
Samudra menoleh, dia menatapku dengan alis mengerut. "Ngomong apa?" tanyanya meminta pengulangan.
"Malam pertama," aku mengedipkan sebelah mata. "Mau malam pertama sama aku enggak?"
Tempat akad dan resepsi diadakan di outdoor pavilion ballroom resort dengan pemandangan laut. Deburan ombak dan birunya laut menjadi latar belakang pelaminan. Dekorasi, kue pernikahan, gaun, dan seluruh pakaian keluarga berwarna biru laut.
Pernikahanku bertema lautan.
Sampai-sampai suamiku bernama Samudra.
Aku dan Samudra berdiri di atas pelaminan. Angin laut yang kencang menerpa wajah. Kulirik pria di sampingku. Dia hanya diam. Tidak ada ekspresi bahagia di wajahnya. Pria itu baru tersenyum ketika tamu undangan menyalami kami. Selebihnya, datar saja. Ya, memang begitu wajahnya sehari-hari.
"Kamu sewa tempat sampai jam berapa?" bisiknya.
"Seharian penuh. Malam masih ada acara. Kenapa?" dia hanya bergumam, tidak menjawab pertanyaanku. "Kamu enggak sabar mau malam pertama, Sam?"
Samudra menoleh, dia menatapku dengan alis mengerut. "Ngomong apa?" tanyanya meminta pengulangan.
"Malam pertama," aku mengedipkan sebelah mata. "Mau malam pertama sama aku enggak?"
"Enggak," jawabnya singkat sambil berdiri karena tamu datang menghampiri kami. "Enggak tahu," lanjutnya.
Plin-plan banget.
Kalau enggak mau, seharusnya bilang enggak mau. Pakai segala bilang enggak tahu. Bikin aku penasaran aja. Nanti malam kira-kira bagaimana ya. Aku jadi enggak sabar.
Obrolan harus terhenti saat kru wedding organizer mendatangi kami. Dia memberikan informasi bahwa sudah waktunya berganti pakaian. Aku dan Samudra bergegas masuk ke dalam ruang ganti.
Gaun dan tuksedo biru telah disiapkan. Warna birunya lebih muda dari sebelumnya. Aku lebih suka warna ini. Lebih segar.
Tanpa dibantu siapa pun, aku melepas gaun yang melekat di tubuh lalu menggantinya. Aku berputar-putar di depan cermin, melihat diriku dari berbagai sudut. Postur tubuhku yang berisi dan tinggi membuat aku semakin cocok memakai gaun ini.
"Sam," aku memanggil pria itu dan menatapnya dari cermin. "Lihat aku dong."
Samudra yang sedang mengancingkan tuksedonya menoleh. Dia hanya melirikku sekilas. "Kenapa?" tanyanya terlihat tidak bersemangat.
Aku mendekat dan berhenti tepat di hadapannya. "Lihat aku," pintaku sedikit memaksa, "aku cantik enggak?"
Samudra menatapku dari atas sampai bawah. "Cantik," aku tersenyum kecil, pertama kalinya dipuji Samudra. "Karna perempuan. Kalau pria, ganteng."Β
Senyumku seketika luntur.Β
Menyesal pinta tanggapannya.
Beberapa saat kemudian, aku dan Samudra kembali naik ke atas pelaminan. Tamu sudah banyak yang mengantre untuk bersalaman. Kami kembali melemparkan senyum. Berpura-pura seolah bahagia, padahal sebenarnya biasa saja.
"Sam," panggilku pelan.
"Apa? Ga usah ada-ada aja," sahutnya penuh rasa curiga.
"Apa sih, aku cuma mau nanya aja," aku memandang pria itu lekat. "Kamu nyesel nggak nikahin aku?"Β
Samudra menggeleng. "Belum," ucapnya.Β
"Belum?" tanyaku mengulang ucapannya. "Berarti akan?"
Samudra kembali menggeleng. "Enggak tahu," dia menaikkan kedua bahunya. "Pertanyaannya terlalu dini. Kita baru menikah beberapa jam yang lalu." Aku mendengus lalu terdiam.
Ketika antrean tamu undangan mulai sepi, ponsel Samudra berdering. Dia mengangkat panggilan tepat di sampingku. Kupasang telinga baik-baik, penasaran siapa yang meneleponnya.
"Halo, Mak," ucap Samudra.
Ibu mertuaku ternyata. Aku belum pernah bertemu dengannya. Mengobrol pun tidak pernah. Acara pernikahan kami tidak dihadiri oleh keluarga besar Samudra. Hanya Pamannya saja yang hadir.
"Iya, Mak. Nanti aku bawa istriku ke Sulawesi. Kita hidup bersama di sana."
Pupil mataku mendadak membesar.
Aku bawa istriku ke Sulawesi. Kita hidup di sana.
Maksudnya apaan?
Versi Full Ebook sudah bisa diakses
Terdiri dari:
- Part Ke-1 sampai Part Ke-80 (Ending)
- Bonus Ekstra Part Eksklusif Full E-book
Total 81 part ; 299 Halaman
Pembelian dapat melalui Karyakarsa atau WhatsApp
Β
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi π₯°
