pendidikan tinggi dan beberapa diantaranya juga menyandang gelar Profesor. Tak heran jika kota ini sering dikunjungi oleh perwakilan antar planet segalaksi Bimasakti, hanya untuk belajar dan membeli hak paten teknologi yang dihasilkan dari kota ini. Di ujung kota Bola Kapas ini juga terdapat laboratorium biologis serta pembangkit listrik tenaga nuklir yang sanggup mengaliri listrik sejauh tiga komplek perumahan diluar kota ini. 

Namun, kota Bola Kapas yang kehidupannya sering dijadikan percontohan sebagai kota termakmur sejagat alam semesta seketika berubah menjadi kota mati semenjak insiden bocornya bak penampungan dan pengolahan limbah nuklir. Luapan limbah nuklir ini mengenai spesimen makhluk hidup yang dirawat di Laboratorium Biologis Aneka Fauna yang dikelola oleh PT. Universal Magnetic Belikov. Imbas dari melubernya limbah nuklir ini mengakibatkan tiga spesimen hewan seperti ayam, burung dan kura-kura mati mengenaskan sedangkan sisanya berevolusi menjadi monster mengerikan yang melahap nyaris setengahnya dari total penduduk kota Bola Kapas sebanyak 290.000 jiwa. Penduduk kota yang terkena gigitan ataupun sengatan dari hewan yang berevolusi ini juga berubah menjadi zombie pemakan otak dan menyisakan penduduk sebanyak 1500 orang.  Selama hampir dua dekade lamanya, penduduk kota Bola Kapas bertahan hidup di sebuah swalayan terbesar di kota itu dan kini hanya menyisakan 30 orang saja.

Rowan: “Heii Angelo, lihatlah kemari. Sepertinya kota yang kita datangi untuk mencari dan mengumpulkan kepingan sejarah kota Indinesia Brighter ini, masih ada kehidupan.”

Angelo: “Kau bilang, kota ini masih ada kehidupan? Yang benar saja kau Rowan, jelas-jelas ini sudah kota mati. Tahu darimana kalau kota ini pernah hidup dan sampai kini masih ada kehidupan?”

Rowan: “Lihat dan peganglah selongsong peluru ini Angelo. Saat ku pegang, selongsong ini masih hangat dan juga bagian pemicunya juga masih berkilauan, penanda penduduk ini masih melakukan perlawanan.”

Rowan menunjukkan beberapa selongsong peluru pada Angelo yang berasal dari senapan Shotgun, pistol dan juga senapan berkaliber besar yang berserakan di jalan yang menjadi pintu masuk kota Bola Kapas ini.

Angelo: “Okee, kalau katamu penduduk ini masih saja melakukan perlawanan, sekarang mereka bersembunyi dimana?”

Rowan: “Entahlah, mereka sekarang sedang bersembunyi dimana. Menemukan mereka di sebuah kota yang telah hancur berkeping-keping dan bertanya langsung kepadanya itulah tugas yang diberikan dari Senku untuk menggali informasi, apa hubungannya antara Bola Kapas ini dengan sejarah terbentuknya kota Sukacita Bersama, yang kini kita namai dengan kota Indinesia Brighter.”

Angelo: “Heii Rowan, sepertinya aku melihat sebuah swalayan yang masih buka di kota ini. Rasanya agak aneh saja, masih ada swalayan yang masih buka hanya untuk melayani sebuah kota yang telah mati ini.”

Angelo menunjuk sebuah swalayan besar yang masih bersih dan disekelilingnya telah dipasangi pagar pengaman. Rowan yang menyadari hal itu, langsung bergegas mengajak Angelo untuk mendatangi swalayan besar tersebut sebelum swalayan itu tutup. Rowan menaikkan standar dan menyalakan motor besarnya yang ia juluki sebagai The Beautiful Beast. Motornya itu ditenagai teknologi reaksi fusi partikel nano dan suaranya melengking bagaikan auman sepuluh anak kucing yang sedang mencari induknya. Sedangkan Angelo? Memang anak motor sejati, karena dia masih saja menunggangi motor harley davidson yang berusia sekira enam puluh tahun.

Rowan dan Angelo, keduanya memakirkan kendaraanya itu di depan pintu dua Swalayan Mbah Greget. Keduanya juga langsung disambut oleh tiga robot penjaga dengan persenjataan lengkap dan sempat menodongkan moncong senapannya ke arah mereka berdua, karena tiga robot yang bernama Ai, Kan dan Seyou ini mengira mereka adalah ancaman dari kelompok The Bullies, rekanan dari kelompok The Mafias. Gaya berpakaian Rowan seperti Tom Cruise yang pernah bermain peran di film Maverick dan Angelo menyerupai pakaian karakter Charlie Angel serta model rambut mereka berdua meniru potongan rambut pria dan wanita di era sembilan puluhan, menyamai tampilan kelompok The Bullies ketika mereka menjarah harta penduduk kota Bola Kapas saat mereka lengah. Ya, The Bullies melakukan hal semacam itu alasannya hanya demi ‘uang keamanan’ dari sergapan The Mafias dan juga akan mengembalikan pemimpin kota itu kembali ke asalnya. Namun, kenyataannya, janji mereka hanya manis di bibir dan seratus delapan puluh derajat berkebalikan dengan kenyataan bahwa The Mafias tetap menahan pemimpin yang enggan menolak tanda tangan sebuah surat perjanjian dan juga membawa kabur sejumlah wanita dari kota itu untuk dijadikan pekerja pemuas nafsu para algojo. Surat perjanjian tersebut menyatakan mereka mau mengevakuasi hewan yang terpapar limbah nuklir, dengan satu syarat penduduk kota itu menyerahkan upeti berupa bahan mentah yang harganya sangatlah mahal dan laku dijual di sebuah pasar gelap bernama Jack Reaper Markets. Bahan mentah tersebut adalah helai rambut yang muncul dari bayi yang mengalami kelainan pada warna kulitnya.

Penduduk kota Bola Kapas menolaknya dan pimpinan kota itu yang bernama Michael Sananta, merobek kertas perjanjian tepat di hadapan pemimpin kelompok The Mafias dan The Bullies. Pak Sananta menganggap, memotong rambut bayi albino meskipun sehelai adalah tindakan kriminal dan sungguh bejat. Tidak tahu rasa belas kasihan kepada bayi yang baru lahir di dunia ini. Apalagi Pak Sananta semakin murka ketika melihat demonstrasi pengambilan helai rambut bayi dengan cara memotong sedikit tempurung kepala menggunakan gergaji mesin.

Insiden perobekan kertas ini, dianggapnya kelompok The Mafias dan The Bullies sebagai sebuah sikap untuk menyatakan perang dengan mereka berdua. Invasi kedua kelompok ini diawali dengan pelepasliaran anjing berjenis pitbull yang siap menyerang anak-anak dan remaja wanita. Serangan berikutnya yang dilancarkan kedua kelompok ini adalah menjarah semua harta benda yang dimiliki penduduk kota ini lalu mereka akan menjualnya ke pengepul. Puncaknya adalah saat The Bullies melakukan eksekusi mati warga yang tertangkap dan kedapatan menyembunyikan bayi albino mereka. Awalnya, penduduk kota ini hanya melawan dengan tangan kosong. Namun, kejadian hukuman gantung membuat mereka kompak untuk melawan The Bullies dan juga The Mafias menggunakan sajam yang sudah lama mereka simpan.

Sebenarnya, sajam itu enggan mereka gunakan. Karena mereka mengira, masih bisa menyelesaikan konflik dengan negosiasi dan beragam pertemuan menggunakan otak mereka yang sangat jenius. Tetapi, tindakan kekerasan, terpaksa mereka ambil dan terkadang beberapa orang yang memiliki keahlian dalam merakit senjata api, menggunakan senapan rakitannya itu untuk membunuh anggota The Bullies yang terpisah dari iring-iringan, karena nampaknya negosisasi layaknya konferensi meja bundar berjalan dengan alot dan anggota The Bullies juga The Mafias tetap kekeh dengan pendiriannya. Meskipun sudah mereka ingatkan berkali-kali bahwa apa yang mereka perbuat di kota ini, akan dibalas tiga kali lipat. Ucapan itu seolah-olah mengisyaratkan bahwa jangan pernah meremehkan kemampuan bertempur dari penduduk itu, karena jika berurusan dengan orang yang salah, maka efeknya akan fatal.

Kembali ke masa kini, dimana Rowan dan Angelo akhirnya berhasil diijinkan masuk ke Swalayan Mbah Greget setelah berdebat panjang dengan ketiga robot penjaga dan berhasil meyakinkan bahwa mereka berdua adalah orang yang baik dan niatnya mencari kepingan sejarah dari kota Indinesia Brighter.

Angelo :”Hei Rowan, apakah kamu masih ingat pesan yang terakhir kali diucapkan sama Pak Bos?”

Rowan: “Haaah? Yang mana sih, aku kok ndak ingat Ya.”

Angelo: “Wah anjing... bener-bener lu Yaa.”

Angelo yang nampak kesal dengan Rowan langsung memukuli kepala Rowan menggunakan helm yang baru saja ia lepas. Tungg... hantaman keras helm yang diayun Angelo ke kepala Rowan langsung menyadarkannya kembali ke misi mereka berdua saat tiba di kota Bola Kapas.

Kala itu di Markas Bunga Mawar Emas

Angelo: “Woii Boss, lagi ngapain ente?”

Senku: “Ehh Angelo. Ini aku lagi bikin robot kamera untuk vlogger.”

Angelo : “Hah, robot kamera? Buat apaan dah, bukannya kita Cuma mengunjungi kota mati hanya untuk mencari jejak sejarah dan mencari bahan yang dibutuhkan sama Profesor Keli saja?”

Senku : “Iyaaa... memang.”

Angelo : “Yaa terus, ente ngapain bikin alat begituan? Ribet taukk, waktu gue sama Rowan ngejalanin misinya nanti. Lagian mana mungkin ada penduduk yang masih hidup di kota itu.”

Senku : “Sudahlah, kamu bawa saja alat ini. Aku minta ketika dateng di sebuah swalayan yang masih beroperasi disana, tolong direkam yaa. Siapa tahu dengan rekaman itu, bisa ngebantu gue buat nelusuri kepingan sejarah yang mungkin saja kalian berdua lewatkan.”

Angelo : “Ohalahh, kalau soal itu mah gampang.”

Senku : “Okee siap. Tolong kasih tahu juga tuh ke Rowan, partner perjalananmu nanti.”

Kembali ke Swalayan Mbah Greget.

Benjolan sebesar pentol bakso seketika muncul ke permukaan kulit kepala dari Rowan. Yaa, sepertinya benjolan itu membutuhkan waktu yang sangat lama untuk menghilang dari kepala Rowan. Bukannya meringis kesakitan akibat hantaman benda tumpul yang mendarat di kepala seperti kebanyakan orang, Rowan justru menggoda Angelo dengan meminta hantaman genit itu lagi.

Rowan   : “Angelo ku sayang, abang boleh minta hantamannya yang tadi ndaak ?”

Angelo : “Idihh. Hantaman yang pertama tadi masih helm gue yaa, yang kedua kalinya, bisa-bisa kapak ini yang mendarat. Mauuu LOE ?” sambil menunjukkan kapak kecil yang akan ia gunakan untuk memotong gembok pagar pengaman yang melindungi swalayan Mbah Greget.

Keduanya memang telah berhasil melewati pertanyaan maut dari ketiga robot sebelumnya. Dan swalayan Mbah Greget ini memiliki pengamanan yang berlapis, sehingga akan menyulitkan hewan dan manusia yang telah bermutasi menjadi monster pemakan otak, untuk masuk ke dalam Swalayan Mbah Greget yang didalamnya berisi beberapa penduduk asli dari kota Bola Kapas.

Angelo : “Udah deh ah.. daripada elu minta hantaman gue yang kek tadi, mending bantuin gue nih buat motong gembok pagar. Susyaahhh anyinggg, errrggghhhh.....” Erangan Angelo yang begitu keras, menandakan gembok yang digunakan untuk merapatkan barisan pagar pengaman susah untuk dirusak karena besinya menggunakan material khusus. Material khusus yang terkandung dalam besi gembok ini jugalah yang dibutuhkan Profesor Keli untuk membuat senapan serbu yang rencananya diturunkan di laga pertempuran melawan The Mafias. Sudah hampir 30 menit, gembok itu tak kunjung lepas dari pagar, hingga akhirnya Rowan memilih untuk membantu Angelo sesaat setelah menertawakan muka jeleknya karena kesusahan membobol gembok itu.

Rowan : “Lho mbak e sudah capek ?”

Angelo  “Sudah Rowan” sambil mengepalkan tangan dan menatap tajam ke arah Rowan.

Rowan : “Sini aku bukain tuh gembok. Watch and Learn baby

Angelo : “Hahhh??? Apaann sih kamu Wan, gak jelas banget deh. Eh.. loh kok udah kebuka?”

Angelo terkejut sekaligus tertegun melihat gembok yang berulangkali ia coba congkel menggunakan tang pemotong yang besar sampai badannya ikut jungkir balik, malah dapat dibuka dengan mudah oleh Rowan dengan meneteskan semacam cairan pemakan segala logam. Melihat betapa ajaibnya cairan itu dalam melunakkan logam gembok, membuat mulut Angelo tak sadar langsung terbuka lebar layaknya mulut sumur

Rowan : “Kenapa melongo hah? Makanyaa Ngel, kalo ada otak itu dipake buat mikir cara lain yang lebih simpel, bukan musingin ‘mau makan apa hari ini?’ ”

Angelo : “T-t-t-taapi kok bisa cairan yang elo tuang dari botol seukuran Correction Pen bisa melunakkan logam” ucapnya dengan keheranan.

Rowan : “Aku menyebut ini dengan nama inovasi teknologi antar galaksi. Dah ah.. kamu masuk duluan, aku mau bikin vlog menggunakan alat yang dibuat oleh Senku ini.”

Angelo : “Ohh okeeh okehhh. Aku masuk duluan yaa.”

Rowan hanya mengangguk manis, lalu Angelo melenggang masuk ke swalayan Mbah Greget. Di dalam swalayan itu sudah menunggu empat orang yang berjaga tepat di depan pintu kayu yang sangat besar sebelum menuju areal pemukiman rahasia warga kota Bola Kapas yang ada di dalam swalayan itu. Sedangkan Rowan, dia sedang asik dengan mainan barunya berupa robot kamera dan bersiap diri untuk mengambil video aktivitas atau istilah bekennya sih Vlog

Robot kamera yang menyadari lambaian tangan dari Rowan, langsung mengeluarkan suara aba-aba untuk mengambil video.

Threee.... Two.... One.. and Action.

Rowan : “Halooo rek, kembali lagi bersama gue, Rowan Piece... penjaga galaksi Bimasakti tertampan di seluruh alam semesta. Nah ini adalah video pertama gue dan yaah gue sengaja bikin ini, buat ngabarin kalian tentang kegiatan apa saja yang akan gue lakukan di kota kecil bernama Bola Kapas. Tentunya gue berterima kasih juga kepada Pak Bos Senku dan juga Profesor Keli yang menjadi sponsor utama gue dalam penjelajahan kota Bola Kapas ini.”

Saat Rowan tengah asik mengambil vlog di halaman depan swalayan Mbah Greget, sontak dari arah belakang, ia didatangi oleh sosok misterius dan meneriakkan sesuatu. Bersembunyilah nak, lebah penyebar virus pengubah wujud datang. Sosok misterius itu meneriakkan kata-kata itu lagi sambil berlari ke arahnya. Rowan menyadari ada seseorang yang menghampiri dirinya dan seketika braakkk!!, tabrakan tak terhindarkan sehingga mereka berdua jatuh ke dalam sebuah parit pengaman sedalam dada pria dewasa. Beruntungnya bagi mereka berdua, karena jika terlambat sedetik saja, mereka berdua pasti akan tersengat lebah itu dan dalam waktu tiga jam mereka akan berubah wujud menjadi zombie pemakan otak.

Rowan : “Heii bung, apa-apaan kau ini? Sembarangan nabrak orang saja kamu”

Pria tidak dikenal : “Maafkan aku, nak. Doronganku yang kuberikan kepadamu tadi sebenarnya cukup pelan.”

Rowan : “Cukup pelan katamu? Tubuhku tadi rasanya seperti tertabrak truk dengan kecepatan yang sangat tinggi.”

Pria tidak dikenal : “Yaa maafkan aku sekali lagi. Tapi, yakinlah nak. Jikalau aku tidak bergegas menabrakmu, lebah pembawa penyakit tadi akan menyerang kita berdua dan tak lama pula kita yang akan menjadi sasaran tembak dari penduduk Bola Kapas yang berlindung di bawah swalayan Mbah Greget.”

Mereka berdua, baik Rowan maupun pria penyelamat yang menabrakkan diri ke arahnya masih berada di dalam parit yang dibuat oleh penduduk Bola Kapas. Parit sederhana dengan kedalaman setara dengan dada pria dewasa itu sengaja dibuat guna berjaga-jaga kalau mereka sudah dekat dengan swalayan Mbah Greget, namun serangan ataupun serbuan baik dari zombie pemakan otak maupun lebah yang menyebabkan nyaris menghabiskan semua penduduk Bola Kapas sudah terlalu cepat. Parit itu, selain digunakan sebagai tempat pelarian terdekat dari zona kontaminasi, juga bisa berfungsi sebagai senjata yang akan membunuh semua makhluk hidup yang terinfeksi oleh virus Tissuerollis sp. dan melintas tepat diatas parit.

Pria tidak dikenal itu mengintip keadaan sekitar dari balik dinding parit, memastikan mereka berdua aman untuk keluar dari parit yang dijuluki Hell Pot atau Panci dari Neraka. Sesuai namanya, parit ini memang didesain nyaman untuk ditempati manusia atau makhluk hidup yang belum terinfeksi virus Tissuerollis sp. Hal ini terjadi, lantaran parit ini memiliki pendingin ruangan yang mampu menurunkan suhu hingga 10 °C meski diluar, suhunya terkadang menyentuh angka 90 °C. Suhu ini memang nyaman untuk manusia dan juga hewan yang pernah tinggal di kota Bola Kapas, akan tetapi parit ini bisa berubah menjadi pemanggang dadakan yang mampu menaikkan suhu tiga hingga lima kali lipat lebih panas dibandingkan suhu di luar ruangan. Dengan suhu tersebut inilah, para hewan ataupun entitas yang telah terinfeksi virus Tissuerollis sp. mati seketika. 

Namun, parit yang mereka bangga-banggakan dan juga mereka andalkan selama puluhan tahun itu, sudah menunjukkan tanda-tanda ketidakmampuan dalam membunuh semua entitas yang terinfeksi. Pernah terjadi sekitar tiga bulan yang lalu, ada entitas terinfeksi, menggunakan bau badan dari warga Bola Kapas dan berhasil menembus perisai pengaman. Entitas itu akhirnya berhasil mengubah anak kecil yang sedang bermain diluar menjadi monster pemakan otak, setelah ia digigit oleh entitas tersebut dan baru menyadari di 10 menit terakhir dia masih berwujud manusia.

Syukurlah, lebah pembawa penyakit tadi tak sempat menyengat mereka dan mati seketika saat hewan itu mendekat pada dinding tak kasat mata yang terpasang di sekeliling parit perlindungan darurat tadi. Rowan memantapkan jabat tangannya seolah-olah itu adalah jabat tangan yang pertama sekaligus terakhir, sebagai bentuk terima kasih pada pria yang telah menyelamatkan nyawanya. Rowan lalu bertanya tentang nama dari sosok yang menyelamatkannya, meskipun dorongan yang ia berikan terkesan kasar. Pria itu menyebut dirinya dengan nama Pakde Bonang. Nama lengkapnya sih Tuanku Garuda Bonang Keemasan. Ia mendapat panggilan “Bonang” karena, saat ia tertawa, muncul seberkas cahaya yang menyilaukan dari gigi geraham emas di sebelah kanan. Entah berapa karat emas yang ia lebur hanya untuk sebiji gigi gerahamnya itu, namun yang pasti lawan-lawan yang ingin menandingi kekuatannya, selalu mengincar bagian itu.

Pakde Bonang : “Sebagai wujud permintaan maafku, bagaimana kalau kau, ku traktir satu gelas sloki minuman khas kota ini?”

Rowan : “Ayook. Kebetulan aku lagi haus nih, Pakde.”

...........

Pakde Bonang dan Rowan masuk ke swalayan Mbah Greget. Saat mereka berdua sudah di dalam swalayan Mbah Greget, Rowan juga melihat Angelo yang kebingungan mencari pintu masuk menuju kota yang dibangun oleh mantan penghuni Bola Kapas City. Swalayan Mbah Greget ini dibangun di lahan daerah pesisir pantai dengan sepertiga bagian ke belakang berada tepat di atas permukaan air laut. Bangunan ini memiliki luas setara dengan kota Yogyakarta, sehingga tak heran jika di dalam swalayan ini, disediakan transportasi berupa sepeda listrik untuk berkeliling di dalam area swalayan Mbah Greget. Di tengah dari area swalayan ini juga berdiri replika tugu selamat datang dari Bola Kapas City dengan besaran 3 kali lebih besar dibandingkan dengan ukuran aslinya. 

Rowan : “Hei Angelo, kau sedang apa?”

Angelo : “Aku sedang nyari pintu masuk dari kota yang dibangun sama penduduk sini. By The Way, itu siapa?”

Rowan : “Beliau adalah Pakde Bonang, pria yang menyelamatkanku dari sengatan lebah tadi. Pakde Bonang, perkenalkan wanita ini namanya Angelo. Dialah rekan perjalananku kemari, mencari jejak sejarah dari kota Sukacita bersama.”

Pakde Bonang : “Angelo San Martini Yaa? Salam kenal”

Angelo : “Iyaa Pakde Bonang. Salam kenal juga, Yaa. Omong-omong, Pakde kok tahu nama lengkapku?”

Pakde Bonang : “Iyaa, Pakde tahu nama lengkapmu, karena dahulu ayahmu waktu masih remaja, sering mengajak Pakde Bonang memancing ikan Baracuda dan Paus Orca di pinggir laut dari kota ini. Ayahmu lah yang mendesak wali kota ini untuk membuat panganan olahan berbahan dasar ikan Baracuda dan untungnya produk itu laku keras di pasaran. Pakde masih ingat banget, dia menggendongmu kemari waktu masih bayi dan dengan bangga menunjukkan ke Pakde, kalau kamu akan mewarisi bakat berjualan dari ayahmu.”

Mata Pakde Bonang nampak berkaca-kaca. Ia senang sekaligus haru. Senang karena bisa bertemu kembali dengan anak dari rekannya dulu yang sudah berpisah selama kurang lebih 20 tahun. Haru, karena melihat raut wajah serta aura yang dipancarkan Angelo sama persis dengan rekannya bernama Juan Martini. Saat mereka berbincang-bincang di swalayan itu, tiba-tiba Pakde Bonang menghentikan bicaranya sejenak. Bukan beliau sedang sakit gigi secara tiba-tiba, tetapi ia mendengar suara raungan mesin pesawat yang cukup kencang. Suara itu muncul di depan halaman parkir dari swalayan Mbah Greget dan terdengar jauh hingga ke dalam area swalayan Mbah Greget.

Pakde Bonang : “Kalian dengar itu..?”

Rowan dan Angelo : “Suara apa memangnya, Pakde..?”

Pakde Bonang : “Keponya nanti saja, cepatlah bersembunyi disini.”

Pakde Bonang, segera mengarahkan mereka untuk bersembunyi di bawah replika tugu selamat datang. Dalam hati Pakde Bonang berkata, sialll mereka lagi mereka lagi. Udah pernah aku bilangin kalau di kota ini sudah endak ada apa-apanya. Mana bawa pesawat segede gaban pulaak. Pasti mereka membawa pasukan gabungan dari geng The Mafias dan The Bullies dengan jumlah yang lebih banyak ketimbang kemarin. Kok mereka bisa tahu, kalau warga kota Bola Kapas sedang mengungsi di tempat ini? Padahal aku sudah susah payah mengacak-acak koordinat tempat pengungsian penduduk Bola Kapas City, agar tidak terdeteksi. Namun tetap saja masih terdeteksi. 

Angelo dan Rowan disuruh sama Pakde Bonang untuk bersembunyi di bawah replica tugu peringatan yang bagian puncaknya sudah roboh akibat gempa bumi berkekuatan 7,8 SR.

Pakde Bonang : “Kalian bersembunyi dulu yaa disini. Oh yaa, seandainya aku tertembak dan kalian ingin bertemu dengan penduduk kota Bola Kapas lainnya, ini kalian bawa saja kartu akses dan pergilah ke sisi barat dari swalayan ini, Yaa. Wan, tolong sampaikan kabar ini kepada penduduk kota Bola Kapas di bawah, The Mafias kembali lagi dengan membawa pasukan super yang tiga kali lebih cerdik dan cerdas dibanding kalian semua.”

Rowan : “Roger that, capt.”

Angelo : “Kalau kartu akses ini kami bawa, lalu paman bagaimana?”

Pakde Bonang : “Kamu tidak perlu risau, Tuan Putri. Aku masih bawa cadangan kartu aksesnya disini” sambil menunjukkan kantong belakang dari celananya.

……….

Kerikil dan bongkahan tanah bergerak ke sana kemari. Kedua benda itu bergetar semakin hebat jika ia berdekatan dengan roket pendaratan yang terpasang di bagian lambung pesawat pengangkut pasukan. Di bagian ekor dari pesawat, telah terpasang lencana bergambar sebuah tangan yang menggenggam petir. Lencana tersebut sempat membuat muka Pakde Bonang memerah padam. Merah padam atau merah tua yang muncul dari mukanya, mengisyaratkan dendam yang begitu besar. Namun amarahnya yang begitu besar, lekas ia redam, karena tahu, ada anak dari rekannya yang telah berpulang, mengunjungi sekaligus meminta bantuan kepadanya.

Nampak dari kejauhan, ada seorang serdadu berpangkat lumayan tinggi. Saking tingginya itu pangkat, membuat kedua pundaknya berat sebelah. Jalannya pun terseok-seok, menahan tanggung jawab yang begitu besar di pundaknya. Meski jalannya agak terseok-seok, namun suara hentakan kaki yang begitu mantap, menutupi kekurangannya itu. Begitu mantapnya hentakan kaki yang ia langkahkan, sampai meninggalkan jejak sepatu bot di tanah yang agak becek. Maklum, waktu gabungan serdadu itu datang, hujan deras yang menerjang eks kota Bola Kapas, baru saja berhenti beberapa menit yang lalu.

Rowan : “Serdadu yang mendatangi Pakde Bonang, sudah pasti itu komandan regunya.”

Angelo : “Tahu darimana kalau serdadu itu adalah komandan regu.”

Rowan : “Lihat saja sendiri. Sepatu bot nya paling mengkilap diantara lainnya dan juga mana mungkin seorang serdadu berpangkat biasa membawa tongkat komando. Kamu mau lihat? ”

Rowan menawari Angelo untuk melihat dengan mata kepalanya sendiri tentang ciri tertentu yang melekat pada salah seorang serdadu dan menandakan orang itu cukup berpengaruh, setidaknya untuk regu satu pesawat. Angelo hanya menganggukan kepala, setelah melihat ciri-ciri tertentu melekat pada orang itu. Bukan hanya melihat serdadu itu, Angelo juga melihat Pakde Bonang mengacungkan sebilah pisau daging ke wajah serdadu itu. Nampaknya Pakde Bonang, sedang memberikan peringatan keras untuk tidak datang ke kota ini lagi. Insiden mengacungkan pisau yang dilakukan Pakde Bonang terjadi, tepat setelah serdadu itu menunjukkan sebuah poster dan menempelkannya di papan penghargaan kota. Poster itu berisi daftar orang yang paling diburu oleh kedua pasukan dari kelompok The Mafias dan The Bullies. Poster itu juga mencantumkan geng yang mereka anggap berbahaya, termasuk di dalamnya ada nama geng Bunga Mawar Emas.

Lokasi persembunyian mereka berdua nyaris diketahui oleh kedua pasukan yang sedang menggeledah swalayan Mbah Greget, saat pasukan dari geng The Bullies melepasliarkan tikus di tempat itu. Angelo yang takut sekali dengan tikus, sempat berteriak cukup kencang, sehingga menarik perhatian kedua pasukan untuk mencari di sekitar replika tugu. Dewi fortuna, masih berpihak kepada Angelo, karena teriakannya berbarengan dengan suara tangisan bayi yang muncul dari salah satu mainan anak yang lokasinya agak berjauhan.

Setelah debat kusir yang cukup menguras energi dan memakan waktu tiga puluh menit lamanya, Pakde Bonang berhasil mengusir kedatangan gabungan serdadu dari dua kelompok besar yang punya kekuatan militer setara dengan negara Amerika Serikat. Meski raganya tak lagi muda, namun kemampuan untuk meyakinkan serdadu-serdadu bahwa tidak ada orang yang bernama Rowan Piece dan Angelo San Martini di swalayan Mbah Greget, masih bisa diadu.

Pakde Bonang masih saja berkeliling disekitar swalayan Mbah Greget, menggunakan skutik listrik, memastikan tidak ada satupun serdadu The Mafias ataupun The Bullies, tertinggal disana. Setelah dirasa cukup aman, Pakde Bonang memberikan kode yang telah mereka sepakati sebelumnya berupa tiga kali tiupan peluit. Rowan yang mendengar tiupan peluit yang dibunyikan Pakde Bonang, akhirnya muncul dari tempat persembunyian bersama dengan Angelo.

Pakde Bonang : “Kalian berdua aman kan tadi saat bersembunyi? Aku sempat mendengar teriakan dari tugu itu.”

Angelo : “Aman Pakdee.”

Rowan : “Aman aman, ngomongnyee se-enak jidat lu. Sumpahh, kalo mulut elo tadi nggak aku tutup, kita bisa ketangkep tahukk.”

Angelo : “Gimana enggak teriak, kamu tahu sendiri kan kalo aku takut banget sama tikus. Mana tikusnya tadi sebesar kucing pulak.”

Pakde Bonang : “Sudah-sudah, yang terpenting kalian masih selamat. Oh yaa, aku tadi kayaknya punya janji sama seseorang. Benar kan, Wan..??”

Rowan : “Iyaa Pakde. Katanya mau beliin aku segelas sloki minuman khas kota ini. Manaa sekarang?”

Pakde Bonang : “Hahaha Iyaa Wan. Btw, Angelo mau minum apa? Sekalian nih aku mau mampir ke bar langgananku.”

Angelo : “Terserah Pakde saja deh, hehehe.”

Pakde Bonang : “Oh... begitu, ya sudah. Bagaimana kalau aku traktir segelas minuman kesukaan ayahmu dahulu?”

Angelo : “Boleh deh Pakde....”

Pakde Bonang : “Oh Yaa.. kartu akses yang aku berikan ke Rowan itu bisa mengakses seluruh ruangan dan fasilitas yang ada di kota bawah tanah ini yaa. Aku saranin kamu simpan itu kartu, karena aku barusan ditelepon dari Senku, kalau kalian lagi butuh bahan buat nyari jejak sejarah kota Sukacita Bersama yang kini kalian namakan sebagai Indinesia Brighter, bukann..? Nah, dibalik kartu akses itu, ada potongan gambar berupa siluet kumpulan gedung pencakar langit. Jika kalian memencet gambar siluet itu akan muncul sebuah hologram yang bisa menggambarkan peristiwa besar yang terjadi di kota kalian pada tahun 2023 dan 2005.”

Sepanjang mereka bertiga turun ke bawah tanah, menggunakan lift yang letaknya berada di sebelah barat dari pintu gerbang utama Swalayan Mbah Greget, Pakde Bonang masih terus saja mengoceh, menceritakan bagaimana kota Bola Kapas, tempat dimana dia dibesarkan bisa terbentuk. Ketika Angelo menanyakan apakah Pakde Bonang memang salah satu penduduk asli dari Bola Kapas yang tahu sejarah dari kota Sukacita Bersama, Pakde Bonang langsung menjawab, bahwa ada sosok yang paham betul kalau soal sejarah korelasi antara kota Bola Kapas dengan kota Indinesia Brighter.

Rowan : “Apakah kau yakin, pamanmu ini bisa mengantarkan kita berdua ke orang yang dimaksud Senku?”

Angelo : “Aku yakin banget seratus persen, pamanku ini mengantarkan kita ke orang yang tepat. Sudahlah, percayalah padaku.”

Setelah perjalanan selama satu jam menggunakan lift yang turun langsung ke bawah tanah, kini mereka bertiga telah sampai di pintu gerbang kota bawah tanah buatan warga eks kota Bola Kapas. Kota itu bernama: Mole City.

............

Lift dengan dinding berlapiskan baja tahan peluru yang membawa mereka bertiga telah sampai di kota Mole. Mole City dibangun di bawah tanah, letaknya persis di bawah replika tugu penanda kota Bola Kapas. Kota ini dihuni oleh setidaknya 60.000 jiwa yang berasal dari keturunan murni penduduk kota Bola Kapas sebanyak 30 orang yang selamat untuk bertahan selama bahan pangan masih tersedia diatas dan sebelum kota Bola Kapas, kehancurannya semakin parah. Rowan yang kerap malang-melintang memasuki beragam bangunan dibuat takjub dengan keindahan arsitektur yang dibangun oleh penduduk kota ini.

Dalam hati Rowan berkata, Ini tidak mungkin bisa dibangun oleh 30 orang penduduk kota Bola Kapas. Ia semakin terkejut, tatkala mendengar penyataan dari Pakde Bonang yang mengatakan bahwa semua infrastruktur penting seperti kepolisian, jalan raya, pembangkit listrik dan beberapa gedung pemerintahan serta kantor pengadilan selesai dibangun hanya memerlukan waktu dua minggu. Pakde Bonang juga mengatakan kalau semua bangunan ini dibangun menggunakan satu keping uang logam sebagai dasar pondasinya.

Angelo : “Pakde Bonang, bagaimana bisa, penduduk yang awalnya berjumlah 30 orang bisa bertambah dengan pesat menjadi 60.000 jiwa?”

Pakde Bonang : “Ohhh itu, kota ini memiliki inovasi teknologi berupa Pohon Intan Kehidupan.”

Rowan : “Pohon Intan Kehidupan..? Hah..!! maksudnya bagaimana itu Pakde?”

Rowan dibuat bingung lagi takjub. Karena selama puluhan tahun bekerja sebagai penjaga gerbang antar galaksi sekaligus kepala laboratorium eksperiman ruang antariksa, dirinya belum pernah mendengar teknologi yang semaju itu.

Pakde Bonang : “Jadii begini, sederhananya mirip kayak bayi tabung. Bedanya, gabungan sel telur dan sperma disuntikkan ke batang pohon kelapa. Pohon kelapa yang telah disuntikkan ini, nantinya menghasilkan buah kelapa pada umumnya. Namun isinya, berupa janin bayi dari 30 penduduk ini. Proses ini akan kembali lagi dengan menyuntikkan sel dari orang tua keturunan kedua hingga mencapai jumlah penduduk yang sekarang.”

Pakde Bonang yang melihat muka Rowan dan Angelo seperti kain lusuh, langsung menawari untuk makan dan minum di bar, tempat biasa Pakde Bonang mengisi perut sambil cuci mata. Tenggorokan Rowan yang mengering seperti hamparan gurun, ditambah perut mereka berdua termasuk Angelo yang menggelar konser begitu heboh disana, memaksa untuk menghentikan sejenak pencarian kepingan sejarah dari kota Indinesia Brighter.

Saat mereka tengah menuju sebuah bar sederhana, tempat dimana Pakde Bonang biasa mengisi perutnya, ponsel yang dikantongi Angelo tiba-tiba berbunyi.

Rowan : “Eh Ngel... Ponsel kamu berbunyi tuh.”

Angelo : “Lhoo iyaa tah? Sebentar seh, sapa sih yang nelpon dikala kerja begini.”

Sebuah ponsel dengan logo buah apel digigit keluar dari tempat persembunyiannya di saku celana Angelo. Angelo sempat kesal, lantaran siapa sih yang menelponnya disaat sibuk seperti ini. Sebuah nama pemanggil muncul di layar dan tertera sebuah nama, yaitu Big Bos. Yaa nama kontak itu ternyata adalah Senku, pimpinan mereka yang menelpon untuk bertanya sudah sejauh mana pencarian sejarah dari kota Indinesia Brighter.

Pakde Bonang : “Siapa yang nelpon, Angelo..?”

Angelo : “Oh ini Pakdee, Pak Bos Senku Nelpon. Aku angkat dulu yaa.”

Pakde Bonang : “Oh Yaa, Monggo silahkan.”

..............

Angelo : “Haloo, Ya Boss ??”

Senku : “Haloo Ngel, bagaimana petualanganmu di Kota Bola Kapas, menyenangkan bukan??

Angelo : “Wahh... menyenangkan sekali Boss. Sampai-sampai tidak bisa diungkapkan dengan kata-kata, hehehe.”

Senku : “Syukurlah, ku kira kalian berdua bakalan tidak betah disana. Yang ku dengar dari Mike kalau kalian sempat enggan untuk melaksanakan misi ini, karena hanya mengunjungi sebuah kota mati."

Angelo : “ Ahh.. bos salah dengar kalii, kita loh enjoy dengan misi ini, bener ndaak Wan?”

Rowan : “ Betull tuh betull”

Senku : "Oh yaa, kalian dapat apa saja selama disana?”

Angelo: “Wahh, kalau itu, biar Rowan saja yang menjelaskan boss. Rowan soalnya berbicara langsung dengan salah satu penduduk eks kota Bola Kapas.”

Angelo menyerahkan ponsel miliknya kepada Rowan dan berkata bahwa, Senku ingin berbicara dengannya. Sempat terjadi tolak-menolak HP, karena Rowan sendiri sedang mendengarkan informasi penting tentang hubungan antara kota Bola Kapas dengan kota Indinesia Brighter dan malas kalau menyampaikan informasi kepada pimpinan mereka berdua hanya setengah-setengah. Setelah dibujuk Pakde Bonang kalau ia tidak menerima panggilan telpon itu, maka janji segelas sloki minuman akan melayang, akhirnya Rowan mau menerima panggilan tersebut.

Rowan  : “Halooo Pak Bos, ada apa nih??”

Senku   : “Halo Wan, Kamu dapat apa ae selama penjelajahan di kota Bola Kapas? Aku dengar dari Angel, kalau kamu dapat kenalan sejarawan di kota itu, bener tah?”

Rowan : “Syaapp bos Senku, aku dapat kenalan sama seseorang yang memang dulunya eks penduduk kota Bola Kapas, namanya Pakde Bonang. Tapi, orang ini akan mengantarkanku ke orang yang bisa dikatakan sesepuh dari kota ini, Sen. Selain aku dapat kenalan dari orang sana, aku juga dapat potongan sejarah kota kita yang menurut beliau, ini penting banget.”

Senku : “Ohh Yaa....? Potongan sejarahnya apa kalau boleh tahu?”

Rowan menunjukkan sebuah kartu akses yang tadinya mau digunakan oleh mereka berdua untuk kabur dari kejaran pasukan The Mafias dan The Bullies, kalau-kalau Pakde Bonang mati tertembak ditempat. Kartu ini memang fungsi utamanya adalah untuk mengakses semua fasilitas yang tersedia di kota Mole. Ada yang unik dari kartu yang biasa digunakan oleh penduduk kota bawah tanah tersebut, yaitu di setiap kartunya, terdapat nomor identitas penduduk di pojok kanan bawah. Ketika kartu tersebut hilang atau dicuri dan bahkan rusak, maka pemilik kartu tersebut akan dikenali sebagai warga tak beridentitas yang berujung mereka hanya bisa menikmati fasilitas yang sudah usang atau bahkan tidak bisa mereka gunakan. Di bagian belakang kartu sakti atau orang kota itu menyebutnya sebagai Mole Intercity Resident Embarkment (M.I.R.E) ada gambar kumpulan gedung pencakar langit yang setengah gelap dan setengahnya lagi harus dicelupkan ke dalam air jika ingin menampilkan potongan gambar yang hilang. 

Gambar yang terpasang di belakang kartu M.I.R.E, memiliki makna tersendiri. Setengah bagian yang gelap itu bermakna keberadaan kota Mole yang jauh dibawah tanah dengan penuh gelap gulita dan nyaris tak ada kehidupan manusia. Sedangkan, setengah bagian yang lain bermakna keinginan warga kota Mole untuk bisa bersinar sama persis dengan kota Sukacita Bersama yang sudah maju lebih dahulu. Persis dibawah gambar yang menghilang inilah, petunjuk sejarahnya dari kota Sukacita Bersama berada.

Senku : “Wah ini diaa, petunjuk pertama yang selama ini kucari. Hebat kalian berdua, aku hargai meski kalian melaporkannya agak terlambat.”

Angelo dan Rowan : “Makasi.. Boss.”

Senku : “Sepulang dari misi ini, kalian mau minta apa..?”

Rowan : “Nanti aku kabari lagi, Bos. Kita mau makan dulu, Yee gak Angel?”

Angelo tersedak, saat ingin menjawab pertanyaan dari Rowan. Ia sepertinya bingung antara menelan terlebih dahulu mie ramen yang memenuhi langit-langit mulutnya atau langsung spontan menjawab pertanyaan dari Rowan.

Senku : “Iya-iyaa, kalian makan dulu sana. Aku tahu kalian kelaparan selama misi ini bukan..?”

Angelo : “Ahhhh.... Si Bos, bisa aja. HAHAHAHAHA”

Mereka bertiga, baik Pakde Bonang, Rowan ataupun Angelo larut dalam suasana kebahagiaan. Mereka bahagia sekaligus bersyukur, nyawa mereka masih utuh setelah ketakutan yang mereka hadapi akhirnya sirna. Well....nampaknya mereka masih dalam suasana euforia, terlebih bar yang biasa dikunjungi Pakde Bonang ini sudah mengalami renovasi dan peningkatan fasilitas. Sehingga siapapun yang berkunjung kesana, sudah pasti akan nyaman dan bisa dipastikan isi dompet mereka bakalan nyangkut.

Bar ini sebelumnya hanyalah sebuah bar kecil nan sederhana, dengan fasilitas seadanya. Fasilitas yang bisa mereka sediakan seperti bangku kayu kecil, lalu meja yang terbuat dari bekas drum fosfor yang akan memancarkan cahaya hijau di kegelapan malam. Untuk hiasannya? Hanyalah patung singa kecil yang tangannya mengayun, membius siapa saja yang lewat di depan bar itu, untuk singgah sejenak. Minumannya pun hanya sekelas bar bintang tiga di kota besar. Sangat sederhana sekali. Saking sederhananya, tampilan luarnya malah lebih ke arah coffeshop biasa-biasa saja.

Masih dalam suasana kegembiraan dan sukacita, mereka bertiga sampai tidak menyadari bahwa ada pasukan dari The Mafias dan The Bullies yang berhasil masuk ke kota itu dan mereka menyamar layaknya warga kota Mole. Pasukan-pasukan ini menyamar di tengah penduduk kota yang terkenal sangat jenius dan juga santun. Mereka bertiga baru menyadari, saat mendengar suara rentetan senjata yang diarahkan ke sebuah rumah kosong yang memang sengaja disiapkan Pakde Bonang sebagai tempat rehat bagi Rowan dan juga Angelo, setelah perjalanan yang cukup jauh.

The Bullies : “Woyy Anjenggg. Keluarlah kalian, Rowan Piece dan Angelo San Martini. Kalau kalian tidak keluar dari tempat persembunyiaan, warga kota Mole akan kami bunuh satu persatu.”

Pengumuman pencarian orang atas nama Rowan dan Angelo, dua orang dari geng Bunga Mawar Emas yang datang dalam kondisi berdamai dan hanya mengumpulkan kepingan sejarah dari kota Indinesia Brighter, juga tersiarkan di pendopo kota Mole itu. Pengeras suara yang terpasang di setiap sudut pendopo berbunyi sangat keras. Kerasnya suara itu sampai-sampai hampir meruntuhkan tanah diatasnya. Warga kota Mole yang tidak suka sikap arogan dari serdadu yang menyamar itu, langsung menggeruduk pendopo dan memprotes tindakan tidak-kemanusiawiannya-itu dengan melemparkan tomat dan juga kaktus kepadanya.

Serdadu yang menyamar itu meringis kesakitan. Sambil terus menekan darah yang mengucur keluar, ia berkata, yakinlah warga kota Mole, Bunga Mawar Emas itu berbahaya. Dialah penyebab kehancuran kota ini. Banyak warga kota Mole yang ber-hu ria, mengolok kehadiran mereka berdua di tengah masyarakat kota Mole yang sudah terlanjur benci kepada kelompok The Mafias dan juga The Bullies.

Merasa terus dipojokkan oleh warga kota Mole yang terus berduyun-duyun datang, akhirnya serdadu dari pasukan The Mafias dan The Bullies, berupaya meloloskan diri dari sergapan warga kota yang sudah muak dengan tingkah mereka yang sok heroik dan selalu berulah dengan mengatasnamakan demi kesejahteraan bersama. Satu serdadu dari The Bullies tewas mengenaskan dengan tangan penuh dengan luka sayatan dan sekujur tubuh dipenuhi dengan beragam luka. Mulai dari luka yang membiru akibat disulut cerutu cuba; luka lebam di dada, perut dan juga area paha ke bawah; hingga luka tebasan di sekujur bahu. Sedangkan The Mafias? Dewi keberuntungan dan keselamatan masih melindunginya. Kalau saja Pakde Bonang, tokoh yang disegani di kota itu, tidak segera menampakkan dirinya di hadapan publik, mungkin nasibnya sama seperti serdadu The Bullies dan bahkan bisa saja lebih buruk daripada itu.

Pakde Bonang yang berusaha mengendalikan emosi negatifnya, hanya bisa menenangkan warga kota yang sudah naik pitam. Dengan tetap memegang kerah dari pakaian tempur yang dikenakan serdadu The Mafias, ia hanya berkata.

Pakde Bonang : “Ehh bodohh, kamu kan dah tau, kalau warga udah benci sama kau. Ngapa pula kau datang kemari.”

Serdadu The Mafias : “Ahh persetan denganmu, aku kesini hanya memburu dua bocah sialan ini, yang selalu menggagalkan rencana timku.”

Warga Kota Mole : “Bakar saja dia, Pakkkkk. Dia dan anggota timnya sudah meresahkan kita semua.”

Pakde Bonang : “Sabarrr.. semuaanya sabarr, kalian jangan main hakim sendiri. Biarkan aku yang menyelesaikan ini.”

Warga kota Mole 2 : “T-t-t-tapi Pakde, mereka ini meresahkan loh masalahnya. Aku lagi kerja di kebun, eh mereka-mereka ini malah se-enak jidatnya menginjak tanamanku yang susah payah aku rawat sendiri loh.”

Pakde Bonang : “Iyaa aku tahu Mbakk.., kerugian yang kamu alami karena ulah mereka, aku ganti deh. Kalau masalah ini diselesaikan pake emosional, bukannya mereda, malah makin memanas. Situasi makin memanas, ujung-ujungnya mereka mendatangkan pasukan yang lebih beringas. Justru inilah yang mereka inginkan.”

Pakde Bonang membentak pasukan itu dengan sangat keras, matanya melotot tajam lagi mengintimidasi lawannya. Tatapan tajamnya itu setajam pusaka samurai jepang yang baru saja ditempa dan disepuh oleh pandai besi terhebat sepanjang masa. Tatapan tajam yang ia lontarkan kepada serdadu The Mafias, memberi pesan tersirat, Jangan pernah kalian datang lagi kemari atau markasmu yang aku acak-acak, mengerti!?!?!? Tatapan penuh amarah itu tanpa sadar juga merenggangkan urat lehernya ke titik maksimal elastisnya. Serdadu The Mafias yang ketakutan, hanya bisa menganggukkan kepala, seolah pesan yang penuh intimidasi dimengerti dan akan disampaikan oleh rekannya yang lain.

Sudah tercatat ribuan kali Pakde Bonang menyelamatkan warga kota Mole dari serbuan pasukan The Mafias dan The Bullies yang kerap datang silih berganti, membawa pasukan lebih hebat dan banyak, serta juga membawa peralatan tempur canggih. Pimpinan geng The Mafias pun, rela merobek kantok celananya lebar-lebar, hanya untuk memperkuat armadanya. Mereka berpikir, kalau armadanya kuat, otomatis bisa menaklukan kota apapun, termasuk kota Mole, kota yang ‘baru' berdiri di bawah reruntuhan kota yang lama. Ambisi mereka ingin menguasai wilayah itu, adalah ada banyak sekali sumber daya alam yang bisa mereka keruk habis-habisan demi memuaskan perutnya yang membuncit laksana balon udara. 

Pakde Bonang : “Maafkan aku, kalau kalian harus melihat amarahku yang seperti tadi. Seharusnya aku sebagai tuan rumah, bersikap sopan dan lemah lembut kepada kalian berdua.”

Angelo : “Ndak papa Pakde, kami bisa memaklumi hal itu kok. Malahan kami senang kalau ada sosok yang dapat diandalkan di kota itu.”

Rowan : “Santai saja Pakde..menurutku itu termasuk kalem loh, ketimbang yang biasanya aku lakukan kalau ada alien tawanan perang yang endak mau nurut sama saya.”

Masih di bar Parit Resik, tempat Pakde Bonang biasa nongkrong, selama percakapan dengan Rowan dan Angelo, akhirnya Pakde Bonang membuka kedok aslinya. Yang beliau bilang kalau ada sosok sejarawan yang lebih ahli dibandingkan dirinya, sebenarnya hanyalah sekadar bualan semata. Padahal, Pakde Bonang sendirilah sejarawan yang selama ini dicari oleh Senku dan geng Bunga Mawar Emas.

Bisa dibilang dia adalah satu-satunya penduduk asli yang pernah tinggal di kota Bola Kapas. Unsur genetika yang dia miliki, digunakan dalam laboratorium ini untuk menghasilkan keturunan warga kota Mole yang bertubuh tinggi besar. Pakde Bonang sengaja menyembunyikan statusnya sebagai satu-satunya saksi yang hidup saat kota Bola Kapas masih berdiri, karena ia takut dicari oleh geng The Mafias yang mengincar kepala dan menghargainya di pasar gelap sebesar 300.000 GC (Galaktikos Currency). Jika kalian belum tahu, 1 keping GC setara dengan Rp.  1.500.000. 

Apakah bukti sejarah yang mereka dapatkan hanya sebatas gambar hologram dibalik kartu akses semata? Ohh...tentu tidak. Selayaknya saksi hidup yang mengalami beragam peristiwa yang terjadi di kota Bola Kapas beserta perkembangannya, Pakde Bonang menceritakan sejarah lengkap, mengapa kota Bola Kapas ini pernah ada dan bahkan perkembangan peradabannya sama pesatnya dengan kota Sukacita Bersama, yang kini telah runtuh dan berganti nama menjadi Indinesia Brighter. Dua anggota geng Bunga Mawar Emas, yaitu Angelo dan Rowan berbagi tugas untuk mendapatkan sekaligus menggali informasi sebanyak mungkin darinya. Angelo menyematkan mikrofon ke kerah baju Pakde Bonang, untuk merekam setiap ucapan yang keluar dari pria bergigi taring emas. Sedangkan Rowan, ia mengambil video menggunakan robot kamera yang telah disiapkan oleh Senku serta mencatat poin-poin pentingnya.

Wawancara ekslusif yang dilakukan mereka berdua, memakan waktu setidaknya 7 jam. Sebenarnya, wawancara mereka lumayan panjang, lama dan juga melelahkan. Namun bagi mereka berdua, waktu bukanlah masalah. Terlebih lagi, cerita yang disampaikan oleh Pakde Bonang, semuanya mengandung kepingan-kepingan sejarah yang mungkin saja bisa digunakan oleh Bunga Mawar Emas untuk membangun kembali kota Indinesia Brighter ke masa kejayaannya dulu. Bahkan nih, Pakde Bonang menyarankan untuk pergi ke hutan Jeruk Mistis jika ingin mengumpulkan semua bahan-bahan yang dibutuhkan dan beliau berani memberikan saran, sebaiknya membawa empat orang untuk bisa selamat keluar dan masuk di hutan Jeruk Mistis yang terkenal angker dan juga dijaga ketat oleh Pasukan The Bullies. 

Setelah informasi yang mereka kumpulkan dirasa sudah cukup, kini saatnya mereka berdua berpamitan untuk kembali ke markas Bunga Mawar Emas yang berada di sebuah bandara usang di kota Indinesia Brighter. Tidak lupa juga, Pakde Bonang membekali mereka dengan bahan pangan cepat saji dan juga beberapa oleh-oleh khas kota Mole, yaitu cuka apel, minuman fermentasi sejenis sake namun dibuat dari akar Pohon Keilhaman dan tentunya bahan bakar ekstrak plutonium yang menurut Pakde Bonang cukup melajukan kendaraan mereka berdua dengan cepat.

Setibanya di markas Bunga Mawar Emas, mereka berdua disambut dengan gembira. Berbagai perayaan mewah sengaja disiapkan oleh Senku, karena berhasil mengumpulkan kepingan sejarah dari kota Indinesia Brighter. Tidak lupa, Rowan menurunkan perbekalan dan juga oleh-oleh hasil pemberian Pakde Bonang. Mereka berenam termasuk Profesor Keli beristirahat setelah pesta besar-besaran dan mereka siap untuk kembali berpetualang, menjelajah hutan Jeruk Mistis, demi mengumpulkan kepingan sejarah berikutnya. Masih dalam benak kekhawatiran Senku, apakah pasukan The Mafias masih memburu mereka dan berusaha melenyapkan semua anggota geng Bunga Mawar Emas yang membawa misi kemanusiaan, untuk membebaskan penduduk kota dari belenggu geng itu dan memajukannya atau tidak? Yaa hanya waktu dan upaya mereka yang mampu menjawab itu semua.

Lorong Waktu dan Peradaban Seri-2 berakhir disini

Bersambung menuju Seri-3........

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Kategori
Teka-Teki
Sebelumnya Selamat Datang Di Bumi, Prajurit
0
0
Sabtu, 1 januari 2039, ada sebuah kota terkenal akan penemuan inovatif teknologinya  bernama Indinesia Brighter yang berpenduduk sebanyak 35 juta jiwa dan kota tersebut dipenuhi oleh para cendekiawan dari berbagai penjuru dunia. Dahulu kota itu sempat redup akibat aktivitas kriminalitas yang tinggi. Yaaa.., kota itu dulunya dipimpin oleh sosok priayi yang memiliki pandangan visioner bernama Spikes. Beragam program sudah pernah ia uji cobakan demi memakmurkan kota kelahirannya itu. Namun sayang, korupsi dan nepotisme yang terjadi di lingkungan bawahan serta beragam peperangan saudara yang berkecamuk menyebabkan Kota Sukacita Bersama menjadi sebuah kota mati. Beberapa karyawan yang loyal terhadap era kepemimpinan The Mafias sebelumnya , geng terkuat yang memimpin kota itu, dibantai secara sadis. The Mafias kini dipenuhi dengan para pengkhianat kota dan juga para koruptor yang membuat kota itu semakin tidak bernyawa dan penduduk yang ada disana? dibiarkan mati kelaparan termasuk anak-anak mereka didoktrin supaya tetap takut kepada The Mafias
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan