Deskripsi

Rumahku adalah rumah yang sederhana. Namun indah dengan taman depan yang dihiasi oleh bunga mawar yang begitu merah dan bingkaian foto yang dipajang dan beridiri di tiap meja dan lemari di tiap ruangan.

Ada banyak orang dirumahku saat ini. Dan mereka semua memberi perhatian terhadap satu objek. Peti mati putih yang terletak di tengah ruang tamu.

Rumahku adalah rumah yang sederhana. Namun indah dengan taman depan yang dihiasi oleh bunga mawar yang begitu merah dan bingkaian foto yang dipajang dan beridiri di tiap meja dan lemari di tiap ruangan.

Ada banyak orang dirumahku saat ini. Dan mereka semua memberi perhatian terhadap satu objek. Peti mati putih yang terletak di tengah ruang tamu.

Semua teman sekolahku, termasuk teman lama yang sudah pindah. Thomas, Girion, Chris, Venti, Yashica, Rio, Gracie.

guru sekolah dari wali kelas Marsha, guru matematika pak Nur, guru mandarin ibu Lau. Bahkan tukang pel yang tidak kukenal juga hadir.

Kemudian kenalan dari ayah dan ibuku. rekan kerja di kepolisian, alumni kampus Mama, dan saudara jauh yang belum saya kenal.

Begitu banyak orang yang ada di ruangan itu. Namun Aku hanya memerhatikan bagaimana teman sekolahku menanggapi ketiadaannya salah satu teman kelasnya yang begitu dekat dengan mereka.

Shannon merangkul Thomas yang memegang jidatnya sambil menunduk dan menghapuskan air mata.

Heru yang duduk disebelah Tom mengelus pundaknya. Namun Ia tidak tau apa yang harus dibicarakan pada waktu yang begitu kelam itu.

Disaat kawanan sekolahku berkabung dalam kesunyian, airmata, dan perhatian terhadap mayatku yang kelihatan seperti tidur tenang di dalam peti itu.

Semua guru yang hadir tidak tahan akan duka yang dalam itu dan menangis lebih keras. Semua wajah mereka merah dan matanya membinar dengan air.

Sungguh sureal menyaksikan semua orang yang kukenal menanggapi sebuah tragedi yang tidak terduga dan bagi beberapa. Pertama kali yang mereka alami di hidup mereka.

Namun, Aku tidak bisa berbuat apa-apa selain menyaksikannya.

__

Betapa indahnya kuburan ini. Hijau rumputnya begitu terang dan segar akan air hujan. Seakan rumput-rumput ini tidak pernah terganggu oleh manusia. lebah yang bebas berterbangan di atas deretan warna-warni bunga. Dari kuningnya bunga matahari, tulip berwarna pink, dan Lily yang putih. Pahatan batu makam dan salib dengan desain klasik yang menghiasi tempat itu. Dari batu marmar dan batu hitam yang begitu mengkilat. Dan fajar pagi hari yang meriangkan suasana tragis.

Kami berjalan cukup jauh dari lokasi parkir ke kuburanku, tetapi kami tidak sama sekali berkeluh kesah ataupun lelah saat berjalan. Terang matahari pagi ditutupi oleh bayangan dari barisan pohon-pohon besar di pinggir jalan. Banyak tupai yang berkeliaran dan memanjat dari pohon ke pohon. Serta burung-burung yang mengisi kesunyian dari kuburan itu dengan nyanyiannya yang menggema. Banyak juga suara serangga yang bisa didengar di semak-semak. Terutama yang dekat dengan rawa. Walaupun matahari sangat benderang pada pagi itu, panas matahari tidak ada bandingannya dengan udara sejuk dari ratusan pohon cemara yang tinggi seperti menara.

Saat Kami sampai di penguburan, Aku menyadari betapa banyak orang yang peduli dengan hidupku. Sungguh ironis bahwa hari kematianku adalah hari dimana aku menyaksikan kerumunan orang yang terbanyak yang pernah kulihat sepanjang kehidupan dan kematianku. Semua orang yang kukenal dan tidak kukenal ada di pemakaman itu. Begitu juga perasaan lainnya seperti marah, sedih, dan kerinduan.

Di tengah kotbah dari pak pastor. Aku melihat ada beberapa individu di antara kerumunan melihat dan menyadari keberadaanku. Mereka berdiri dan berjalan di antara yang hidup. Menembus bangku, dan orang untuk mendekati Aku. Hantu yang meghampiriku adalah dua orang manula yang kelihatan seperti pasangan suami-istri. Bapak tua yang memegang pundak dari sesosok nenek disebelahnya menyambut aku dengan sangat ramah. Mereka berdua tersenyum, dengan menghormati suasana duka dari pemakaman itu. Nenek itu menganggukan kepalanya "salam sejahtera nak. Kami turut berduka atas ketiadaanmu".

Kakek tua it melihat ke hadapan peti mati dimana mayatku berada. Wajahnya murung dan berkata "Teralu muda. Teralu muda untuk tiada. Aku tak percaya mengapa harus perempuan muda seperti Kamu".

Kakek itu menunduk dan melipat tangannya. "Kami turut berduka atas nasib mu nak. Semoga tidak ada ikatan yang kau miliki di kehidupan ini. Namaku Jim dan wanita cantik besertaku adalah Nina. Kami tak akan pernah berpisah sekalipun kematian merenggut kita".

"Sangat berterima kasih atas hadirat dan perhatian kalian atas pemakamanku. Iya, Aku merasa kejadian ini tidak boleh terjadi. Sulit dipercaya beginilah Aku tiada." Aku berkata.

"Kematian adalah salah satu bagian dari kehidupan. Banyak orang disana memiliki hidup yang panjang. Tetapi suatu saat, mereka akan mati juga pada akhirnya. Dan kematian adalah tiduran terakhir yang sunyi dan damai. Bebas dari ikatan dunia dan mempersiapkan diri untuk pergi ke suatu tempat yang tenang disana." Ibu Nina berkata.

"Mari nak, ikutlah kami. Jika kau belum bisa pergi dari dunia ini, setidaknya kita bisa bercakap dan berbagi cerita bersama" Bapak Jim berkata.

Semakin aku mengikuti mereka, semakin sunyi, kelam, dan sepi kuburan itu akan hadirat orang hidup. Sampai di satu titik dimana tempat yang kulewatkan kelihatan tidak pernah dirawat oleh siapapun. Jaring laba-laba dimana-mana, Batu makam dan pahatan telah melapuk dan kehilangan catnya, dan binatang seperti burung, kucing, bahkan anjing berkeliaran kemana-mana dan menjadikan tempat itu seperti rumah mereka tanpa perlu khawatir akan manusia.

Tetapi Aku sebagai hantu gentayangan, merasakan suasana yang tidak pernah aku rasakan di kehidupanku. Tanpa adanya penghuni lain, aku merasakan tempat ini seperti tempat tinggalku. Bebas dari berbagai energy dan frekuensi dari manusia yang hidup, alam mengambil alih daerah ini, dan tidak ada polusi macam apapun di daerah ini, yang mengakibatkan alam menghadiahkan tempat ini dengan udara yang sejuk, cahaya yang membinar, dan tumbuhuan hijau dan warna-warni yang menaklukan batu nisan, meja taman, dan rumah kosong yang menjadikan tempat itu seperti taman.

Kedua orang tua itu berjalan ke sebuah bangunan kecil di tengah pemakaman. Yaitu sebuah kuburan bawah tanah yang menampung sejumlah mayat secara bertingkat. Jarang untuk melihat kuburan semacam ini di Indonesia, infrastruktur yang disebut sebagai "tomb" di Bahasa inggris sering kali dibangun di negara barat dengan jenis corakan ghotic. Ini pertama kalinya Aku menyaksikan macam jenis kuburan seperti ini. Desain yang begitu eksotis dan jarang ditemui mengisi hatiku dengan perasaan pesona.

Saat aku memasuki makam bawah tanah itu. Aku melihat sesosok perempuan muda yang melihat aku. Aku tau Dia juga sudah mati. Dia menjumpai Aku seperti tamu baru di tempat itu. Kemudian Ia menembus tembok dibelakangnya dan menghilang. Menembus benda dan seseorang adalah pengalaman yang sangat buruk yang bisa kulakukan di keadaan ini. Tetapi kelihatannya Aku harus memiliki kebiasaan agar aku bisa nyaman untuk menembus tiap materi. Mungkin awal-awal rasanya seperti tertusuk, mau muntah, disetrum, dan kehilangan akal. Tetapi dengan latihan, Aku bisa belajar untuk terbiasa.

Di dalam makam, Aku mengikuti Bapak Jim dan ibu Nina sampai mencapai jalan buntu. Mereka kemudian mencoba untuk duduk. Bapak Jim duduk di lantai dengan debu-debu yang menembus rohnya dan tidak tersentuh. Sementara itu ibu Nina mencoba untuk duduk di sebuah kursi plastic yang sebagaimana dapat Ia sentuh dan rasakan benda itu. Aku terkagum atas kemampuan Ibu Nina menduduki kursi itu

"...bagaimana ibu dapat menyentuh kursi itu?" Aku bertanya.

"ohh, aku sudah terbiasa sayang. Aku sungguh menyukai kursi ini."

Kemudian Bapak Jim ikut berbicara "Kita sudah tinggal di sini bertahun-tahun nak. Ada beberapa kemampuan yang dapat kami lakukan tetapi kami tidak tau bagaimana kita bisa melakukan itu..kematian itu lucu. Kita mempelajari talenta yang tidak dapat kami jelaskan" Bapak Jim tertawa.

Menyaksikan Nina yang mampu menyentuh benda fisik menimbulkan suatu keinginan di dalam diriku "Aku ingin sekali bisa berbicara dengan keluarga dan kekasihku sekali lagi. Selama aku bergentayangan, aku terus mencoba untuk memegang ayah, ibu, ataupun pacarku dan menemani mereka walaupun mereka tidak sadar akan hadiratku".

Ibu Nina kemudian berkata. "Kita semua ingin bisa berhubungan lagi dengan orang yang kita rindukan semasa kita masih hidup. Tetapi kita ingin menghubungi mereka untuk terakhir kalinya, dan terakhir kalinya, dan terakhir kalinya lagi sampai orang yang kita himbaukan tidak menganggap kita sudah tiada. Melainkan hanya pergi untuk sementara dan kembali lagi untuk tiap saat. Cinta dan kerinduan itu cepat atau lambat bisa tidak berarti apapun. Dan keterikatan yang kita miliki bisa menyimpang untuk merubah kita menjadi individu yang tidak pernah kita kenal dan sukai"

"Kehidupan harus terus berjalan. Sangat bijak untuk mereka yang sudah mati untuk meninggalkan semuanya itu dan tidak bertenung di masa lalu. Kita tidak mau menarik orang-orang di kehidupan untuk ikut bertenung di dalam duka. Mungkin niat kita adalah menghibur mereka yang sedih dan merasakan kasih sayang yang telah hilang di masa hidup. Tetapi secara tidak sadar, kita menginginkan mereka untuk terikat terhadap kita. Hal itu dapat berdampak buruk terhadap keberlangsungan mereka. Karena kehidupan adalah cerita yang terus berlanjut dan tidak pernah berhenti" Demikian ceramah bapak Jim.

Kemudian kita terus bercakapan untuk menceritakan masa hidup kita, orang-orang yang kita sayangi, dan tanggapan akan kehidupan kita. Nina dan Jim menceritakan bahwa mereka meninggal ditembak oleh perampok di tengah jalan. Saat itu mereka berdua berargument akan masalah utang yang mereka miliki. Mereka adalah kepala sebuah PT yang menyewakan ruang kantor di beberapa gedung-gedung pencakar langit di daerah Podomoro city dan Grand Indonesia dan gedung kantor lainnya di sekitaran Jakarta, Bandung, dan Surabaya.

Saat mereka berdua ribut dan berargument di tengah jalan. Ancaman kematian tidak pernah ada di benak pikiran mereka pada saat mereka saling tidak setuju sebelum mereka ditodong oleh perampok. Bapak Jim mengaku bahwa Dia panik pada saat perampok itu menarik ibu Nina dan mencoba untuk merebut perhiasan lehernya. Saat perampok itu memaksakan Nina untuk menyerahkan perhiasannya, Bapak Jim langsung memegang tangan perampok itu dengan niat untuk melindungi istrinya yang kemudian pelatuk dari pistolnya tertarik dan pelurunya tertembak dan masuk tepat ke dadanya. Ibu Nina yang panik ikut serta berpergian bersama suaminya saat perampok itu menarik pelatuk saat Ia membidik kepalanya. Ia tidak tau apakah perampok itu sengaja atau tidak sengaja menarik pelatuknya. Tetapi aneh untuk dipikirkan bahwa ada orang yang ingin mereka mati sampai membayar seseorang untuk membunuh mereka di jalan yang sepi.

Semakin lama kita berbincang semakin aku membagikan tiap keresahan dan kekesalan di dalam hidupku. Aku menyesal dengan sesuatu yang kuperbuat dan apa yang tidak kuperbuat. Sebelum aku menyayangi Thomas, aku dulu punya perasaan sama Mikhael tetapi terlanjur terlambat setelah Ia pacaran dengan salah satu cheerleader. Sebenarnya Thomas mirip dengan Rockson. Ia menjengkelkan dan tidak mau dengaran. Terkadang Aku juga merasa kalau Thomas candaan dan genitnya sudah keteraluan. Aku merasa bersalah karena aku tidak tegas dengan Thomas yang main pacarannya sudah agak keteraluan. Malah aku setuju saja dengan Thomas dimana Ia memberi alasan 'lagi fase pubertas'. Aku juga menyesal pada saat audisi modelling masa SD dulu. Aku gagal karena kurang percaya diri dan gerak-gerik badanku kurang bagus. Aku iri dengan Venti yang berhasil dan mendapat banyak pekerjaan modelling dan acting semenjak saat itu sampai sekarang. Dan Aku menyesal dengan sikapku yang mengakibatkan Mama selalu marah dan mengecewakan Ayah.

Setelah mendengar semua ceritaku. Ibu Nina berceramah.

"penghakiman dan amarah sudah menguasai dirimu. Dan kamu bisa kehilangan siapa dirimu sesungguhnya jika kamu membiarkan kebencian dan amarah mengambil alih. Tidak sehat untuk terikat akan kesalahan seseorang ataupun nasib sial. Pikiran yang buruk itu dapat menjadi racun bagi jiwamu yang tidak ada obatnya."

"Kita mempelajari kebenaran ini saat kita menghabisi kematian kita di kuburan daripada mengejar dan merenggut pembunuh kita. Kita merasakan kedamaian abadi pada saat merenung di kuburan ini daripada tinggal di sebuah rumah megah sementara pusing dengan urusan bisnis dan hutang sebagai konglomerat kaya." lanjut bapak Jim.

Hari yang menyedihkan diakhiri dengan malam yang akrab bersama kedua orang tua yang ramah dan berbahagia. Mereka sudah meninggal seperti Aku. Namun mereka menerima takdirnya dan menikmati tiap waktunya di kuburan yang indah ini.

Pertemanan di alam kematian masih belum mengisi hatiku yang kosong.

Ada banyak anak yang hadir untuk mengikuti remedial, persiapan acara thanksgiving, dan persiapan kejuaraan tiap akhir semester.

Namun, suasana duka itu tidak pernah menghilang. Tiap anak tau ada yang kurang dan selama-lamanya tiada di sekolah itu.

Di depan kelas 8A terdapat banyak sekali bingkaian, bunga dan prakarya memoriam untuk mengenangi Aku. Kabar tragis itu sudah kesebar kemana-mana di sekolah.

Semua anak menatap fotoku yang dipajang didepan kelas. Beberapa ada yang membawa bunga, teddy bear, lukisan-ku untuk ujian kesenian, dan buku yang pernah kupinjam dan lupa ku-kembalikan ke perpustakaan. Sementara Thomas berlutut di depan fotoku. Ia masih belum bisa melupakan trauma dari kejadian itu.

Aku mengelilingi tiap area dari sekolah SMK Berkat. Nostalgia masa lalu menyerang pikiranku saat aku melayang ke tiap ruangan dan koridor untuk sekolah dasar dan taman kanakan yang sudah sepi.

Ruang kelas tiga A masih sama saja saat aku masih beranjak kelas tiga. Patung lumba-lumba yang selalu kuingat pada masa TK masih berdiri di tempat yang sama. Dan ruang kelas taman kanakan tempat Aku beranjak dulu sekarang sudah direnovasi menjadi ruang kantor guru.

Aku kembali melayang ke gedung SMP dan masuk ke kamar mandi. Di ruang itu aku duduk dan masuk lagi ke dalam kesuraman pribadi. Aku mulai berbicara sendiri tanpa ada satupun yang mendengar di ruang itu.

"Mengapa Aku harus pergi? anak yang paling teladan dan sangat disayangi oleh satu sekolah? aku memiliki banyak harapan dan cita-cita di masa depan. Aku tidak terima hidupku berakhir seperti ini!"

"Kalau kamu gak naik kelas hidupmu belum selesai kok. Ada nasib yang lebih gak enak daripada gak naik kelas." ujar seorang perempuan dari balik toilet itu.

"Bukan itu. Aku sudah mati. Aku mencoba menangkap penjambret sampai sebuah mobil menabrak aku. Aku tidak bisa menerima takdir ini dan menolak untuk meninggalkan semuanya yang kucintai".

"mati? kecelakaan? tunggu. Elu Angeline? yang baru saja dikubur minggu kemarin?"

Namun ada yang aneh dari suara itu. Kayaknya aku pernah dengar suara Dia. Dan apakah dia sudah mati juga?

"bagaimana lu kenal aku? tau darimana aku baru dikubur kemarin?' aku bertanya.

Ia membuka pintu kamar mandinya dan menampilkan dirinya sebagai sesosok anak perempuan SMP yang masih hidup dan kukenal.

Alina Situmeang.

Alina melihat-lihat sekitar kamar mandi itu. Ia mencari tau dari mana sumber suara itu tetapi tidak menemukan apa-apa.

"Alin? elu bisa denger gua?" aku bertanya.

Ia mendengar suaraku. Sadar kalau aku ada di ruangan itu. Aku bertanya lagi.

"Kamu bisa mendengar hantu Alin?"

"Alina? elu tau nama gua dari mana?" Ia berkata dengan lantang

"ya, Aku Angel Alin. temen kelasmu yang sudah mati."

"apa? Angel? emang beneran elu Angel?" Alin berlari keluar dari toilet.

Aku berlari mengikuti dia dan terus berbicara.

"Alin, Alin. gua temen kelas lu, Angel." Alina terus berjalan menghiraukan suaraku.

Sesampai di bawah tangga, Ia panik dan berputar-putar mencoba untuk mengusir aku. Aku memerhatikan teman-teman sekolah tertawa dan terhibur melihat tingkah Alina yang usil. Aku memberitahu Alina.

"Alin, kamu dilihat banyak orang!"

Alina berhenti dan memerhatikan adik kelas dari kelas tujuh menertawai dia. Dengan malu Alina kabur ke lapangan futsal.

Di lapangan futsal Ia duduk di deretan bangku yang kosong. Kebetulan tidak ada siapa-siapa di lapangan itu.

Alina memandang lapangan futsal yang kosong itu dan berkata "aku tahu kamu disini".

"tolong...tinggalkan aku sendiri. Aku tidak mau apa-apa dengan setan!"

Alina kemudian menutup kupingnya dan menundukan kepalanya.

"Maaf kalau saya nakutin kamu. Bagaimana kamu bisa mendengar aku Lin?" Aku bertanya.

"ini sebenarnya kelainan dari bawaan keturunan. Nenek saya adalah seorang paranormal dan punya 'bakat' yang sama kayak gua miliki" ajur Alina.

"Saya mencoba menjelaskan kepada semua teman dan guru. Tetapi tidak ada satupun yang percaya sama Aku. mereka semua menertawai Aku!"

Alin lanjut berbicara.

"eh...gua ngapain ngomong sama hantu? Gua gak mau tau elu Angeline atau siapa. Tinggalin Aku sendiri!" Alina semakin menutup kupingnya.

Walaupun terkesan tidak sopan. Aku menghormati permintaannya dan berhenti berbicara sambil menemani Dia disebelahnya. Sekarang Aku paham mengapa anak ini berkepribadian aneh dan sering dibully di sekolah.

Hanya butuh beberapa menit saja bagi anak dengan makeup keteraluan itu melepas tangannya dan merasa lebih tenang. Setelah Ia merasa lebih tenang, aku mulai berbicara lagi.

"Mau tau bagaimana rasanya kalau mati?"

Alina mengambil perhatianku walaupun Ia tidak tau dimana aku berada.

"mati? katanya kakimu terpelintir dan kepalamu bocor. Sakitnya seperti apa itu?"

"Aku tidak bisa menjelaskannya Lin. Kematian itu sungguh mengenaskan. Sungguh mengenaskan." Aku berkata.

"terus mengapa kamu masih ada di dunia? kenapa kamu gak terbang ke surga? apakah kamu mau balas dendam dengan pembunuhmu?" Alina bertanya.

Aku menjawab dengan sedikit tertawa. "Aku gak ada ingin balas dendam dengan siapapun. Saya aja gak pernah tau siapa pembunuhku."

Alina yang sudah hilang ketakutannya berkata.

"Angel, gua iri sama kamu. Aku ingin kita tukar nasib. Lebih baik gua saja yang mati. Setidaknya gak ada siapapun yang rindu sama aku. memang tidak sudih cewek cantik dan populer seperti kamu harus meninggalkan dunia ini."

"Hey, gak boleh ngomong seperti itu! percaya aku Alin kematian itu tidak enak. Saya tidak bisa berbuat apa-apa saat menyaksikan kematianku sendiri. keluarga dan kekasihku tak bisa berhenti menangis, dan semua yang ada di dunia ini menjadi sia-sia bagiku." aku berkata.

"Pasti ada enaknya kalau jadi hantu. Kamu bisa terbang kan? bagaimana dengan menembus tembok, jendela, dan melihat semuanya yang kamu inginkan. Oh, kamu bisa menggerakan benda dengan pikiranmu gak? atau merasuki seseorang?"

"Aku gak yakin bisa melakukan itu Alin. Saya memang bisa terbang dan menembus benda padat. Tetapi untuk menggerakan benda..."

Alin berpaling pandangannya ke sebelah kiri. Sementara Aku ada di sebelah kanannya "Kalau begitu mau gak kita coba bareng?" Alin berkata dengan antusias.

"Kita berdua? Aku kira kamu takut sama aku. Mengapa kamu tiba-tiba ingin melakukan ini?" aku bertanya.

"Mau ngapain lagi di masa libur panjang ini? bodoh amat dengan thanksgiving dan kejuaraan. Gua gak punya siapapun di sekolah ini kecuali Bob. Dan Bob sendiri ada acara keluarga. Daripada gak ngapa-ngapain kenapa gak main sama kuntilanak baik?" Alin berkata.

"Kuntilanak baik? hah. Setidaknya saya gak hamil pas mati."

                                                                                                —

"Apakah ada alasan tertentu mengapa kamu gak takut lagi sama Aku?" Aku bertanya.

Sambil berjalan kaki Ia berpikir untuk memberi jawaban yang pasti "hmm...mungkin karena Aku bipolar dan schizo?" Alina berkata.

"Bipolar? Schizo? apa itu?"

"kalau nilai IPS dan sosiology-mu seratus seharusnya kamu sudah tau namanya Mental Health Angel."

"Semenjak dokter saya mendiagnosis kesehatan mental saya. Saya di diagnosis sakit schizophrenia dan bipolar yang mengharuskan saya untuk minum obat setiap hari"

"Bagaimana kamu sakit mental Alin" Aku bertanya.

"bagaimana saya sakit mental? kenapa gak kamu tau sendiri? saya selalu dibully dan gak punya temen di sekolah. Dan keluarga saya di rumah gak peduli sama sekali dengan masalah gua. Jelaslah gua sakit mental" Alin berkata kepadaku.

Orang-orang di jalan melihat Alin berbicara sendiri kepada angin. Yang menjadikan dia semakin minder sambil menaikan jaketnya dan melihat kebawah.

Aku memberi dia saran "bagaimana kalau kamu angkat HP-mu dan pura-pura berbicara di telepon genggangmu? agar tidak kelihatan aneh di depan umum"

Alina menuruti saranku dan meletakan handponenya di telinganya. Pura-pura berbicara dengan seseorang di telepon.

Sepanjang perjalanan pulang dari angkutan umum sampai jalan kaki kerumahnya. Kita bercakapan cukup panjang. Berbagi cerita dan pengalaman. Terutama pengalaman di sekolah. Alina tidak seperti siapa Alina biasanya di ruang kelas. Ia sangat terbuka dan banyak bicara mengenai dirinya.

Alina mengidap penyakit mentalnya semenjak Ia melihat iblis bertanduk pada waktu Ia masih beranjak taman-kanakan. Iblis yang Ia rasakan di halaman sekolah itu adalah pengalaman pertama Dia dimana ilmu psychic mediumnya bekerja.

"Dan. Dan. Kalau misalkan gua gak bereaksi mendengar teriakan pada waktu study trip tahun lalu. Gua gak bakal dibully atau dianggap memprihatinkan sama Mama dan guru-guru. Gua benci dengan talenta yang gua miliki. Karena Aku bisa mendengar kamu berbicara, jadinya orang-orang tidak mau berbicara dengan Aku".

Alina lanjut berkata. "maklumin, Kamu kan anak populer yang banyak sekali punya urusan. Ikut lomba nyanyi lah, modelling lah, casting main film lah. Kalau gua. pengen ngomong sama teman sebelah aja sudah menantang."

"Sebenarnya sih. casting, modelling dan hal-hal itu rumit sekali. Saya ikut audisi bisa sampai berjam-jam. Apalagi kalau hampir terkualifikasi. Walaupun casting yang begitu lama dan mendapat kepercayaan dari agency, aku gak lolos juga karena kurang percaya diri" aku berkata.

"Justru, aku lebih suka ikut kejuaraan matematika dan olimpiade debat. Saya suka bekerjasama dengan Chris dan Girion menyusun kasus korupsi. Sampai Girion marah-marah dengan lawan debat dari SMK dua belas" Aku mengingat lomba tahun lalu yang membuat aku tertawa.

Setelah kita tiba dirumahnya. Pertama kali aku melihat rumahnya dimana halaman depannya agak berantakan karena tidak pernah dibersihkan. Daun berguguran ada di mana-mana dan rumput panjang yang tidak pernah dipotong. Alina menghiraukan kondisi halaman depannya. Alin masuk tanpa memanggil orangtua atau siapapun dirumahnya. Ia langsung naik ke lantai dua dimana kamarnya berada.

Tanpa membuka alas, ganti baju, dan merapikan dirinya terlebih dahulu, Alina langsung membuka laptopnya dan membuka youtube. Ia menunjukan Aku sebuah film. Saya kenal dengan film itu yang pernah kutonton dahulu kala. Dan pada saat Patrick Zwayse muncul sebagai Sam di film itu, barulah aku ingat betapa cintanya aku dengan film ini.

Alina menunjukan satu scene dimana Sam dari film Ghost (1990) belajar menggerakan benda dengan sesama hantu yang Ia temui di lorong rel kereta.

"Kau harus bisa mengembuskan perasaanmu, semua rasa sayangmu, semua rasa amarahmu, semua didalam sini. Kemudian kamu hembuskan itu seperti sebuah reaektor...BAM!!"

Aku ingat betul dengan scene ini. Disaat Sam frustrasi setelah diketawai oleh hantu kereta itu. Barulah Ia bisa berhasil menendang kaleng itu.

                                                                                      __

Film itu memberi aku sebuah akal untuk membuka peluang baru sebagai hantu penasaran. Aku langsung mencoba untuk melempar sisir yang ada di meja kaca Alina. Berkali-kali aku mendorong sisir itu. Namun sisir itu tidak tersentuh sama sekali.

Alina bertanya "Angel, kamu masih disini? Aku gak bisa mendengar kamu lagi." sambil ganti banju dan merapikan celana jean dan jaket untuk pergi dengan membuangnya ke lantai.

"Iya Alin, Aku mencoba konsentrasi untuk membuang sisirmu" Aku mencoba untuk mendorong sisir itu dengan jariku dan konsentrasi agar sisir itu bergerak.

Setelah mengenakan kaos dan celana pendek, Alina melihat sisirnya. Tetapi tidak ada satupun yang terjadi setelah menatap sisir itu selama tiga puluh menit.

Alina memutarkan lagi video yang sama. Tetapi ada beberapa point penting yang Ia utamakan di video itu.

"Apa yang kamu lakukan? kamu sudah tidak punya badan lagi. Kamu mencoba menggerakan tutup botol itu menggunakan jarimu. Semuanya ada di pikiran. Kamu pikir kamu masih punya badan? Mengenakan baju itu? Omong kosong! Sekarang semuanya ada dipikiranmu. Kamu harus menggerakan dengan pikiranmu!"

"Mungkin coba kamu andalkan pikiran mu Ngel. Telekinesis. Kayak pikir agar sisir itu tersentuh dan mental. Jus..." Alina beragak dengan keempat jarinya di atas pundak kepalanya dan beragak seperti dia menggunakan kekuatan pikiran.

Baiklah, semuanya ada dipikiran ku. Badanku ini tidak nyata dan Aku tidak bisa berlagak seperti tanganku ada untuk memegang sisir itu. Melainkan pikiranku yang memegang sisir itu.

Terus menerus kumencoba. Sekian kuatnya aku konsentrasi. Tetap tidak ada apa-apa yang terjadi setelah satu jam berusaha. Sampai akhirnya Aku memutuskan untuk menyerah.

Alina berbaring di atas kasurnya dan menikmati tidur siangnya. Aku ikut serta "berbaring" di kasur itu. Walaupun Aku tidak punya badan lagi, Aku masih saja merasa lelah.

"Kamu penasaran kan bagaimana rasanya kalau sudah mati? , walaupun kamu sudah mati, kamu masih bisa cape" Aku berkata.

Ia meletakan kedua tangannya di belakang kepalanya "serius? saya kira kalau kamu sudah mati kamu gak harus takut lagi dengan namanya ambil nafas, kaki kram, otot nyeri."

"Walaupun saya sudah menjadi roh, saya masih bergerak berdasarkan badan tubuh saya sih. Saya memang terbang dan gak punya tubuh. Tetapi aku masih punya pikiran dan bisa saja merasa lelah".

Alina berkata "Kamu kan jenius tiap ngerjain ujian dan kalau kamu membuat presentasi selalu bagus. Aku yakin karena otakmu sudah encer semenjak hidup, otakmu pasti juga encer sebagai hantu. Aku yakin kamu pasti bisa Angel".

Aku merasa begitu lelah sampai putus harapan yang mengingatkan Aku masa yang paling gak enak di bangku sekolah dasar.

"Asal tau aja, saya nangis dibalik backstage saat shooting untuk WUCCI fashion apparel. Gua ngerti bagaimana bersosialisasi sangat menantang bagi kamu tetapi."

"Enggak Angel. Kamu gak ngerti. Yang jelas itu semuanya gak adil. Semua orang yang mengejar kamu dan gak perlu susah-susah kamu bekerja keras karena kamu adalah bule yang cantik. Sementara gua. Gua bisa bekerja keras mati-matian agar dapat nilai seratus atau ngerjain tugas kelompok sendiri. Tetapi gak ada satupun yang menghargai Aku. Yang ada Venti, Yashica, dan mereka lainnya ngebullyin gua dan tidak menganggap perasaanku sama sekali!"

Ia lanjut bercerita tentang keluarganya yang sulit untuk membentuk hubungan yang sehat semenjak ayahnya kabur. Ibunya selalu memarahi dia untuk berbagai macam alasan. Dari bolos sekolah sampai mendapat nilai merah. Sampai akhirnya tidak ada komunikasi yang normal antara mereka sebagai keluarga.

Aku mencoba memberi dia saran dan apa yang lebih baik Ia lakukan. Namun Ia selalu membantah sampai membawa perasaan. Sambilan, Ia menyatakan banyak hal mengenai pengalaman di sekolah berdasarkan sudut pandangnya.

Ia ngaku kalau Ia ingin mendapat banyak perhatian dengan style dandanan yang begitu heboh. Ia ngaku kalau dia sedang ada suka dengan banyak cowok di sekolah. Dari Christopher, Mikael, dan Rich. Tetapi semenjak Rich kacangin dia saat Ia mencoba untuk bergaul. Alina pulang cepat dan membolosi semua pelajaran setelah jam istirahat untuk menangis di rumahnya sepanjang hari.

Saat kita bercerita mengenai satu anak bernama Timo. Yang sudah menjadi urban legend bagi anak-anak angkatan 2021. Aku berhasil membujuk Alina untuk bersyukur. Bersyukur kalau Alina masih sebatas dikacangin dan di cemooh saja sama Venti and the geng. Belum dipermalukan, dikolek senior, difitnah, kroyok, dan lain sebagainya.

Aku mengerti siapa itu Alina. Ia adalah anak yang unik karena bakatnya. Yang menjadi berkat bagi aku untuk bisa bergaul dengan setidaknya satu orang saja di alam kematian ini. Sementara kutukan bagi dia untuk bergaul dan menikmati masa mudanya. Kontras dengan apa yang semua orang dan dia sendiri percaya. Alina adalah anak yang normal yang sama sekali tidak mengidap penyakit jiwa apapun.

Alina hanyalah perempuan yang kurang perhatian dan depresi dengan nasibnya. Jika Alina adalah 'introvert" seharusnya dia gak ngomong begitu banyak dengan teman kelasnya yang sudah bergentayangan di kamarnya. Aku merasa berhutang budi dengan dia karena Alina turut mau memberi perhatian terhadap Aku.

Saat kubandingkan kondisiku sekarang dengan kisah hidup Alina. Aku mengerti bagaimana nasibnya sebagai anak yang dibully. Tidak pernah punya teman di sekolah dan selalu dihiraukan oleh semuanya. Persis dengan nasibku saat ini. Ada juga rasa kehilangan seperti waktumu dihabisi untuk menjadi bahan tawaan dan amukan. Dan tidak ada cinta dan kasih sayang dari orang yang betul-betul menyayangi kamu. Seperti teman, pacar, dan keluarga. Tidak disangka, anak terpopuler di SMK Berkat dan perempuan outcast akhirnya senasib juga.

Aku jadi ingat saat ayah memperingatkan aku dengan begitu tegasnya untuk tidak main bully-bullyian. Sampai saya sendiri heran mengapa ayah begitu benci sekali dengan bully.

Tetapi memory yang kubalikan itu terasa sangat menusuk. Memori saat aku masih hidup sebagai anak perempuan lugu dengan rutinitas ke sekolah tiap pagi terlihat begitu vivid seperti film layar lebar yang kulihat di dinding.

Alina menyadari aku bermonologue seperti mau menangis saat mengingat masa aku masih hidup. Tetapi ingatan itu sangat begitu indah dan membawa aku ke suatu tempat yang yang kudambakan.

Mama selalu menyiapkan telor mata sapi dan bacon sebelum aku dan Rockson naik angkutan sekolah. Ayah selalu terburu-buru untuk ke kantor pada saat ja masih menunjuk pukul enam. Tetapi ayah tidak pernah lupa untuk mencium jidat dari kedua anaknya. Di angkutan sekolah, aku selalu bercandaan dengan Chan dan Vivi walaupun kelasnya begitu jauh dari kelasku. Tetapi sebagaimana, Kita cepat sekali nyambung dan membangun persahabatan yang hangat. Momen kecil seperti melintasi komplek rumahku yang begitu luas, sepi, dan sejuk dengan lagu truk eskrim sebagai satu-satunya suara menjadi sangat bermakna saat momen itu tidak akan pernah kembali lagi.

Kemudian aku ingat saat Thomas menyambut aku saat aku turun dari angkot. Dia sudah hafal nomor angkutan yang ku kendarai. P-027. Ia selalu menyapa aku dan memeluk aku yang baru turun.

Aku terbangun saat menyadari lagi nasibku saat ini dan ingatan itu hilang selama-lamanya. Aku mencoba mengembalikan ingatan itu lagi tetapi aku tidak tau bagaimana. Aku teriak frustrasi dan menampar kumpulan kosmetik yang terletak di meja kaca Alina.

Alina kaget melihat barang-barangnya terpental sendiri.

"Angel, kamu berhasil!"

Apakah Aku baru saja melakukan itu?

deodorant, makeup, parfum, dan lipstick yang terletak di meja itu tersentuh dengan tamparanku yang begitu keras.

Aku tidak menampar semua barang itu, Aku mengalirkan perasaanku sebagai energi untuk membuang benda fisik ke udara bagaikan menampar itu semua untuk terpental.

Aku melihat sisir itu masih terletak di tempat yang sama.

Ku arahkan tanganku ke sisir itu.

Sambil konsentrasi terhadap frustrasi dan kerinduan akan hidup, Aku lanturkan tanganku ke isisr itu dan sisir itu seakan tertabrak oleh jariku dan mental jatuh ke tanah.

Bukan hanya menggerakan benda, Aku juga menghapuskan rasa ngantuk dari Alina.

"Wah, hebat Angel!"

Aku mencoba lagi trik-ku dengan menekan sakelar lampu. Pikir. Konsentrasi. Luncurkan!

sayangnya, kali ini aku gagal lagi.

Sekali lagi Aku mencoba. Pikir. Konsentrasi. Luncurkan!

Woalah! lampu yang tepat di atas kepala Alina menyala dan menerangkan seluruh ruangan itu.

__

Alina mengajak Aku keluar ke taman dekat rumahnya untuk mencoba kekuatanku terhadap benda yang lebih besar. Mumpung tidak ada siapapun di taman itu, Alina dengan bebas menunjuk ke tiap benda sebagai tantangan bagi kemampuanu.

Aku mencob ke segala macam objek. Ayunan, kursi plastik, tas kresek, batu, dan tong sampah. Aku merasa seperti mencapai suatu prestasi yang menaikan martabatku. Seakan memenangkan piala dunia yang menjadikan Aku terbaik di dunia.

Terkadang Aku salah fokus dan gagal. Terkadang kekuatanku tidak bekerja selama beberapa saat sampai akhirnya aktif lagi. Namun lama kelamaan, Aku sanggup mengendalikan telekinesis-ku sepenuhnya sampai Alina membawa rakit dan tenis dan mengajak Aku bermain.

Alina bermain tenis dengan tidak ada siapapun sementara bolanya memantul sendiri di tengah udara ke arah Dia. Dengan nyantainya Alina bermain bola kasti hantu sementara tetangga setempat melihat penampakan itu dengan gregetan. Anak perempuan dengan kaus hitam dan makeup Gothic bermain dengan hantu.

Kerennya, Aku meruncing talenta baru ini tanpa mempelajari rahasia ataupun sihir. Dimana semuanya tergantung atas pikiran dan keinginan sendiri. Seperti menganggap bahwa kelima indera manusia pada saat ku hidup lebih peka dalam wujud hantuku.

Tidak perlu susah-susah mencari ilmu sihir, dukun, ataupun buku-buku ajaib untuk mengeluarkan rapalan apapun. Melainkan belajar dari sebuah film jadul untuk memahami caranya menjadi hantu getayangan.

Anak yang menyedihkan dan tidak punya teman akhirnya bergembira dengan adanya kawan yang bisa Ia ajak main. Saking serunya kita bermain sampai kita tidak sadar kalau hari sudah gelap.

Dari satu tantangan ke tantangan lain. Alin memberi aku tantangan untuk menguji sejauh mana kekuatan dari telekinesis-ku.

Aku ditantang untuk menarik sebuah kursi. Kemudian aku mencoba untuk mengangkat tong sampah dan membalikannya. Sampai saat Ia tantang aku untuk mengangkat mobil. Aku tidak sanggup karena kehabisan tenaga.

Aku memposisikan diriku seperti atelit angkat beban dengan meletakan kedua tanganku di pantat mobil yang parkir di taman itu. Ayah pernah mengajar aku dikit cara weightlifting. Jika aku ingat, nama gerakan ini adalah deadlift.

Aku jongkok sejenak lalu dengan seluruh pikiran dan perasaan, aku mengisi begitu banyak tenaga saat separuh jongkok dan langsung mengembuskan tenaga itu untuk mengangkat mobil itu dari tanah.

Alina melihat mobil itu mulai bergerak. Kendaraan itu mulai berkuncang. Ia melihat rodanya mulai naik. Semakin lama semakin jauh dari tanah. Tetapi tidak sampai sejengkal, mobil itu berhenti bergerak dan aku kehilangan kendali dari kekuatanku.

Apa yang Alina tidak lihat adalah aku yang sangat kewalahan dimana rasanya seperti ada besi seberat satu ton menimpa di atas kepalaku. Aku heran karena macam kewalahan seperti ini tidak pernah kurasakan sebelumnya saat aku masih hidup.

Tiba-tiba suara berdering di kantung Alina mengisi keheningan dari tempat itu. Alina membuka teleponnya dan kaget setelah melihat waktu sudah pukul sembilan malam. Tentunya saat anak berumur empat belas tahun keluyuran keluar rumah pada waktu itu. Pasti ibunya yang menelepon dia.

Alina mengangkat panggilan dari ibunya dan terdengar suara stereotype. Stereotype dari seorang ibu. Alina hanya menjelaskan kalau Ia ada di taman dan akan segera pulang.

Sesampainya di rumah, Ibunya sudah siap. Siap sekali. Satu detik setelah melihat anaknya kembali, Ibunya langsung menyompret Alina. Dan menurut ukuran saya, cukup berlebihan. Ia sampai mengatai Alina anak kurang hajar, kurang di didik dan mirip seperti ayahnya. Menyalahkan mantan suaminya karena sikap keluyuran dan suka nongkrong itu adalah bawaan dari ayahnya. Alina mulai retaliasi saat ibunya menghina nilai jeleknya di sekolah.

Sekali Ia retaliasi, Alina menaikan nada suaranya kencang sekali untuk melawan saingan suara ibunya. Ia tidak malu mengatai ibunya anjing, bangke, tai, dan berbagai macam dari bahasa itu. Ia kecewa bagaimana ibunya menggagalkan pernikahannya. Dan dampaknya terhadap dia dan kakaknya yang bingung dan kesusahan untuk mencari hidup. Alina langsung berlari naik tangga dan masuk ke kamarnya saat Ibunya terus membentaki dia. Alina memang tidak pantas memperlakukan ibunya seperti itu, namun Ibunya menanggapi amukannya itu dengan buruk dan ingin membalas dendam.

Ia membentaki Alina dengan penyesalan karena mengandungi dia. Dia menyesal menikah dengan ayah dan menganggap anak-anaknya menyerupai ayahnya. Dia menyalahkan Alina sebagai anak manja dan gak berpendidikan. Malah dia dibandingin dengan salah satu teman kelasnya yang Ibu kenal. Venti dan Aku. Untungnya saat Ia membawakan kedua nama itu, Alina sudah terlanjur di dalam kamar dan menguncinya.

Tidak lama kemudian Alina mengenakan baju tidurnya, mematikan lampunya, menyalakan lampu kecil berbentuk mainan anime yang Ia letakan di meja sebelah kasurnya, dan berbaring di atas kasurnya. Seakan apa yang baru saja terjadi tidak pernah ada.

Ingat temperamennya saat aku berbicara dengan Dia di lapangan. Aku menghiraukan apa yang terjadi dan hanya berkata.

"Selamat malam ya Lin."

Dan mencoba untuk tidur disebelahnya.

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya Chapter 1
0
0
Aku mencium aroma.Aroma orang hidup.Bau darah, kulit, dan daging.Dari seorang gadis.Gadis muda yang dikuasai oleh teror.Ini pertama kalinya Ia berlari begitu kencang demi menyelamatkan hidupnya.Kaus kutang dan celana pendeknya menampilkan badan yang begitu ramping, dan tidak berdaya.Sungguh mengenaskan untuk melihat gadis malang ini diterkam dan dibantai oleh siapapun atau sesosok makhluk di balik hutan gelap itu.tentu hasratnya akan terpenuhi dengan menumbalkan gadis tidak bersalah yang ketakutan ini.Ia berhenti di depan rumah setelah berlari sekian kencangnya melewati hutan gelap. Tentunya bukan tempat yang baik bagi seorang korban.Ia mengedor pintu itu berkali-kali dan menyebut kata ajaibnya .“tolong tolong!”Tidak ada yang membuka.Terdengarlah suara geram yang terdengar dari balik pepohonan gelap itu.kuntilanak? wewe gombel? manusia serigala? Tedd Bundy?perempuan dengan rambut pony separuh pink itu menjerit dan langsung menendang pintu itu.Tidak peduli akan tuntutan dari penghuni rumah itu.Kegelapan dari rumah itu menunjukan nasib dari rumah kayu di tengah bukit pedesaan. kosong.Ia menyalakan senter dari Handphonenya untuk menjelajah rumah yang tidak kalah angker dengan hutan sumber teriakan itu.Ia masuk seperti tikus yang mencium kejunya yang terpasang di alat perangkap.Inilah saatnya.Dimana korban membuat kesalahan terbesar dan terakhirnya….  
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan