Suami Pelarian Bab 1-4 (Gratis)

1
1
Deskripsi

Sudah jatuh, tertimpa tangga, kejedot tembok, ketiban genteng, mungkin komplikasi kesialan ini cocok menggambarkan situasi yang dialami Ashanna Dewi Purnama. Ia kehilangan pekerjaan, ibunya sakit, dan ayahnya terlilit utang sampai-sampai dirinya nyaris dibawa paksa untuk dijadikan istri muda sang rentenir. Ngeri-ngeri nggak sedap sih, kalau kayak gini! Yang tak kalah menyakitkan kekasih yang dicintainya berkhianat dengan sahabatnya sendiri. Sungguh terlalu!

Namun, keajaiban itu ada. Yudistira Adi...

01. Sengsara Membawa Nikmat

"Dasar apes! Mengapa kesialan selalu datang beruntun?" desisku lelah. Lelah secara emosi justru lebih menguras tenaga ketimbang kelelahan fisik. Hayati dan rohani hamba lelah, pemirsa.

Pernah dengar pepatah 'sudah jatuh, tertimpa tangga'? Situasinya seperti yang kualami saat ini. Hanya saja ada sedikit komplikasi; sudah jatuh, tertimpa tangga, kejedot tembok, ketiban genteng.

Nggak perlu disebutin kondisinya kayak apa, anggap saja aku Tom di kartun Tom and Jerry, yang walaupun jatuh dari atap, tergencet sampai gepeng, atau badanku terbelah jadi dua, aku bakalan balik normal lagi. Hah!

Karena kecurangan seorang teman kerja yang tidak suka kepadaku, aku difitnah, aku dituduh mencuri uang perusahaan, hingga aku sukses ... sukses dikeluarkan dari tempat kerja secara tidak hormat. Tidak ada acara, "Hormat grak!" seperti dalam upacara bendera hari Senin anak sekolahan.

Beberapa teman yang dekat denganku merasa sedih, tapi lebih banyak yang menatapku sinis, karena berpikir aku telah menjadi pengkhianat kantor, dan layak untuk dikeluarkan dari tempat kerja.

"Sha, kamu yang sabar, ya. Semoga kamu segera mendapatkan pekerjaan baru," ucap Mei prihatin. Ia salah satu teman baikku di kantor. "Aku tetap nggak percaya pada tuduhan Pak Ernest. Tega sekali dia menyalahkan kamu tanpa menyelidiki terlebih dahulu. Aku tahu kamu nggak gitu, Sha."

Kata-kata Mei yang tulus sedikit menghiburku. Mau bagaimana lagi, namanya juga dijebak. Si penjebak dengan begitu pandainya menempatkan barang bukti di laciku, hingga aku tak dapat mengelak atau membela diri.

Pun bosku hanya mau mempercayai apa yang dilihat oleh matanya, tanpa mau tahu penyebab sebenarnya.

"Tenang saja, Mei, aku 'kan nggak bersalah. Santai! Pasti secepatnya aku dapat pekerjaan baru, yang lebih bagus daripada di sini," sahutku guna menenangkan Mei.

Padahal dalam hati aku pun tak yakin hanya dengan ijazah diploma aku bisa melamar pekerjaan baru, dan diterima. Aku memang sudah punya pengalaman kerja tiga tahun di kantor ini, tapi dengan statusku yang di-PHK, kira-kira bos mana yang mau menerimaku?

Aku tidak mungkin mendapatkan referensi pengalaman kerja yang bagus dari kantor ini. Yang ada aku malah ditanyai macam-macam, atau malah dilaporkan ke polisi, kan urusannya jadi semakin panjang.

Dengan dagu tetap terangkat aku meninggalkan kantor. Pantang bagiku untuk menunduk, karena aku bukanlah pencuri. Aku pulang dengan harapan bisa menghibur diriku sejenak di rumah, tetapi hal yang kutemui semakin membuatku kalut.

"Jangan, Pak, jangan!"

Terdengar rintihan Ibu dari dalam rumah saat aku tiba. Pintu depan terbuka lebar. Selain suara Ibu, ada suara pria tak dikenal yang terdengar berang, dan ... suara adik-adikku yang menangis. 'Kenapa ini?' batinku gelisah. Aku bergegas memasuki rumah.

"Ada apa ini, Pak? Bu?" tanyaku setelah berada di antara mereka.

Rumah kami berantakan. Tampak beberapa barang elektronik dan perhiasan milik Ibu dikumpulkan, mungkin benda-benda itu yang akan dibawa oleh pria itu ... dan beberapa temannya. Rupanya ia tidak datang sendirian, tipikal penagih utang pasti main keroyokan.

"Shanna," rintih Ibu saat melihatku. Ia terduduk di lantai dengan badan yang lemah dan wajah kusut karena air mata.

"Nak, maafkan Bapak. Bapak berutang sama mereka." Ayahku ikut menyahut. Dalam waktu singkat otakku mencoba mencerna semua ini.

Entah bagaimana ceritanya Bapak berutang kepada rentenir, tak tahu sudah berapa lama, yang jelas bunganya pasti sudah mencekik leher, lebih besar daripada nominal utang di awal, tipikal lintah darat.

Bapak tidak sanggup melunasi, akhirnya mereka datang menagih ke rumah.

Darahku terasa mendidih, aku ingin marah, tapi tidak tahu pada siapa. Bapak yang kukenal selalu baik dan bertanggung jawab. Bagaimana ceritanya Bapak bisa terlibat utang dengan rentenir? Mengapa Bapak tidak bercerita kepadaku?

"Jadi ini anak sulung kalian, ya," pria itu kembali bersuara, membuyarkan pikiranku yang masih mencerna semua ini. "Juragan Suseno pasti akan memaafkan dan membebaskan kalian dari utang, asalkan kalian memberikan anak perempuan kalian ini sebagai istri Juragan Suseno."

"Masih mending kami ambil anak sulung kalian. Atau kalian mau krucil-krucil tiga ekor ini yang kami bawa? Hahaha," tambah temannya.

Apa??? Juragan Suseno??? Tidak!!!
Seperti adegan drama Korea, atau FTV, atau sinetron azab, apa lah itu, semua meluncur begitu cepat.

Tiba-tiba saja aku ditarik paksa oleh preman-preman itu. Ibu dan adik perempuanku menjerit-jerit, sedangkan Bapak berupaya menahan para preman agar tak membawaku pergi. Namun Bapak malah didorong hingga jatuh, dan para penagih utang itu berhasil menyeretku.

Dalam benakku sudah terjadi adegan drama di mana aku dihadapkan kepada Juragan Suseno, pengusaha kaya raya yang suka mengambil keuntungan dari menipu orang kecil. Istrinya banyak, dan aku akan dijadikan istri yang ke berapa, aku tak tahu.

Pria tua itu tertawa terbahak-bahak, mencoba merayuku dengan kekayaannya, menyentuh daguku, tapi aku mengelak dan meludahi wajahnya, "Cih!"

Ia tertawa semakin kejam dalam kemarahannya, lalu ... ah, tidak!!! Baru membayangkannya saja sudah membuatku jijik. Aku tak sanggup memikirkan akan jadi apa diriku nanti, tapi aku juga tak punya daya untuk melawan mereka.

"Tidak! Lepaskan aku! Lepaskan!" teriakku sembari berupaya membebaskan diri sekuat tenaga. Namun, apalah daya seorang wanita yang belum makan, kalau harus melawan tiga orang pria dewasa yang berperawakan tinggi besar.

Mereka memaksaku keluar rumah. Aku hanya bisa berdoa agar seorang penolong datang membebaskanku, pangeran berkuda putih yang mempunyai pedang panjang, kalau berjalan prok prok prok. Duh, salah zaman sih ini.

Ya, pokoknya aku sungguh berharap ada orang yang rela melunasi utang ayahku yang jumlahnya tidak masuk akal itu, membebaskan kami, dan aku tidak perlu menjadi gundik si juragan tua.

Lantas seperti sebuah keajaiban, sebuah mobil mewah dengan seorang pria muda di dalamnya, berhenti di depan rumah kami. Pria itu benar-benar menjadi penyelamatku.

"Berapa yang dibutuhkan? Tolong katakan, saya akan membayarnya." Pria muda itu berucap dengan begitu gagah pada sang penagih utang. Hebat sekali dia bisa mengetahui bahwa permasalahan yang tengah kami hadapi adalah utang piutang.

Aku yang masih dicekal oleh preman-preman itu hanya bisa terpukau menyaksikan penampilan dan aksinya yang begitu cool. Setelan jas mahal berwarna abu-abu muda, serta kacamata hitam melengkapi wajahnya yang menarik. Aku plonga-plongo dibuatnya.

"Jangan main-main, Bung, ini menyangkut uang ratusan juta," tegur kepala preman itu dengan keras.

"Saya serius, Kisanak, berapapun akan saya bayar untuk gadis ini," sahut pria tampan itu. Ceilah, kisanak? Rupanya dia suka bercanda, rasanya aku ingin tertawa kalau situasi tidak sedang tegang seperti sekarang.

Dengan tenang pemuda asing yang rasa-rasanya kukenal itu mengeluarkan ponselnya. "Berapa nomor bos Anda? Saya akan bicara langsung, dan segera saya transfer," katanya lagi, seraya menyodorkan ponsel canggih itu kepada si penjahat.

Sesaat penagih utang itu ragu, tetapi tak butuh waktu lama baginya untuk meraih ponsel tersebut, dan menekan nomor bosnya.

Negosiasi itu pun terjadi. Dalam waktu singkat pangeran bermobil menyatakan dengan tegas kepada Juragan Suseno, bahwa ia akan membayar semua utang bapakku, dan meminta mereka untuk tidak mengganggu kami lagi. Lebih wow lagi sang pangeran mengetahui nama bapakku, lho. Hebat!

"Akan saya kirimkan uangnya sekarang," pungkasnya, mengakhiri pembicaraan di telepon dengan Juragan Suseno. Sebentar ia sibuk lagi dengan ponselnya, sepertinya ia benar-benar mengirimkan uang ke pria rentenir itu, karena dalam satu menit ia menunjukkan lagi layar ponselnya kepada si preman.

"Sudah terkirim, sekarang tolong lepaskan gadis itu." Pria itu kembali berujar dengan suara penuh wibawa. Kepala preman itu terbengong, lalu ponselnya sendiri berbunyi.

"Ya, Bos." Rupanya bosnya menelepon. Terjadi percakapan singkat, kemudian para preman itu melepaskanku dan meninggalkan rumah kami.

"Shanna ...."

"Mbaaaak ...."

Ibu, ayah, dan ketiga adikku yang menyaksikan semuanya dari dalam rumah, kini bergabung bersamaku.

"Kamu nggak apa-apa 'kan, Nak?" tanya Ibu khawatir. Adik-adikku masih terisak, tetapi tidak sekeras tadi. Mereka seolah tahu bahaya sudah berlalu.

"Nggak apa-apa, Bu," jawabku untuk menenangkan Ibu. Aku beralih ke pangeran tampan yang telah menyelamatkanku. "Maaf sudah merepotkan Anda, dan terima kasih atas bantuan Anda. Tapi ... Anda ini siapa, ya?" tanyaku dengan perasaan tidak enak.

Pria ini adalah orang yang tak kukenal, walau sejenak ada perasaan pernah mengenalnya, aku masih belum bisa menebak dia ini siapa. Tiba-tiba saja ia melunasi utang ayahku yang tidak sedikit, seolah-olah utang itu dihibahkan kepadanya. Dan tadi aku nyaris menjadi manusia pelunas utang; dijual untuk melunasi utang, maksudnya begitu.

Sekarang apakah ayahku jadi berutang kepada pria ini? Terus, aku harus ... menikah dengan pria ini ... begitu? Inikah yang dimaksud dengan 'Sengsara Membawa Nikmat' kayak novel lawas itu? Ih, jadi ngayal kebangetan nih, aku! Sadar, woy!

Senyuman kecil tersungging di bibirnya yang seksi, tapi tak ada penjelasan apapun keluar dari mulutnya. Semuanya terjawab oleh kata-kata Ibu selanjutnya.

"Nak Yudistira? Iya, kan? Kamu Yudistira, anaknya Bu Ani?" seru Ibu dengan penuh sukacita. "Wah, terima kasih banyak, Nak, kamu sudah menyelamatkan kami ...."

Ucapan Ibu tak lagi kudengarkan karena aku syok memandang orang itu melepaskan kacamata hitamnya.
"Yudis ...," desisku setengah tidak percaya.

Benarkah dia Yudistira? Yudistira yang tengil dan keling itu?

Pemuda itu tersenyum kepadaku dengan begitu manisnya, mengalahkan manisnya minuman bersoda, serta manisan jengkol.

Mendadak aku melihat banyak kunang-kunang di sekitarku. "Eh, kok tiba-tiba sudah malam, ya?" gumamku tidak jelas. Aku mulai merasakan tubuhku kehilangan tenaga.

Sebelum semuanya menjadi gelap, aku masih sempat mendengar jeritan ibuku memanggil namaku, "Ashanna!" serta suara pria tengil tadi berkata, "Woy, jangan pingsan di sini!"

***

02. Penyelamat

"Shanna, kamu nggak apa-apa, Nak?" tanya Ibu saat aku kembali membuka mata. Wanita yang melahirkanku itu tampak cemas.

"Nggak apa-apa, Bu, tadi belum makan saja. Hehe," jawabku sembari tersenyum. Rupanya saat pingsan tadi aku dibawa ke ruang tamu dan dibaringkan di sofa.

"Kenapa belum makan, Nak? Tadi pagi kamu juga tidak sempat sarapan. Dan tumben jam segini kamu sudah pulang?" Sekali lagi Ibu bertanya penuh keprihatinan.

"Nggak sempat, Bu. Aku sudah pulang karena sudah tidak ada kerjaan di kantor."

Aku belum siap mengatakan bahwa aku dipecat dari pekerjaanku, jadi kujawab saja sekenanya. Memang aku sudah tidak ada kerjaan di kantor ... seterusnya.

"Bu, kenapa Ibu malah mengkhawatirkan aku? Bukannya Ibu sendiri sakit? Tadi Ibu nggak dipukul sama preman-preman itu, 'kan?" Aku balik bertanya kepadanya.

"Ibu nggak apa-apa, kok, Nak. Nggak ada yang mukul Ibu," jawabnya sembari tersenyum menenangkan aku.
 
Sudah beberapa tahun ini ada benjolan kecil di payudara Ibu. Kami sangat khawatir, kalau-kalau itu kanker yang berbahaya. Namun, alih-alih pergi ke dokter, Ibu memilih untuk meminum obat-obatan herbal saja, serta menjaga pola makan.

Katanya ia takut kalau harus dioperasi dan menjalani kemoterapi yang menyakitkan. Susah sekali kami meyakinkan Ibu untuk sekadar memeriksakan kondisinya ke dokter. "Nggak apa-apa, kok, benjolannya juga sudah lunak," begitu ia beralasan.

Wanita satu itu memang cukup keras kepala. Kami terpaksa menuruti kemauannya, seraya tetap menjaga Ibu, takut kalau dia kenapa-napa.

Aku melayangkan mata ke sekeliling. Ayah dan ketiga adikku juga berdiri tak jauh dari kami. Ah, Bapak ... ialah sumber masalah yang kami hadapi saat ini, dan aku tak tahu bagaimana harus bersikap. Aku ingin membencinya, tapi aku juga belum tahu bagaimana permasalahannya, kok bisa Bapak punya hutang sebanyak itu.

Ah, pokoknya Bapak menyebalkan, titik.

Kembali pandanganku beralih, kini menuju ujung sofa tempat kakiku berada, dan ....

"Astaga!" pekikku sembari menutupi mulutku karena tidak memercayai apa yang kulihat. Tanpa diminta, aku yang sedari tadi berbaring langsung bangun dan duduk.

"Sudah sadar?" tanya sosok yang kulihat di kursi tunggal dekat sofa. Yudistira ternyata masih di sini.

"Kamu kenapa masih di sini?" aku balik bertanya, pertanyaan yang bodoh. Ya iyalah, Ashanna, Yudistira sudah membayar utang Bapak yang jumlahnya bukan main, nggak mungkin dia bilang, "Oke, utang kalian sudah dilunasi, hiduplah dengan damai. Goodbye," lalu pergi begitu saja tanpa meminta apapun sebagai imbalan.

"Ternyata kamu berat juga, ya," ujarnya mengejek.

"Ih, apaan sih?" Aku memelototinya sebal, ia terkekeh santai. Rupanya waktu aku pingsan Yudistira-lah yang menggendongku. Duh, aku jadi semakin malu.

"Makan, yuk," ajaknya tiba-tiba.

"Hah? Makan?"

"Iya, bukannya tadi kamu bilang kamu belum sempat makan? Mumpung kita ketemu lagi, kita bisa sekalian ngobrol-ngobrol."

Aku curiga dengan usulan terakhirnya ini, pasti yang dimaksud adalah ngomongin soal pelunasan utang tadi, pasti dia mau minta ganti rugi, atau jangan-jangan dia mau bermain drama Juragan Suseno jilid kedua?

Duh, aku malah jadi negative thinking sendiri. Kalaupun Yudistira ingin begitu, itu haknya, dan aku ... mungkin bisa menolaknya, atau setidaknya bernegosiasi. Pria ini secara tidak langsung telah menebus kehidupan kami, atau lebih spesifik lagi kehidupanku yang nyaris menjadi istri muda si juragan tua.

"Oke, kita pergi sekarang?" tanyaku.

"Bukan, tahun depan."

"Ih, tengil!" seruku sebal.

"Hahaha. Yuk, cepetan, aku juga belum makan tadi." Dengan gesit Yudistira berdiri, dan menarikku agar mengikutinya.

"Tunggu sebentar, bos! Aku rapiin rambutku dulu," protesku. Kubebaskan lenganku yang masih dipegang Yudistira, lalu berjalan menuju kamarku.

"Malahan bagus, gitu, cocok jadi Mak Lampir," ledeknya sambil tertawa nggak jelas.

"Apa katamu? Kalau aku jadi Mak Lampir, sudah kulempar kau ke kawah Merapi, biar kamu keluar dari situ jadi wedhus gembel," cibirku dengan mata melotot. Yudis malah kesenangan, dan tertawa semakin keras.

Begitulah dirinya. Yudistira, teman masa kecilku, rumahnya dulu hanya berjarak dua rumah dari rumahku, di sebelah timur. Ia teman bermainku, bocah lelaki yang sering mengekoriku dari zaman TK hingga remaja.

Saking seringnya kami bersama, teman-teman sering menjodoh-jodohkan kami. "Ciee, yang pacaran, ni, ye, kalau udah gedhe nikah, ni, ye," goda mereka. Yudistira cengengesan, tapi aku tidak. Aku kesal dan malu.

"Ih, siapa juga yang pacaran?" ucapku sewot dengan muka merah padam. Seberapa banyak pun aku memarahi teman-temanku, mereka terus meledekku. Begitulah anak-anak.

Setiap kali Yudistira mendekat, aku selalu mengusirnya dengan kasar, "Pergi, kamu, jangan dekat-dekat!" tapi itu tak membuatnya gentar. Aku menjauhi Yudistira, tapi bocah itu tahu-tahu, "Cling!" seperti sulap, bisa muncul di manapun aku berada. Ajaib memang!

Pernah sekali aku kentutin dia, berharap bocah itu berhenti mengikutiku karena merasa jijik. Kulihat dia berlari pulang, senang dong aku, kukira ia benar-benar kapok, eh, nggak tahunya Yudis cuma mengambil masker. Lebih tepatnya sih dia ngambil selendang milik emaknya dan dipakainya untuk menutupi mulut dan hidung.

"Kentutmu bau juga, Sha. Mau kubalas, tapi aku tak tega. Aku 'kan anak laki-laki," komentarnya jumawa. Yudistira memang berhenti mengekoriku; ia memilih berada di sampingku sambil pringas-pringis nggak jelas. Gubrak, deh!

Dia setahun lebih tua dariku, tapi kami selalu sekelas, karena Bapak memasukkanku ke sekolah lebih cepat. Saat kami kelas dua SMP dan suara anak-anaknya mulai berubah karena puber, ayahnya meninggal. Beberapa bulan kemudian ibunya menikah lagi dan mereka pindah, dan rumah mereka ditinggali oleh budhenya. Sejak saat itu kami tak pernah bertemu.

Sejauh itu saja pertemanan masa kecil kami, cuma yang aku ingat Yudistira yang dulu adalah anak lelaki tengil. Kulitnya gelap karena terkena sinar matahari, maklum dia paling suka main layangan ataupun berpanas-panasan di bawah terik mentari.

Namun, aku tidak tahu bagaimana ia melewati masa remajanya hingga dewasa, bagaimana ia bisa sesukses ini. Apa pekerjaannya pun aku tak tahu.

Yudistira yang kulihat hari ini sama sekali berbeda. Ia telah menjadi seorang pria dewasa, eksekutif muda, bajunya rapi, badannya tinggi, tegap, dan ... wangi, tak lagi bau matahari. Kulitnya tak segelap dulu, dan yang pasti Yudis sekarang ganteng, bro.

"Kamu sekarang kaya, ya, Yud? Sampai penampilanmu bikin aku pangling," ujarku berbasa-basi, sebenarnya agak kepo sedikit.

"Aku ganteng dari lahir, Ashanna, kamu saja yang tak pernah melihatku sebagai seorang lelaki," jawabnya sok keren.

"Iih!" cibirku yang kebingungan harus menanggapi bagaimana lagi. Sebenarnya kata-kata Yudistira tidak sepenuhnya salah, saat kecil dia termasuk salah satu cowok primadona di SD.

"Yudistira itu ganteng, ya!"

"Iya, manis banget. Aku suka jadinya. Hihi."

Begitu kira-kira para bocah cewek bergosip, ngomongin cowok. Aku tak termasuk, lho, karena aku keseringan melihat dan bersama dia sampai bosan rasanya.

Akan tetapi, penampilan seorang bocah lelaki tukang dolan tentu saja berbeda dengan pemuda gagah yang bergaya eksekutif muda. Aku harus mengakui bahwa ia memang tampan.

Namun, sekarang aku penasaran, apakah hanya penampilan luarnya saja yang berubah. Bagaimana kepribadiannya setelah ia menjadi pria dewasa? Yudistira memang masih baik seperti dulu, sampai-sampai ia rela membayar utang bapakku, tapi aku tidak tahu apa motifnya, apakah ia memang tulus, atau ada maksud tersembunyi.

Tapi pertanyaan yang paling penting sekarang, bagaimana aku bisa membayar kembali uang yang sudah dikeluarkan Yudistira? Aku tak yakin aku bisa menghasilkan uang sebanyak itu dalam waktu singkat.

Berapa lama waktu yang akan ia berikan? Lalu, kalau aku tidak sanggup melunasinya, kira-kira apa yang dia inginkan dariku? Duh, hatiku kacau jadinya.

Nah, daripada mati penasaran, segera aku bertanya to the point kepadanya. "Yud, soal utang ayahku itu ..., aku sangat berterima kasih. Terus, kira-kira bagaimana aku harus membayarnya? Berapa lama waktu yang kamu berikan untuk melunasi? Kalau setelah sekian tahun sampai aku tua aku belum bisa melunasi, kamu nggak akan melaporkan aku ke polisi 'kan?"

Aku gelagapan setelah memberondongnya dengan serentetan pertanyaan. Soalnya aku takut ada yang kelupaan, mumpung ingat, aku tanyakan semua, deh.

Yudistira terkekeh. "Pelan-pelan saja, Sha. Satu-satu nanyanya. Kalau napasmu sampai putus, aku juga yang harus kerepotan ngasih napas buatan untukmu."

"Ih, enak saja!" potongku cepat-cepat. Bocah ini dari dulu suka bercanda, tapi candaannya yang satu ini bikin jantungku berdetak lebih cepat.

Duh, ruangan yang semula sejuk jadi panas tiba-tiba. Aku terpaksa mengipasi wajahku. Pemuda itu terus menatapku dengan senyuman yang mampu membuat hatiku terkena gempa 6,7 SR.

"Buruan dijawab, jangan cengengesan saja. Memangnya aku badut?" desakku sewot.

"Hahahaha. Aku jadi ngebayangin kamu pakai hidung merah, Sha, pasti lucu. Hahaha."

Pria itu tertawa lepas, membuatku semakin malu. Kayaknya yang merah bukan cuma hidungku, deh, wajahku sampai telinga juga merah padam, panas sekali rasanya.

Ah, sudahlah! Kubiarkan dia tertawa sepuasnya.

Setelah puas tertawa dengan lembut Yudistira menatapku, lalu akhirnya ia mengucapkan satu kata ajaib, "Gratis, Sha!"

***

03. Pengkhianatan

"Nggak bisa gitu, Yud, itu uang ratusan juta, bukan daun kelor," tukasku tegas. "Dan aku sadar keluargaku sudah berutang budi padamu, walaupun aku membayar kembali uang itu, kami tetap berutang budi padamu. Tapi tetap aku ingin membayarnya, meskipun butuh waktu seribu tahun."

Setelah drama rumah tangga tadi, maksudnya drama di rumah yang ada tangganya, Yudistira mengajakku makan ayam goreng. Pemuda itu tak hanya menjadi penyelamat keluargaku, tapi juga penyelamat perutku yang kelaparan. Kami berbicara. Intinya ia ikhlas melunasi utang ayahku, tanpa mengharapkan imbalan apapun.

Omong kosong! Aku memahami jika ia berniat baik untuk membantu kami, tapi bagiku jumlah uangnya terlalu besar untuk digratiskan begitu saja. Tak mungkin aku menutup mata, dan tak membayarnya kembali.

"Seribu tahun keburu mati, Sha" kekehnya setelah menyeruput es teh pesanannya. "Tapi dunia ini memang cuma selebar daun kelor, 'kan. Kita yang satu dekade terpisah bisa bertemu lagi."

"Aku 'kan masih tinggal di rumah yang sama, Yud, nggak tiba-tiba pindah ke bulan."

"Hahaha. Bisa-bisa namamu berubah jadi Ashanna Dewi Ngi-Bulan, ya, Sha."

"Ih, sembarangan," desisku sembari tertawa menanggapi guyonan Yudistira. "Jadi, kembali ke topik, aku akan tetap balikin uang kamu, Yud. Titik! Nggak ada protes!"

"Yakin kamu bisa? Jumlahnya nggak main-main, Shanna."

"Kamu nyepelein aku?" sungutku kesal.

"Bukan gitu juga. Aku hanya realistis. Kalau nanti terbukti kamu nggak bisa melunasinya gimana? Kamu mau bayar pakai apa?" Eh, Yudis malah nantangin. Aku sendiri sebenarnya kurang yakin, tapi gengsi dong kalau harus menyerah begitu saja.

"Pokoknya aku bayar. Kamu jangan macam-macam, ya. Jangan memintaku menikah denganmu sebagai ganti rugi."

"Hahaha." Yudistira tertawa terbahak-bahak saat mendengar perkataanku. "Siapa juga yang ngajakin kamu nikah? GR banget! Hahaha."

"Pokoknya aku nggak mau seperti Siti Nurbaya," tegasku dengan mata berapi-api.

"Nggak ada yang akan menjadikanmu Siti Nurbaya, Sha. Tapi kalau kamu mau menikah denganku ... aku nggak nolak," ucap Yudis serius, dengan tatapan mata berkilat jahil.

"Enggak bisa, Yudistira. Pokoknya enggak," tegasku sekali lagi dengan mata yang semakin melotot. Entah mengapa jantungku berdetak lebih cepat, saat ia mengatakan bahwa ia tidak menolak kalau harus menikah denganku.

Aku harus sadar diri. Aku sudah punya pacar, ya ... meskipun selama beberapa bulan ini keberadaannya tidak jelas. Ia hanya sesekali menjawab pesanku, dan mengatakan dirinya sedang sibuk. Bagaimanapun aku harus menjadi pasangan yang setia.

"Ya ... terserah kamu, deh, Sha," kata Yudistira acuh tak acuh. Ia sudah tahu betapa keras kepalanya diriku.

"Hehe, gitu dong," kekehku senang sekaligus lega. "Tapi yang jadi masalah ... aku lagi nggak punya uang, Yud. Hehe"

"Loh, bukannya kamu kerja ...? Tunggu, jangan-jangan ... kamu pulang cepat karena ...." Yudistira memicingkan matanya, memandangku dengan penuh kecurigaan.

"Hehe, iya, aku memang berhenti kerja hari ini," ujarku cepat-cepat, "tapi aku janji, secepatnya aku akan mencari pekerjaan baru, dan mulai melunasi utangku."

"Kenapa nggak kerja di tempatku saja?" usulnya tiba-tiba.

"Kerja apa memangnya? Jadi babu?" cemoohku. Sudah kutebak, cowok satu ini palingan hanya menggangguku.

"Jadi asisten hidupku, yang menemaniku 24 jam ...."

"Idih, mulai lagi, deh," gerutuku sembari melempar potongan mentimun ke arahnya.

"Hahaha," Yudis tertawa sangat puas. "Kamu bisa bahasa Inggris, 'kan? Dan kemampuan tata bahasamu bagus, 'kan? Bahasa Indonesia, dan bahasa Inggris."

"Memangnya kerja apa?" tanyaku balik. Sepertinya tawaran Yudistira menarik. Mengapa bisa kebetulan sekali, ya? Aku memang selama ini bekerja sebagai penerjemah. Inikah yang namanya pucuk di cinta, ulam pun tiba?

Pemuda itu mulai bercerita, selama ini ayah tirinya memiliki resort di Jogja, dan Yudis membantu mengelolanya. Dengan banyaknya wisatawan asing yang datang ke Jogja, selama beberapa tahun terakhir ini ia membuka kursus bahasa Indonesia untuk orang-orang asing itu. Yudis menawarkan pekerjaan sebagai seorang guru di tempat kursusnya.

"Wah, kayaknya seru, nih," ujarku antusias. Langsung saja kutanyakan persyaratan apa saja yang dicari, dan seperti apa pekerjaannya.

Kemudian dalam waktu singkat negosiasi kami selesai. Tanpa pikir panjang lagi, aku menerima tawaran pekerjaan dari Yudis. Ia bahkan menawariku untuk tinggal di rumahnya yang baru, karena tempat kerjaku yang baru jauh dari rumahku sendiri, ketimbang aku harus pergi pulang naik motor selama berjam-jam.

Awalnya aku ragu, tetapi setelah bertemu Bu Ani, ibu Yudistira, serta keluarga mereka, aku mau menerima tawarannya. Tentu saja aku bukan cuma numpang tidur, sebisa mungkin aku membantu pekerjaan yang ada di rumah itu. Kadang aku menemani Arum, anak bungsu Bu Ani, mengerjakan PR.

Pekerjaan baruku menyenangkan, aku berkenalan dengan banyak orang asing, bule maupun orang Asia. Keluarga Bu Ani dan Pak Pandu sangat baik kepadaku, hingga tak terasa satu bulan berlalu.

Lalu suatu hari kekasihku muncul lagi, dengan sebuah kejutan akbar.

***

Hari Jumat siang saat aku masih di tempat kursus, tahu-tahu Aldo menghubungiku. "Sha, ketemuan, yuk," begitu tulisnya dalam pesan singkat, ia juga menyebutkan nama sebuah mall besar di Jogja.

Wah, setelah sekian purnama menghilang, Aldo kembali menampakkan batang hidungnya. Perasaanku campur aduk: senang, ragu, sekaligus gelisah. Entahlah, mungkin ini hanya pikiran burukku saja.

"Ikutan, dong," celetuk Yudis sewaktu tahu aku akan bertemu pacarku.

"Eh, nggak usah! Jangan gangguin orang pacaran, ya," tolakku sembari mengibaskan tangan mengusirnya.

"Ih, siapa yang mau gangguin? Malas banget, mendingan aku cari cewek," cibirnya. "Aku 'kan juga pingin kenalan sama pacarmu, Sha. Sekalian aku mau beli donat buat mama dan adik-adikku, mumpung lagi diskon."

"Oh, gitu. Ya udah, deh. Boleh." Aku mengizinkannya mengantarku ke mall. Lumayan sih, dapat tebengan gratis.

Kami masuk ke mall bersama, tetapi sempat berpisah karena ia harus menjawab telepon di ponselnya. Dengan langkah riang aku berjalan menemui Aldo.

"Hai, Aldo!" Aku melambaikan tangan ketika aku menemukan sosoknya dari kejauhan. Ia tidak sendiri, ada seorang wanita di sana. Oh, ternyata itu Winda, sahabat kami.

Semula aku senang melihat Winda hadir, tapi itu hanya bertahan beberapa detik. Tak banyak basa-basi Aldo langsung menceritakan kondisi mereka berdua. Rupanya selama beberapa bulan terakhir ia tak bisa dihubungi, Aldo main gila dengan Winda.

"Aku dan Winda akan menikah, Sha ... Winda hamil."

Pernyataan Aldo membuatku membeku. Aku tak percaya, Aldo, pria yang selama ini kucintai, kekasih yang kuharapkan menjadi pendamping hidupku nanti, berkhianat dengan sahabatku sendiri.

Kami sudah dua tahun berpacaran. Dia teman kuliahku dulu, demikian pula Winda. Perempuan itu tahu hubungan kami, bahkan setahuku Winda sendiri sudah memiliki kekasih. Tapi apa yang mereka lakukan di belakangku?

Sebegitu tidak bermoral kah anak muda sekarang, hingga mereka melakukan seks pranikah? Selama aku berpacaran dengan Aldo, aku memang tidak ingin melakukan skinship. Jangankan berciuman, bergandengan tangan saja aku takut. Aku bukan tidak percaya kepada kekasihku, melainkan diriku sendiri. Aku takut tergoda dan berbuat terlalu jauh sebelum waktunya.

"Kamu selama ini dingin, Sha, memegang tanganmu saja aku tidak boleh ...," cerocos Aldo mulai membuat alasan, mengeluhkan sikapku yang kurang perhatian, sementara Winda dengan tenang berdiri di sebelahnya, memegang erat tangan kekasihku ... eh, ralat, mantan kekasih.

Ia bahkan belum mengatakan bahwa hubungan kami putus, Aldo langsung bilang mereka akan menikah. Jadi apa maunya? Menikah dengan Winda sementara aku masih berstatus sebagai pacarnya?

Dan Aldo sangat licik. Ia tahu aku tidak suka membuat keributan di tempat umum, maka pemuda itu mengajakku bertemu di mall, di tempat yang ramai, sehingga aku akan malu sendiri jika marah-marah pada kedua pasangan tak bermoral itu.

Tubuhku yang tadi seolah membeku, kini mulai terasa panas, darah mulai mengalir deras ke kepalaku, hingga kupikir aku akan meledak, dan terkena stroke di usia muda.

Pikiranku sedikit teralihkan tatkala Yudistira menyusulku. "Sha, ada apa ini?" tanyanya begitu sampai. Rasanya begitu sakit, tetapi aku menahan semua emosi yang berkecamuk di dalam jiwa. Lalu kehadiran Yudistira memberiku ide gila.

"Oke, Do, kalau itu mau kamu. Kita putus, kamu nikah saja sama dia ...," tantangku.

"Aku benar-benar minta maaf, Sha ...."

"Nggak perlu minta maaf, Aldo. Itu 'kan yang kamu mau. Kamu tidak perlu khawatir, karena aku bisa mendapatkan yang lebih baik dari kamu. Karena aku ... akan menikah sama dia."

Secepat kilat aku menyambar lengan Yudis. "Iya, kan, Sayang?" tambahku lagi dengan suara manja, tetapi kini kalimatku kutujukan pada sang pria tampan yang berdiri di sampingku.

Yudistira menatapku lekat, wajahnya tegang, dan rahangnya mengeras, menahan emosi. Apakah ia marah? Atau berpikir aku gila? Aku tak peduli, aku tersenyum dengan begitu manis kepadanya. Aku tahu ia akan memahami situasiku dan membantuku.

"Kamu yakin dengan ucapanmu, Ashanna?" suara bas miliknya terdengar tegas.

"Tentu dong, Yudistira sayang," jawabku semakin centil, dengan harapan bisa membuat pasangan di depanku gerah, dan menyesal karena telah mengkhianati kepercayaanku.

Memangnya cuma mereka yang bisa begitu? Aku bisa lebih heboh lagi, ya, walaupun cuma sandiwara. Setidaknya aku bisa sejenak menutupi rasa sakit hatiku, dan tidak terlihat lemah di hadapan para pengkhianat itu.

Namun, reaksi berikutnya dari Yudistira sangat tak terduga. Ia mengambil tanganku yang sedari tadi menggelayuti lengannya, dan menarik pundakku hingga kami berdiri berhadapan.

"Kenapa, Sayang? Kalau mau pacaran, jangan di sini, dong, aku malu, lho. Hihi." Dengan tidak tahu malu, aku bersikap mesra padanya, bahkan memukul dadanya manja, seperti seorang perempuan yang gemas dengan kekasihnya. Sesekali mataku meliriknya, sembari mengirimkan kode agar ia melengkapi sandiwaraku.

Apa yang terjadi selanjutnya sungguh di luar dugaanku. Yudistira menganggukkan kepalanya sekali, lalu dengan suara yang begitu jelas, sejelas petir di siang bolong, ia berkata padaku, "Baiklah, kita akan menikah bulan depan. Menikah betulan, bukan kawin kontrak, dan tidak ada perceraian."

Bibirku yang semula bersikap sombong dengan menyunggingkan senyuman mengejek, kini hanya mampu tersenyum kecut. Rasanya selama sesaat darah berhenti mengalir ke kepalaku.

Apa-apaan ini? Sandiwaraku dibalas dengan kegilaan oleh Yudistira. 'Ah, paling ia cuma main-main,' pikirku dalam hati. Namun, pria itu membuatku tak bisa mengelak. Ia mengatakan bahwa ia serius, akan secepatnya melamarku, serta mengurus pernikahan kami.

Yudistira menyatakannya dengan lantang dan jelas di hadapanku, Aldo, Winda, serta orang-orang yang sedari tadi menyaksikan keributan yang kami timbulkan. Ia tak main-main.

"Yud, kamu nggak serius, 'kan?" tanyaku saat kami berjalan ke luar mall.

Yudistira menghentikan langkahnya, lalu menatapku tajam. "Ashanna, kamu mungkin pandai bersandiwara, tapi aku tidak. Yang sudah keluar dari mulutku itulah yang akan kulakukan."

***

04. Menikah

"Yudistira, kamu jangan main-main, ya!" sergahku keras.

"Ashanna, aku nggak main-main, aku serius. Aku memang sedang mencari istri," ungkapnya dengan ekspresi bersungguh-sungguh.

Aku tercengang setelah mendengar pernyataannya tadi. Apa katanya? Dia sedang mencari istri? Aku tak akan percaya begitu saja.

Pengkhianatan Aldo dan Winda sudah cukup membuatku kacau, dan sekarang aku harus mendengar hal yang lebih mengejutkan lagi. Aku mengusap wajahku dengan putus asa.

Setelah kehebohan tadi, aku langsung mengajak Yudistira pergi. Sekarang kami ada di dalam mobil Yudistira di tempat parkir mall.

"Lagian kalau kita menikah, uangku adalah uangmu, kamu nggak perlu lagi memikirkan bagaimana cara melunasi utang yang ratusan juta itu," tambahnya tanpa perasaan.

"Nah! Apa kubilang? Pada akhirnya tetap saja aku hanya dijual untuk menutupi utang, persis seperti Siti Nurbaya. Kenapa nggak dari awal saja begitu?" desisku, tak mampu menutupi kekesalan.

Yudistira sama saja dengan Juragan Suseno, yang menginginkan aku menjadi istrinya. Bedanya Yudis masih muda, dan belum beristri.

"Sha, itu cuma sebuah logika. Aku nggak menilaimu sebagai manusia pelunas utang. Kamu sendiri 'kan yang mulai, kamu bilang dengan begitu gamblang di hadapan orang-orang kalau kamu mau menikah denganku. Jadi sekarang kamu harus bertanggung jawab terhadap omonganmu sendiri, Sha, banyak saksinya," ucap Yudis tegas, tak memberi tempat untuk kompromi.

Saat kecil kami memang sering ribut, tapi, ya, ributnya anak kecil, nggak ada yang serius, dan semua selalu berakhir dengan kami ngakak bersama. Namun, Yudistira yang ini sangat berbeda, ia sangat serius, dan sedikit misterius.

Sewaktu menghadapi para penagih utang bulan lalu, ia sangat cool, santai, seolah itu hanya masalah sepele. Sedangkan hari ini, ia terlihat sangat serius, dan ngotot. Pria ini seolah tak ingin melepaskan kesempatan untuk menjebakku dalam pernikahan.

"Tapi tadi aku cuma main-main, Yud. Aku cuma ingin membuat Aldo menyesal, dan sakit hati karena telah mengkhianatiku," dalihku dengan nada suara yang lebih lembut, berharap pria di sampingku ini bisa bersikap fleksibel.

"Sha, kita memang teman bermain saat kecil, tapi sekarang kita sudah dewasa, kita nggak bisa main-main terus. Ini saatnya kita serius," tegas Yudistira, tak mau mengalah sedikitpun. Pendiriannya tak tergoyahkan. Sebegitu besar kah keinginannya untuk menikah?

"Ngapain sih mesti cari istri sekarang? Kamu 'kan masih muda, masa depanmu masih panjang, masih bisa bersenang-senang sebagai bujangan," argumenku masih mencari celah untuk terlepas dari tekanan ini.

"Aku sudah 26 tahun, Sha, sudah lewat seperempat abad. Lagian ini hidupku, suka-suka aku dong, mau menikah kapan," balasnya enteng.

"Betul, Yud, tapi nikahnya juga nggak harus sama aku kali. Kamu muda, tampan, kaya, pasti banyak perempuan lain yang lebih baik dari aku, yang mau sama kamu, Yud. Please!"

"Emang tadi ada yang nyuruh kamu untuk bilang kalau kamu mau nikah sama aku? Nggak ada, 'kan? Kamu sendiri yang ngomong kalau kamu mau menikah denganku? Aku nggak mau dimanfaatkan hanya untuk menggertak, Sha. Kalau mau mendapat manfaat tuh harus sungguh-sungguh, nggak boleh main-main. Makanya aku seriusin kamu," ucapnya yakin, seolah sedang menasihati anak SD.

Nada suaranya menunjukkan betapa Yudis telah merasa menang, dan pada kenyataannya aku memang sudah kalah. Menyebalkan!

"Tapi, Yud, kamu pasti menyesal kalau menikah denganku." Aku mencari strategi lain untuk melemahkan pendiriannya.

"Mengapa aku harus menyesal?"

"Aku nggak pandai masak ...."

"Hah!" dengus Yudis penuh cemoohan.

"Aku nggak bisa ngurus anak, terus ... apa, ya? Oh, aku masih suka main, jajan, nyalon, pokoknya aku ini boros, Yud. Aku juga suka ngorok, kalau tidur, aku orangnya ceroboh, aku juga mageran. Pokoknya enggak banget! Jangan sampai kamu menyesal nanti, makanya mundur saja, Yud. Kamu cari wanita lain saja, ya?" pintaku nyaris memohon-mohon.

Niatku adalah membuat Yudi ilfeel. Sayangnya semuanya sia-sia karena itu tak membuatnya mundur.

"Sha, aku punya uang. Kita bisa bayar pembantu untuk mengurus rumah, masak, atau kita bisa makan di luar, pesan delivery. Kalau kamu mau nyalon, main, jajan, atau apa saja, tinggal jalan. Beres, 'kan?"

Mataku membulat tak percaya dengan omongan Yudistira, tapi saat kulihat senyuman jahil di bibirnya, aku tahu itu hanya sebuah sarkasme. Ya, meskipun aku yakin Yudis mampu melakukan itu kalau ia mau.

"Hhh, enak, ya, jadi orang kaya, banyak duitnya. Mau apa-apa tinggal 'cling' langsung muncul," desahku sedikit menyindir.

"Makanya kamu nggak perlu ragu untuk menikah denganku. Kamu ...."

"Hentikan, Yud, cukup!!!" pekikku sebal. Rasanya ingin kucakar wajahnya, tapi kalau dia terluka, aku tak sanggup membayar biaya pengobatannya nanti. Aku meliriknya kesal, bahkan senyuman kemenangannya terasa mengejek.

"Kamu merusak masa depanku, tau!" seruku kesal.

"Aku justru menyelamatkan masa depanmu, Sha."

"Aku nggak bisa lagi menikah dengan pria yang kucintai," rintihku.

"Kita bisa belajar saling mencintai, Ashanna," ucap Yudistira. Suaranya mulai terdengar lembut. "Lagipula pria yang kamu cintai sudah bersama perempuan lain, dan mereka akan menikah. Apakah kamu tidak ingin menunjukkan bukti pernyataanmu tadi, dengan menikah lebih cepat daripada mereka?"

"Ah, ngapain ngingetin lagi sama pasangan pengkhianat itu?" sungutku dengan suara yang tiba-tiba tercekat. Pria satu ini ternyata pintar memancing di air keruh. Mungkin nenek moyangnya dulu seorang nelayan.

Yudis memandangku iba. Air mata yang sedari tadi kujaga agar tidak jatuh, sekarang mulai memenuhi kelopak mataku. Aku tak ingin terlihat lemah, tetapi aku sudah lelah menahannya dari tadi.

"Puk, puk." Yudistira menepuk pundak kirinya, memberikan isyarat bahwa aku bisa menangis di pundaknya.

"Boleh?" tanyaku.

Ia mengangguk. Aku meletakkan dahiku di pundak Yudis. Tanpa dapat kutahan lagi air mataku tumpah. Aku menangis sesenggukan. Selama sebulan ini aku menahan semua kepedihan sendiri. Ternyata aku tak sekuat itu. Ditambah lagi kekasih dan sahabatku menikamku dari belakang, pedihnya sungguh tak tertahankan.

Sesekali Yudistira mengusap kepalaku. Ia juga sempat menawarkan tisu yang ada di mobilnya untukku menghapus air mata. Pengertian juga dia.

Oh, Tuhan, benarkah pria ini adalah orang yang akan menjadi teman hidupku? Suamiku? Bagaimana kami menjalani perkawinan kami nanti? Apakah perkawinan ini adalah jalan keluar untuk masalahku, atau justru akan menjadi sumber masalah baru? Bisakah kami saling memahami, melengkapi layaknya pasangan yang memulai semuanya dengan cinta?

Aku sadar, seperti kata Yudis, aku tak bisa mundur lagi. Dan mungkin ini memang kesempatanku untuk membalas budi, meskipun Yudis bilang pernikahan ini tak ada hubungannya dengan utang kami. Jika memang ia sedang mencari istri, dan wanita yang diinginkannya adalah aku, mungkin yang terbaik adalah menerima ajakannya. Ia teman masa kecilku, dan aku mengenal keluarganya.

Tapi aku belum tahu Yudistira dewasa seperti apa. Aku hanya melihat dia di tempat kursus, sesekali di rumah karena ia selalu punya pekerjaan untuk dilakukan. Bagaimana kalau setelah kami menikah ia mengabaikanku karena sibuk dengan pekerjaannya sendiri? Hal ini sungguh memusingkan.

"Yud, antarkan aku ke rumah saja. Besok weekend, 'kan? Aku ingin ketemu Ibu," pintaku setelah tangisanku mereda.

"Baiklah, Sha."

Tanpa banyak kata, Yudis mengantarkanku pulang, ke rumah orang tuaku. Ia tak memaksa untuk mengajakku mengobrol, dan membiarkanku memejamkan mata selama perjalanan.

Saat kami tiba, adik-adikku menyambutku riang. Namun, setelah melihat kondisiku, mereka langsung memanggil Ibu.

"Kamu kenapa, Nak?" tanya Ibu dengan suara penuh keprihatinan saat melihat wajahku yg kusut.

"Ibu," rintihku sembari menghambur ke pelukan wanita yang melahirkanku itu, membuatnya semakin bingung.

"Ke kamar saja, Bu," usul Bapak yang langsung bergerak membantu Ibu membawaku ke kamar tidurku. Aku kembali menangis di pelukan Ibu, dengan ketiga adikku yang setia menemani.

Ibu tidak berkata apapun, apalagi bertanya. Ia hanya membiarkanku menangis.

Sepertinya Bapak berbicara dengan Yudistira, samar kudengar suara mereka di ruang tamu. Setengah jam kemudian pemuda itu berpamitan, dan meninggalkan rumah kami.

Besok siangnya keluarga Yudistira datang untuk melamarku.

***

"Kita akan menjadi suami istri sungguhan, jadi kita juga akan melakukan hal-hal yang dilakukan oleh pasangan. Aku yakin kamu tahu maksudku," tegas Yudis sewaktu kami membicarakan hal-hal yang menyangkut pernikahan kami.

"Tapi aku bisa menolak, kalau aku tidak mau," balasku tak mau kalah. Membayangkannya saja aku sudah ngeri, aku dan Yudis ... hiiii.

"Kamu bisa menolak, Shanna," bisik Yudis sembari menatapku tajam, "tapi tak mungkin selamanya kamu menghindar." Ucapan Yudis membungkamku.

Sebagai anak yang diajarkan tentang kesucian pernikahan, serta kewajiban dalam berumah tangga, aku tahu tidak baik bagi seseorang menahan hak pasangan sahnya untuk melakukan hubungan suami istri. Aku tak bisa menghindar selamanya.

Ibu sangat senang saat mengetahui kami akan menikah. "Nggak apa-apa, Nak. Nak Yudistira itu baik, dia pasti sayang sama kamu, dan lambat laun kalian pasti bisa saling mencintai. Ibu sama Bapak dulu juga dijodohkan kok," nasihat Ibu dengan mata berbinar bahagia.

Keluargaku mendukung, demikian pula keluarga Yudistira. Bu Ani dan kedua adik perempuan Yudis juga sangat senang. Ayah dan kakak lelakinya setuju saja. Meskipun Mas Juna belum menikah, tidak masalah baginya untuk dilangkahi oleh adik tirinya.

Hari ini kami benar-benar menikah, menikah sungguhan, bukan kawin kontrak. Namun, untuk masalah perceraian ... aku tidak tahu. Aku tidak ingin menikah hanya untuk bercerai. Yudis juga bilang tidak akan ada perceraian, tapi siapa tahu nanti dia berubah pikiran, karena menyesal.

"Uaah, capek banget!" Aku meregangkan badanku yang kelelahan, ototku kaku semuanya.

"Sudah mandi, Sha?" tanya Yudistira masih dengan setelan jas khusus yang membuatnya semakin gagah. Hari ini ia sangat tampan.

"Sudah," jawabku singkat.

"Oke, gantian aku mandi, ya. Kamu istirahat saja dulu, nanti aku menyusul," ucapnya dengan cengiran lebar di bibir.

Acara hari ini sungguh melelahkan. Aku sangat bersyukur ketika semuanya selesai. Saat ini kami akan menikmati malam pengantin di kamar yang sudah ditata khusus layaknya kamar bulan madu di resort milik ayah mertuaku.

Tunggu, menikmati malam pengantin? Duh, bulu kudukku merinding jadinya. Aku membaringkan badanku miring dengan mata tertutup. Sejenak pikiranku mengingat peristiwa-peristiwa yang terjadi sebulan belakangan ini.

Pikiran-pikiran itu berseliweran di kepalaku, membuatku sejenak terlena. Aku tersentak saat merasakan pinggangku dipeluk dari belakang.

"Yud," desisku seraya memukul lengannya yang melingkari perutku. Meskipun hanya ada kami berdua, tanpa sadar aku menahan suaraku agar tidak terlalu keras.

"Ashanna, ini malam pengantin kita," kata Yudis seraya ia mulai mencium pipiku.

"Tapi, Yud, tadi kamu bilang padaku untuk beristirahat. Istirahat di malam hari berarti tidur, 'kan? Kamu juga pasti lelah, Yud. Kita tidur saja, ya." Aku mencoba berkelit dan menghindari Yudistira, tapi ia sama sekali tak melepaskan pelukannya.

Bisikan Yudistira selanjutnya membuatku merinding lagi. "Iya, Sha, tidur ... tidur denganku, suamimu."

=Bersambung=

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi ๐Ÿฅฐ

Selanjutnya Suami Pelarian Bab 5-7 (Gratis)
1
1
Kamu istriku, Ashanna, milikku. Jangan kau ingkari itu, bisiknya di telingaku.
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan