
“Dasar, anak abegeh!”
“Omonganmu susah dicerna.”
“Kamunya yang gak mau mikirin.”
“Bicara yang lain saja.”
“Justru ini jawaban dari pencarianmu. Kamu itu memiliki darah pejalan, Laras. Setiap pejalan memiliki insting dekat dengan Tuhan. Hanya saja, mau nyadar nggak dia. Ada yang lantas menafikan hal itu dan jadi atheis, ada yang melewatkan begitu saja, ada yang tak peduli.”
========================================================
“Nah, lalu kamu disodorin sunrise kayak gini....
1
SONG OF KARANGSONG
Lidah ombak menjilat murka
buih putihnya membasuh umpat
angin laut bawa amarah
butir pasir berbisik lirih
membenamkanku dalam kelibat
dan hantaman kisah
Ke mana lagi ‘ku dapat bersauh
mengempaskan gelombang rindu
tak tentu arah…
Larasati menjadi aneh. Darmanto merasakan hal itu.
Berjalan lurus menjauhi rumah papanya setelah menemu kekecewaan tanpa dapat memecah tangis agar menganak sungai, langkah Laras bagai entakan perkusi dalam irama keras, seperti cadas dihantam berulang-ulang.
Menyaksikan wanita lain berada di rumah papanya, membuat Laras menyesal. Ia yang mempercayai papanya sekuat tenaga, kali itu pupus sudah.
Mata gadis itu beku. Sebeku hatinya.
Darmanto mengekor dengan motornya, meminta Laras membonceng. Tanpa berkata sepatah pun Laras naik, melingkarkan tangannya ke backpack Darmanto dan menyandarkan kepala pada tutupnya.
“Lebih baik bicara dulu sama Papa,” seru Darmanto. Suaranya mengalahkan deru kendaraan.
“Udah!” Setengah berteriak Laras memotong. “Terus aja ke timur!”
“Ya! Tapi ke mana?” Darmanto agak jengkel menghadapi gadis keras kepala macam Laras.
“Pantai! Bawa gue ke pantai, Dar! Gue pengen tereak-tereak!” Laras tak peduli dengan sesama pengendara yang keheranan melihatnya.
“Dasar keras kepala!” Darmanto mengarahkan motornya ke timur.
“Apa tadi lo bilang?” Laras mendorong bahu Dar.
“Elonya kepala batu!” Darmanto berteriak lalu memacu motornya membelah malam.
Mereka tidak bicara lagi setelah itu, sampai tiba di Indramayu tepat tengah malam. Darmanto langsung menuju Pantai Karangsong.
“Puas-puasin lo di sini. Mau marah silakan. Mau nangis silakan. Gadis kepala batu!” Darmanto memarkir motornya di sebuah penginapan dekat pantai. Seorang satpam menghampiri.
“Mau nginep, Mas?” Kantuknya bersaing dengan senyum ramah, girang dengan rezeki yang datang malam-malam.
“Iya, Pak. Dua kamar.” Darmanto menggeser backpack, isyarat agar Laras turun dari motor.
“Dua?” Satpam itu bengong. Mungkin anak muda yang datang ke penginapan ini biasanya memanfaatkan peluang untuk tidur sekamar, Darmanto malah memilih tidur terpisah.
“Iya, Pak. Masih ada nggak?” Darmanto melirik Laras yang diam tak peduli.
“Oh, iya, masih ada. Mari ke kantor!” Satpam itu menunjukkan jalan menuju ruang resepsionis yang lengang. Darmanto menggandeng Laras, yang lebih terlihat seperti menuntun kerbau yang dicocok hidungnya.
Seorang pemuda muncul dari balik meja resepsionis, masih dengan mata setengah terpejam.
“Dua kamar.”
Kali ini si pemuda yang heran. Satpam mengangkat bahu lalu keluar ruangan.
“Silakan diisi buku tamunya! Selain itu, boleh lihat KTP-nya?”
Darmanto menyerahkan KTP. Kemudian mengeluarkan dua lembar seratus ribuan lalu mengisi buku tamu dengan cepat. Setelahnya, ia menerima kembali KTP-nya.
“Silakan, lewat sini!” Pemuda itu menatap heran kepada Laras yang cuek.
Dua kamar ukuran kecil terbuka. Darmanto mengantar Laras masuk ke kamarnya, memastikan gadis itu sadar untuk mengunci kamarnya sendiri, sementara ia akan tidur di kamar sebelah.
“Wake up, Ras! Lo yang pengen ke sini, jadi nikmati sendiri!” Darmanto beranjak keluar.
“Kamu tidur di mana?” Suara Laras terdengar parau. Mungkin karena lama tak bicara.
“Di kamar sebelah.”
“Kenapa nggak di sini aja? Aku takut….”
Semula, bagi Darmanto, rasanya agak aneh mendengar Laras menyebut elo-gue selama di tanah Jawa Tengah, padahal biasanya mereka saling menyebut aku-kamu. Sekarang, begitu mendengar Laras menyebut aku-kamu kembali, ternyata terasa jauh lebih aneh lagi.
“Aku di sebelah saja. Takut gak bisa nahan nafsu.” Darmanto mencoba melucu, tapi Laras malah seperti orang bengong.
“Kepalaku sakit, Dar. Sakit sekali.” Laras memijiti pelipisnya. Matanya terpejam.
“Yaa, mungkin otakmu mulai agak konslet. Tidurlah, biar konsletnya gak parah,” sahut Darmanto, cuek. Dilihat dari raut mukanya, ia yakin Laras benar-benar sakit kepala. Akan tetapi, ia biarkan saja, supaya Laras terbiasa menghadapi sendiri masalahnya. Lagi pula, badannya teramat lelah. Ia perlu rehat untuk dirinya sendiri.
“Jangan lupa kunci pintu!” Darmanto menoleh sebelum keluar.
Angin laut menampar muka Dar ketika berjalan menuju pintu sebelah. Sebentar kemudian ia sudah tenggelam dalam mimpi.
Suara debur ombak memang enak dijadikan sebagai pengantar tidur, tapi tidak bagi mereka yang tak terbiasa mendengar suara berisik. Darmanto tidur amat nyenyak, sampai mendengar suara orang tengah berteriak-teriak.
Samar-samar ditekuninya bunyi itu. Suara teriakan dan tawa bergantian. Suara Laras!
Darmanto melonjak bangun. Didengarnya lagi suara itu. Nyata.
Cepat dibukanya pintu, menghambur ke kamar Laras yang tak terkunci, dan mendapati tak ada siapa pun di sana. Dar bergegas ke pantai. Di sana ia melihat Laras tengah bermain pasir dan ombak sambil terus berteriak dan tertawa. Terenyuh hati Dar jadinya.
Didekatinya gadis itu.
“Ras!”
Laras menoleh. Badannya kuyup dan menggigil. Darmanto memeluknya.
“Aku gangguin kamu ya? Aku cuma pengen teriak. Teriak. Teriak aja.” Suara Laras terdengar serupa bisikan.
“Teriaklah. Kutemani ya!” Darmanto melepas pelukannya, lalu berdiri tegak di samping Laras.
Tatapannya lurus ke horizon yang mulai berpendar kemerahan.
“Tarik napas. Keluarin dengan teriak….”
Laras mengikuti petunjuk Darmanto.
“Aaaaarrgghhh…!”
Laras jatuh terduduk, lalu berbaring di pasir.
Darmanto duduk di sebelahnya. “Gimana?”
“Ya, lebih baik.”
“Mau teriak lagi?”
“Nggak. Sebelum kamu datang aku udah banyak teriak.”
“Ya, tapi sekedar teriak. Kamu nggak ngeluarin sumber marahmu.”
“Hmm, gitu ya….”
“Ssstt…! Ras, lihat, sunrise!”
Laras terbangun, duduk tegak menatap horizon.
Berdua manusia muda itu diam dan menikmati keindahan alami. Menit-menit yang sukar dilukiskan dengan kata-kata. Sorot kemerahan bercampur kekuningan menyembul di garis khayal nun jauh di sana.
“Aku nggak pernah selesai mikir, kenapa Tuhan menciptakan sunrise,” bisik Darmanto tanpa melepas pandangannya dari horizon.
“Ya untuk dinikmati gratisan kayak yang kita lakukan gini,” Laras asal menyahut.
Darmanto menggeleng. “Bukan.”
“Buat apa lagi?” Laras mengerutkan kening.
“Pasti ada rahasia di balik penciptaan itu. Awal sebuah perjalanan. Permulaan yang indah, yang harusnya kita jaga agar siklusnya tetap indah. Bukan sekadar terbitnya matahari. Ini yang harusnya menjadi pelajaran buat kita, Ras.” Darmanto menoleh, lalu tergelak melihat Laras menatap polos tak mengerti.
“Dasar, anak abegeh!”
“Omonganmu susah dicerna.”
“Kamunya yang gak mau mikirin.”
“Bicara yang lain saja.”
“Justru ini jawaban dari pencarianmu. Kamu itu memiliki darah pejalan, Laras. Setiap pejalan memiliki insting dekat dengan Tuhan. Hanya saja, mau nyadar nggak dia. Ada yang lantas menafikan hal itu dan jadi atheis, ada yang melewatkan begitu saja, ada yang tak peduli.”
“Maksud?”
“Kamu ini, jadi cewek jangan bego-bego banget dong!”
“Emang udah bego dari sononya!”
“Nih, Ras, coba tanya dirimu sendiri, kapan kamu mutusin ke pantai. Kenapa kamu mau ke sini, bukan memilih ke kota, ke hotel yang nyaman?”
“Nggak tahu.”
“Itulah orang bego. Nggak mau mikir.”
Darmanto menggenggam pasir lalu melemparkannya ke laut sejauh jangkauan.
“Pertanyaanmu berat, Dar. Pusing aku!”
“Pikir sebentar, lalu jawab pertanyaanku tadi.”
Laras menurut.
Kenapa juga dia milih ke pantai? Ya karena dia ingin. Ingin aja. Spontan. Ingin teriak, ingin menyepi, ingin sunyi.
“Biar aku bisa teriak sendiri,” Laras menggumam.
“Nah, lalu kamu disodorin sunrise kayak gini. Kamu tahu nggak, Allah tuh ngejawab langsung doamu. Kamu pengen yang mengganjal di hatimu keluar, udah dikasih kesempatan teriak. Masih ditambah bonus lagi. Sepertinya matahari terbit itu mau bilang sama kamu, ‘hei anak bego, masih ada awal yang baru, jadi jangan pernah nyerah’.”
Laras diam. Ia mulai menyadari dirinya masih bodoh. Bego pula.
“Kamu belajar dari mana itu semua, Dar?” Pertanyaan Laras tadi mungkin juga pertanyaan bego. Lagian kenapa ditanyakan?
“Dari hidup,” jawab Dar sambil tersenyum lembut.
Angin subuh menampar tubuh mereka, seolah mengalunkan lagu indah dari kerang dan karang di lautan. Lagu kehidupan yang tidak mungkin diperoleh Laras di sekolah.
(Berlanjut ke episode 2)
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
