Cintaku Terhalang Status (Bab gratis: 01-08)

1
1
Deskripsi

Kisah cinta pertama selalu punya warna indah tersendiri, seperti yang dialami Velove, seorang gadis yatim piatu yang jatuh cinta kepada Eric, si mantan playboy teman sekelasnya sendiri. Cinta mereka begitu manis. Namun, perbedaan status yang begitu besar membuat ayah Eric yang kaya raya menentang hubungan mereka.

Menikah di usia muda tanpa restu orang tua adalah keputusan nekat yang mereka ambil atas nama cinta. Sayangnya, kebahagiaan itu hancur berantakan ketika Eric mengkhianati kasih dan janji setia mereka.

01. Pelukan Gratis

"Maafkan aku, Love. Aku memang salah. Aku menyesal."

Suara Erick terdengar begitu pilu, ia mengiba, memohon-mohon, bahkan berlutut di hadapanku. Raut wajahnya menggambarkan penyesalan yang dalam.

"Aku sudah memaafkan kamu." Aku menanggapinya setengah hati, berharap kalimat yang ku ucapkan itu segera mengusirnya dari sini.

Tergambar perasaan lega dan senang di wajah tampan yang pernah membuatku tergila-gila itu. "Terima kasih, Cinta. Aku berjanji ...."

"Aku memaafkan kamu, bukan menerimamu kembali," tukasku dengan nada yang semakin dingin.

Erick tampak kecewa. Wajah yang sempat ceria kini mendung lagi. "Aku tahu aku salah, tapi waktu itu aku terpaksa ...."

"Terpaksa??? Dengan penuh gairah kau mencumbu wanita itu di depan mataku, kau bilang itu terpaksa?" seruku gusar. "Aku masih mengingat dengan jelas hari itu. Perlu kamu ketahui, aku belum dementia."

Aku berupaya untuk tidak murka, apalagi menangis di hadapan Erick. 'Waktu untuk menangis dan berkabung atas pengkhianatanmu sudah habis, Erick,' batinku pedih.

Erick, cinta pertamaku, pria yang pernah menjadi sinar matahari dalam hidupku, kini hanyalah seorang mantan suami yang telah berkhianat dan menghancurkan hati dan hidupku.

"Oke," ucap Erick sembari bangkit berdiri. "Katakanlah kau tidak ingin menerimaku kembali. Tapi aku yakin dalam hatimu, kamu pasti masih menyimpan cinta dan kenangan kita, Love."

Aku mencibir sinis. Kepercayaan diri dari mana yang dia dapatkan? "Apa yang bisa diharapkan dari cinta yang sudah ternodai oleh pengkhianatan? Kita sudah berakhir, Erick," cemoohku mulai kehabisan tenaga. Lelah sekali rasanya ribut seperti ini.

"Setidaknya pikirkan anak kita, Love."

"Dia anakku, bukan anakmu, Erick."

"Ricky anakku juga, Velove, darah dagingku. Kau pikir kau bisa hamil sendirian tanpa kontribusi seorang laki-laki?" Suara Erick mulai terdengar meninggi. "Kau bahkan menamainya Ricky, sesuai keinginan kita dulu, apa kau lupa?"

Kalimat terakhir Erick seperti sebuah pukulan telak yang membungkamku. Yang ia ucapkan memang benar, namun itu tidak bisa menutupi kenyataan bahwa ia adalah mantan suami yang pengecut dan tidak bertanggung jawab.

"Cinta, tolong jangan keras kepala," ucap pria itu dengan nada yang lebih lembut. "Aku memang salah, aku khilaf untuk sesaat karena tekanan dari orang tuaku yang terlalu kuat. Tapi aku sudah meninggalkan wanita itu, Sayang. Kami tak punya hubungan apa-apa. Kau pergi tanpa pamit, dan tidak kembali, membuat hatiku hancur berkeping-keping. Tolong beri aku kesempatan untuk memperbaiki semuanya."

Kehidupanku selama tiga tahun di sini terasa damai dan tenang, tapi sekarang semua ketenangan itu hancur karena kehadiran mantan suamiku lagi. Runyam!

Aku ingin berteriak, marah, menangis, namun aku menahan diri. Rasanya tidak enak kalau kami malah menarik perhatian penghuni rusun yang lain dengan drama tidak bermutu ini.

Erick berupaya meraih tanganku, namun aku menepisnya.

"Erick, jangan buat keributan di sini, aku malu dengan tetangga, dan aku capek. Tolong pergilah," pintaku yang merasakan lelah secara fisik dan emosi.

Aku merasa tidak sanggup bicara lebih lanjut dengan Erick, setidaknya untuk saat ini. Aku sadar ada yang harus diselesaikan di antara kami, tapi tidak sekarang.

"Tapi, Love, kita harus bicara ...."

"Jangan sekarang, Erick, tolong. Pergilah dulu." Dengan tatapan mata letih aku memohon kepada pria itu. Aku belum siap secara mental untuk bertemu lagi, apalagi berbicara dengan mantan suamiku.

Akhirnya Erick mengalah. "Baiklah, tapi aku akan datang lagi besok. Beri aku kesempatan untuk bicara, Love," ujar Erick bersungguh-sungguh.

"Ya, terserah."

"Jaga dirimu, My Love. Aku mencintaimu."

Aku melihat pria itu bermaksud untuk memelukku sebelum pergi, tapi aku bergerak lebih cepat dengan menutup pintu rumahku dan menguncinya.

"Love ...," desah Erick mengembuskan kekecewaan tanpa tanggapan apapun dariku. Dengan berat hati ia pergi meninggalkan tempat tinggalku ini.

Setelah menyadari langkah Erick menghilang dari pendengaranku, aku yang bersandar pada pintu, dan seketika merosot ke lantai, dengan tubuh yang terasa sangat lemas.

Seluruh emosi dan pikiran berkecamuk di kepalaku. 'Kenapa kamu harus datang lagi, Erick? Kenapa?' rutukku dalam hati.

Ketika aku sedang merenungi nasibku, dari luar terdengar suara ketukan di pintu.

"Tok tok tok."

Aku mengabaikannya, namun ketukan itu terdengar lagi.

"Velo, kamu di dalam, Nak?"

Ibu Berta! Ia pasti sudah mendengar keributan tadi. Aku merasa tak enak hati dengan wanita baik itu.

Aku bangkit, membuka pintu, dan tanpa memandang aku berlari memeluk sosok yang berdiri di depan pintu itu.

"Bu Ber ...," lirihku, seraya melingkarkan lenganku di tubuhnya. Dia balas memeluk ku dan sedikit mengusap punggungku.

Tapi ... ada yang salah.

Ini bukan dada Bu Berta. Mengapa jadi keras begini? Dan wanginya ... maskulin, tiba-tiba membuat jantungku berdebar.

Astaga!

Aku mendongak dan melihat seringaian nakal dari pemilik tubuh itu.

"Velo." Terdengar suara Ibu Berta lagi, tapi ternyata ia berdiri di belakang orang yang aku peluk.

Mati aku! Aku mencoba melepaskan diri dari pelukan orang itu, tetapi ia menahanku. Aku terpaksa harus memukul lengannya, barulah ia membiarkanku pergi.

Aku terbirit-birit masuk rumahku dan menutup pintu. Duh, kok bisa salah sih? Malu banget! Aku memukuli kepalaku pelan beberapa kali. Lalu kututupi wajahku dengan kedua telapak tangan. Aku menjerit tanpa suara.

Kudengar suara pria itu terkekeh. "Hari ini pelukanku gratis, Ve, tapi besok bayar ya," godanya dari balik pintu.

Ini tadi melodrama aku kedatangan mantan suamiku yang ngajak balikan, kenapa malah tiba-tiba jadi romantic comedy gini ya? Sama dia pula! Kacau!

Aku malu, tapi juga ingin ketawa. Ingin ketawa tapi juga merasa malu. Bingung kan?

Gawat memang Mas 203 itu! Awalnya ia tetangga sebelah yang sangat baik, lalu beberapa bulan terakhir ini dia mulai mengusik kesendirianku dengan sikapnya yang tahu-tahu jadi 'nakal' dan suka menggoda.

"Aduh! Cubitan Ibu Berta boleh juga. Hehe," serunya. Rupanya Bu Berta menghukum pria pengganggu itu dengan mencubitnya.

"Makanya, jangan suka gangguin anak Ibu! Sudah, balik ke kandangmu sana!" hardik Bu Berta, tapi masih dengan nada ramah.

"Memangnya saya singa, Bu, disuruh masuk kandang?"

"Bukan singa tapi sapi, nanti Ibu yang jadi gembalanya, Mas ganteng," sahut Bu Berta yang memang suka melucu. "Velo, Ibu masuk ya."

Aku mendengar ketukan pintu lagi, kali ini Bu Berta sendiri yang membukanya karena tahu aku tidak mengunci pintuku.

Begitu pintu terbuka aku buru-buru menutupnya tanpa melirik ke arah mahkluk hidup yang masih setia berdiri di tempatnya semula. Aku mendengar ia terkekeh tapi tak aku tanggapi.

Aku dan Bu Berta saling memandang. Ia mengulum senyuman, sedangkan aku menahan tawa dan malu

"Duduk, Bu." Aku mendorong wanita paruh baya itu untuk duduk di kursi tak jauh dari pintu. Bu Berta tersenyum sambil memandangku.

"Kenapa, Bu? Ada yang lucu di muka saya?" tanyaku salah tingkah.

"Nggak apa-apa. Ya, Ibu maklum saja perawakan Ibu memang tinggi besar, jadi kalau kamu salah peluk bisa dimengerti. Walaupun, ehem ... mukanya jelas beda, bentuk badannya beda, dan ... ehem ... parfumnya ...."

"Eh, itu beneran saya nggak lihat tadi, Bu, jadi keliru," sahutku cepat-cepat.

Bu Berta mengangguk dengan senyum sok pengertiannya.

"Maaf ya, Bu, tadi saya nggak bermaksud membuat keributan." Aku meminta maaf atas kejadian dengan Erick tadi, sekaligus mengalihkan pembicaraan.

"Itu tadi mantan suami kamu ya?"

"Iya."

"Ngajak rujuk?"

"Iya."

Bu Berta kembali mengangguk-anggukkan kepala.

"Ya sudah, kamu pikirkan baik-baik ya, Nak, untung ruginya. Bagaimanapun kamu masih harus memikirkan Ricky, kamu juga masih muda, masih layak kalau mau menikah lagi," katanya penuh perhatian.

Setelah membuat pertimbangan sesaat, aku memutuskan untuk bicara dengan Bu Berta.

"Bu Ber, mungkin ini saatnya Velo bercerita."

"Velo, mungkin ini saatnya Bu Ber mendengarkan," timpalnya, membuat aku tersenyum ringan. Bu Berta selalu berupaya membuat suasana nyaman ketika orang ingin bicara serius dengannya.

"Kejadiannya dimulai lima tahun lalu...."

***

02. Pandangan Pertama

[Lima tahun sebelumnya]

"Guys, tahu nggak tadi aku sempat lihat ada murid baru, cowok, di ruang guru gitu, gantengnya ngalahin Aliando Syarief. Terus usut punya usut nih, Detektif Nina dapat info kalau itu cowok cakep bakalan masuk ke kelas kita."

Suasana kelas pagi ini hingar bingar bersaing dengan ramainya terminal angkot yang ada di seberang sekolahan. Maklum sekarang sudah jam pelajaran, namun Bu Cicil, guru bahasa Inggris sekaligus wali kelas kami, yang mengajar di jam pertama ini belum hadir.

Dan Nina si tukang gosip telah memulai acara gibahannya.

"Beneran ada cogan gituh?" Sandra yang duduk di samping Nina terpekik girang. Mereka berdua kompak cekikikan, dan melakukan toss dengan dua tangan berkali-kali.

"Salah dengar kali loe, Nin. Masa iya ada murid baru pindah ke kelas tiga? Tanggung banget, udah jalan dua bulan pula kita di tahun ajaran ini," tukasku mencoba menyadarkan mereka dari mabuk cowok.

"Idih, dibilangin juga kagak percaya lo," sungut Nina. "Entar kalau elo udah lihat bisa-bisa malah loe yang jatuh cintrong, Vel. Wuahaha." Nina mengejekku sambil tertawa ngakak.

Gedeg! Malah makin nggak jelas omongan manusia satu ini, masih dilanjutkan pula gosipnya.

"Si Aliando ni anak orang kaya, Cin. Gosipnya dia pindah ke mari karena dua kali gagal naik kelas di sekolahnya yang dulu, kerjaannya bolos mulu sih. Rencana mau di-DO sama kepseknya, tapi bokapnya memohon supaya anaknya tidak dikeluarkan secara tidak hormat. Makanya doi dipindahkan ke mari."

Nina bertutur dengan begitu khidmat, seolah sedang menceritakan sejarah penting terbentuknya Gunung Sahari ... eh, Gunung Sahari ada sejarahnya nggak sih?

"Nggak naik kelas dua kali? Udah tua dong berarti? Hahaha," timpal Sandra semakin heboh. Kedua sahabatku itu kembali cekikikan.

Nina kalau sudah ngegosip bisa selengkap itu ya, salut juga sih. Terlebih lagi, setahuku, dia cuma menggosipkan hal yang sudah terbukti kebenarannya, bukan sekadar kabar angin yang masih simpang siur.

Mungkin dulu ibunya Nina ingin anaknya menjadi seorang wartawan gosip setelah lahir dan besar, jadi presenter di acara gosip setajam Sulit.

Terus, itu berarti apa yang Nina sebutkan tentang cowok tadi benar dong?

Duh, jadi penasaran saya ... sedikit sih.

Untungnya kami tak perlu menunggu terlalu lama untuk memperoleh jawabannya, sampai mati penasaran.

Selagi Nina bergosip manja dengan Sandra, Bu Cicil muncul bersama murid baru yang dimaksud oleh Nina, siapa lagi kalau bukan si Aliando gadungan.

Eh, memang ganteng sih, walau nggak betul-betul mirip Aliando, sama-sama manis saja. Begitu datang dia langsung cengar-cengir tebar pesona. Dih! Aliando syaraf deh kalau yang macam ini.

"Wuhuhuuuu! Suit suiiit..!!"

Kelas yang tadinya ribut sekarang jadi teratur, teratur ributnya maksud saya, bisa ribut bareng-bareng gitu. Mereka sibuk bertepuk tangan, dan bersiul menggoda si calon siswa baru di kelas kami.

Para siswi terutama yang paling getol mencari perhatian dari si syaraf, membuat keributan begini dan begitu. Caper, lah, pokoknya!

"Hi, Class!" sapa Bu Cicil ceria.

"Hi, Miss!" sahut kami kompak.

Begitulah Bu Cicil, suka menyapa kami dengan bahasa Inggris walaupun setelah itu melokal lagi. Repot juga sih kalau harus membawakan pelajaran bahasa Inggris dengan pengantar berbahasa Inggris pula.

Repot di Bu Cicil, karena harus mikir dulu untuk menyusun kata-kata sebelum ngomong, dan lebih repot lagi di pihak murid-murid karena rawan terjadi ketidakpahaman.

"Kalian ini ya, saya terlambat masuk kelas sebentar saja ramainya sudah mengalahkan penonton konser Seventeen," sungut Bu Cicil dengan tatapan genit.

Tuh, kan, dia sudah kembali ke bahasa ibunya.

"BTS dong, Bu!" seru beberapa murid.

"Blackpink, Blackpink!"

"Big Bang!"

"SHINee! Suju!"

"Exo!"

Ya, elah! Hanya demi mendengar kata Seventeen, para K-popers di kelas kami malah mempromosikan grup favorit masing-masing.

"Siapa pula itu BTS? Saya tahunya cuma Seventeen, Five Minutes, sama Serius," ucap Bu Cicil dengan polosnya.

Ggrrrrrr! Salah sambung, Saudara-saudara! Begitulah perbedaan generasi menimbulkan salah persepsi: yang satu bicara K-Pop, yang lain ngomongin grup band Indonesia yang sudah cukup lama.

Untungnya cuma salah persepsi, ya, bukan salah resepsi. Kondangan itu, mah!

Kelas yang sudah sempat tenang pun kembali gaduh. Aliando palsu bahkan ikut menahan tawa karena lawakan Bu Cicil.

"Serius sudah bubar, Bu!" seru salah satu siswa.

Walaupun ia mengajar bahasa Inggris yang katanya momok selain matematika, Bu Cicil ini sama sekali nggak menyeramkan, lucu dan menggemaskan malahan. Sampai ada yang curiga bahwa wali kelas kami ini punya kerja sampingan sebagai seorang pelawak.

"Guys, dan terutama para ladies, apa kalian tidak penasaran dengan cowok ganteng nan imut di sebelah Miss Cicilia ini?" tanya Bu Cicil sembari mengedip-edipkan matanya dengan cara yang lucu.

Sontak para siswi, termasuk Nina dan Sandra, menjadi heboh.

"Penasaran, Bu!" seru mereka.

"Kenalin dong, Bu!" timpal yang lain.

Bahkan ada yang spontan bernyanyi, "Sungguh mati aku jadi penasaran." Duh, masih pagi, tapi suasananya sudah seperti pasar malam saja.

"Oke, oke," seru Bu Cicil menenangkan. "Biar teman baru kalian yang langsung memperkenalkan diri ya. Ayo perkenalkan dirimu, Nak."

Dengan senyum lebar murid baru itu memperkenalkan diri. "Halo, teman-teman. Nama gue Erick Marvelous Wijaya, biasa dipanggil Erick, tapi ada juga yang manggil ganteng atau sayang," ucap siswa baru itu dengan kepercayaan diri yang sedikit berlebihan.

Alamak! Saya yakin seratus persen ini cowok playboy cap kadal. Pede banget minta disebut ganteng atau sayang!

Herannya teman-teman cewek malah kembali heboh, kayak yang dibilang Bu Cicil tadi, seperti penonton konser Seventeen.

Setelah kehebohan mereda, Bu Cicil akhirnya memberi mandat pada Aliando tiruan itu. "Berhubung hanya ada satu kursi yang kosong, silakan Erick duduk di sana ya, di belakang di samping siswi cantik bernama Velove itu," titahnya tanpa ragu.

What??? Aku membulatkan mataku. Kenapa aku baru sadar bahwa hanya ada satu kursi kosong di kelas ini dan itu di mejaku? Gawat ini!

Nina dan Sandra kompak menggodaku. "Cie ciee. Awas jatuh hati, Vel! Hihihi."

"Siapa juga yang bakalan jatuh hati sama tukang tebar pesona?" sungutku sebal.

"Hati-hati, loe, kemakan omongan sendiri baru tahu rasa," cibir Nina belum puas mengejekku.

"Rasa balado, barbeque dan rumput laut," sosor Sandra tak mau kalah. Mereka berdua cekikikan lagi.

Aku hanya bisa memutar bola mataku, lelah melihat kelakuan mereka berdua.

Sesaat kemudian Aliando rasa balado, eh salah, cowok yang katanya mirip Aliando itu sudah sampai di meja barunya, di sebelahku. Aku memilih untuk sibuk menyiapkan buku bahasa Inggrisku, pura-pura sibuk sendiri, dan tak mengacuhkannya.

"Hai," sapa si Aliando KW setelah duduk di sebelahku. Mau tak mau aku menengok ke arahnya ... demi kesopanan. Kini aku bisa melihat wajahnya dengan jelas.

"Aku Erick." Ia menyebutkan namanya, sambil mengulurkan tangan, mengajakku berkenalan. Lalu ia tersenyum dengan begitu manis.

Oh, Mama! Tatapan mata dan senyumannya seolah menghentikan waktu. Apakah ini yang namanya jatuh cinta pada pandangan pertama? Atau terpesona?

Seperti orang dungu aku hanya bisa membalas uluran tangannya. "Velove," ucapku tanpa dapat mengalihkan pandangan dari wajahnya.

"Velove, ya? Jadi bisa aku panggil kamu Love, ya. Hai, Love," katanya lagi dengan suara yang begitu manis. Senyumannya kian memesona dan tatapan matanya semakin lembut memikat netraku.

Seketika aku merasakan desiran aneh di dadaku, dan seolah ada ratusan kupu-kupu dan butiran popcorn beterbangan di sekitar aku dan dia. Segera kutarik tanganku, dan kualihkan tatapanku agar tak lagi melihatnya.

Dengan tangan yang sedikit gemetar aku memegang buku dan pena. Aku salah tingkah, sampai bingung mau menulis atau membaca. Akhirnya aku menatap ke depan melihat Bu Cicil yang telah memulai pelajaran bahasa Inggris di kelas kami.

"Huuufffttt." Diam-diam aku mengembuskan napas panjang, guna menenangkan diri.

Bagaimana bisa aku deg-degan tak karuan seperti ini, sementara si murid baru yang suka menggoda tadi bersikap tenang dalam sekejap, dan mengikuti pelajaran dengan sikap khusuk?

Berkat materi yang disampaikan oleh Bu Cicil aku bisa mengalihkan perhatianku dari Erick.

Namun, ketenangan itu tak berlangsung lama. Si murid baru kembali menarik perhatianku dengan terus bersikap gelisah, seperti murid yang mengeluhkan sulitnya pelajaran yang tak dipahaminya.

"Kamu kenapa? Ada yang sulit?" tanyaku kepada Erick. Sebagai anak yang diajar untuk peka saat orang lain membutuhkan bantuan, aku bertanya kepada teman baruku itu.

Erick memalingkan kepalanya ke arahku, tatapan matanya seakan menunjukkan keraguannya untuk bertanya.

"Itu ... aku sedikit penasaran saja," ucapnya dengan senyum malu.

"Penasaran kenapa? Ada yang kamu tidak paham?" ujarku seramah mungkin. Walaupun aku sempat bersikap acuh tak acuh, aku tak ingin Erick mendapat kesan aku teman yang sombong dan tak mau membantu orang lain.

"Hehe, anu, itu ...."

"Nggak apa-apa, sampaikan saja," kataku meyakinkannya. Aku bahkan tersenyum lebar kepada Erick.

Dengan sikap canggung Erick akhirnya menyampaikan pertanyaan yang di luar nalar. "Aku penasaran saja. Kamu pernah capek nggak selalu terlihat cantik memukau seperti ini?"

***

03. Bukan Permainan

Sejak hari itu Erick mulai mendekati aku. Lelaki itu tidak melewatkan satu kesempatan pun untuk menggangguku, entah melalui senyuman, perkataan hingga perhatian.

Aku yang awalnya menilai dia sebagai tukang tebar pesona, tiba-tiba menjadi bodoh dan membiarkannya. Entahlah, senyuman dan tatapannya yang membius itu seolah sudah melumpuhkan akal sehatku.

Ada-ada saja kelakuannya. Saat aku sedang fokus belajar, dia meletakkan kepalanya di meja dengan posisi miring menghadap aku. Lantas dia akan memandangiku sambil senyum-senyum nggak jelas. Aku jadi salah tingkah.

Kalau kutanya, "Ngapain sih ngelihatin aku terus?" dia akan menjawab, "Karena kamu cantik, Love." Lalu aku tersipu dan semakin salah tingkah.

Gila saja, aku yang selalu menjaga diri agar tidak dekat dengan cowok manapun, bahkan sering bersikap ketus jika ada yang mendekati, justru sekarang seperti terkena hipnotis Erick, dan tak mampu menolak rayuannya.

Saat awal perkenalan dia memanggilku 'Love', bagian dari namaku itulah yang akhirnya biasa dia gunakan untuk menyebutku. Bagaimana aku tidak baper coba dipanggil dengan sebutan semesra itu?

Erick juga punya modus lain. Di jam istirahat, saat dia tidak ke kantin, lelaki muda itu tiba-tiba bertanya padaku tentang pelajaran yang katanya sulit ia pahami. "Love, tadi yang diterangin sama Pak Anwar itu gimana sih? Aku kurang paham."

Tanpa menaruh curiga sedikitpun aku menerangkan kepadanya, tapi dia malah kembali memandangiku bahkan beberapa kali menyenggol tanganku dengan tangannya, seolah-olah itu satu tindakan yang tidak sengaja.

"Kamu ini gimana sih? Katanya minta diterangin, tapi malah nggak fokus, ngelihatin aku terus?" tanyaku dengan nada sewot. Lama-lama kesal juga kalau aku sudah serius bantuin Erick, tapi dia malah seenaknya gitu.

Dengan santai cowok itu menjawab, "Aku 'kan lagi perhatiin kamu yang nerangin. Jago juga ya, sudah seperti guru saja," dalihnya tanpa menyiratkan penyesalan.

"Alasan saja! Kalau memang kamu memperhatikan penjelasanku tadi, coba kerjakan soal nomor lima," tantangku sengit. Aku yakin dia pasti kebingungan dan tidak bisa mengerjakannya. Cowok player kayak dia yang pernah tinggal kelas dua kali, ngerti apa sih tentang pelajaran sulit macam ini?

Namun, di luar dugaan Aliando rasa balado itu bisa menyelesaikan soal sulit itu dengan cepat. Dan aku hanya bisa terbengong-bengong.

"Kok bisa ...?" cicitku tak habis pikir.

"Jelas bisa dong, 'kan kamu neranginnya dengan cinta dan kesabaran," jawabnya sembari menyentuh daguku dan sedikit mendorongnya naik. "Mulutnya ditutup, Love, nanti ada kecoa masuk lho." Kemudian dengan santai dia melenggang ke luar kelas bersama seringaian jahilnya.

Rasanya aku ingin membenturkan kepalaku ke tembok saking malunya.

Dia juga sering memberi aku makanan atau minuman. Sepertinya Erick tahu kantongku yang tipis tak kuasa memanjakan lidahku dengan makanan di kantin setiap hari.

"Ini bayaran karena kamu sudah nerangin soal matematika yang sulit kemarin," katanya, membuatku tak kuasa menolak.

Tapi yang paling membuatku besar kepala dan yakin bahwa Erick suka padaku adalah kenyataan bahwa dia hanya mendekati aku. Berarti dia bukan playboy seperti pemikiranku semula.

Pernah satu kali aku melihat Merry, siswi paling modis dari kelas sebelah menggoda Erick, tapi cowok itu mengabaikannya. Cewek-cewek lain yang mendekatinya pun hanya ia balas dengan senyuman seperlunya.

Anganku sudah terbang ke mana-mana, bahkan kadang aku membayangkan Erick menyatakan cinta kepadaku dan meminta aku jadi pacarnya. Ih, gila memang! Aku bahkan mulai mengabaikan prinsip untuk tidak berpacaran dulu sebelum lulus sekolah.

Aku jadi sering senyum-senyum sendiri karena membayangkan sikap Erick yang manis, hingga ditegur oleh Nina atau Sandra.

"Woy, sadar! Kesambet loe, Vel?" tanya Nina mengagetkanku.

"Halah, biasa, yang lagi kasmaran sama Aliando," timpal Sandra yang membuat Nina terbahak.

"Nah, apa gue bilang, kemakan omongan loe sendiri kan? Jatuh hati juga loe sama si Jarjit."

"Ish ...," desisku tak sanggup menyangkal. Wajahku pasti merona, karena rasanya begitu panas.

"Kok Jarjit sih, Nin? Orang ganteng gitu kok." Sandra yang polos memang sering tidak memahami jalan pikiran Nina yang penuh imajinasi. Aku sendiri juga penasaran sih kok Erick bisa disebut 'Jarjit' sama si Nina.

"Jelaslah! Nama tengahnya kan 'Marvelous, Marvelous'. Wakakakak." Nina ngakak setelah menirukan teman Upin Ipin tersebut.

Astaga! Ada-ada saja sih, Nin!

Mereka berdua mendesak aku untuk menceritakan tentang aku dan Erick. Jadilah aku curhat sama mereka.

"Kalau dari yang gue lihat nih ya, doi kayaknya emang naksir sama elo, Vel. Gue sama Sandra dukung deh," ucap Nina yang diamini dengan anggukan Sandra.

"Makasih, ya. Kalian emang sahabat terbaik gue."

Dukungan Nina dan Sandra membuat aku semakin yakin dengan Erick. Hari-hariku terasa semakin indah.

Akan tetapi angan-angan itu harus kandas di tengah jalan.

Secara mengejutkan Erick berubah sikap. Dia tidak lagi tersenyum kepadaku, tidak lagi bersikap mesra, apalagi memberi perhatian lebih.

Aku mencoba mencari tahu jika ada kesalahan yang aku lakukan, tapi aku tak menemukannya.

"Kamu kenapa sih jadi begitu sama aku?" Aku memberanikan diri untuk bertanya. Gengsi sebenarnya, tapi aku tidak kuat terus dipermainkan kayak gini.

"Memangnya aku kenapa sama kamu?" dia balik bertanya dengan nada dingin.

"Ya ... kamu beda aja." Duh, aku tidak mungkin mengatakan aku kehilangan perhatian dia.

"Nggak ada yang beda, dari dulu juga aku gini kok," jawabnya tanpa menunjukkan perasaan apapun.

Sakit banget hatiku mendengar jawabannya, tapi aku berupaya menutupinya. Aku tak ingin terlihat lemah, apalagi perasaanku sampai diketahui oleh Erick. Jangan sampai!

'Sadar, Velove, dia itu playboy. Palingan kemarin dia cuma tebar pesona sama kamu, nggak lebih dari itu,' batinku menegur, berupaya menyadarkan diriku sendiri yang kebanyakan halu.

Bahkan saat secara tidak sengaja penghapus Erick jatuh dari meja, dan aku mengambilkannya, tanggapannya hanya berupa dengusan, buang muka. Jangankan memandang, melirikku pun dia tidak mau.

Dasar, Jarjit!

Tapi yang paling bikin aku sakit hati adalah sikapnya yang secara tiba-tiba jadi akrab dengan cewek-cewek lain di depan mataku.

Erick secara terang-terangan bercanda akrab dengan Merry yang selama ini selalu ia hindari.

"Kamu tahu nggak bedanya kamu dan lantai porcelain di ruang kepala sekolah?"

"Apa tuh?" Merry menanggapi Erick dengan genit.

"Kalau lantai porcelain di ruang kepala sekolah tuh kinclong. Kalau kamu bening, cantik, dan kinclong."

"Ah, kamu bisa saja sih, Rick." Lalu mereka tertawa bersama, seolah mengejek aku yang lewat di situ.

Hatiku rasanya bagai teriris sembilu, pedih banget. Tapi aku menegarkan diri sendiri agar tidak menangis.

Mungkin memang lebih baik aku melupakan Erick, tidak ada yang bisa diharapkan dari lelaki penggoda seperti dia.

"Kamu sama Erick kenapa?" Di satu kesempatan Nina mencoba mengajakku bicara. Rupanya dia memperhatikan perubahan sikap kami.

"Nggak tahulah, Nin. Tiba-tiba aja dia cuek sama gue, entah salah gue apa."

"Emang nggak jelas si Jarjit itu," geram Nina.

"Biarinlah, aku capek, Nin. Lebih baik aku hentikan sekarang daripada semakin lama, aku semakin sakit hati. Mendingan aku fokus sama ulangan umum yang semakin mendekat." Aku mencoba tersenyum guna membesarkan hati Nina.

Biarpun Nina kadang suka ngomong seenaknya, dia sahabat yang paling peka dan perhatian. Dia bisa melihat bahwa aku telah jatuh cinta kepada Erick, hanya untuk patah hati dalam waktu singkat.

"Hmm, sabar ya, Vel. Bisa jadi Erick sedang mencoba memahami perasaannya sendiri ke kamu. Selama ini mungkin dia tidak sadar kalau dia sudah beneran naksir kamu, dipikirnya kamu sama dengan cewek-cewek yang lain, ternyata ada yang beda. Dua tiga kue basah, hati Jarjit jadi gelisah."

"Hahaha. Apaan sih, Nin?"

Nina memang termasuk orang yang berpikiran dewasa. Kadang dia bisa sangat bijaksana, nggak seperti pembawaannya yang pecicilan. Pecicilan tapi lucu, sih, dan bisa menghibur sahabatnya.

"Sudahlah, Nin. Aku udah nggak ngarep kok. Aku cuma mau ngarep bisa dapat nilai bagus di ulangan umum," ucapku yakin.

Sahabatku itu mengacungkan jempolnya kepadaku.

Dengan dukungan Nina aku kembali berfokus pada studiku. Dia selalu berupaya menemani dan menyemangati aku. Tak kupedulikan lagi Erick yang bersikap cuek sedingin kulkas lima pintu.

Waktu terus berlalu dan masa ulangan umum semakin mendekat. Banyak tugas yang harus kami kerjakan.

Hingga suatu hari aku dan Nina mengerjakan tugas bersama seusai sekolah sampai hari menjelang sore.

"Duh, masih ada nggak ya angkot yang menuju rumah? Udah sore nih," desah Nina saat kami berjalan bersama menuju terminal angkot.

"Harusnya sih masih. Nah, itu masih ada satu, Nin," seruku sembari menunjuk mobil angkot yang menuju daerah tempat tinggal Nina.

"Bang, tungguin!!" Nina berlari menuju mobil angkot yang akan membawanya pulang.

"Kamu gimana, Vel? Angkotmu masih lama nggak? Duh, aku nggak bisa nemenin, mesti cepat pulang nih karena aku harus jagain adikku di rumah," sesal Nina yang malam ini harus ditinggal ibunya menjaga neneknya yang sedang opname di rumah sakit.

"Nggak apa-apa, Nin. Duluan saja, paling bentar lagi angkotku datang."

"Hati-hati ya, Vel. Jaga diri," teriak Nina yang berlalu bersama mobil angkotnya.

"Kamu juga." Aku melambaikan tangan kepadanya.

Suasana terminal angkot sore itu sebenarnya masih cukup ramai, tapi entah mengapa aku mulai merasa tidak nyaman, terutama saat ada tiga pemuda mendekatiku.

Tampang mereka seperti preman. Mereka tertawa menyeringai saat melihatku.

"Sendirian aja, Neng?"

"Mau Abang temani?"

Aku tidak berpikir mereka akan berani melakukan kejahatan di tempat umum, tapi mana tahu aku dilecehkan sama mereka. Aku takut.

Mereka semakin merapat kepadaku, bahkan ada yang berani mencolek lenganku.

"Jangan macam-macam, Bang. Nanti saya teriak lho," ancamku galak, padahal aku sudah ketakutan setengah mati.

"Alah, tenang saja, Neng. Orang-orang sini sudah pada kenal kami. Kalau Neng ikut Abang nanti kita bisa senang-senang; mau makan, mau belanja, Abang bayarin, deh. Betul kan, teman-teman?" kata pemuda berkaos merah yang tampaknya pemimpin mereka.

"Betul! Hahaha." Kedua temannya menimpali.

Makin ngeri saja aku jadinya. 'Oh, Tuhan, tolonglah hamba,' rapalku dalam hati. Detak jantungku rasanya tidak karuan.

Kemudian seperti keajaiban pertolongan datang.

"Sayang, kamu di sini rupanya. Dari tadi aku nyariin kamu," seru seseorang mendekati kami.

Aku dan ketiga preman itu menoleh ke sumber suara. Jantungku semakin berdetak kencang, namun kali ini karena alasan yang berbeda.

***

04. Kisah Erick

"Aku antar kamu pulang," pemuda itu berucap tegas.

"Tapi ...."

"Nggak ada tapi-tapian. Kamu mau ketemu preman lagi kayak tadi?" Kali ini ia menatapku tajam, tak ingin perintahnya ditolak.

Ini jelas bukan sebuah permintaan atau penawaran, tapi perintah.

Entah bagaimana ceritanya Erick bisa datang menyelamatkanku. Eloknya lagi dia bisa membawa serta dua orang pemuda gagah berseragam tentara bersamanya.

Terang saja ketiga preman tadi tidak mampu berkutik. Mereka cuma bisa cengengesan dan menjauh satu langkah dariku.

"Eh, sorry ye, Tong. Tadi kite cuma ngobrol bentar ame cewek loe, kagak kite apa-apain bener, masih utuh. Hehe," ucap si kepala preman sambil cengengesan. Lalu mereka mundur teratur meninggalkan kami.

Erick bisa seheroik itu ternyata. Rasanya kayak aku jadi seorang puteri yang diculik penjahat, terus diselamatkan oleh pangeran tampan berkuda putih. So sweet banget 'kan?

Tapi sayangnya aku masih kesal sama dia, jadinya so sweet-nya dianulir saja. Sikapnya menyebalkan: melambungkan angan-anganku sampai ke langit, lalu menjatuhkanku kembali ke bumi tanpa perasaan.

"Buruan naik," kata Erick yang sudah siap di atas sepeda motornya. "Kamu mau naik sendiri atau... mau aku bantuin?"

Ada penekanan tersendiri di tiga kata terakhirnya, seperti ingin menggodaku. Setelah sekian minggu dia bersikap dingin padaku, aku melihat lagi seringaian nakalnya.

Oh, Tuhan. Aku baru sadar kalau aku merindukan kejahilannya. Sepi banget hidupku tanpa Erick.

Tanpa protes lagi aku naik ke motornya, ketimbang nanti dia bantuin tapi malah jadi modus untuk menggendong aku ala bridal style macam di novel-novel itu. Bisa-bisa aku malah halusinasi jadi pengantin, kan bahaya.

Ah, mikir apa sih aku ini? Hanya karena sedikit digoda aku kembali goyah. Ah, payah! Sadar, Velove!

Ini kali pertama aku naik motor bersama cowok yang aku suka. Rasanya tuh seperti semua yang menyebalkan kemarin lenyap dalam sekejap mata.

Eh, tapi aku kan belum menyebutkan alamatku, memangnya Erick tahu aku tinggal di mana? Tahu ah, aku malas untuk bertanya, masih canggung rasanya. Jadi aku ikut saja, percaya dia bukan orang jahat.

Belum lama kami jalan, Erick menghentikan kendaraannya di depan sebuah rumah makan Padang.

"Mau ngapain ke sini?" tanyaku heran. Perasaan Bu Wiwin tidak bilang kalau panti asuhan kami pindah tempat.

"Ngapain? Mau beli mur baut," jawab Erick seenaknya.

"Hah?" Aku semakin melongo dibuatnya.

"Ya mau makan lah, Neng. Memang kamu nggak lapar dari tadi siang cuma minum air putih?"

"Oh."

Aku tersipu malu. Ya ampun, Erick ternyata diam-diam memperhatikan aku, dia tahu aku tidak makan siang hari ini. Aku memang lapar, mungkin karena ini kerja otakku jadi sedikit melambat.

"Ayo masuk. Makan saja, aku yang bayar." Tanpa permisi dia menarik tanganku dan mengajakku memasuki warung makan itu.

Walaupun masih ada rasa canggung, aku menerima traktiran Erick. "Terima kasih, Rick. Aku memang sudah kelaparan dari tadi. Sekali lagi makasih, ya."

"Aku tahu, aku kan selalu mengawasimu." Erick menatapku misterius, namun sekejap kemudian dia fokus pada makanannya.

Dengan lahap ia menyantap nasi padang dengan rendang sapi di hadapannya. Sepertinya bukan hanya aku yang lapar, tetapi aku tak bisa makan secepat Erick.

Hanya dalam sepuluh menit lelaki itu telah menghabiskan makanannya.

"Mamaku meninggal hampir tiga tahun lalu," ujarnya tiba-tiba membuka percakapan.

Tunggu! Apakah Erick berniat curhat kepadaku? Kenapa begitu tiba-tiba bicara tentang mamanya yang sudah meninggal?

"Sedih banget, aku sama sekali nggak tahu kalau Mama selama ini menahan rasa sakit. Wanita itu selalu tersenyum, rasanya aku tidak percaya sewaktu tahu kondisi penyakit Mama sudah parah, dan tak lama kemudian Mama meninggal," kisahnya sedikit sendu.

Duh, kok tiba-tiba jadi sedih gini? Aku yang memang sedang tidak enak makan, jadi semakin lambat mengunyah makananku.

"Yang bikin aku marah, ternyata Papa sudah tahu kalau kondisi Mama tidak baik, tapi Papa tidak mau memberi perhatian lebih pada Mama. Seandainya Papa lebih peduli pada Mama, pasti sekarang Mama masih hidup." Ucapan Erick penuh penyesalan dan kepedihan.

Aku bingung harus berkomentar apa, jadi aku hanya mendengarkan. Setelah meneguk minumannya, Erick melanjutkan kembali ceritanya.

"Sejak saat itu aku marah kepada Papa. Dulu aku adalah siswa yang berprestasi, namun sejak Mama meninggal aku jadi malas belajar. Aku sering bolos, atau kalaupun aku masuk kelas aku hanya ingin bermain-main dengan teman-teman cewek, aku nggak pernah serius belajar, hingga nilaiku jeblok dan aku sempat tinggal kelas dua kali."

"Erick ...." Aku coba menginterupsi omongannya.

Pembicaraan Erick makin serius. Aku takut kalau Erick akan melibatkanku secara emosi, sedangkan hubunganku dengan dia cuma sebatas teman. Bagaimana kalau perasaanku jadi semakin terikat padanya? Aku nggak ingin membangun harapan palsu, sudah cukup kemarin-kemarin aku merasakan cinta bertepuk sebelah tangan.

Namun, tampaknya lelaki ini memang sudah bertekad untuk membuka semuanya kepadaku. Tanpa kuminta ia menceritakan kisah kelam dalam kehidupannya.

"Setelah kejadian memalukan itu, Papa mengajak aku bicara baik-baik. Papa meminta maaf, yah, semacam itulah kira-kira. Aku menerima dan memutuskan bahwa aku harus naik kelas di tahun ajaran itu, jadi aku belajar sungguh-sungguh dan berhasil. Tapi Papa kembali membuat aku kecewa, karena tiba-tiba Papa menikah dengan wanita yang tidak aku sukai, yang usianya hanya sedikit lebih tua dari kakakku."

Suara Erick terdengar makin sedih. Aku merasa dadaku mulai sesak. Perasaan empati yang membuncah menimbulkan kepiluan di hatiku.

"Aku kembali ke sikap lamaku, suka bolos, malas belajar, dan main-main dengan cewek," tambah Erick. "Sampai akhirnya kepala sekolah yang sudah dua tahun bersabar dengan kelakuanku, menghubungi Papa dan mengatakan bahwa aku akan di-DO. Papa malu. Papa marah besar kepadaku."

Si Jarjit terkekeh sendiri, seolah senang bisa membuat papanya kalang kabut. Yang kudengar hubungan antara anak dan orang tua bisa sedekat ini, sangat menyayangi seperti teman dekat, lalu berubah jadi kesal seperti sedang menghadapi musuh paling menjengkelkan.

"Papa memohon pada kepala sekolah supaya aku dibiarkan pindah ke sekolah lain, Papa sampai memohon-mohon, hingga kepala sekolah setuju. Jadilah aku dipindahkan ke sekolah kita," terangnya sembari tersenyum kepadaku.

Walah, ternyata begitu ceritanya. Rupanya apa yang Nina katakan waktu itu benar adanya. Sahabatku itu tampaknya memang cocok menjadi wartawan gosip.

"Awalnya aku berniat untuk tetap menjadi pembangkang di sekolah yang baru. Aku akan tetap suka bolos, malas belajar, dan main-main dengan cewek."

Erick menjeda perkataannya. Lalu secara tiba-tiba dia menoleh kepadaku dan menatapku sungguh-sungguh. Niatku ingin membalas tatapannya, tetapi aku malah jadi salah tingkah sendiri.

Kembali Erick mengucapkan kalimat yang membuat anganku melambung tinggi. "Tapi semua rencana itu berubah sejak aku mengenal kamu, Love."

***

05. "Mulai hari ini kita jadian."

Motor Erick melaju dengan kecepatan sedang membawa kami kembali ke jalanan Jakarta yang ramai. Lenganku memeluk pinggangnya dengan malu-malu. Senyum bahagia merekah di bibirku.

Masih ku ingat momen ketika cowok yang telah mencuri hatiku itu menyatakan perasaannya, menceritakan bagaimana ia jatuh hati padaku. Harapan yang sempat kupupus kembali bersemi di hati, merekahkan bunga-bunga cinta dengan begitu indahnya.

Erick menatapku dalam, sedangkan aku hanya sanggup berpaling dan menatap gelas berisi air teh di hadapanku. Teh yang tadinya panas sudah mulai mendingin, gantian wajahku yang memanas.

"Waktu Bu Cicil bilang aku mesti duduk di sebelah kamu terus aku lihat raut wajahmu yang syok, aku bertekad untuk menjadikan kamu 'target' berikutnya. Lalu aku pasang senyuman mautku dan mengajak kamu berkenalan, berharap kamu akan takluk. Namun setelah aku menatapmu, ternyata aku yang takluk," seringai Erick.

Kudengar suara tawanya yang renyah, entah dia menertawakan dirinya sendiri, atau diriku yang polos dan naif.

"Astaga!" Aku menutupi mulutku dengan tangan, tak percaya dengan apa yang ia katakan. Aku membuat sang playboy takluk? Kalau Nina mendengarnya dia pasti akan berseru, "Unbelievable!" dengan gaya dramatis, dan Sandra akan berteriak, "Uwuuu!"

Ah, gara-gara mereka juga aku jadi begini.

Sesaat Erick mengembuskan napas, kemudian melanjutkan kata-katanya lagi. "Sayangnya aku terlambat menyadari itu. Aku hanya berpikir aku mendapatkan kesenangan dari menggodamu, main-main denganmu. Hingga suatu hari aku tersadar bahwa perasaanku padamu berbeda, lalu aku mulai menjauhi kamu, bahkan berupaya membuat kamu cemburu dengan mendekati cewek lain."

Pengakuan Erick membuatku tertegun. Jadi itu alasan dia bersikap dingin padaku akhir-akhir ini. Mengesalkan, sekaligus melegakan, Erick bukannya tertarik dengan Merry yang centil itu.

"Meskipun demikian aku tidak bisa memungkiri bahwa aku peduli padamu, jadi diam-diam aku selalu mengawasi kamu, hanya saja kamu tak menyadarinya. Lalu sore tadi aku melihat kamu diganggu oleh preman-preman itu, aku tidak bisa tinggal diam," lanjut Erick.

Dari raut wajahnya aku melihat bahwa ia benar-benar tak suka melihat aku diganggu para preman tadi. Tak ada senyum di wajahnya, dagunya mengeras, tatapannya tajam, seolah siap turun tangan menghajar para preman itu, jika sampai mereka berani melecehkanku lebih lanjut.

"Terima kasih, Erick, atas pertolonganmu. Aku tidak tahu bagaimana nasibku jika kamu tidak datang," ucapku tulus. Tadi bahkan aku belum sempat berterima kasih atas pertolongannya yang begitu heroik.

Erick tersenyum dengan begitu manis, dan dengan berani ia menggenggam tanganku. "Dengan senang hati, Love. Sekarang aku tahu aku sayang kamu dan nggak bisa jauh darimu."

Tatapan matanya melembut seketika. Ia memandangku dengan begitu ... mesra? Senyumannya pun berbeda.

Oh, tidak! Apakah aku akan ditembak? Hatiku seakan mau meledak saking gugupnya, berharap bahwa ini sungguhan, tapi di pihak lain aku merasa ini semua hanya khayalan.

"Love, maukah kamu ...."

"Drrt ... drrtt ... drrttt."

Perkataan Erick terpotong oleh suara getaran ponselku dari dalam tas. Aku terkesiap. Ya ampun, aku baru sadar hari sudah petang. Bisa kulihat dari kaca jendela rumah makan ini, bahwa langit di luar telah mulai gelap, dan jalanan mulai diterangi oleh lampu-lampu listrik.

"Maaf ya, Rick, aku jawab dulu ...."

"Jawab saja, Sayang," ujar Erick penuh pengertian.

Duh, merona saya jadinya dipanggil 'sayang' begitu, salah tingkah jadinya. Sesekali kulirik Erick yang tak jua memalingkan tatapannya dariku.

Aku menjawab panggilan suara yang membuatku harus pulang secepatnya itu.

"Makananmu nggak dihabiskan dulu?" tanya Erick sembari menunjuk piring yang berisi makananku.

Aku menggeleng dengan perasaan rikuh karena aku sudah ditraktir makan, tapi malah tidak aku habiskan. Erick curang sih, dia makan cepat-cepat lalu tahu-tahu ngajakin ngomong tentang hal yang bikin hati cenat cenut, gimana aku bisa enak makan?

Jadinya pembicaraan serius itu belum berlanjut. Erick langsung mengantarku pulang.

"Di sini tempat aku tinggal," ucapku sedikit ragu ketika akhirnya kami sampai. Aku turun dari motornya. "Kamu ... nggak masalah berteman denganku setelah mengetahui ini?" tanyaku sedikit cemas.

Aku memang bukan anak dari keluarga normal, yang terdiri dari ayah, ibu dan anak. Aku hanyalah seorang anak yatim piatu yang tinggal di panti asuhan.

Aku tidak tahu asal usulku, siapa ayah dan ibuku. Kata Bu Wiwin yang menjadi Ibu Kepala Panti, waktu aku bayi aku ditaruh dalam keranjang, lalu seseorang, entah siapa, meletakkan keranjang itu di depan gerbang panti asuhan ini. Benar-benar mirip dengan yang ada di sinetron.

Nama Velove diberikan padaku karena di selimut yang membungkus badan kecilku kata itu tertulis.

Erick menatapku serius. "Kamu malu jadi anak panti?" Pertanyaannya mengandung nada mencemooh.

"Eh, bukan begitu, Rick!" sahutku cepat. "Aku sudah menerima kenyataan bahwa aku bukan anak siapa-siapa, dan aku bahagia di sini dengan teman-temanku, dan ibu-ibu pengurus panti. Hanya saja aku tahu, tidak semua siswa di sekolah mau berteman denganku karena latar belakangku ini."

Kututurkan kepada Erick bahwa sejak kecil aku selalu jadi bahan ejekan teman-teman sebayaku, namun aku beruntung karena selalu saja ada anak baik yang mau berteman denganku, jadi aku tidak merasa tersisihkan. Saat ini pun aku punya Sandra dan Nina yang menjadi sahabatku, menyayangiku apa adanya.

Hanya saja aku tidak tahu bagaimana tanggapan Erick setelah mendengar kenyataan ini. Dia anak orang kaya, sedangkan aku ... masih mending kalau bisa disebut sebagai anak orang miskin. Lah, orang tua saja aku tak punya, apa yang bisa dibanggakan dariku?

"Ya sudah kalau kamu tidak malu. Tidak usah pedulikan perkataan orang, belum tentu mereka sebaik kamu," kata Erick seraya tersenyum, membuatku lega. Ah, syukurlah, ia tak seperti anak-anak konglomerat yang lain, yang enggan berteman denganku karena aku tak selevel dengan mereka.

"Ehmm ... jadi ...." kataku sedikit kikuk.

Duh, bagaimana bilangnya ya? Tadi di tempat makan Erick sempat berniat menembak aku, tapi momennya nggak jadi romantis karena ada telepon masuk dari Ibu Panti yang menginterupsi. Aku ingin menanyakan hal itu tapi aku malu. Aku takut Erick menilaiku murahan karena menanyakan tentang sesuatu yang baru ada dalam anganku.

Erick tergelak kecil melihat kegalauanku. "Masuklah, Love. Kamu pasti sudah ditunggu, ini sudah jam tujuh lebih. Kamu istirahat ya," perintah Erick tanpa basa-basi lain.

Ada sedikit kekecewaan dalam hatiku. Mengapa tidak mengulangi yang tadi? Tidak inginkah dia menyelesaikan kalimat yang tertunda tadi? Sementara harapanku sudah mulai membubung, tak ada dasar yang kuat untuk itu. Bila aku terjatuh lagi, pasti tak kalah sakit dari sebelumnya.

Ah, sudahlah, mungkin memang belum saatnya. Aku harus sadar diri. Aku mengangguk dan berpamitan kepada pemuda itu.

Saat aku melangkah tiba-tiba Erick memegang lenganku. "Eh, ada siapa itu di jalan?" serunya dengan mata menatap ke belakangku.

Spontan aku menengok ke arah yang Erick tunjuk, kemudian, "Cup!" sesuatu yang hangat dan lembut menyentuh pipiku.

"Eh?" Aku menoleh ke Erick lagi. Dia terkekeh dengan wajah malu-malu. Lelaki itu mencium pipiku.

Kupegang pipiku, seketika kurasakan suhunya naik, lantas aku tersipu malu.

"Mulai hari ini kita jadian ya. Sampai besok, Love. Daah!"

Dengan tawa riang Erick kembali menaiki kendaraannya, melambaikan tangan kepadaku dan berlalu. Sesekali ia mengengok ke belakang dengan cengiran jahilnya.

"Astaga! Aaaakkkkhhhhh!" pekikku tertahan. Aku menari berputar-putar di depan gerbang panti. Jadi begini rasanya ditembak dan jadian? Begini rasanya punya pacar? Seperti terbang ke awan.

Eh, tapi aku tidak mungkin cerita sekarang ke Ibu Panti ... hmm, mungkin besok. Kira-kira aku dimarahi nggak, ya? Duh!

Waktu aku masuk Bu Wiwin hanya bertanya mengapa aku terlambat pulang. "Tadi ngerjain tugas dulu, Bu, sama Nina sampai sore. Terus tadi diajakin makan sekalian, juga diantarkan pulang sama teman," tuturku mulai membuat alasan. Setidaknya aku tidak berbohong, memang itu yang kulakukan.

"Sama Nina juga?" tanyanya penuh selidik.

"Eh, b-bukan, Bu. Sama teman sekelas yang lain," jawabku dengan perasaan sedikit bersalah. Duh, gawat kalau sampai ketahuan.

Bu Wiwin menatapku sedikit curiga. Jangan sampai dia tanya siapa nama temanku, aku nggak bisa bohong.

Di luar dugaan Bu Wiwin hanya tersenyum lalu menyuruhku untuk segera mandi, dan beristirahat.

"Huft, selamat deh." Aku menghela napas lega.

Ternyata kelegaan itu hanya berlangsung malam ini, karena keesokan harinya terjadi kehebohan.

"Mbak Velo, ada temannya yang nyariin, orangnya ganteng!" seru Betty, salah satu adikku di panti, ketika aku sedang berkemas untuk berangkat sekolah.

Waktu aku tengok ke depan Erick sudah di ruang tamu, sedang mengobrol dengan Bu Wiwin. Waduh, gawat! Mengapa Erick malah datang ke mari?

"Eh, Erick ...." Aku salah tingkah seperti anak yang ketahuan mencuri, apalagi Bu Wiwin sempat menatapku dalam diam.

"Hai, Love. Kita berangkat bareng ya," ajak Erick santai.

Lho, kok? Apakah semudah itu Erick menaklukkan hati Bu Wiwin? Ibu Panti kami ini memang bukan orang yang galak atau kaku, tapi setahuku dia selalu berupaya agar anak-anak asuhnya memiliki moral yang baik, termasuk berjaga agar kami tidak pacaran dulu sebelum lulus sekolah.

"Buruan, Velo. Nanti kalian telat lagi," tegur Bu Wiwin saat melihatku terbengong. Wanita itu mengangguk dan tersenyum kepadaku.

"Eh, iya, Bu." Aku bergegas kembali ke kamarku untuk mengambil tas dan memakai sepatu.

Bu Wiwin tidak menanyakan apapun hingga aku dan Erick pergi.

"Kamu ngapain mesti jemput di panti sih?" protesku kepada kekasihku itu.

"Aku cuma pingin berangkat sekolah bareng teman sekelas yang merangkap pacarku. Nggak salah 'kan? Bu Wiwin baik kok," jawab Erick penuh percaya diri.

Keberanian Erick tidak berhenti sampai di situ. Saat di sekolah dia tidak segan menggandeng tanganku dan meyatakan ke orang-orang bahwa kami sudah menjadi sepasang kekasih.

Perasaanku antara senang dan malu. Tak kusangka Erick bisa se-gentleman ini.

Saat aku sudah kembali ke panti, Bu Wiwin tidak terlalu banyak bicara padaku. "Velo, Ibu sudah bicara dengan pacar kamu tadi. Erick anak yang baik."

Betapa lega hatiku mendapat lampu hijau dari Bu Wiwin.

"Kamu sudah dewasa, sebentar lagi kamu sudah lulus SMA. Yang penting kamu jaga diri ya, selalu ingat apa yang sudah ibu-ibu panti ajarkan kepadamu," imbuhnya penuh pengertian.

"Bu Wiwin ... terima kasih, Bu." Aku memeluk Wiwin penuh haru. Tak kusangka wanita yang sudah kuanggap ibuku sendiri itu memperbolehkan aku memiliki pacar.

Hari-hariku terasa indah dan sempurna dengan kehadiran Erick. Kami selalu bersama, saling mendukung dan membantu. Bahkan Erick mulai menunjukkan kecerdasan yang sebenarnya dia miliki, hingga ia kembali meraih prestasi di sekolah. Aku yang biasanya juara umum di sekolah, harus turun ke ranking dua.

Tapi aku tidak merasa tersaingi, justru aku merasa bangga karena pacarku lelaki yang serius dalam studinya.

Kami sangat bahagia.

Namun menjelang kelulusan sekolah, situasinya mulai berubah ketika aku bertemu orang tua Erick. Ketakutanku terjadi.
***

06. Terhina

"Wuhuuuu...! Velove memang paling bisa diandalkan dalam urusan menyanyi, Sodara-sodara."

"Yo'i, Nin! Isyana-nya SMA 88 gitu loh!"

Kedua sahabatku kompak menyemangati dan memuji penampilanku. Mereka bahkan membawa pom-pom cheerleader, dan berteriak-teriak ketika aku berada di panggung.

"Apaan sih, kalian ini?" Aku tersipu mendengar pujian dari mereka berdua. Masa aku disamain sama Isyana Sarasvati yang punya suara merdu nan melengking indah itu? Kan malu kalau sampai ketahuan aku besar kepala. Eh?

Teman-teman sekelas yang lain pun ikut menyalamiku. Hari ini hari kelulusan kami. Setiap kelas diminta mengirimkan satu talenta untuk memeriahkan acara, dan aku yang dipilih oleh teman-teman untuk mewakili kelas kami.

Mereka masih heboh berceloteh tentang ini itu, tapi satu sosok yang aku cari tidak ada di antara mereka. Mataku mencari di setiap sudut, tetapi tak tampak batang hidungnya.

"Ngapain, Vel? Nyariin Jarjit ya?" tanya Sandra yang sudah ikut-ikutan menyematkan nama Jarjit pada pacarku.

"Hehehe, iya, San."

"Tadi sempat di sini, terus katanya nyariin papanya gitu," terang Sandra.

Aku hanya bisa ber-oh. Kalau sudah berkaitan dengan keluarganya aku tak berani banyak berkomentar.

"Lah, itu dia yang dicariin," seru Nina tak mau ketinggalan. "Panjang umur bener si Jarjit, pantesan serialnya Upin Ipin dari zaman gue masih TK sampai sekarang masih jalan terus. Hihihi."

"Hihihi." Sandra ikut cekikian mendengar lelucon Nina. Mereka berdua masih hobi saja meledekku, meskipun kami sekarang bukan murid SMA lagi.

Aku tak sanggup menahan senyumku demi melihat kekasihku berlari sumringah ke arahku. Secara reflek tanganku memeriksa rambutku, kalau-kalau ada helaiannya yang tidak rapi.

Sandra dan Nina bercie-cie menggodaku.

Dalam sekejap kekasihku telah berada tepat di depanku. "Ayo cepetan," ucap Erick seraya menarik tanganku tiba-tiba.

"Eh, mau kemana?" tanyaku berniat menolak.

"Udah, ikut aja." Erick terus menarikku dengan sedikit berlari, seolah ada hal penting yang ingin ia tunjukkan padaku. Kami melewati tatapan keheranan banyak murid yang masih berkerumun di gedung ini.

Saat kami sampai di lapangan tempat parkir, Erick berhenti. Aku pun berhenti dengan napas terengah-engah. Mata Erick celingukan.

"Eh, mana ya? Kok udah nggak ada?" tanyanya kebingungan. Pandangannya mengelilingi lapangan tempat parkir.

"Nyari siapa sih, Rick?" Kepo juga aku dibuatnya.

Erick memandangku sebentar, lalu kembali melihat sekeliling. "Papaku, tadi ada di sini. Aku bilang kepada Papa untuk menunggu karena aku mau ngenalin Papa ke kamu, tapi nggak tahunya dia keburu pergi. Huh!"

Lelaki itu mendengus kesal, dengan kaki menghentak ke tanah beberapa kali.

Duh, dikenalin ke Papa Erick? Mengapa tiba-tiba aku jadi deg-degan nggak karuan?

"Ya udah, mungkin papamu ada urusan penting, jadi harus cepat pergi," ucapku menenangkannya. Sebenarnya hatiku yang lebih lega, karena aku tidak jadi bertemu ayah Erick.

"Hmm, bisa jadi begitu," ujarnya mulai maklum. Kekesalan Erick memudar. Ah, syukurlah. Rasanya aku tidak sanggup kalau harus bertemu dengan orang tua Erick sekarang.

Di saat aku mulai tenang, secara mengejutkan Erick meremas tanganku.

"Aw! Apaan sih, Rick? Sakit tahu!" pekikku kesakitan.

"Sorry, Love. Aku terlalu bersemangat." Kekasihku menatapku dengan antusias. Duh, kok perasaanku jadi makin nggak enak ya? Erick nggak memikirkan ide gila, 'kan?

"Love..., kalau kita nggak bisa nemuin Papa di sini, kita samperin di rumah ya," usulnya tiba-tiba.

"Apah???"

Tolong! Rasanya aku mau pingsan.

***

"Ini Velove, pacar aku, Pa." Walau dengan raut muka tegang, Erick berhasil memperkenalkan aku pada papanya.

"Siang, Om, Tante." Aku menyapa orang-orang yang berada di ruangan ini. Suaraku nyaris serupa bisikan karena kegelisahan yang tiba-tiba mendera batinku.

Ada seorang pria tampan mirip Erick yang mungkin berusia pertengahan empat puluhan. Itu pasti Om Johan, Papa Erick. Di dekatnya ada seorang wanita anggun berwajah sendu, sepertinya dia mama tiri Erick.

Tapi ada satu orang yang tampaknya bukan anggota keluarga mereka. Setahuku Erick memang punya seorang saudara perempuan, tapi kakak, bukan adik. Kakak Erick juga sudah menikah dan tinggal di kota lain.

Perempuan muda yang ada di sini tampak begitu cantik dan modis dengan pakaian mewah, dan makeup cantik. Aroma parfumnya bahkan tercium dari tempatku berdiri. Penampilannya membuatku merasa seperti babu, sekalipun aku telah mengenakan gaun terbaikku.

"Pacar katamu?" Suara Om itu terdengar sinis. Sorot matanya tak bersahabat.

"Iya, Pa. Velove pacar aku, teman sekolahku di SMA 88. Dia yang sudah membuat aku semangat belajar lagi, sampai lulus dan jadi juara umum di sekolah. Aku serius sama dia, Pa. Nanti kalau aku sudah lulus kuliah, aku mau nikahin Velove," ujar Erick tanpa ragu.

Aku menggigit bibir. Ini tak seperti yang kuharapkan, walaupun aku telah memikirkan kemungkinan ini.

Kemarin saat Erick mengusulkan agar aku ikut ke rumahnya untuk bertemu papanya, aku langsung menolak. Bukannya aku tidak mau berkenalan dengan orang tua pacarku, tapi ... entahlah, aku punya perasaan tidak enak.

Erick berasal dari keluarga kaya raya, sedangkan aku cuma anak yatim piatu yang tinggal di panti asuhan. Jujur aku rendah diri.

Namun bukan Erick namanya kalau tidak ngotot. Dia bahkan memohon-mohon. "Ayolah, Love, please...," bujuknya sambil menggenggam erat tanganku.

"Aku ngajak kamu ketemu Papa, karena aku serius sama kamu, Love. Suatu hari nanti kita akan menikah pastinya, dan tidak mungkin aku tidak mengenalkan wanita pilihanku pada Papa," tambahnya lagi.

Setelah kupikir-pikir, benar juga perkataan Erick. Namun, tak berarti aku langsung yakin.

"Tapi, Rick...."

"Udah deh. Sekarang aku tanya, kamu serius nggak sama aku?" tanyanya dengan raut wajah sedikit kesal.

"Serius dong!"

"Makanya, ayo ketemu sama Papa. Ya? Atau kamu mau Papa yang nemuin kamu dan Bu Wiwin di panti?"

"Eh, enggak! Jangan!" tolakku cepat.

Wah, gawat kalau Papa Erick datang ke panti, sedangkan aku belum tahu orangnya seperti apa.

"Ya udah deh, aku ikut," jawabku pada akhirnya.

Dan di sinilah kami hari ini, di rumah keluarga Erick. Sedari kemarin aku terus menenangkan perasaan agar tidak overthinking, tapi ternyata kekhawatiranku itu benar terjadi.

"Jadi namamu Velove?" tanya pria itu.

Suara Papa Erick terdengar begitu dingin, rasanya seperti air es disiramkan ke mukaku.

"I-iya, Om," jawabku gugup.

"Hmm, kamu tinggal di mana? Apa pekerjaan ayahmu?" tanyanya lagi tanpa basa-basi.

Deg! Kalau bisa aku ingin menghilang ditelan bumi saja, ketimbang berada di situasi seperti ini. Aku bisa menebak ke mana arah pertanyaan Papa Erick ini.

"Pa! Jangan memojokkan pacarku seperti itu!" Erick mencoba membelaku.

"Memojokkan bagaimana? Pertanyaan Papa wajar saja kok."

Entah karena sudah lelah dengan situasi ini, atau ada kekuatan dari langit, akhirnya aku bisa membuka mulutku. "Saya tinggal di panti asuhan, Om. Saya anak yatim piatu, jadi saya tidak punya ayah," jawabku penuh ketegaran yang menyakitkan.

"Love...." Erick menatapku penuh penyesalan, entah apa yang ia sesali. Papa Erick mendengus penuh penghinaan.

"Memang kenyataannya begitu, Rick," ucapku berkata realistis. Ketimbang aku berbohong dan memalsukan identitasku, lebih baik aku berkata terus terang.

"Kamu sudah dengar sendiri kan, Rick?" Om Johan kembali bersuara. "Apa yang bisa kamu harapkan dari anak yatim piatu yang asal usulnya tidak jelas?"

"Papa!" teriak Erick mulai emosi.

"Paling-paling cuma mau numpang hidup enak dari harta kekayaan Papa."

Astaga! Seburuk itukah diriku di mata ayah Erick?

"Papa! Jangan keterlaluan ya! Velove tidak seperti itu."

Hatiku sakit saat mendengar hinaan Om Johan, tapi sepertinya Erick tidak kalah sakit, terlebih dia pasti malu dengan sikap papanya.

"Erick, dengarkan Papa. Kalau kamu cari istri, harusnya yang sepadan dengan kamu, punya kelas. Misalnya seperti Stella ini. Sudah bener kalau kamu sama Stella. Kenapa dulu harus putus?"

Oh, jadi gadis itu bernama Stella. Dan..., dia mantan pacar Erick?

Hatiku yang tadinya seperti dilempari dengan kerikil, kini serasa bagai ditimpuk dengan batu batu besar. Sakit banget! Bila hatiku ini terbuat dari daging, sudah pasti akan berdarah-darah.

Lalu seolah bagai mendapat lampu hijau, gadis cantik nan anggun yang sedari tadi menatapku dengan sinis itu tiba-tiba berdiri menghampiri aku dan Erick.

"Hai, Erick. Aku kangen lho," desahnya sembari menebar senyuman manis nan palsu.

"Hai, Velove. Aku Stella, calon tunangan Erick." Perempuan itu dengan manja bergelayut di lengan Erick. Sorot matanya memandangku hina.

Sudah cukup! Aku tak sanggup lagi. Tanpa permisi aku berlari ke luar, meninggalkan rumah itu, sebelum suara tangisan yang sedari tadi aku tahan di tenggorokanku pecah.

***

07. Nelangsa

"Love...."

"Erick sayang, di sini saja."

"Erick, tetap di sini! Turuti kata Papa!"

Suara-suara itu masih sempat kudengar tatkala aku keluar dari rumah mewah milik keluarga Erick, bersaut-sautan memenuhi indra pendengaranku.

Sepertinya pacarku ingin mengejarku, tapi sudah jelas cewek yang sedari tadi menempel di lengannya seperti ulat bulu itu tidak membiarkannya. Seruan Om Johan bahkan lebih keras lagi.

Akan tetapi aku masih berharap Erick akan menyusulku, karena aku percaya ia mencintai aku.

Dengan wajah bersimbah air mata aku berjalan tak tentu arah. Hatiku sakit tak terkira.

"Kenapa, Non, kok nangis?"

"Disakiti pacarnya ya, Mbak?"

Beberapa orang yang berpapasan denganku tampak menunjukkan perhatian dan keprihatinan saat melihat penampakanku yang berjalan gontai dengan muka amburadul. Kebanyakan hanya menatapku aneh, namun ada sebagian yang bertanya.

Saat merasa kelelahan, aku memilih untuk duduk di dekat trotoar. Kaki lelah berjalan, tetapi hatiku lebih lelah lagi.

Meskipun aku hanya gadis yatim piatu yang tinggal di panti, dan selama ini ada cukup banyak orang yang tak menganggapku, baru kali ini aku merasa begitu direndahkan, dan terhina.

'Erick... Erick...," batinku gejolak memanggil nama lelaki yang aku cintai itu. Aku masih berharap akan melihat dia berlari datang kepadaku, menenangkan dan meyakinkan aku bahwa aku yang paling penting buat dia, tidak soal apa pandangan keluarganya.

Tapi harapan itu sama sekali tidak terwujud. Saat aku tengok ponselku pun sama sekali tidak ada telepon atau pesan masuk darinya. Sungguh kah ia tak peduli kepadaku?

Dengan hati kacau aku pulang naik angkot. Tak aku pedulikan sesama penumpang yang sempat memperhatikan aku.

"Velove, kamu kenapa?" tanya Bu Wiwin saat aku sudah kembali ke panti. Ia memandang aku yang masuk dengan muka kusut.

Ketika aku melihat wajah prihatin Bu Wiwin, air mata yang sudah surut, kembali mengalir deras tak terbendung. Aku menangis di pelukan ibu pantiku, dan sambil tersedu-sedu aku menceritakan apa yang sudah terjadi.

"Sabar ya, Nak," katanya sembari terus mengusap punggungku. "Ditunggu saja, mungkin ada hal yang harus Erick bicarakan dengan orang tuanya. Pasti sulit baginya kalau harus melawan ayahnya. Nanti dia pasti datang lagi nyariin kamu."

"Iya, Bu." Aku mencoba tersenyum dan menyeka air mata yang membasahi kedua pipiku. Setidaknya aku merasa lebih lega, setelah bercerita kepada Bu Wiwin.

Akan tetapi kenyataannya Erick tak muncul juga, ia bagai hilang ditelan bumi.

Aku nelangsa. Seandainya kami putus, setidaknya dia mesti bilang, 'Velove, aku tidak bisa melawan papaku. Kita putus saja.' Menyakitkan, tapi akan terasa melegakan, ketimbang digantung tanpa kepastian seperti ini.

Aku bisa memahami seandainya Erick tak mampu melawan ayahnya, tapi jangan gantungkan aku seperti ini.

Setelah berhari-hari aku menunggu, Erick tidak juga muncul. Hatiku patah semakin parah, namun aku tidak bisa melupakannya begitu saja.

Kegalauanku sedikit terobati ketika Nina muncul di panti. Ia memang teman sejati yang menjadi saudara dalam kesesakan hati.

"Besok aku ke Bandung, Vel, aku jadi kuliah di sana," ucapnya dengan wajah sedikit sedih, sebab kami harus berpisah.

Nina memang sudah berulang-ulang menyebutkan tentang rencananya untuk kuliah di Bandung. Sedangkan Sandra malah sudah lebih dulu terbang ke Jogja.

"Kamu sendiri gimana? Nggak jadi ambil beasiswa itu?" tanyanya sembari menatapku dengan wajah prihatin. Nina, si jahil, sering bersikap cuek dan seenaknya saat aku senang, tetapi ia juga selalu tahu ketika aku sedih.

Aku tertunduk lesu dan menggelengkan kepalaku, ketika mendengar pertanyaan Nina. Aku tak berharap lagi bisa kuliah.

"Enggak, Nin. Lebih baik aku kerja saja. Kalaupun aku dapat beasiswa untuk bayar kuliahku, aku masih harus mikirin uang kos, makan, juga yang lain-lain. Tapi kalau aku kerja, aku nggak perlu mikirin itu, malahan aku bisa bantu keuangan di panti," terangku dengan perasaan pahit.

Nina memahami keresahanku. Sebenarnya alasan lain aku tidak mau mengambil beasiswa itu karena tidak mau lagi berurusan dengan Erick.

Kami sama-sama mendapat tawaran beasiswa di sebuah universitas di Jakarta. Kami bahkan sudah berencana untuk kuliah di tempat yang sama. Tapi dengan situasi sekarang ini, aku tidak ingin lagi melanjutkan rencana itu.

"Si Jarjit itu memang keterlaluan. Nggak perlu lagi kamu tangisi cowok macam itu, Vel, masih banyak yang lain. Dua tiga kaki meja, si Jarjit ke laut aja."

"Hahahaha."

Aku terpingkal-pingkal demi mendengar pantun Nina. Lucu sekali dia kalau sudah menirukan gaya teman Upin Ipin itu. Rasanya aku tidak ingat kapan terakhir aku tertawa selepas ini.

"Gitu dong, ketawa. Kembalikan Veloveku yang dulu selalu ceria," ucap Nina sembari menyenggol lenganku.

Aku tersenyum pada sahabatku itu. "Makasih ya, Nin. Kamu memang sahabat yang terbaik."

"Siapa dulu dong? Nina!" Kami pun tertawa lagi.

Awalnya ku pikir aku bisa dengan mudah mendapatkan pekerjaan, walaupun cuma rendahan dan bergaji kecil. Namun dengan ijazah SMA saja, apalagi aku masih lulusan baru, tidak ada perusahaan yang mau menerima aku.

Rasanya hampir putus asa, tapi aku terus mencoba. Sampai suatu hari Bu Wiwin bilang ada lowongan di Indah Mart, sebuah minimarket yang letaknya tidak jauh dari panti, jadi aku mencoba melamar di sana, dan diterima.

"Makasih ya, Bu Iin, sudah mau menerima saya," kataku pada pemilik minimarket itu.

"Sama-sama, Velove. Ibu sudah kenal kamu dari kecil, kamu anak baik dan rajin jadi Ibu tidak ragu untuk menerima kamu bekerja di sini."

Jadilah aku mendapat pekerjaan di Indah Mart. Pekerjaannya tidak ringan dan gajinya tidak besar, tapi aku tidak mengeluh. Aku bersyukur bisa mendapat pekerjaan itu, setidaknya aku tidak menjadi pengangguran terlalu lama.

Bu Iin orang yang baik. Ia telah mengenal para ibu di panti, dan sesekali suka berbagi makanan dengan anak-anak di sini.

Bosku itu bahkan selalu memberi aku makan siang, sehingga aku tidak perlu membawa bekal dari rumah. Apa saja yang dia masak hari itu, makanan itu juga yang menjadi makan siangku. Itu sudah lebih dari cukup.

"Kalau ada makanan di meja, atau kulkas, ambil saja, makan. Kalau haus juga ambil air di dispenser. Buat teh atau kopi juga boleh. Anggap saja rumah sendiri," pesan Bu Iin.

"Terima kasih, Bu," sahutku sembari tersenyum lebar. Dalam hati aku berjanji akan bekerja keras dan rajin untuknya.

Siapa yang tidak bahagia punya bos sebaik itu?

Hari-hariku selalu sibuk, sehingga tidak ada kesempatan lagi memikirkan Erick atau rasa sakit hatiku. Walaupun terkadang aku masih teringat padanya, aku sudah lebih lapang hati, toh aku telah membuang semua harapan yang pernah kumiliki bersama Erick.

Bagaimanapun Erick adalah cinta pertamaku, tidak mungkin semudah itu aku melupakannya. Tapi aku yakin nanti aku akan move-on dari Erick. Pasti!

Lalu suatu hari saat aku sedang bekerja, keyakinan itu harus runtuh. Hatiku goyah lagi.

Kala itu aku sedang menata barang-barang di rak. Terdengar suara pintu minimarket terbuka.

"Selamat datang di In ...."

Ucapanku terputus. Aku tercengang melihat sosok yang memasuki toko, sampai barang yang aku pegang terjatuh.

Orang itu menatapku tajam namun sendu. Ia berjalan ke arahku tanpa ragu, dan tiba-tiba memelukku sangat erat.

"Love, aku kangen banget. Hidupku sepi tanpa kamu, rasanya seperti nggak bisa hidup. Walaupun berbulan-bulan kita tidak bertemu, cintaku padamu tak pernah sekalipun padam."

"Erick...."

Babak baru dalam hidupku telah dimulai.

***

08. Manis Sesaat?

"Ekheeem!"

Suara dehaman yang cukup keras itu sontak membawa aku dan Erick ke dunia nyata.

"Maaf mengganggu, Mbak, tapi saya mau bayar nih, bukan mau nonton drakor," cakap seorang wanita dengan senyuman menggoda. Di tangannya ada keranjang dengan cukup banyak barang belanjaan di dalamnya.

"Eh, maaf, Bu," ucapku sambil menunduk.

Dengan perasaan malu, aku melepaskan diri dari pelukan Erick. Duh, untung ada ibu itu yang mau beli, kalau nggak pasti sudah ada adegan drakor beneran antara aku dan Erick. Tahu 'kan maksud saya?

"Sekali lagi maaf, ya, Bu." Aku merasa tidak enak kepada pembeli itu, sampai aku jadi salah tingkah dan kebingungan sendiri sewaktu kami telah berhadapan di depan meja kasir.

"Tenang saja, Mbak, pacarnya masih di situ tuh," ujar si ibu menunjuk ke arah rak-rak yang berisi makanan. Aku melihat Erick yang sempat mengintip sambil senyum-senyum kepadaku.

"Eh, iya, Bu," sahutku cepat.

Duh, gawat! 'Konsentrasi, Velove, konsentrasi!' batinku memarahiku.

"Semuanya lima puluh enam ribu lima ratus rupiah, Bu," ujarku sewaktu barang belanjaan sang pembeli selesai kuhitung.

"Nggak dikasih diskon, Mbak?" tanya wanita itu seraya menyerahkan uangnya.

"Kan tadi udah dikasih nonton drakor gratis, Bu. Hehe," jawabku sambil tertawa.

"Ah, si mbak ini, tadi juga belum selesai drakornya."

"Nanti nonton sendiri di rumah ya, Bu. Terima kasih sudah berbelanja." Aku menyerahkan tas plastik belanjaan kepadanya.

"Sama-sama, Mbak. Semoga kisah cintanya sukses, semanis drakor, ya." Lagi-lagi wanita itu tersenyum menggodaku.

"Hehehe, Ibu bisa saja. Hati-hati, Bu. Besok belanja lagi, ya."

Aku menghembuskan napas lega ketika akhirnya wanita itu meninggalkan toko.

Erick akhirnya muncul juga, setelah sekian lama menggantung hubungan kami. Aku pikir dia sudah mati, ternyata dia hidup lagi, dan semakin tampan saja.

Kupikir dia akan sengsara saat jauh dariku selama beberapa bulan ini, ternyata lelaki plin-plan itu masih sehat bugar dan tampak begitu bahagia. Rupanya hanya aku yang merana. Oh, kaum hawa, mengapa kalian menggunakan lebih banyak perasaan ketimbang pikiran?

Erick berjalan menuju kasir sambil membawa keranjang berisi barang belanjaannya.

Tanpa bicara ia menyerahkan barang yang ia beli satu per satu. Ada senyuman misterius di wajahnya.

Saat aku hendak melakukan scan pada barcode di bungkus makanan itu, aku menemukan hal yang aneh. Ada secarik kertas tempel (post-it) di barcode itu.

Aku melirik Erick dengan alis terangkat, tapi aku hanya melihat senyumannya semakin melebar. Tambah mencurigakan saja!

"Will ...."

Secara spontan aku membaca tulisan di kertas itu.

Saat aku meraih barang kedua, kembali aku menemukan kertas tempel yang menutupi barcode.

'You'

Oh, tidak! Apa-apan Erick ini? Apakah ini akan seperti yang aku pikirkan? Terpengaruh kegugupan, tanganku sedikit gemetar. Aku menggigit bibir dengan sejuta antisipasi dalam benakku.

'Marry'

'Me?'

Nah, ternyata apa yang aku pikirkan benar. Yang kayak gini nih masuk kategori romantis nggak, sih? Yang jelas jantungku deg-degan tidak beraturan. Aku dilamar oleh pria yang selama ini aku rindukan.

"Love," panggil Erick. Ia merogoh saku celananya lalu mengeluarkan kotak kecil berisi sebuah cincin.

"Maukah kau menikah denganku?"

***

Erick!

Pria ini sedari awal sudah melumpuhkan akal sehatku.

Entah dia yang perayu ulung, atau aku yang bodoh dan tergila-gila padanya, sampai aku mau menerima lamarannya tanpa banyak pertimbangan.

Ia menumbuhkan kembali perasaan yang hampir memudar, bahkan perasaan itu semakin kuat. Kata-katanya begitu meyakinkan.

"Maafkan aku karena baru muncul sekarang, Love. Ada banyak yang harus aku pertimbangkan dan lakukan," kata Erick dengan tatapan bersalah.

"Mengapa kamu tidak menghubungi aku sama sekali?" tanyaku dengan nada kecewa. Itu satu hal yang selalu menjadi pertanyaan dalam hatiku saat Erick menghilang selama berbulan-bulan.

"Papa mengambil ponselku, dan menggantinya dengan ponsel baru, dengan nomor baru pula. Aku sama sekali tidak hafal nomormu. Maafkan aku," sesalnya.

Erick tampak bersungguh-sungguh dan tulus. Pria muda ini menjelaskan untuk sementara ia harus menghentikan konfrontasi dengan papanya. Bagaimanapun ia masih bergantung pada papanya. Ia pun menggunakan rencananya untuk kuliah sebagai cara mengalihkan perhatian papanya dari keinginannya untuk menentang hubungan kami.

Seraya mengurus kuliahnya, Erick mulai memikirkan rencana untuk kembali padaku. Ia mulai menjual barang-barangnya yang cukup berharga, dan menabung untuk membiayai pernikahan dan rumahtangga kami nanti.

Pada akhirnya, setelah ia yakin Erick menemui papanya.

"Pa, tolong restui, aku ingin menikahi Velove." Ia bahkan sudah mengucapkan hal itu kepada papanya sebelum bertemu denganku.

"Apa kamu bilang? Papa sudah berkali-kali mengatakan bahwa Papa tidak sudi memberikan restu jika kamu menikah dengan anak panti itu. Kalau kamu masih nekat, pergi saja dari rumah, dan jangan lagi jadi anak Papa," kecam sang ayah.

Mungkin Om Johan mengatakan itu hanya sebagai ancaman, namun Erick sudah membulatkan tekadnya untuk memperjuangkan hubungan kami. Ia benar-benar pergi dari rumah.

"Aku sudah menyewa sebuah rumah kontrakan kecil untuk kita tinggal nanti, Love. Aku sudah kerja sebagai sopir ojol, sambil tetap kuliah. Apakah kamu keberatan jika kita hanya hidup sederhana?" Erick menggenggam tanganku dengan tatapan penuh harap.

Dengan mata berkaca-kaca aku menggelengkan kepala.

"Jangankan hidup sederhana, hidup susah pun akan aku jalani bersama kamu, Erick. Asalkan kamu selalu di sisiku."

Erick tersenyum bahagia. "Terima kasih, Love. Aku janji nggak akan ninggalin kamu lagi," ucapnya sembari membawaku ke dalam pelukannya.

Dalam waktu singkat Erick bersama paman dari pihak almarhum mamanya datang melamarku, dan dua minggu kemudian kami menikah secara sederhana.

Tidak ada acara pernikahan mewah, resepsipun tidak ada. Kami hanya makan bersama ibu-ibu pengurus dan adik-adikku di panti sebagai ucapan syukur.

Setelah menikah aku ikut pindah ke rumah kontrakan Erick. Walau tidak berkantong tebal, Erick selalu berupaya memanjakan aku, dengan makanan ataupun barang-barang yang selama ini sulit aku miliki.

Masa awal pernikahan kami begitu membahagiakan. Dan malam-malam ketika kami memadu kasih, membuatku semakin jatuh cinta dan mengikatkan hatiku kepada Erick.

Aku masih tetap bekerja di minimarket untuk menambah pemasukan, tapi aku meminta pada Bu Iin untuk mengurangi jam kerjaku sehingga aku bisa punya lebih banyak waktu mengurus rumah. Untungnya bosku mengizinkan.

Dua bulan setelah kami menikah, aku hamil. Ada perasaan bahagia sekaligus khawatir karena usiaku belum genap dua puluh tahun. Bisakah aku mengurus anakku nanti?

"Tidak apa-apa, Love. Nanti waktu bayi kita lahir, kamu kan sudah dua puluh tahun. Jangan khawatir! Feeling seorang ibu pasti akan muncul dalam dirimu ketika anak kita sudah lahir nanti, dan ibu-ibu panti pasti akan selalu bersedia membantu," kata Erick menenangkan kegundahanku.

Erick memeluk tubuhku yang ada di pangkuannya sambil mengecupi seluruh wajahku.

"Iya, suamiku. Udah, ah, geli." Aku menahan wajah Erick dengan tanganku. Ia malah ganti menciumi tanganku.

"Aku bahagia, Love. Mari kita pikirkan saja bahwa sebentar lagi kamu akan jadi seorang ibu, dan aku jadi ayah," ucap Erick membuat perasaan bahagia memenuhi relung hatiku.

Kehamilanku tidak menyulitkan. Tidak ada morning sick, atau rasa pusing yang berlebihan. Anakku pasti anak yang baik karena tidak menyusahkan ibunya.

Suamiku terus mencurahkan perhatian kepadaku. Lalu beberapa bulan kemudian ia mulai berpikir tentang bekerja lebih giat agar bisa menabung untuk anak kami.

"Maaf ya, Love, aku jadi harus lebih sering meninggalkanmu sendirian, tapi aku pasti memikirkan dan merindukanmu," ucap Erick.

"Tidak apa-apa, Sayang." Aku meyakinkannya dengan senyuman lebar di wajahku.

Erick pergi kerja lebih pagi, dan pulang lebih malam, ditambah dia masih tetap kuliah, membuat frekuensi kebersamaan kami berkurang.

"Maaf, Love, kita tidur saja sekarang ya. Aku lelah sekali," kata Erick sewaktu aku mulai memeluknya di ranjang. Walaupun hamil aku tetaplah wanita yang memiliki keinginan untuk bermesraan dengan suamiku.

"Iya, Erick. Maaf ya, kamu jadi kelelahan karena bekerja keras. Tidurlah, suamiku."

"Makasih, istriku."

Dengan menahan rasa kecewa aku menyaksikan Erick balik badan memunggungiku dan tertidur. Bahkan tidak ada kecupan selamat tidur.

'Mungkin Erick benar-benar capek,' batinku. Dengan segenap kesabaran aku memakluminya.

Namun, sikap Erick semakin berubah. Walaupun tidak pernah berkata kasar, atau main tangan, ia tidak lagi seperhatian dulu. Bahkan sejak terakhir aku mengajak dia bermesraan, belum sekalipun ia menyentuhku.

Aku bertahan, bersabar. Mungkin inilah tantangan masa awal pernikahan, tidak seindah masa pacaran. Aku berharap keadaan akan membaik saat anak kami lahir nanti.

Sayangnya, sekali lagi harapan yang aku punya untuk Erick kembali kandas.

Siang itu Bu Iin menutup toko lebih cepat. Ada kerabatnya di luar kota yang meninggal dan ia harus pergi selama beberapa hari.

"Kamu libur dulu beberapa hari ya, Velove. Nanti kalau saya sudah pulang, saya kabari lagi. Tenang saja gajimu tidak akan saya potong. Oh, iya... ini sekalian gajimu bulan ini ya, daripada nanti saya telat kasihnya, kan kasihan."

"Terima kasih banyak, Bu Iin." Aku menerima amplop itu dengan perasaan senang. Bosku memang sangat baik.

Senyuman lebar mengiringi perjalananku pulang. Saat sampai di kontrakan aku bahkan melihat sepeda motor suamiku di luar.

"Wah, kok bisa tepat waktu begini ya? Dia pulang dan aku pulang. Aku bisa memberi dia kejutan nih," gumamku senang.

Kejutan itu benar-benar terjadi, di saat aku melihat ada sepasang sepatu wanita di depan pintu rumah bersama sepatu Erick juga. Siapakah yang bertamu?

Dalam senyap aku memasuki rumahku dengan perasaan tidak nyaman. Lantas aku mulai mendengar suara suamiku dan seorang wanita... dari dalam kamar tidur.

Suara mereka semakin keras ketika aku telah berada di depan pintu. Dengan tangan gemetaran aku membuka gagang pintu yang tidak terkunci itu.

Aku terkesiap, rasanya sulit percaya. Aku melihat Erick tengah bercumbu mesra dengan... Stella, mantan pacarnya.

"Erick...," lirihku memanggil namanya. Erick menoleh, dan tampak kaget saat melihatku.

Dengan perasaan sesak di dada aku berlari meninggalkan rumah; meninggalkan suamiku yang telah berkhianat.

=Bersambung=

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi ๐Ÿฅฐ

Selanjutnya Cintaku Terhalang Status Part 2 (Bab 9-18)
0
0
Mengisahkan Velove yang melarikan diri dari rumah di tengah hujan deras, perjuangannya melahirkan dan membesarkan Ricky, anak yang dilahirkannya tanpa sosok suami, perceraiannya, juga pertemuannya dengan orang-orang baik yang menolong Velove, serta, nggak kalah seru, terungkapnya sosok Mas 203 yang disebutkan di bab 1. Ada 10 voucher senilai Rp. 5.000,- untuk membuka karya yang terkunci dr seluruh karya di novel ini dengan kode Status3
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan