
"Desti hanya ingin dipuji. Tapi setiap langkah kecil menuju prestasi justru dibalas dengan bentakan, makian, dan luka yang tak terlihat. Saat kebahagiaannya diremehkan, dan kesalahannya dibesar-besarkan, Desti mulai mencari jalan pintas—hingga akhirnya, ia berdiri di tepi jembatan, siap mengakhiri semuanya… sampai satu suara menghentikannya."
Desti mendapatkan peringkat 5 di kelasnya saat berada di kelas 1 SD. Senyumnya merekah, ia berlari dan meneriakkan kabar gembira itu hingga terdengar oleh orang-orang di sekitarnya, termasuk ibunya.
Ketika sudah berada di hadapan ibunya, Desti menyerahkan lapor yang menunjukkan peringkat tersebut. Namun, reaksi ibunya tidak seperti yang ia harapkan. Ibunya menunduk, memegang tangan anaknya, dan langsung mengajaknya pulang tanpa sepatah kata.
Sesampainya di rumah, Desti bersiap menerima hadiah atas keberhasilannya. Namun, harapannya sirna, hancur berkeping-keping ketika ia melihat wajah ibunya yang kecewa. Ibunya memandang Desti dengan sorot mata dingin, seakan tak percaya bahwa anak yang ia kira berbakat ternyata "sebodoh" itu.
"Kenapa cuma peringkat lima? Malu-maluin!" bentak ibunya dengan suara keras.
Setelah selesai membentak Desti, ayahnya pulang dengan tergesa-gesa. Ia tak sabar ingin melihat prestasi anaknya. Namun, begitu melihat lapor nilai tersebut, ia melemparkannya ke dinding dengan penuh amarah, lalu membentak istrinya dan menyalahkannya karena tidak mampu mendidik anak mereka.
Desti hanya bisa terdiam. Setelah semuanya selesai, ia pergi keluar dengan badan lemas dan muka pucat. Namun, perlahan senyumnya kembali saat ia bermain dan tertawa bersama teman-temannya. Mereka bermain petak umpet dan kejar-kejaran hingga lupa waktu.
Namun, kebahagiaan itu hanya sementara. Semua akan berlalu. Begitu ia sampai di rumah, umpatan dan makian kembali menghujaninya. Semua kesalahan ditimpakan kepadanya karena dianggap gagal memenuhi ekspektasi kedua orang tuanya.
Karena peringkat sebelumnya dianggap tidak memuaskan, orang tuanya memutuskan untuk menyewa guru privat dan menambah waktu belajarnya. Saat ujian akhir tiba, semua yang ia pelajari seakan menguap begitu saja, menyisakan kebingungan dan perasaan takut.
Hasilnya, peringkat Desti justru turun menjadi peringkat 15. Melati yang kesal menyeretnya pulang dengan penuh amarah. Di rumah, makian dan hinaan kembali ia terima. Ibunya tak lupa mengungkit segala pengorbanan yang telah dilakukan untuk mendidik Desti, hanya untuk menambah rasa bersalah pada diri anaknya.
Ketika Nicolas, ayahnya, pulang, giliran ibunya yang dimarahi. Setelah itu, ia juga memarahi Desti, menambah beban mental yang sudah ia tanggung.
Setelah semuanya selesai, Desti mencoba mencari pelarian dengan bermain bersama teman-temannya. Namun, yang ia dapatkan hanyalah kekecewaan. Teman-temannya tak mau bermain dengannya. Mereka kasihan pada orang tua Desti yang lelah memarahinya. Mereka meminta Desti untuk belajar lebih giat agar tidak membuat orang tuanya kecewa lagi.
Tak heran mereka mengatakan hal itu, karena di mata mereka, Nicolas adalah pejabat desa yang hebat.
Akhirnya, Desti pulang dengan rasa kecewa. Ia berharap dapat bersenang-senang dengan teman-temannya, tetapi kenyataan berkata lain. Sejak saat itu, ia tidak lagi bermain dengan teman-temannya karena merasa malu dan bersalah kepada orang tuanya.
Tanpa pelampiasan, stres yang ia alami semakin meningkat, memengaruhi kemampuannya dalam belajar. Ketika ujian tiba, ia kembali mengalami kebingungan. Dalam kondisi tersebut, ia melihat teman sekelasnya menyontek jawaban dari teman di sebelahnya.
Hal itu memberinya ide. Desti mulai menyontek. Dengan cermat, ia mengamati guru dan teman-temannya yang pintar di suatu mata pelajaran. Ia menjadi sangat lancar menyontek tanpa ketahuan.
Hasilnya, peringkat 3 berhasil ia raih. Namun, itu masih belum memenuhi ekspektasi orang tuanya yang ingin ia berada di peringkat 1.
Desti semakin bergantung pada cara menyontek, karena merasa itu satu-satunya cara untuk bertahan. "Aku menyontek aja gagal, apalagi kalau nggak menyontek," pikirnya. Namun, peringkatnya tetap naik-turun, tidak pernah stabil. Orang tuanya semakin sering memarahinya, membuat Desti merasa semakin kecil dan tak berarti.
Stres yang menumpuk mendorong Desti mencari pelarian lain. Ia mulai melakukan hal-hal yang tidak pernah ia bayangkan sebelumnya di dalam kamarnya sendiri, berharap rasa sakit itu hilang. Namun, rasa hampa dan kecewa semakin menguasai hidupnya.
Hal yang paling mengerikan terjadi saat ia SMP. Tubuhnya mulai berkembang menjadi seorang wanita. Orang tuanya bercerai karena ibunya tidak tahan dengan sikap ayahnya dan memilih menyelamatkan diri dari tuduhan korupsi yang dilakukan oleh Nicolas.
Setelah perceraian itu, Desti terpaksa tinggal bersama ayahnya. Ibunya tidak pandai mencari kerja dan harus tinggal dengan saudaranya yang juga hidup dalam kesusahan.
Stres yang dialami Nicolas semakin parah, hingga pikirannya menjadi tidak terkendali. Ia melakukan sesuatu yang melanggar moral sebagai manusia kepada Desti. Saat itu, keluar kata-kata kejam dari mulutnya:
"Akhirnya kau ada gunanya juga. Tapi kalau kau nggak ada, mungkin akan lebih baik."
Malam itu, Desti berjalan sendirian menuju jembatan desa. Hawa dingin menusuk kulitnya, tetapi ia tidak peduli. Air mata mengalir deras di pipinya, membasahi wajah yang penuh kekecewaan terhadap hidupnya.
Ia berdiri di tepi jembatan, memandang sungai yang mengalir deras di bawahnya. Pikirannya dipenuhi suara-suara yang menghukumnya. "Dengan begini, aku tidak akan menyusahkan orang tuaku lagi," pikirnya sambil bersiap untuk melompat ke sungai yang dingin dan deras di tengah malam itu.
Setelah mendengar semua suara tersebut Desti melompat ke sungai yang sangat dingin.
TUNGGU!!!!!! ALAHHHHH!! Pria tersebut melepaskan jaket yang dia gunakan dan melompat ke sungai.
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
