
Jalan bareng Papa adalah salah satu mimpinya!
“Nanti Papa ngobrol sama kepala sekolah kamu, status kamu di sekolah itu gimana. Aman nggak. Bakal dikeluarkan nggak nantinya.” Papa mendadak gusar.
Wah gawat, Laras membatin. Nggak bisa dibiarkan nih Papa datang ke sekolah!
“Mama udah menghadap Kepsek, Pa. Udah nggak ada masalah.” Laras berusaha menghalangi. “Kalau Papa ikut-ikutan menghadap juga, nanti takutnya Kepala Sekolah malah berubah pikiran, nggak kasih izin Laras jalan.” Laras ingin menangis membayangkan...
5
KABAR MASA LALU
Manusia punya harta abadi
: urusannya sendiri
Darmanto mengguncang lengan Laras, mengikis ketakutan dan kecemasan gadis itu. Laras menatap Dar dan berbisik, ”Mau ngapain dia?”
“Dia mau bicara sama kamu.” Dibimbingnya Laras keluar kamar lalu menutup pintu. Mereka lalu lesehan di lantai teras penginapan.
Si wajah Baron sudah duduk di sana memainkan sebungkus rokok. Pandangannya dilempar ke laut lepas, tempat suara ombak berasal.
Laras duduk kedinginan sambil melipat kaki, ikut menatap buih ombak di laut gelap. Dar ingat sesuatu, lalu masuk kamar. Sesaat kemudian ia menyodorkan selimut tebal ke Laras yang menerimanya dengan senang.
“Sorry, tadi gua nggak nanggepin omongan lu.” Erwin, pemilik suara empuk itu, menyalakan sebatang rokok.
“Ya, nggak apa-apa.” Laras mengangguk meski heran.
Lalu mereka bertiga diam kembali. Laras menoleh ke Darmanto, tapi cowok itu malah mengangkat bahu tak peduli.
“Lo ke sini mau bilang itu doang?” Laras tak tahan buka suara.
Erwin mengembuskan asap dari mulutnya.
“Rokok bisa bikin lo impoten. Berbahaya buat kehamilan.” Laras bicara konyol, tapi garing. Dar dan Erwin diam saja.
“Gua emang punya adik, namanya Baron. Cuma, udah lama gua nggak ketemu.” Erwin melirik Laras.
“O….” Laras bersikap cuek. Rupanya tebakannya benar.
“Boleh dibilang, Baron itu sudah dibuang keluarga. Lu pasti bisa nebak kenapa. Ya, karena dia gay. Keluarga nggak bisa nerima, kecuali oma gua.” Erwin tampak gelisah. Ia menekan rokok putihnya yang tersisa setengah batang ke lantai, lalu mengambil sebatang rokok baru.
“Gua ke sini karena gua ingin tahu kabar adik gua itu.” Letik api menyulut ujung rokok Erwin.
Dar mengeraskan rahang. “Adik lo udah mati.”
Laras ingin mencegah Dar mengatakan hal tadi, tapi terlambat. Erwin mengerutkan kening, tampak terkejut.
“Ya, gue kenal Baron,” Laras cepat-cepat menyela.
”Dia anak yang baik. Pernah nolong gue waktu kehilangan motor. Kemarin gue sempat ketemu dia dan nginep di losmen oma elo. Kayaknya emang adik lo lagi punya masalah. Cuma, pas gue ke sini….” Laras menghela napas, melirik ke Dar.
“Kami sempat melihat mayat Baron.” Dar melanjutkan dengan nada datar.
Suasana sepi. Laras sudah kehabisan rasa sedih untuk urusan yang satu ini. Dar mungkin juga kehabisan kata untuk menghibur. Erwin diam mematung.
“Nggak ada kabar tentang kematiannya?” Suara empuk Erwin bercampur serak. Wajahnya berubah sedih. Matanya memerah, berkaca-kaca.
“Waktu ketemu, kami nggak sempat ngomong banyak.” Lidah Laras kelu. Kenangan seorang Baron yang baik hati menyayat lagi.
“Gua pernah dengar, selentingan, ada kasus adik gua di Semarang.” Erwin menyusut air matanya. “Dia pacaran sama lelaki yang jadi suami orang dan terjerat kasus narkoba.”
Laras dan Dar menatap prihatin, seperti ikut merasakan penderitaan almarhum Baron.
“Mungkin Baron sembunyi di losmen Oma, lalu ketahuan.” Erwin menyimpulkan sendiri. Laras dan Dar tak tahu harus bicara apa.
Erwin mengusap dua matanya, kemudian tersenyum. “Makasih kalian udah jadi temen Baron. Gua hargai itu. Sekarang, gua punya pe-er buat menyelidiki kematian adik gua.”
Cowok berkulit putih itu berdiri, mengembuskan napas penuh kelegaan dengan sikap jauh lebih macho daripada almarhum adiknya.
“Kenapa lo nggak bilang dari tadi, waktu gue tanya?” tukas Laras, diburu penasaran. Dar menjawil lengan Laras, meminta pengertian, tapi saat itu Laras memang penasaran.
Erwin mengangguk. “Gua minta maaf. Terus terang, gua nggak ingin masa lalu adik gua jadi omongan di komunitas ini. Asal lo tahu, gua baru bisa eksis di komunitas ini karena mereka nerima gua yang datang dari keluarga berantakan.”
Wajah Erwin muram. “Gua belajar organisasi di sini. Makanya gua ingin jaga citra. Oke, gua salah tadi, kelihatan kayak nggak ngakuin adik gua. Tapi lo bisa pegang kata-kata gua, kalo gua akan nyari info tentang kematian Baron. Bagaimanapun jeleknya, dia tetap adik gua.”
Laras dan Dar membiarkan Erwin berdiri dan melangkah menjauh dengan gontai.
“Ras.” Dar menatap Laras sungguh-sungguh. “Jadi sudah jelas kan? Urusan Baron bukan lagi urusan kita.”
Laras tersenyum dan mengangguk. “Iya….”
“Kamu jangan mikirin lagi. Udah ada yang bakal menuntut balas kematian Baron. Ayo, tidur! Besok kita bantuin mereka kerja bakti!” Dar menepuk pundak Laras, membuat gadis itu mengangguk lega.
Sepertinya perasaan lega itu membawa Laras pada mimpi indah. Ia terbangun di tengah derai tawa Papa dan Darmanto.
Laras bengong sambil menerjapkan mata. Tampak Dar dan Papa sudah rapi dan segar.
“Ada apa sih?” sungut Laras setengah sadar.
“Segitu ngilernya….” Papa menggoda dan beranjak ke pintu. ”Papa mau sarapan dulu!”
Laras baru sadar, melirik area basah di bantalnya.
“Whuaaa!” Laras menunduk malu. Sangat.
“Udaaah… Nggak usah malu. Ngiler waktu tidur itu lumrah.” Dar menahan tawa.
Laras mendongak, melempar cowok itu dengan bantal berbekas iler.
“Heh!” Dar berkelit ke arah pintu, memelet-meletkan lidahnya sebelum keluar kamar, menyusul Papa Laras.
Laras merenung sendiri. Malu dia.
Pintu terkuak lagi. Laras mendelik. Kepala Dar muncul, lengkap dengan senyum jahilnya.
“Kata Papa, kalo udah selesai ngiler, eh, mandi, ikutan kerja bakti di pantai bareng anak-anak pencinta alam. Selamat ngiler!” Dar cepat-cepat menutup pintu.
“Gggrrrhhh!” Laras setengah meradang.
Setelah mandi dan sarapan nasi goreng dari penginapan, Laras bergabung untuk bersih-bersih Pantai Karangsong di Indramayu.
Darmanto masih menggodanya saat mereka berpandangan, dengan sengaja meniru gaya Laras waktu tidur. Setengah kesal, Laras mengejarnya. Mereka berlarian di pantai. Papa Laras dan orang-orang sama tertawa.
Laras berhenti berlari. Ia terengah sambil menahan sakit di perutnya yang baru saja diisi makanan saat sarapan tadi. Darmanto tertawa mendekati Laras yang tengah terduduk. Dan mengulurkan tangan dengan perasaan penuh sesal. Laras menyambutnya dengan guyuran pasir di badan Dar, lalu meninggalkan cowok itu dengan tawa.
Sepasang mata memperhatikan keduanya dengan segaris senyum. Laras menoleh, melambaikan tangan ke arah Erwin yang tengah memperhatikannya dari jauh. Erwin, pemilik mata dan senyum tadi membalas lambaian tangan Laras.
“Siang nanti kita berangkat, Ras,” sahut Papa yang sudah berdiri di sampingnya. Laras mengangguk.
“Cuma Papa dan kamu. Darmanto bawa motor. Kita langsung ke Solo aja?”
Laras berpikir sambil menatap Papa. Senyumnya merebak. “Backpacking berdua yuk, Pa!”
Papa tersenyum dan mengangguk. “Just father and daughter. Nanti dulu, sekolah kamu gimana?”
“Laras udah ngerjain semua tugas, Pa. Malah setor esai lebih banyak dibanding teman-teman lain.” Laras tertawa kecil.
Jalan bareng Papa adalah salah satu mimpinya!
“Nanti Papa ngobrol sama kepala sekolah kamu, status kamu di sekolah itu gimana. Aman nggak. Bakal dikeluarkan nggak nantinya.” Papa mendadak gusar.
Wah gawat, Laras membatin. Nggak bisa dibiarkan nih Papa datang ke sekolah!
“Mama udah menghadap Kepsek, Pa. Udah nggak ada masalah.” Laras berusaha menghalangi. “Kalau Papa ikut-ikutan menghadap juga, nanti takutnya Kepala Sekolah malah berubah pikiran, nggak kasih izin Laras jalan.” Laras ingin menangis membayangkan hal itu.
”Makanya Papa perlu meminta kepastian dari sekolahmu,” Papa menjawab tegas dan kembali bergabung dengan sukarelawan yang membersihkan pantai.
Laras menatap laut di kejauhan. Batinnya gundah. Setelah sekian tahun terpisah, ia takut keinginannya untuk jalan berdua dengan Papa gagal.
(Bersambung ke episode 6)
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
