
Rumah adalah kidung-kidung indah yang dinyanyikan hati. Dimana bisa menikmati senja jingga yang kemudian beralih menjadi ungu.
Namun, seseorang mengganti senja unguku menjadi semerah darah. Dan aku sudah mati berkali-kali ketika senja tanpa ungu dikirim padaku. Jika hari ini aku harus mati sekali lagi, tentu saja bukan masalah -- semoga malaikat takkan bosan melihatku pada kematian mendatang. Nanti akan kubawa serta jahanam yang darahnya menghiasi senjaku. Selanjutnya akan kulempar ia ke jurang neraka.
Aku sudah mati berkali-kali ketika senja tanpa ungu dikirim padaku. Jika hari ini aku harus mati sekali lagi, tentu saja bukan masalah -- semoga malaikat takkan bosan melihatku pada kematian mendatang. Namun, nanti akan kubawa serta jahanam yang darahnya menghiasi senjaku. Selanjutnya akan kulempar ia ke jurang neraka.
***
Ruang tak seberapa terang ini menampakkan pemandangan tak layak. Meja kursi bergelimpangan, beberapa perabotan kecil saling tumpang tindih, dan salah satu buku yang biasa tertata rapi di atas televisi kecil, kini menyeberang ke meja makan. Porak poranda.
Napas kuatur satu-satu. Badan ini terasa seperti habis berlari puluhan kilometer. Lelah dan lemah. Aku duduk memeluk kaki di tengah ruangan. Rambutku acak-acakan, menggumpal-gumpal lengket seperti terkena permen karet. Baju terusan berwarna coklatku terkoyak tak karuan -- satu kancingnya tampak teronggok di sudut ruangan. Sementara kulit di sekujur tubuh penuh luka sayatan bekas pertarungan beberapa menit lalu.
Mataku tertumbuk pada dua orang yang terbaring bersebelahan di lantai. Sedetik kemudian aku menyeringai puas memandang seorang lelaki tergeletak di sebelah ibuku. Tangan lelaki itu tampak menggenggam potongan balok kayu jati sungu berukuran satu setengah meter.
Aku beringsut mendekati mereka. Kubelai wajah pucat perempuan yang telah melahirkanku itu, sepertinya kedinginan. Seketika hatiku robek di ujungnya. Segera kuambil sehelai jarit batik dari atas lincak untuk menutupi badannya yang beku. Jarit batik ini pemberian Ibu waktu itu. Katanya harus kusimpan sebagai jimat. Ketika Ibu melahirkanku, jarit inilah yang ia gunakan untuk menutupi tubuhnya selama proses melahirkan.
"Ibu, bukalah matamu dan peluk aku," bisikku di telinganya.
Tangan serta lutut kuletakkan di lantai sebagai tumpuan. Kupandangi wajah damai itu. Ibu tetap diam tak bergerak. Air mataku menetes pelan. Aku mulai panik. Pisau berkarat masih tergenggam di tangan kananku. Aku tengah lupa dari mana benda tajam itu kudapat. Namun, aku tak peduli asal muasalnya, yang pasti benda berkarat ini telah menyelamatkanku.
Pandanganku beralih ke sebelah, dekat saka guru. Lelaki itu tampak menggeliat. Sedikit demi sedikit ia bangun dan hendak mendekat padaku. Aku beringsut mundur hingga punggung terasa menyentuh tembok. Sorot mata orang di depanku tajam menelanjangi. Aku selalu membenci sorot mata itu terutama ketika tangannya mulai menyentuhku. Aku ingin berteriak, tapi takut jika Ibu terbangun. Ibu harus banyak istirahat agar besok bisa melindungiku lagi dari lelaki jahanam di depanku yang seharusnya kupanggil Bapak.
"Aargh ...." Aku menjerit cukup keras dengan kedua lengan menutupi mata.
Sedetik dua detik kutunggu, tetapi tak terjadi apapun. Aku mencoba mengintip melalui celah kedua tanganku, ternyata lelaki itu tetap terbaring di tempatnya, di sebelah ibuku -- tak ada yang berubah. Aku sudah muak, benar-benar muak. Kudekati ia. Pisau di tangan kutancapkan di dadanya sekali lagi tanpa ada keinginan untuk mencabut kembali. Tuntas sudah tugasku. Bapakku membunuh ibuku. Aku membunuh bapakku. Tidakkah itu adil?
Bau anyir darah mulai menusuk hidung. Tak tahan, aku bangkit dan beranjak keluar ruangan. Langkahku terasa berat menuju kamar mandi. Mungkin kaki ini terbebani dosa-dosa. Mungkin tangan ini terlalu kotor. Lebih baik aku mandi membersihkan seluruh tubuh agar nanti bisa berjalan-jalan mencari senja unguku yang entah di mana disembunyikan.
Senja ungu hari ini berubah merah. Aku teringat saat masih kecil, setiap sore selalu menghabisakan waktu bersama Ibu di teras, depan satu pot kembang kertas. Aku makan kue cucur buatan Ibu sembari menatap langit berubah ungu. Bertahun kemudian meski semua berubah, aku tetap menunggu senja ungu di tempat yang sama.
"Lara!"
Seseorang seperti memanggilku. Suara pancuran air sangat kencang membuat panggilan yang ditujukan padaku itu terdengar samar. Kusumpal pancuran bambu itu menggunakan karet bekas ban, lalu kutajamkan telinga.
"Lara!"
Suara itu lagi. Siapa yang sudi memanggilku? Beberapa tahun ini aku terkucil. Teman-teman sekolah sudah keluar dari desa semua, mencari kerja di desa sebelah yang sudah terjamah kehidupan kota. Jarak dari desa tempat tinggal ke desa sebelah hanya memakan waktu 30 menit. Mereka biasanya pulang hanya hari Sabtu dan Minggu. Itupun takkan pernah mengunjungiku. Pun ketika mereka melewati rumahku, teman-teman itu tak sedikitpun menoleh. Seolah tak kenal saja.
Ah, atau memang tak mengenalku. Sedari sekolah teman-teman tak ada yang mengenalku. Aku hanya gadis penghuni sudut kelas yang selalu memperhatikan mereka tertawa, bercanda, dan meraih prestasi. Aku? Aku hanya dipanggil namanya ketika guru mengabsen. Dan teman-temanku, satu atau dua orang sekilas menolehku.
"Lara!"
Gegas kuhentikan kegiatan membersihkan badan. Segera kuguyur seluruh tubuh, dari ujung rambut hingga kaki, menggunakan gayung. Lalu sesegera mungkin kukenakan baju ganti yang baru kuambil dari dalam lemari.
"Lara!" Panggilan keempat kusahut dengan keras.
"Iya ...." Sahutanku terjeda sejenak. Otakku memproses memori. Itu suara Ibu. Ibu memanggilku, pasti ia sudah terbangun.
"Ahemm ...." Kakiku urung melangkah saat mendengar suara seseorang yang kutakuti.
Secepat kilat aku berbalik masuk kamar mandi. Celingak-celinguk sebentar mencari tempat yang aman. Sial. Kamar mandi ini hanya berukuran dua kali satu meter yang berisi sebuah bak mandi kecil. Tak ada lemari, tak ada sekat untuk sembunyi. Putus asa, kuceburkan diri ke dalam bak, airnya separuh merendam tubuhku. Berharap air tersebut bisa memyembunyikanku.
"Lara ...." Ibu sepertinya memanggilku lagi. Aku terus berdoa semoga ia baik-baik saja. Semoga lelaki itu tak menyakitinya lagi. Saat ini, aku belum berani keluar.
Entah berapa lama aku tertidur -- sepertinya memang tak lama. Hari ini terasa sangat melelahkan. Aku tersentak bangun karena dingin mulai menggigit -- tubuhku menggigil. Suasana di luar tampak sepi. Mungkin Ibu sudah tidur. Dan lelaki itu sudah pergi seperti biasa, entah ke mana.
Kuberanikan diri untuk keluar. Kuamati sejenak badan basah ini. Kulit mengerut pucat, bibir bergetar, gigi gemeletuk, serta kulit penuh goresan. Aku berjalan melewati dapur menuju ruang tengah, ruang yang seingatku melihat Ibu dan lelaki itu terakhir kali sebelum aku mandi. Antara dapur dan ruang tengah itu dibatasi pintu kupu tarung sederhana. Pintu itu sering kumainkan dulu sambil menunggu Ibu memasak.
Mulutku ternganga melihat pemandangan di depan mata. Ibu dan lelaki itu berbaring di lantai dengan kondisi mengenaskan. Ingin menjerit tetapi kilasan ingatan beberapa menit yang lalu kembali datang.
Aku melihat Bapak mengayunkan balok kayu jati sungu ke kepala Ibu ketika salah satu kakiku belum menapak lantai rumah dengan benar. Aku baru saja datang dari mengantar pesanan kue ke warung tetangga di gang sebelah. Tampak Ibu yang tadinya berdiri kokoh berhadapan dengan Bapak, seketika jatuh tergeletak tak bergerak. Aku sering melihat kejadian seperti ini sebelumnya, Bapak bertengkar dengan Ibu saat Ibu hendak menolongku. Namun kini, perbuatan Bapak sudah keterlaluan.
Aku melihat darah mulai merembes dari hidung, dari kepala dan entah dari mana lagi. Darah Ibu seperti memenuhi mataku. Aku kalap. Penuh amarah aku berlari mendekat. Baki aluminum bercorak lurik bekas tempat kue kemarin, masih tersemat di tangan kiri. Di atasnya terdapat daun pisang layu, serbet, dan pisau berkarat. Tanpa ragu pisau itu kuhunuskan ke perutnya. Bapak yang masih memegang kayu, mencoba memukulku mengenai pundak. Aku terjatuh sejenak.
Bapak bangkit dengan sisa tenaganya. Ia mencabut pisau dari perut dan hendak ditusukkan padaku. Beruntung aku sempat mengelak. Tangan Bapak yang kapalan berusaha menggapaiku. Namun, hanya baju yang mampu ia raih. Sejenak mata kami beradu pandang dengan rasa berbeda. Mataku dengan kemarahan dan ketakutan, dia tetap dengan sorot yang menjijikkan. Tak lama, adegan tarik menarikpun tak terelakkan.
Pisau itu, sekali lagi diayunkan padaku. Kali ini lenganku tergores. Aku membalasnya dengan menendang. Begitu seterusnya kami saling membalas, hingga aku memiliki kesempatan untuk meraih kursi kayu berwarna biru. Kursi dari masa kecilku itu kupukulkan ke kepalanya. Ia terkapar, pisau berkarat kembali kupegang dan kuhunuskan tepat di dadanya.
Tubuhku merosot ke lantai. Apa yang telah kuperbuat? Tangan ini, tangan yang sudah diajarkan oleh kelembutan meski dihimpit kekerasan setiap hari. Tangan ini, tangan yang selalu dididik akan cinta kasih meski dipertontonkan kebencian setiap saat.
"Ibu, maafkan aku. Aku tak layak jadi putrimu," raungku menelungkupkan wajah di lantai yang sebagian ternoda oleh darah.
Air mata ini terus saja menetes membasahi dinding-dinding pipi menuju leher dan berakhir di telapak tangan. Aku mulai merasa seluruh badanku berbau anyir. Kembali, aku bangkit dan berlari ke kamar mandi. Tubuh dan baju yang belum kering, kuguyur dengan air. Kugosok tanganku menggunakan sabun berulang kali. Hingga sebagian lecet dan menambah perih.
"Lara, bersikaplah baik. Kelak kau akan jadi rumah untuk keluarga kecilmu. Maka, jadilah rumah lembut dan indah." Terngiang kalimat-kalimat bijak Ibu yang selalu kudengar memperingatkanku jika aku mulai nakal.
"Ibu, aku tak ingin jadi rumah itu. Aku tak bisa. Ibulah rumahku," guguku kencang, tanpa peduli lagi suaraku terdengar hingga luar.
***
Rumah adalah kidung-kidung indah yang dinyanyikan oleh hati, dimana bisa menikmati senja jingga yang kemudian beralih menjadi ungu.
Dulu aku senang menikmati senja ungu itu di kursi kayu kecil berwarna biru buatan Bapak -- yang pada akhirnya kursi kayu itu juga yang melumpuhkan si pembuatnya. Ibuku, duduk di lantai berlapis semen khas pedesaan, sambil menunggu suaminya yang sedang mengerjakan pesanan kursi kayu.
Ya, bapakku adalah pengerajin kayu kecil-kecilan di desa. Ia biasa membuat perabotan seperti kursi, meja, telenan, rak, lemari sederhana, juga gagang pisau. Kadang pula membuatkan saka guru, reng, dan blandar jika ada orang yang mendirikan rumah.
Bahan kayunya ia dapat dari hutan yang masih terjaga keasriannya -- tak jauh dari rumah kami. Dengan dibantu seorang teman tetangga desa, seminggu sekali bapak pergi ke hutan mengambil kayu -- kecuali jika ada pesanan mendadak untuk bahan pembuatan rumah, sebelum seminggupun Bapak akan berangkat ke hutan.
Hutan itu ditumbuhi beraneka jenis pohon. Ada pohon sengon, mahoni, akasia, dan pepohonan lain. Serta bermacam jenis jati yang jumlahnya tak sebanyak pohon sengon dan mahoni. Pohon jenis seperti itu tumbuh di tengah hutan. Dan pohon buah-buahan seperti manggis, kepayang, kelapa, nangka, di pinggirannya. Mungkin pohon yang tumbuh di pinggir hutan adalah tanaman warga desa.
Bapak paling sering membawa kayu dari pohon sengon dan mahoni, karena kayu jati agak susah di dapat. Jika adapun masih belum cukup umur untuk ditebang. Bukannya apa, pohon jati jika masih muda takkan awet untuk dijadikan perabotan. Sebagai gantinya, Bapak lebih memilih kayu glugu dari pohon kelapa yang sudah cukup tua. Menurutku, perabotan berbahan glugu penampilannya lebih cantik.
Berbekal peralatan gergaji mesin dan pisau, Bapak dan temannya berangkat pagi, saat matahari belum menampakkan diri, dan pulang esok siangnya. Kayu yang telah dipotong-potong ia ikat kemudian dipanggul bersama temannya. Bapak di depan, temannya di belakang. Kayu-kayu itu ia angkut dengan berjalan kaki bolak-balik selama dua hari.
Bapak tinggi besar, temannya juga. Karena itulah kayu yang bagiku terlihat sangat berat, mampu mereka panggul dari hutan hingga ke rumah. Sungguh aku kagum sama bapakku kala itu.
Semua cerita itu kudapat dari Ibu. Saat menanti Bapak pulang dari hutan, kisah itu selalu dituturkan sebagai dongeng sebelum tidurku. Bapak sendiri jarang sekali berbicara denganku. Setelah tiba di rumah, kebun samping seolah dunia pribadinya. Ia menenggelamkan diri di sana hingga berhari-hari. Jarang sekali kulihat Bapak berada di rumah baik siang maupun malam. Hanya beberapa kali ia masuk rumah dan berpapasan denganku saat ke kamar mandi. Sepertinya Bapak teramat mencintai pekerjaannya.
"Bapakmu dilahirkan di antara kayu. Maka dari itu, kayu menjadi rumah baginya. Maklumi saja." Begitu tutur Ibu ketika aku kerap menanyakan mengapa Bapak tidak pernah berada di rumah. Tangannya sesekali membetulkan gelungan rambut yang sedikit kendor.
Aku sempat berpikir, kayu bukan sekadar rumah bagi Bapak melainkan orang tua, keluarga, istri, anak. Kayu adalah anak Bapak selain aku. Dan istri selain Ibu. Lalu apakah arti aku dan Ibu baginya?
Bagaimanapun aku dan Ibu tak pernah memprotes pun memusuhi. Ibu terutama, dengan setia menunggui Bapak bekerja dengan duduk di teras samping yang terhubung dengan ruang tengah. Di teras itu Ibu biasa menyulam, melipat cucian bersih, menyeterika baju sekolahku, menyiangi sayuran, atau sekadar memandang Bapak sambil menemaniku belajar. Mata Ibu selalu tersenyum ketika menatap Bapak bekerja. Aku bisa dengan jelas melihatnya.
Dari menunggui, aku mengenal banyak cerita tentang kayu. Seringkali Bapak bercakap dengan Ibu, memperkenalkan kayu-kayu itu. Terdengar sangat bersemangat.
"Akhirnya aku menemukan kayu jati bang tua. Kayu mahal ini," ucap Bapak sambil tangannya mengampelas potongan-potongan kayu.
"Apakah itu jati yang sama dengan blandar kita?" sahut Ibu menanggapi.
"Beda. Kayu kita itu jenis jati sungu atau jati kembang. Tak sebagus jati bang ketahanannya. Tapi blandar dan saka guru kita itu jati istimewa."
"Istimewa bagaimana?" Ibu penasaran.
"Pohon jati sungu itu kudapati tumbuh di tengah air, semacam danau kecil. Di sana, jauh di dalam hutan. Menurut kepercayaan Jawa, jati yang tumbuh dalam air dinamakan mulo. Jati mulo sama seperti pandhawa, bagus buat saka guru."
"Bagusnya apa?" sela Ibu.
"Bagusnya, menenteramkan hati penghuni rumahnya kelak."
Dari balik kaca bening yang lebar, kulirik Ibu tampak manggut-manggut paham. Hati terasa damai melihat pemandangan ini. Bapak terus bercerita banyak hal -- tentang seputar kayu pastinya. Dan Ibu memandanginya dengan binar kebahagiaan. Aku bahagia jika Ibu bahagia.
Aku sendiri melakukan banyak kegiatan di dalam ruang tengah. Duduk di kursi kayu berwarna biru sesekali. Atau memainkan tanah yang kudapat dari halaman depan -- Ibu sering mengingatkanku untuk menyapu tanah ini setelahnya. Jika senja sudah datang, aku bergegas memindahkan kursi kayu berwarna biru menuju teras samping. Tak lupa kubawa serta piring berisi kudapan buatan Ibu dan segelas air tajin hangat. Pada hari-hari tertentu, Ibu membawakanku kue bolu kering dari pasar.
Sesorean, aku akan betah duduk di teras, depan kembang kertas, memandangi perpindahan warna langit senja, dari biru muda ke biru tua, biru tua bersemu jingga, hingga saat yang kutunggu tiba. Rona jingga di langit menggelap berganti keunguan.
Damai dan nyaman sekali. Aku cukup menerima keadaan seperti ini -- bersama Ibu dan senja ungu. Meski akhirnya semua berubah dengan cepat, bahkan sebelum usiaku genap sebelas.
Siang itu Bapak pulang dari hutan bersama temannya seperti biasa. Temannya yang hendak menumpang kamar mandi, melewatiku yang sedang bermain boneka sendiri di ruang tengah. Aku melihatnya bermaksud untuk menyapa atas dasar kesopanan yang diajarkan padaku. Namun, pandangan mata teman Bapak berbeda. Naluriku mengatakan kalau aku dalam bahaya. Tubuh kutegakkan ingin menghindar. Aku kalah cepat, tanganku sudah ditangkapnya.
"Kenapa kamu takut pada Pakdhe, Nduk? Biasanya kita kan ngobrol di teras," tanyanya padaku.
Iya, mengapa aku takut? Bukankah aku biasa memegang tangan Pakdhe itu untuk salim dan meraih tangannya ketika minta tolong. Dengan adanya pikiran itu, tanganku mulai melemas, tak melawan lagi. Namun, kelemahanku rupanya ia pergunakan. Seketika tubuhku ditariknya ke dalam dadanya yang beraroma kayu bercampur keringat. Memuakkan. Ketakutan kembali singgah. Benar, ketakutan adalah sinyal agar kita waspada.
Aku menjerit. Bapak masuk. Mataku menatap Bapak dengan menghiba. Bapak mendekat, kupikir memang akan menolongku. Senyuman Bapak terkembang. Senyum yang menurutku berbeda -- sama dengan pandangan Pakdhe padaku. Berdua, seolah bekerja sama, dua lelaki itu memegang tanganku masing-masing satu. Kali ini aku berontak.
Kakiku sekuat tenaga menendang. Dan mereka kembali ke kebun samping ketika melalui pintu ruang tamu yang terbuka, kami bertiga melihat sekelebat bayangan Ibu memasuki halaman depan. Aku menarik napas lega dan berpura-pura tidur untuk menutupi kecemasanku. Aku tak ingin Ibu sedih memikirkanku.
Sejak saat itu, Bapak makin sering menyentuhku ketika ada kesempatan. Sentuhan yang secara naluri kukatakan tak layak. Kian hari perbuatannya kian menjadi. Membuatku merasa kotor, dan rendah diri. Bukan hanya sentuhan, kadang pula cacian atau pukulan jika aku melawan.
"Jangan takut padaku, Lara."
"Kenapa kamu takut pada Pakdhe, Nduk?"
"Lara, jangan takut."
"Ayolah, Nduk. Gak usah takut."
Suara itu silih berganti memenuhi gendang telinga. Berulang-ulang membuat senja unguku tak lagi sama. Bertahun-tahun aku selalu merasa ketakutan. Hatiku mati suri. Bukan. Bukan hanya hatiku. Ragaku berkali-kali mati, tapi mungkin Tuhan belum menghendaki. Aku dikembalikannya ke dunia, untuk menyeret penyebab semua ini.
"Huft hah ...." Napas kuembuskan kasar, berusaha meraup oksigen sepuasnya di sela kucuran air pancuran. Hah, bahkan air gunung segar ini tak mampu mendinginkanku.
Cukup, semua berakhir sudah. Harusnya aku bahagia saat ini karena terbebas dari ketakutan yang tiap saat mengintai. Tanganku meraih handuk di gantungan. Kakiku kulangkahkan pelan ke arah kamar, berganti baju. Baju dengan bunga-bunga ungu jahitan Ibu.
Hidungku mengendus udara. Kamar ini tak lagi berbau melati, bunga kesukaan Ibu yang sering ia petik untuk mengharumkan kamar dan disematkan ke gelungan rambut salah satunya. Kamar ini menjadi sepi. Tak ada lagi lantunan kidung lembut dari mulut Ibu. Kamar ini menjadi dingin. Tak ada lagi pelukan hangat dan nasihat-nasihat. Rumah ini, tak lagi memiliki senja ungu.
Di ruang tengah, sekali lagi kupandangi dua orang yang masih terbujur kaku. Kali ini aku memandangnya tanpa rasa. Aku mendekat ke salah satunya, mendekat ke tubuh kaku ibuku. Kukecup kening yang makin dingin dan seputih kapas.
"Tidurlah yang tenang, Ibu. Kucarikan senja ungu kita."
Kaki tanpa alasku meninggalkan bangunan yang selama ini kusebut rumah. Suara ayam jantan berkokok mengiringi langkah semakin jauh. Tak tahu harus kemana, pikiran ini tak terletak di tempat semestinya.
***
Ah, langit malam cantik juga. Aku terbangun di sebuah taman. Rupanya aku tertidur sesiangan. Perutku sedikit lapar. Aku ingin mencari makan sambil berjalan-jalan sejenak, merasakan sensasi hangatnya aspal selepas matahari memaparnya sesiangan. Sesekali aku mendengar binatang malam bercakap dengan sesamanya. Mereka lucu dan aku tertawa.
Bajuku lusuh terkena debu dan asap mobil yang melewatiku. Aku ingin pulang, tapi tak punya rumah yang layak bagi jiwaku. Rumah itu sepi, tak semeriah jalanan ini.
Suara mobil menderu kadang mengklakson berisik. Banyak orang tertawa, tampak bahagia. Oh tidak, mereka bukan tertawa. Sepertinya mereka menertawaiku. Akupun ikut tertawa. Tawa mereka sungguh menular. Tapi entah mengapa bocah-bocah yang keluyuran malam, meneriakiku gila.
Aku sedih. Kesedihan ini tak dapat kutahan. Dadaku seperti ada yang mengiris kecil-kecil dengan benda setengah tumpul setengah tajam. Mungkin berdarah-darah, hingga darahnya memenuhi seluruh rongga pernapasan. Hingga membuatku amat sesak. Darahku bergejolak menuju ujung kepala yang mengakibatkan kepala terasa berat.
Tengkorakku dipenuhi darah bercampur kemarahan. Kepalaku sakit. Gigiku gemeretak butuh pelampiasan. Kugigit lengan mereka yang ranum. Semakin aku menggigitnya, semakin membuatku gemas. Aku ingin lebih keras lagi mencengkeram daging itu dengan kedua deret gigiku. Air mataku turun begitu deras. Napasku tersengal. Mungkin malam ini aku benar-benar mati.
Tapi mereka tertawa. Bocah-bocah itu semua tertawa. Tawa di antara bisikan prihatin dari para tetua yang menonton. Tanganku begitu sakit dengan bekas gigitan yang sedikit menganga. Darah mengucur pelan. Apa yang salah?
"Saudari Lara, benar?" Sayup kudengar suara besar khas laki-laki. Aku ingin menoleh, tapi tak berani.
"Saudari Lara." Suara itu semakin jelas disertai sentuhan tangan di lengan atasku. Seketika badanku menggigil. Apakah lelaki jahanam itu berhasil menyusulku kemari? Aku harus bagaimana?
"Saudari Lara, harap ikut kami ke kantor." Lelaki itu meraih kedua tanganku dan menguncinya dengan gelang besi. Tanganku yang penuh luka tak bisa bebas bergerak lagi. Aku jatuh terduduk semakin takut memandang orang-orang di sekitarku yang sekilas kulirik tadi memakai baju seragam.
"Apa yang akan kalian lakukan padaku?" tanyaku gemetar.
"Jangan takut," ujar salah satu di antaranya.
Jangan takut.
Jangan takut.
Jangan takut.
Kata-kata yang sangat lekat dalam ingatanku. Apa yang terjadi? Aku tak mampu mengingat apapun. Akhir-akhir ini ingatanku selalu saja datang dan pergi sesuka hati. Sambil digiring masuk ke dalam mobil yang di atasnya terdapat lampu kelap-kelip, aku berusaha menggali gambaran yang terserak.
Ah, aku ingat, lelaki yang kubunuh kemarin malam -- yang seharusnya kupanggil Bapak, telah mengganti senja unguku menjadi semerah darah.
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
